Share

Bab 3

Di depan kamar Nattaya, lelaki bermata dalam itu berusaha menutup kamarnya dengan sekuat tenaga. Menghalangi agar Amira tidak masuk dan menghajarnya habis-habisan. Dia memang sempat mengejek Amira, dengan menunggunya di depan pintu sebelum menutup pintu ketika kakaknya itu tinggal beberapa langkah lagi mendekatinya.

Jadilah, saat ini terjadi dorong-dorongan di antara keduanya. Nattaya yang berusaha menutup pintu dan Amira yang berusaha mendorongnya.

"Buka, Nata!" teriak Amira kesal. Dia sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melawan kekuatan Nattaya. 

"Aku ogah mati muda."

"Aku cuma mau bicara," geram Amira.

"Emang aku percaya?" Nattaya terkekeh.

"Beneran ...." Suara Amira mengecil. Kekuatannya mendorong juga berkurang. 

"Aku tau kamu bohong, Kak. Aku gak bakal terkecoh."

Amira memukul-mukul pintu dengan keras berkali-kali. Telapak tangannya terasa pedas. Mulutnya rapat menahan geram. "Buka!!!"

"Ogah!"

Amira berpikir cepat. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya dari mulut. Menarik dirinya dan mundur beberapa langkah. Membiarkan kesunyian terjadi.

"Kak," panggil Nattaya ragu. Tetap waspada ketika dia menutup pintu itu tanpa perlawan.

Bukannya Nattaya tidak tahu bahwa Amira masih berada di sana. Jika dia membuka pintu ini sedikit dengan gaya biasa, Amira akan langsung mendobraknya. Sudah berkali-kali kejadian ini terjadi dan dia pun bisa memperkirakannya. Namun, apa yang dia bisa lakukan, dia terlalu suka mengerjai Amira seperti ini. 

"Kak," panggil Nattaya lagi. Masih tidak ada jawaban.

Diputuskannya untuk membuka pintu sekarang. Menjaga jarak tubuhnya dari pintu sepanjang tangan. 

Tanpa diduga, Amira melancarkan tendangan di pintu hingga mengagetkan Nattaya. Membuatnya mundur beberapa langkah. Memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu untuk berlindung.

"Kak, kita bisa bicara baik-baik," nego Nattaya. Kedua telapak tangannya mengarah ke depan, seolah manangkis kemarahan yang dikobarkan oleh Amira.

"Kenapa kamu menceritakan tentangku pada Andi," desis Amira.

Nattaya menyeringai. "Dia kan, mau pedekate. Jadi, aku kasih spoiler dikit lah."

"Laki-laki itu freak, Nata." Amira berlari dengan tubuh sedikit condong ke depan. Tangannya yang memegang bantal terangkat dan diturunkan dengan kuat saat Nata sudah ada dalam jangkauannya.

"Dia baik." Nattaya berhasil menghindar dari pukulan bantal kakaknya.

"Dia berondong!" Amira terus mengejar. Pengejaran ini hanya berputar di dalam kamar saja. Nattaya terlalu lincah dan terus dapat menghindar dari pukulannya.

"Pemikirannya dewasa." Nattaya naik ke atas ranjang dan berjalan cepat menuju tepi ranjang lainnya, lalu turun. Amira mengikuti.

Sekitar lima belas menit aksi kejar-kejaran di kamar itu terjadi. Diikuti dengan teriakan kemarahan Amira. Beberapa kali Nattaya memang berhasil kena pukulan, tetapi tidak pernah berhasil tertangkap. Sampai mereka sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkannya. Duduk di tepi ranjang dengan baju yang basah oleh keringat.

Amira menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya berada di tengah ranjang dan kedua tangan terbuka lebar. Pandangannya menatap lesu langit-langit kamar. Napasnya ngos-ngosan, begitu juga dengan Nattaya.

Membuang lelahnya, Nattaya juga ikut berbaring di ranjang. Kepalanya bersebelahan dengan Amira, kakinya menjuntai di tepi ranjang. Dia sudah tahu, amarah Amira sudah menurun.

Beberapa saat tidak ada pembicaraan yang terjadi. Hanya deru napas lelah yang terdengar.

"Kenapa gak penjajakan dulu, sih, Kak sama Andi," kata Nattaya setelah mampu mengendalikan napasnya. Keringatnya yang tadi memenuhi wajah, sudah mulai mengering.

"Dia seusia denganmu. Apa kamu gak mikir?" 

"Kak," kata Nattaya sambil mengangkat sebelah kakinya ke ranjang. Separuh tubuhnya memutar menghadap Amira yang terlihat sedang menutup mata. "Percaya sama aku kali ini, deh. Coba aja dulu sama Andi. Dia gak bakal nyakitin kamu. Aku kenal dia udah lama."

Amira menggeleng masih dengan menutup mata.

"Dia suka Kakak udah lama. Bahkan dari SMA. Dan gak berubah sampai sekarang. Makanya, baru sekarang aku bisa kasih lampu hijau."

"Dia bukan tipeku."

Nattaya mengembuskan napas kuat, "Kakak gak perlu langsung setuju menikah dengannya. Coba kenalan dulu aja. Aku yakin, pandangan Kakak akan berubah tentangnya. Lagian Kakak juga harus udah move on. Udah terlalu lama ini."

Desahan kuat terembus dari hidung Amira. Dia kembali merebahkan kepalanya dan menatap kosong ke atas. Setelah putus dari Gilang, dia tidak pernah membuka hatinya pada lelaki lain. Putusnya hubungan mereka membawa sakit yang teramat dalam dan begitu lama terobati. Saat ini, meski dia sudah tidak menginginkan Gilang lagi, tak jarang saat mengingat lelaki itu, perasaannya masih terasa sakit, walau tidak sesakit dulu.

"Aku gak mau sama dia."

"Kenapa? Karena usia? Abaikan aja. Kalau emang jodoh, manusia bisa apa."

"Dia nyebelin tau," kata Amira dengan ketus. Terbayang kembali bagaimana mereka berbicara tadi.

"Itu cuman sama Kakak aja. Namanya juga grogi."

"Grogi?!" Amira tiba-tiba bangkit. "Gayanya begitu dibilang grogi? Dia bikin malu, tau."

"Ya, kan, kalau sama orang yang kita suka, emang kita sering bikin dia kesal biar menarik perhatiannya."

"Dia bukan anak ABG lagi, ya."

"Namanya juga belum pengalaman," bela Nattaya. "Dia gak pernah pacaran, lho, karena nungguin Kakak."

Amira terbelalak mendengar perkataan adiknya. Mulutnya terbuka tidak percaya. Bagaimana mungkin?

"Kamu bercanda, kan?"

***

Amira memutuskan untuk bertemu dengan Andi hari ini. Mencoba seperti yang disarankan Nattaya, saling mengenal, dimulai dari pertemanan. 

Teman janjian yang ditetapkan Amira adalah Solaria di Big Mall. Sudah lama dia tidak menikmati udang asam manis di sana yang begitu digilainya. Menyibukan diri dengan pekerjaan membuat pola hidupnya hanya berkutat, tidur, kerja, berkumpul di ruang keluar, makan di rumah. Sudah berbulan-bulan seperti itu. Meluangkan waktu sedikit seperti ini tidak ada salahnya memulai kebiasaan lama, window shoping dan memuaskan mata. 

Masih satu jam lagi waktu bertemu Andi. Sengaja dia membuat jadwal waktu seperti itu untuk menikmati kesendiriannya. Selain untuk bersantai, dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tingkah Andi yang tengil agar tidak mudah tersulut emosi. 

Mendekati waktu janjian pertemuannya, Amira membelokan diri ke stand Solaria dengan tidak menambahkan kecepatan langkahnya. Dia hampir saja berteriak keras saat tiba-tiba lengannya diraih oleh seseorang. 

"Gilang," desis Amira. Wajahnya seketika kaku. 

"Apa kabar, Mir?" tanya Gilang dengan senyum lebar. 

"Baik sebelum ketemu kamu."

Amira ingin melangkah pergi dan meninggalkan Gilang begitu saja. Melihat wajah lelaki itu saja, membuat dada wanita itu bergemuruh hebat. Waktu terkadang tidak menyembuhkan luka. 

"Bisa kita bicara?" Gilang kembali meraih lengan Amira  untuk menghentikannya. 

"Lepasin!" Suara Amira dingin. 

"Nggak, sebelum kita bicara," ucap Gilang serius. "Kamu selalu menghindariku."

Amira menepiskan tangan Gilang kasar. "Karena aku belum punya urusan denganmu."

"Tapi aku ada."

"Bukan urusanku." Amira kembali melangkah.

"Sepuluh menit, aku mohon kasih aku kesempatan bicara." Gilang langsung menghadang Amira. 

"Aku sibuk, gak punya waktu." Amira menggeser tubuhnya, tetapi Gilang kembali menghalangi.

"Aku akan bertunangan."

Seketika saja tubuh Amira seperti dijalari es yang membuatnya membeku. Menusuk-nusuk hatinya yang memang masih terluka akibat kejadian setahun lalu. Bagaimana mungkin seseorang yang bersalah masih bisa bahagia, sedangkan dia masih belum bisa menutup luka?

"Aku gak mau kamu menggagalkan hubunganku kali ini."

Mencoba menguasai diri, Amira sekuat tenaga menenangkan hati. Dia menolehkan kepalanya dan menatap Gilang dengan tajam.

"Apa aku perlu memberi selamat?" ucap Amira sinis. "Atau aku bantu kamu buat pengumuman di papan reklame?"

Gilang membasahi bibirnya sebelum berucap, "Kamu tahu maksudku, Mir. Jangan ganggu kehidupanku lagi."

Tawa Amira meledak. Beberapa orang bahkan langsung menatapnya. "Kamu gak kege-er-an, kan? Aku gak pernah ngurusin hidupmu."

"Kamu selalu berbicara dengan wanita yang kudekati dan mengumbar kesalahanku pada mereka."

"Hanya dua kali, itu pun sudah lama," sanggah Amira. "Dan itu pun dalam rangka untuk menyelamatkan mereka."

"Kamu dendam, Mir. Mau sampai kapan?"

"Sampai kamu berenti cari muka sama orang-orang yang kita kenal dan mengatakan kalau kita putus karena aku bosan denganmu lalu pergi. Bukan karena kamu selingkuh."

"Aku bicara gitu karena ingin melindungi kamu juga. Biar aku dapat buruknya."

"Hah!" sentak Amira. "Kamu emang buruk, no debat! Kamu pikir perbuatanmu baek? Dari sudut mananya?"

"Oke, aku emang salah." Gilang menarik napas panjang. "Tapi aku sudah berkali-kali minta maaf sama kamu. Aku bahkan mau lakuin apa aja biar kamu bisa memaafkanku."

"Dulu aku bilang kamu mati aja, biar kumaafkan. Kenapa sekarang masih hidup aja."

Gilang mengusap tengkuknya. Baginya Amira kini begitu berubah. Sejak mereka putus, dia seperti melihat sosok wanita yang berbeda dari diri Amira. Dia tidak bisa lagi untuk diajak bicara, dibujuk. Hanya kemarahan yang dihamburkannya.

"Terakhir kali aku mau bilang, aku minta maaf, Mir," pinta Gilang dengan lemah. "Tolong kita akhiri kebencian yang ada. Kita melangkah menuju bahagia masing-masing."

"Seandainya kamu menderita, aku pasti bahagia."

"Aku memang gak pantas buat kamu," ucap Gilang mengabaikan kalimat Amira terakhir. "Padahal kamu selalu mendukung dan bersamaku, tetapi aku mengkhianatimu."

Amira menggosok-gosok telinganya, berpura-pura gatal.

"Untuk melangkah menuju hidup baruku, aku perlu maafku, Mir. Bisa?"

"Gak," sambar Amira langsung.

"Mir ...."

"Apa sebaiknya aku nyari tau siapa tunanganmu, ya?"

"Mir ...."

"Udah terlanjur kamu bikin pengumuman juga," kata Amira. "Video kamu di apartemen dulu masih aku simpan, lho."

"Kamu jangan macam-macam, Mir." Telunjuk Gilang mengarah tajam ke wajah Amira. "Aku sudah sangat bersabar dengan tingkahmu, ya."

"Aku melakukan apa sampai kamu perlu bersabar?" tantang Amira. "Bahkan aku belum ngapa-ngapain."

"Mir, move on. Biarkan aku bahagia."

Amira tersenyum sinis. "Kamu yang berbuat salah, kamu yang merasa perlu bahagia."

"Aku hanya ingin kita bermaafan dan melupakan semuanya. Termasuk, hapus video itu."

Amira terbahak dibuat-buat. "Nanti setelah aku tau siapa dia, aku akan mengirimkan video itu sama dia," ujar Amira setelah meredakan tawanya.

"Aku udah peringatkan kamu, ya, Mir." Gilang mencengkram lengan Amira. Kali ini dengan kekuatan. "Jangan uji kesabaranku."

Rasa sakit menjalari lengan Amira. Dia ingin menggeliat agar lepas dari kungkungan jemari Gilang. Namun, jika begitu, berarti dia kalah. Jadi, Amira menahan rasa sakit itu.

"Aku tidak peduli dengan kebahagiaanmu, Lang. Tunggu saja, tunggu saja," desis Amira.

"Pertunangan ini sangat berarti untuk seluruh hidupku."

"Bukankah itu jadi lebih menarik lagi?" Amira memasang wajah penuh semangat.

"Kali ini aku gak bakal diam."

Cengkraman Andi semakin kuat saja. Buku-buku tangannya yang melingkari lengan Amira memutih, tetapi kulit Amira sendiri memerah.

"Amira ...." panggil suara yang sudah dikenal Amira. Andi. Membuat hati perempuan berambut sebahu itu bersorak gembira. Sedikit lagi, jika tekanan Gilang makin menjadi, dia akan berteriak kesakitan. "Ada apa ini."

Gilang langsung melepas pegangannya. Kepalanya menoleh ke arah asal suara. Matanya masih menyorot tajam penuh kemarahan, tetapi perlahan-lahan meredup.

Andi melihat Amira yang mengusap tangannya. Bekas jari-jari Gilang membekas tebal di sana.

Berjalan cepat, Andi langsung berdiri menghadapi Gilang dengan sorot mata tajam. Membuat Amira menggeser di belakangnya.

"Apa yang kamu lakukan pada tunanganku," ujar Andi dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status