Share

Part 3. Tentang Rianti

Tunggu!

Sekarang sudah lewat tengah malam. Belum lagi, ada rintikan gerimis disertai udara yang dingin. Mungkinkah ada seorang wanita berdiri di tengah jalan yang sepi?

Amelia menggeleng pelan mencoba percaya akan ucapan suaminya jika dia hanya berhalusinasi. Akan tetapi, berulang kali dia mengerjapkan mata, wanita misterius itu memang masih ada di sana.

"Kenapa wanita itu masih di sana?" gumamnya lirih sambil mundur selangkah. Namun, dia memekik kaget ketika punggungnya menabrak benda di belakangnya.

Belum sempat dia menoleh, sepasang lengan kekar berkulit putih kemerahan dengan bulu halus memeluknya dari belakang. 

"Wanita lagi," sahut Inno sambil berdecak. 

"Mas, bikin aku kaget saja!" protes Amelia sambil melepas pelan tangan sang suami dari tubuhnya. 

"Kamu itu kenapa? Jam segini bukannya tidur malah melamun di tepi jendela?" 

"Mas ..." ucap Amelia tercekat. 

"Berhalusinasi lagi, berkhayal lagi?" sindir Inno dengan nada datar disertai gelengan kepala.

Amelia memilih diam tak mendebat.

Dia membalikkan badan, menatap sekilas suaminya. "Mas, kenapa ikut bangun, lebih baik tidur lagi sana." 

"Terus, kamu mau melanjutkan khayalan kamu lagi, begitu?"

Amelia tak menjawab. Dia kembali mengarahkan pandangan ke luar jendela.

Wanita tadi masih di sana, berdiri mematung di bawah rintikan gerimis. Amelia menarik tangan suaminya tanpa menoleh. 

"Mas, perhatikan ke sana!" ucapnya sambil mengarahkan telunjuk ke suatu arah.

Inno mengikuti arah pandangan sang istri dengan sebelah alisnya terangkat.

"Di depan pagar rumah Bu Ismi! Di sebelah kanan tanaman bunga tasbih itu, loh. Mas Inno lihat, kan?" Inno mengerutkan kening menatap istrinya.

Tidak!

Inno tidak melihat apa pun, kecuali rerimbunan bunga tasbih yang tumbuh subur.

Bahkan, dia mencoba menajamkan matanya. Tetapi, memang dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh istrinya! Lelaki itu menggeleng sambil mengusap tengkuknya yang terasa berat.

"Nggak, aku nggak lihat apa pun. Kecuali bunga tasbihnya Bu Ismi," jawabnya sambil menggedikkan bahu acuh. "Sudahlah, waktunya shalat tahajud, jangan ngawur lagi, Sayang." 

"Aku nggak ngawur, Mas. Susah mau menjelaskan ya kalau Mas Inno nggak pernah percaya. Tapi, aku benar-benar melihatnya, Mas. Dia ... dia masih berdiri di sana," kata Amelia masih bersikeras.

Inno mendesah kasar, dengan cepat tangan kirinya terjulur menarik gorden hingga kembali tertutup, lalu menggandeng tangan sang istri untuk menjauh dari dekat jendela. 

"Dengarkan aku, Amelia!" kata Inno tegas. 

"Mas ... "

"Cepat wudhu dulu, aku tungguin," titahnya tak ingin lagi dibantah. Sungguh, Inno tak ingin berdebat membahas hal aneh yang tidak masuk di akal seperti itu. 

Amelia tak berani bersuara. Dia mengayunkan langkahnya menuju kamar mandi dengan wajah cemberut. 

Setelah selesai shalat tahajud dan bertadarus, Inno membawa istrinya duduk di tepi tempat tidur. 

"Please, Sayang," ucap Inno lirih memulai pembicaraan sambil menangkupkan kedua belah telapak tangannya pada kedua sisi wajah istri cantiknya. Dipandangnya wajah cantik dengan pipi chubby seperti boneka Jawa itu dalam-dalam. 

"Aku minta sama kamu, jangan berpikir yang aneh-aneh lagi ya, beberapa hari ke depan InsyaAllah kita akan pergi. Kamu tentu nggak mau kan kuliah kamu gagal hanya karena halusinasi kamu ini?" ucapnya dengan pelan. 

Amelia masih terdiam. Dia tidak berani menyela ucapan suaminya yang masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan katakan.

Inno melanjutkan ucapannya masih dengan nada rendah dan tenang, "Nggak semua orang bisa kuliah di Statale Di Milano, apalagi lewat jalur beasiswa seperti kamu, jadi jangan sampai kamu mengubur mimpimu."

Amelia mengangguk samar.

"Bukan aku nggak percaya dengan hal-hal gaib, semua memang ada tapi kamu nggak perlu sebingung ini, cukup kamu berdo'a. Barangkali itu hanya jin yang akan melemahkan imanmu, kamu tahu itu kan, Sayang? Kita ada Allah sebagai tempat minta pertolongan supaya kamu tenang."

Nasehat dan ucapan lembut suaminya membuat hatinya terasa tenang. Perlahan, Inno menarik tubuh sang istri ke dalam pelukannya.

Amelia begitu beruntung memiliki suami yang selalu melindungi dan sabar dalam setiap menghadapi moodnya yang berubah-ubah. Dia mengulum senyum sembari menyandarkan kepalanya di dada bidang laki-laki yang terlihat lebih tampan dengan balutan baju koko itu. 

"Mas, boleh tanya nggak?" tanyanya sambil mendongak, menatap wajah tampan yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.

Inno menunduk, sehingga beradu pandang dengan tatapan iris mata sehitam arang itu. "Iya, tentang apa?" 

"Tentang rumah Om Rudi yang kita sewa itu," ucapnya ragu dengan harap-harap cemas Inno akan mendebatnya lagi.

Inno mengerutkan kening. "Ada apa dengan rumah Om Rudi?" tanyanya.

"Selama kita menempati rumah itu, Mas Inno merasakan ada hal aneh atau janggal, gitu?"

Inno terdiam sesaat lalu menggeleng. "Nggak ada, biasa saja, bahkan karyawan kantor juga nggak ada yang komplain." 

"Sebelumnya, yang tinggal di sana siapa?" 

"Rumah itu kosong. Kan baru jadi. Rumah itu niatnya akan ditempati Evan setelah menikah, tapi ..." Inno menggantung kalimatnya yang membuat Amelia semakin ingin tahu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status