Share

BAB 7. TAK SEJALAN

Merasa kesal Panji berniat melaporkan kejadian ini kepada pihak polisi. Dengan tujuan ingin tahu siapa dalang dibalik peneror di rumahnya.

"Kesabaranku sudah habis, aku tidak bisa berdiam diri seperti ini. Aku ingin memberi pelajaran kepada orang itu. Supaya dia merasa kapok dan tak lagi berani meneror kita," ucap Panji.

"Aku setuju dengan saran mas Panji. Memang lebih baik kita melaporkan kejadian ini supaya mereka merasa jera," sahut Irma.

"Terserah kalian saja. Yang penting masalah ini cepat selesai," sahut bu Sita.

Panji meminta semua orang masuk ke dalam. Dan berpesan jangan membukakan pintu jika tidak ada yang penting. Semua orang mengangguk patuh.

Panji masuk ke kamarnya dan bersiap ingin pulang ke rumah Mahira. Irma mengekor dibelakang Panji dan merengek supaya Panji tidak pulang ke rumah istri keduanya.

"Pokoknya aku nggak mau tahu. Mas Panji nggak boleh pulang. Malam ini mas Panji harus tidur disini bersamaku," sungut Irma sembari berkacak pinggang.

"Tapi sayang, jika aku tidur disini nanti Mahira bakalan curiga, bagaimana? Setiap malam dia selalu nungguin aku di ruang tamu. Jika malam ini tiba-tiba aku tidak pulang apa kata dia nanti. Mahira pasti mengira aku tidur dengan wanita lain. Dia pasti langsung marah," sahut Panji.

"Tapi aku juga istrimu Mas. Aku juga punya hak sama seperti Mahira. Aku juga ingin dimanja dan diperhatikan. Istrimu bukan cuma Mahira. Kamu tahu bagaimana perasaanku saat ini? Hatiku sakit sekali diperlakukan tak adil olehmu Mas,"

keluh Irma.

"Tapi yang memintaku menikahi Mahira adalah dirimu sendiri. Kau bilang tidak tahan hidup susah bersamaku. Lalu kau memintaku mendekatinya dan setelah aku berhasil menikahinya, kamu malah protes seperti ini. Sekarang aku tanya, semua yang terjadi saat ini, itu salah siapa? Ini rencanamu sendiri tapi sekarang aku yang disalah-salahkan. Bahkan nama baikku ikut tercoreng hanya demi mengikuti keinginanmu Irma," sahut Panji.

"Tapi kamu juga menikmati kekayaan Mahira. Dan sekarang hidupmu jauh lebih baik bukan? Itu artinya rencanaku membawa keberuntungan untukmu," sahut Irma.

"Aku tahu, bukan hanya aku saja yang ikut menikmati tapi kamu juga. Sekarang kita sudah terlanjur jatuh ke dasar kolam. Mau tidak mau sekalian saja kita berendam. Ini konsekuensi yang pernah aku ucapkan padamu dulu sebelum kau memintaku menikahi Mahira. Sekarang percuma saja jika kamu protes seperti itu. Karena bagi Mahira aku adalah suaminya. Tapi bagiku kalian berdua adalah istriku. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Ini semua salahmu, karena kamu gagal mengambil seluruh harta kekayaan Mahira. Tujuan kita hanyalah harta Mahira saja bukan yang lainnya. Tapi kenapa kamu malah jatuh cinta padanya. Sekarang lihat, kamu bahkan tunduk patuh padanya. Dan memilih mengabaikanku dan juga anakmu," sentak Irma.

"Kenapa kamu bicara begitu? Kenapa harus aku yang kamu salahkan? Saat ini keadaannya sangatlah berbeda. Tolong mengertilah Irma. Jika kamu terus-terusan merengek seperti itu. Lama-lama Mahira akan mengetahui semuanya dan mengambil semua kemewahan yang selama ini dia berikan padaku. Apa kamu mau hidup susah lagi seperti dulu? Jika kamu siap, maka tak masalah bagiku meninggalkan Mahira sekarang juga. Tapi konsekuensinya kamu tanggung sendiri dan jangan protes apapun padaku,"

Mendengar hal itu Irma merasa kesal kepada Panji. Lalu dia memilih pergi keluar dari kamarnya sembari membanting pintu.

"Wah, kenapa lagi dia? Jangan-jangan penyakitnya kambuh lagi Kak?" celetuk Dara.

"Husst, sudah diam. Jangan ikut campur. Mungkin mereka sedang ada masalah," sahut Hendra.

Panji tampak keluar dari kamar sembari menjinjing tas kerjanya.

"Kak Panji mau pulang?" tanya Dara.

"Iya, aku harus pulang sekarang. Mahira pasti sudah menungguku di rumah,"

"Iya Kak, buruan pulang gih. Kasihan kak Mahira, pasti saat ini dia sedang menunggu kepulangan Kakak,"

"Iya, nanti kalau kak Panji disini lama-lama, takutnya kak Mahira malah curiga. Nanti rahasia Kakak malah terbongkar," sahut Hendra.

"Kalian benar, yasudah Kakak pulang dulu. Mana Ibu?"

"Ada apa? Ibu sedang di dapur," seru bu Sita.

Panji menghampiri ibunya untuk berpamitan pulang.

"Kamu mau pulang sekarang?"

"Iya Bu. Takutnya Mahira sudah nungguin di rumah,"

"Yasudah hati-hati di jalan ya? Ingat, jangan sampai membuat Mahira marah, paham?" Panji mengangguk lalu mencium punggung tangan ibunya.

"Kamu sudah pamitan sama Irma?" Panji mengangguk berat.

Bu Sita menebak saat ini ada sesuatu hal yang mengganggu putranya.

"Ada apa? Cerita sama Ibu,"

"Tidak ada apa-apa Bu,"

"Jangan bohong. Aku ini Ibumu, aku juga yang melahirkanmu. Insting seorang Ibu itu kuat terhadap anaknya. Sekarang cerita ada apa?" Panji menatap tajam ke arah ibunya.

"Hufff, Irma marah sama Panji, Bu,"

"Marah? Memangnya kamu salah apa?"

"Irma melarang Panji pulang ke rumah Mahira. Dan meminta Panji tidur disini bersamanya. Tapi itu tidak mungkin Bu. Dari awal Panji sudah bilang, jika Panji sampai menikah dengan Mahira, maka konsekuensinya adalah Panji tidak akan bisa tinggal bersama Irma setiap hari. Karena bagi Mahira aku ini adalah suaminya. Dia tidak tahu apa-apa tentang kebohongan kita selama ini. Jika Panji tidak pulang otomatis Mahira akan curiga dan berpikiran yang bukan-bukan terhadapku. Aku mencoba memberi penjelasan kepada Irma, tapi dia malah marah," sahut Panji.

Bu Sita menunduk sedih, lalu mengajak Panji duduk.

"Ini semua kesalahan Ibu. Seandainya dulu Ibu melarangmu berpoligami. Mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Dan nasibmu tidak akan sesulit ini. Apalagi saat ini nama baik keluarga kita sedang dipertaruhkan demi menuruti keinginan Irma. Ibu menyesal kenapa dulu mengiyakan saran gila dari Irma, pada akhirnya hanya meninggalkan luka untuk kita,"

"Sudahlah Bu. Jangan menyalahkan diri sendiri. Panji yang bersalah karena kurang tegas sebagai seorang suami,"

"Sekarang Ibu tidak tahu harus berbuat apa. Ibu hanya bisa mendoakanmu semoga kamu bisa menyelesaikan semua ini dengan baik,"

"Iya Bu. Kalau begitu Panji pulang dulu ya. Ingat pesan Panji ya, tutup semua pintu. Jika ada yang mencurigakan segera telepon Panji. Nanti kita laporkan ke polisi,"

"Iya, Ibu mengerti," bu Sita memeluk Panji dan mengantarnya sampai ke ambang pintu.

Panji masuk ke dalam mobilnya dan bersiap pergi meninggalkan rumah ibunya. "Hati-hati dijalan ya Nak?" Panji mengangguk.

Mobil Panji melaju dengan cepat menyusuri jalan menuju ke rumah Mahira.

Dert dert dert

"Ada apa Alex? Sepertinya ada kabar bagus yang ingin kamu sampaikan padaku," ucap Mahira.

"Iya Non. Ini mengenai pak Panji,"

"Ceritalah, biar aku dengarkan," sahut Mahira.

"Barisan pak Panji sempat ribut dengan Irma,"

"Ribut? Tapi kenapa?" tanya Mahira.

"Karena Irma meminta pak Panji untuk tidur di rumahnya dan melarangnya pulang ke rumah Anda. Tapi pak Panji menolak dan berkata dia harus tetap pulang karena saat ini dirinya adalah suami Anda. Akhirnya mereka ribut. Pak Panji juga bilang, semua ini adalah kesalahan Irma, karena dia yang meminta pak Panji supaya menikah dengan Anda, dengan alasan capek hidup susah,"

Deg!

"Perlahan lama-lama akan terbongkar juga siapa yang benar dan siapa yang salah. Terima kasih informasinya Alex. Istirahatlah, besok kita rancang rencana baru. Malam ini biarkan aku berpikir dulu," sahut Mahira.

"Baik Nona, selamat malam,"

"Ya selamat malam,"

Panggilan pun berakhir, Mahira kembali meletakkan ponselnya di atas meja. Sejenak kemudian terdengar suara deru mobil Panji. Bergegas Mahira beranjak bangun dan mengintip dari jendela.

"Akhirnya dia pulang juga," Mahira menuruni anak tangga untuk menemui Panji.

Pembantu Mahira membukakan pintu untuk Panji. Lalu Panji masuk ke dalam rumah dan menghampiri Mahira.

"Halo sayang, kamu belum tidur?" Mahira menggeleng kepala.

"Gimana aku bisa tidur, mas Panji saja belum pulang," sahutnya yang langsung dibalas kecupan oleh Panji.

"Maaf ya, aku pulang telat. Tadi Mas mampir rumah Ibu. Karena ada masalah disana,"

"Masalah apa?" Mahira pura-pura tidak tahu.

"Beberapa hari ini ada seseorang yang mencoba meneror rumah kami. Ada saja cara mereka supaya kami merasa takut. Aku berencana ingin melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib. Tapi aku mau lihat dulu apakah teror ini akan berlanjut lagi atau berakhir sampai hari ini. Jika besok masih berlanjut maka Mas nggak punya pilihan lain,"

"Kira-kira siapa ya orang itu? Kenapa dia mencoba meneror rumah Ibu? Apa diantara kalian ada yang mempunyai musuh?" Panji menggeleng.

"Kami tidak pernah punya musuh sayang," sahut Panji.

"Yasudahlah, sekarang mas Panji mandi dulu. Biar aku siapkan makan malam untukmu," Panji mengangguk dan patuh kepada Mahira.

Bergegas Mahira pergi ke dapur untuk membuatkan steak daging sapi kesukaan Panji.

Mahira memang merasa kecewa kepada Panji. Namun dirinya terlanjur jatuh cinta kepada suaminya itu. Rasanya sulit bagi Mahira ingin menyerah dan membiarkan Panji kembali kepada Irma. Kini sebisa mungkin Mahira ingin membuat Panji merasa nyaman tinggal bersamanya. Dengan begitu lambat laun Mahira ingin Panji sendiri yang akan meninggalkan Irma tanpa ada campur tangan darinya.

Mahira tampak bersemangat membuatkan steak kesukaan Panji. Setelah matang Mahira pun menghidangkannya diatas meja. Panji yang sudah selesai mandi langsung turun ke lantai utama untuk makan malam bersama Mahira.

"Wah, aromanya enak sekali sayang," celetuk Panji.

"Iya dong. Ini adalah steak daging sapi pilihan yang aku beli khusus untukmu Mas,"

"Terima kasih ya?" Mahira mengangguk.

"Ayo duduk Mas, cepat cobain," Panji langsung duduk dan menyantap hidangan di depannya.

"Hmmm, enak sekali sayang. Bumbunya terasa banget, pokoknya mantap," melihat Panji sangat menikmati masakannya membuat Mahira semakin berat melepas Panji untuk Irma.

"Aku harus bisa mengambil hati mas Panji. Bagaimanapun caranya. Aku tidak rela jika Irma merebutnya dariku. Karena aku sangat menyayanginya. Aku sudah mencoba membencinya tapi ternyata aku tidak bisa. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dan sulit bagiku untuk melepaskannya," batin Mahira.

"Sayang, kenapa kamu melamun?"

"Tidak apa-apa kok. Aku merasa senang karena mas Panji menyukai masakanku,"

"Tentu dong. Apapun yang kamu masak, aku pasti menyukainya,"

"Terima kasih Mas," sahut Mahira.

Panji pun menyuapi Mahira, melihat Mahira begitu perhatian kepadanya membuat Panji merasa bersalah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status