***
"Apa pekerjaan kamu, Haikal?"
Haikal melirik Delia yang juga tengah menatapnya risau.
"Saya ... membantu Bapak dan Emak di sawah, Bu," jawabnya.
"Petani?" pekik Bu Sarah terkejut. "Kamu seorang petani, Haikal?"
Haikal mengangguk ragu sembari melirik Delia. Wajah Bu Sarah yang tetiba menegang membuat debar jantung Delia berdetak tak karuan. Wanita cantik dengan make up tipis itu menautkan sepuluh jemarinya. Risau. Delia bisa menangkap jawaban yang akan Bu Sarah lontarkan melalui mimik wajah Sang Ibu.
"Ibu tidak menyangka kalau pria yang akan kamu kenalkan pada kami adalah seorang petani, Del." Bu Sarah menarik ujung bibirnya sinis. "Kamu ini sarjana, Delia, lulusan terbaik di Universitas Surabaya. Bisa-bisanya bawa calon suami yang ...." Perkataan Bu Sarah terhenti. "Astaga ... dia tidak punya pekerjaan, Delia!"
"Maaf, Bu ... tapi saya bekerja."
"Iya, tau! Bekerja sebagai petani kan?" Bu Sarah terkekeh. "Bagi keluarga kami, petani itu bukan pekerjaan, Haikal. Pekerjaan itu yang bergaji tinggi. Kalau cuma membantu di sawah, itu bukanlah pekerjaan. Gak ada duitnya," kata Bu Sarah sarkas.
"Bu ...."
"Ibu bicara benar, Del. Petani itu gak punya masa depan, mau jadi apa kamu kalau menikah sama Haikal?"
Haikal menatap Delia yang sedang menunduk menyembunyikan wajah. Cairan bening bergelayut di mata Delia, tidak menyangka jika Sang Ibu akan mempermasalahkan pekerjaan pria yang dicintainya.
"Tidak masalah meskipun petani, Bapak setuju," ucap Pak Handoko, berhasil membuat Delia mengangkat kepalanya. "Uang bisa mereka cari berdua, Bu. Bapak yakin kalau Haikal ini pria baik," imbuhnya.
"Baik saja tidak cukup,"sahut Bu Sarah ketus. "Jaman sekarang menikah butuh duit, Pak! Bapak mau Delia menikah secara sederhana karena calon suaminya yang tidak mampu?"
Pak Handoko menatap Delia lamat-lamat. Pria paruh baya itu paham sekali dengan sifat Delia. Tidak mungkin bungsunya itu membawa seorang pria tanpa pertimbangan yang matang. Pak Handoko mengerti, Delia tidak salah pilih.
"Mending jadi perawan tua daripada menikah sama petani, Delia. Sudahlah miskin, gak punya masa depan, buat apa kamu menghabiskan masa tua dengan pria seperti itu, bodoh!" Suara Fatimah bagai belati yang menggores hati.
Delia melayangkan tatapan sengit pada kakak keduanya. Fatimah. Wanita berusia matang yang seharusnya sekarang sudah menikah. Namun sayang, terlalu pemilih membuatnya sulit mendapatkan pria yang bisa mendampingi hidupnya. Apalagi mulutnya yang pedas membuat beberapa pria memilih mundur sebelum cacian dan hinaan keluar dari bibir Fatimah yang merona.
"Saya akan bertanggung jawab penuh atas hidup Delia, Pak, Bu ... Insya Allah, saya akan berusaha membahagiakan dia, saya berjanji."
Bu Sarah mencebik sementara Fatimah terlihat sedang tertawa lirih. Geli mendengar janji yang Haikal lontarkan.
"Pokoknya Ibu tidak setuju!" ucap Bu Sarah lantang. "Bapak tidak bisa memaksa Ibu, sekali Ibu tidak merestui maka selamanya akan begitu."
"Amit-amit punya ipar petani, kalau Bapak terima lamaran dia, fix ... Bapak mau kita semua malu."
"Pekerjaan Haikal tidak hina, Nduk," ujar Emak Karti yang sudah terlalu lama diam. "Uang yang dia dapatkan juga halal," imbuhnya.
"Halal juga kalau sedikit gak bisa bikin bahagia," timpal Fatimah ketus.
Emak menggenggam jemari Haikal dengan sangat erat. Hatinya berdenyut nyeri, namun apa yang bisa ia lakukan, Haikal memanglah hanya seorang petani. Juga anak petani.
"Angkot siapa ini, Bu?"
Terdengar suara dari depan. Jaka, kakak pertama Delia berdiri di ambang pintu, sementara Meisya, sang istri berdiri di belakang Jaka dengan menenteng tas branded.
"Oh, ada tamu ternyata," ucap Jaka tak acuh. Pria itu melenggang masuk tanpa menatap Haikal dan kedua orang tuanya. "Siapa mereka?"
"Jangan-jangan pria yang mau melamar Delia, dia orangnya, Bu?"
Bu Sarah mengangguk malas. "Iya," jawabnya lirih.
"Ck, yang benar saja." Jaka tergelak, disusul dengan gelak tawa Meisya yang membuat Delia semakin muak melihat sikap keluarganya. "Kesini bawa angkot, dapat pinjam?"
"Iya, Bang," jawab Haikal jujur.
"Bikin malu saja kamu, Del!" Jaka menggerutu. Matanya menatap tajam ke arah Haikal yang duduk dengan ekspresi datar. "Kerja dimana kamu?"
Haikal hendak membuka mulutnya, namun Fatimah sudah lebih dulu menyambar, "Petani, Mas." Perempuan yang usianya menjelang tiga puluhan itu menyembunyikan tawanya. "Delia dilamar petani." Kali ini Fatimah tergelak, bahkan Meisya juga ikut menutup mulutnya dan tertawa diam-diam.
"Serius, Bu?"
Bu Sarah lagi-lagi hanya mengangguk.
"Ha ... ha ... ha ... kamu menolak lamaran teman Mas, tapi mau menerima seorang petani, otakmu masih berfungsi kan, Del?"
"Mas, cukup!" Air mata Delia berjatuhan. "Mas Haikal dan keluarganya sudah cukup terluka dengan cibiran dan hinaan dari kalian semua. Cukup! Mas Jaka, Mbak Fatimah, Ibu ... kalian bikin aku kecewa."
"Heh, Delia! Bukan kami yang bikin kamu kecewa, tapi kamu yang sudah bikin kami malu! Kamu mau menikah sama petani, itu pilihan yang bodoh!"
"Mas Jaka!"
"Apa?!" sahut Jaka sengit. "Mau marah, hah?"
"Dek, sudah gak apa-apa," kata Haikal lembut. "Tenanglah!"
Delia menoleh. Wajahnya yang basah tidak lantas membuat keluarganya merasa iba. Justru Emak yang ingin sekali memeluk perempuan muda itu agar tidak menangis.
"Nduk, tenanglah," imbuh Bapak. "Kami kesini dengan maksud baik, tidak ingin ada keributan."
"Dasar gak tau diri!"
"Jaka, diam!" Pak Handoko membentak. Sudah sangat lama pria paruh baya itu diam sambil memperhatikan wajah Haikal dan kedua orang tuanya. "Kalau kedatangan kamu cuma mau marah-marah, pulanglah! Lagipula yang memutuskan apakah lamaran Haikal diterima atau tidak itu bukan kamu. Delia dan Bapak yang akan memutuskan."
"Pak, jangan gegabah ... dia cuma petani loh ...."
"Lalu kenapa kalau Haikal petani? Berhak kamu menghina dia hanya karena dia seorang petani, hah?" Pak Handoko naik pitam. "Bapak sejak tadi diam bukan berarti mendukung sikap kalian semua. Bapak ingin melihat seperti apa sikap Haikal, dan Delia memang tidak pernah salah pilih."
Delia mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata. "Pak ...."
"Bapak minta maaf atas nama keluarga, maaf karena sudah menggores luka di hati Nak Haikal dan keluarga."
"Bapak!" Bu Sarah memekik. "Ibu gak setuju kalau Delia menikah sama petani! Titik!"
"Kalau begitu Delia tidak perlu restu Ibu. Bagaimana?"
Mata Bu Sarah melotot. Urat-urat di lehernya menegang sementara dadanya terlihat naik turun. Kentara sekali jika emosi sedang menguasai hati Bu Sarah.
"Bapak keterlaluan!" seru Bu Sarah.
"Lalu sebutan apa yang pantas untuk kalian? Pernah Bapak mengajari kalian semua buat menghina orang lain, hem?" Pak Handoko menguliti satu per satu anggota keluarganya. "Haikal dan keluarganya datang baik-baik kesini, harusnya kalian sambut dengan ramah, bukan malah menghina ...."
"Pak, sudahlah, jangan membuang-buang waktu ...."
"Tutup mulutmu, Fatimah!" sergah Pak Handoko ketus. "Delia yang berhak memutuskan pilihannya, bukan kamu!"
Delia tersenyum samar. Hatinya yang memanas perlahan terasa begitu sejuk mendengar Pak Handoko membela Haikal di depan keluarganya. Setidaknya, ada setitik harapan untuk impiannya hidup bersama Haikal.
"Dengarkan Ibu, Del ... kalau kamu menerima lamaran Haikal, itu artinya kamu siap keluar dari rumah ini," ancam Bu Sarah tidak main-main. "Ibu tidak mau menganggapmu sebagai anak. Tidak akan pernah!"
BersambungENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te