Share

Peringatan dari Suami

"Kenapa kau bersedih menikah denganku?"

"Loh?" Rachel reflek menoleh kaget pada pria bertopeng di depannya. Dia mengerjabkan mata beberapa kali sembari melogo keheranan. "Itu … harusnya aku yang tanya, Tuan. Kenapa Tuan ini menikahiku? Padahal aku ini kan masih kuliah dan terlalu muda untuk anda. Lagian tampang aku pas-pasan dan …-" Rachel menoleh ke arah dadanya, "rata," lanjutnya dengan mencicit pelan.

Kaivan menoleh ke arah dada perempuan itu, kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya ketika Rachel kembali mendongak.

Tidak rata. Menonjol dan mungkin pas digenggaman Kaivan.

'Holyshit! Apa yang aku pikirkan?!' Kaivan mengerjab beberapa kali, lalu kembali menatap perempuan yang telah sah menjadi istrinya ini.

"Aku menikahimu karena ayahmu punya hutang padaku." Kaivan menjawab tanpa beban. Dia mendudukkan dirinya di pinggir ranjang, bersedekap di dada dengan menatap datar pada Rachel yang masih berdiri.

"Jadi aku penebus hutang, Tuan?" tanya Rachel dengan air muka syok dan tak terima. Padahal ayahnya juga sudah menjelaskan ini, namun rasanya tetap tak terima saja jika Kaivan mengatakan hal tadi.

"Humm." Kaivan berdehem pelan.

"Kenapa bukan Melisa saja? Kan seharusnya dia?"

"Aku tidak suka bekas." Kaivan membuka arloji lalu meletakkannya di atas nakas. Suaranya memang santai dan mengalun stabil, akan tetapi kata-katanya tajam dan menusuk. "Dan jangan protes lagi. Harusnya ayahmu sudah menjelaskan semuanya."

"Yasudah. Kalau begitu jangan tanya juga kenapa aku mau menikah dengan Tuan. Pasti Tuan juga sudah tahu. Aku terpaksa! Tuan mengancam Ayahku dengan menghancurkan bisnis keluarga. Mamaku kan sedang di rumah sakit, butuh biaya banyak untuk berobat. Kalau Tuan menghancurkan bisnis kami, uang berobat Mama apa? Jadi aku terpaksa. Terpaksa sekali!" cerocos Rachel. Meski takut pada sosok di depannya ini, tetapi untuk urusan mencerocos Rachel tetap berani.

Yeah, dia memang banyak bicara.

"Anak yang berbakti, heh?!" ejek Kaivan. Dia tiba-tiba berdiri, kembali berhadapan dengan Rachel-- dengan jarak yang sangat dekat.

Rachel sendiri tak bisa kemana-mana, di belakangnya ada nakas dan lagipula tubuhnya terasa kaku dan gugup jika berada di jarak yang sedekat ini dengan Kaivan.

Rachel membelalak kaget ketika Kaivan secara tiba-tiba melingkarkan tangan di pinggang Rachel. Dia syok!

"Meskipun kau terpaksa menikah denganku, aku tidak peduli, Nona Rachel Queenza. Kau tetap istriku dan kau harus patuh padaku. Jika tidak-- bukan hanya bisnis keluargamu yang hancur, ibumu juga bisa dalam bahaya," bisik Kaivan dengan penuh ancaman-- tepat di daun telinga Rachel.

Tanpa peduli respon perempuan itu, Kaivan langsung meninggalkan Rachel. Dia masuk dalam kamar mandi untuk menyegarkan diri. 

Rachel sendiri, dia mematung di tempat dengan jantung yang berdebar kuat. "Aku pikir wajahnya saja yang buruk, ternyata hatinya juga cacat. Monster!" gumam Rachel, mengerjab beberapa kali untuk menyembunyikan air matanya. Kenapa harus mamanya dibawa-bawa dalam masalah ini? Kaivan kejam sekali!

***

"Wanita jorok!" gumam Kaivan ketika melihat Rachel sudah tertidur di ranjang-- masih mengenakan gaun nikah dan belum membersihkan riasan diwajahnya juga. "Kopernya bahkan belum ia bereskan. Cik." Kaivan menarik koper perempuan itu kemudian membawanya dalam wardrobe room.

Brak'

Dia menendangnya dengan kasar, kesal bercampur marah. Wanita apa yang ia nikahi ini?!

"Jika bukan karena mendesak, aku tidak akan menikahi wanita sinting itu," gerutu Kaivan dengan menghampiri koper yang ia tendang tadi.

Dia memilih membereskan pakaian dalam koper tersebut-- memasukkannya dalam lemari dengan rapi. Yeah, setidaknya perempuan itu tak mengatainya buruk rupa seperti wanita lainnya.

Dia mengambil baju ganti serta dalaman perempuan itu kemudian keluar dari sana.

"Hah." Kaivan menghela nafas, menatap wajah polos Rachel yang terlelap. Dia memang menikah untuk suatu tujuan-- bukan untuk punya istri yang mengurus dirinya atau mendapat keturunan juga. Namun …-

"Aku seperti mengasuh bayi." Kaivan bergumam pelan, membuka topengnya-- memperlihatkan wajah tampan dan sangat mempesona, terpahat begitu rapi dan tanpa cela.

Luka bakar atau bekas luka sama sekali tak ada, seolah omongan orang tentang wajahnya hanyalah mitos belakang.

Yah, wajahnya memang sudah membaik-- lima tahun yang lalu setelah tiga bulan dari kecelakaan. Tentu saja, hanya luka terbakar biasa. Dengan treatment dari dokter, wajahnya sudah kembali membaik.

Namun tidak dengan percintaannya. Ucapan perempuan itu bahkan membekas hingga sampai sekarang-- membuat Kaivan trauma dengan mencintai dan wanita. Akan tetapi …

"Aku menikah dengan anak kecil yang bahkan tak bisa mengurus dirinya sendiri." Kaivan mengambil pembersih wajah. Kemudian dia membersihkan make up Rachel. Setelah itu dia melucuti gaun yang melekat di tubuh perempuan itu.

Untuk hal itu dia mematikan lampu. Bagaimanapun dia tidak meminta izin untuk melihatnya, dia menghargai dan tak ingin mencuri-curi pandang juga.

"Agkhh …." Tiba-tiba Rachel merintih.

Kaivan menatap tangannya dan langsung menariknya. Sial, tentu saja perempuan ini merintih. Tangannya salah pegang.

"Fuck!" umpat Kaivan dengan meneguk saliva. 'Kenyal sekali.' batin Kaivan yang sudah panas dingin sendiri. Dia buru-buru memakaikan piyama Rachel. Lalu setelah itu dia tiba-tiba ke kamar mandi.

Brak'

Rachel seketika membuka mata, membelalak horor dalam cahaya remang sembari reflek memegang buah dadanya yang sempat dipegang oleh Kaivan.

"Di--dia niatnya apa?" Rachel tak bisa berpikir baik. Awalnya dia terbangun ketika Kaivan membersihkan wajahnya. Di cukup kaget namun menolak bangun. Ketika lampu di matikan dan pria itu melucuti gaunnya-- Rachel ditelanjangi! Itu membuat Rachel semakin panas dingin, takut dan ingin pingsan.

Tetapi … pria itu memasang kembali pakaian di tubuh Rachel. Artinya Kaivan hanya ingin mengganti bajunya, bukan enak-enak yang seperti Rachel takutkan. Lalu tiba-tiba tangan pria itu meraba-raba saat ingin mengancing piyama. Oke, mungkin karena gelap.

"Tapi dia meremasnya. Kalau sengaja ngapain diremas?" Rachel benar-benar syok sekarang. Mungkin jika Rachel tak bersuara, Kaivan pasti masih melakukan itu pada dadanya.

Ceklek'

Mendengar suara pintu, Rachel buru-buru menutup mata. Sedangkan Kaivan, dia berjalan ke ranjang dan  membaringkan tubuhnya di sana. Dia menoleh sejenak pada perempuan yang berbaring di sebelahnya.

"Cik." Kaivan berdecak dan memilih menarik Rachel dalam pelukannya. "Setidaknya dia berfungsi menjadi guling priabadiku," gumam Kaivan dengan pelan sembari menutup mata.

Bersaman dengan Rachel yang membuka mata dan mendongak ke arah arah Kaivan. 'Guling pribadi? Enak saja!' batin Rachel.

Namun hanya dalam batin karena kenyataannya dia juga tak berani protes.

Deg'

Jantung Rachel tiba-tiba berdebar kencang. Dia bagi sadar jika Kaivan tak memaki topeng dan wajah pria pria itu …-

'Aku tidak bisa lihat dengan jelas. Luka bakarnya ada di mana yah?' batin Rachel. 'Tapi dari siluet wajahnya, dia tampan. Astaga, bukan tampan melainkan sangat tampan. Aku sudah curiga dari awal sih karena sebelah wajahnya saja tampan. Apalagi seluruh. Trus luka bakar, memangnya siapa yang peduli. Cuma bekas saja juga. Harusnya dia tak menutupinya dan membiarkan siapapun melihatnya. Apa dia insecure yah?'

***

Kaivan bangun lebih pagi,tentunya untuk menghindari Rachel melihat wajahnya. Setelah rapi dengan tuxedo mahalnya, dia keluar dari wardrobe room.

Dia cukup kaget karena tak menemukan Rachel di ranjang. "Pagi juga dia bangun," gumam Kaivan dengan berjalan ke arah meja rias. Dia duduk di sana sembari mengenakan arloji. Namun pandangannya teralihkan ketika melihat sebuah tas dan sebuah flashdisk.

Kaivan mengambil benda kecil tersebut kemudian membawanya dari sana. Setelah melakukan sesuatu pada benda kecil itu, Kaivan kembali dalam kamar dan menemukan Rachel yang sudah rapi. Kaivan dengan santai meletakkan flashdisk tadi di tempat semula.

"Ichi."

Rachel yang sedang mengenakan kaos kaki unyu-unyu favoritnya, menoleh seketika pada Kaivan. Kemudian dia celingak-celinguk, setelah itu kembali menatap Kaivan dengan wajah bingung dan gugup.

Oke, masalah tadi malam dia-- sebenarnya dia tak bisa melupakannya. Tetapi dia berusaha untuk bersikap santai dan biasa saja. Entah Kaivan sengaja atau tidak, yang jelas Rachel berusaha untuk tak menyinggungnya. Dia malu bercampur takut juga!

"Tuan memanggilku?" tanya Rachel dengan suara gugup. 'Astaga, kenapa kejadian tadi malam nggak bisa hilang dari pikiran aku?! Aku gugup lah! Mana nih pria bertopeng nggak merasa bersalah dan biasa saja lagi.'

"Humm, kemari."

Rachel dengan patuh menghampiri suaminya. Entahlah, dia juga heran kenapa dia mau-mau saja. Mungkin karena efek takut pada Kaivan.

"Tuan, Ichi siapa?" tanya Rachel memberanikan diri. Sudah dua katakan, meskipun dia takut tapi untuk urusan mencerocos dia tak akan bisa berhenti. Kecuali dia sudah benar-benar di puncak rasa takut.

"Kau."

"Namaku Rachel, Tuan. Bukan Ichi." Rachel mencicit pelan, menunduk tetapi terus mencuri pandang pada wajah suaminya yang setengah ditutupi oleh topeng.

"Terserahku." Kaivan bersedekap angkuh, menaikkan sebelah alis sembari menatap datar pada perempuan cantik di depannya. "Ingat! Aku suamimu dan kau harus patuh padaku," tambahnya dengan suara dingin yang begitu menusuk hingga ke tulang-tulang Rachel-- membuat Rachel menunduk dalam dan meneguk saliva karena takut.

Aura Kaivan sangat menyeramkan dan mendominasi diri Rachel. Itu membuat Rachel menggigil dan juga takut.  

"I--iya, Tuan." Rachel mengangguk pelan dengan meremas jemarinya sendiri. Pria bertopeng ini sangat menakutkan bagi Rachel!

"Pertama, berhenti memanggilku Tuan. Kau istriku, bukan pelayanku."

Rachel mengangguk patuh.

"Kedua, kau boleh melakukan apapun di rumah ini. Tetapi tidak dengan penasaran dengan luka di wajahku. Jangan pernah menyinggungnya atau kau akan tahu akibatnya."

Suara Kaivan yang dingin terasa begitu mengancam bagi Rachel.

"Ketiga, kau sudah resmi menjadi seorang istri. Jadi berperilaku lah layaknya seorang perempuan yang bersuami. Jangan sampai kau dekat dengan pria di luaran sana! Aku tidak suka wanita jalang, paham?!"

Rachel menganggukkan kepala dengan cepat dan kuat. 'Astaga, jalang juga tidak mau menerimaku sebagai bagian dari komplotan mereka. Aku dekil lah.'

"Ini." Kaivan meraih tangan Rachel kemudian meletakkan sejumlah uang dan debit card di sana. "Jika kurang, minta padaku lagi."

"Wahhh …." Rachel menatap berbinar pada uang pemberian Kaivan. "Kalau begini, Ayah tidak perlu lagi membayar UKT semester depan. Ini cukup."

"Kau bilang apa?" Kaivan tiba-tiba  menatap tajam dan tak suka pada Rachel. "Menurutmu, apakah wanita yang sudah menikah, biaya hidupnya tetap ditanggung oleh ayahnya?"

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Danny Khoiriyah
tanggung jawab sekaleh manusia bertopeng ini,,,
goodnovel comment avatar
Agus Roma
Rachel polos halal di anggurin
goodnovel comment avatar
CacaCici
♡(> ਊ <)♡(≧▽≦)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status