Amira memandang lelaki yang ada di sampingnya dengan perasaan kesal yang kentara. Andi balik memandangnya dengan senyum lebar yang dibuat-buat.
Setelah acara makan malam, mereka diminta untuk berbicara berdua saja. Jadilah, saat ini mereka duduk berdua di ruang tamu, sementara penghuni lain dan Bramono ngobrol asik di ruang keluarga rumah Amira. Suara mereka terdengar seperti gumaman dan sesekali ada tawa yang menghiasi.
"Kamu ngapain sih, ngomong seperti itu di hadapan orang tua kita," semprot Amira setelah sekian menit hanya ada kebisuan. "Kita ini belum kenal, lho. Lagian, kamu kemudaan buat aku."
"Umur cuma Angka, Mira."
"Heh, kamu gak kenal sopan santun, ya? Aku lebih tua dari kamu, jangan langsung nyebut nama." Amira mendelik.
Andi menyeringai lucu. Tidak merasa terintimidasi dengan sikap Amira yang mengobarkan permusuhan. Bahkan, dia terlihat menikmati wajah Amira yang berubah kian cemberut.
"Ya, kan, kalau kita udah nikah, gak mungkin lagi aku manggil kamu dengan embel-embel," ujar Andi terlihat polos. Membuat Amira ingin mengacak-acak wajahnya. "Aku belajar dari sekarang aja."
"Siapa yang mau nikah sama kamu!" tukas Amira. Dia menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Tapi aku mau nikah sama kamu, kok, Mir."
"Aku nggak!"
"Emang apa kurangnya aku, coba? Tampan, iya. Punya penghasilan, iya. Siap nikah, iya. Bisa muasin kamu di ranjang, iya."
Wajah Amira makin merah mendengar perkataan Andi terakhir. Separuh karena malu, separuhnya lagi karena kesal.
Bisa-bisanya lelaki yang masih terlihat seperti mahasiswa ini membicarakan tentang ranjang dengannya. Belum lagi sikap pedenya yang kelewat batas.
Apa dia setengah gila? Mana ada lelaki yang membanggakan diri dengan segamblang itu.
"Kurang kamu banyak, terutama masalah umur."
Andi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dahinya berkerut seperti sedang berpikir.
"Gimana kalau dicoba aja dulu, Mir?"
"Panggil aku Mbak Mira."
"Ketuaan, macam tante-tante aja."
Kesabaran Amira benar-benar diuji saat ini. Namun, dia berusaha untuk mengendalikan diri. Sepertinya Andi tidak cocok untuk ditekan dengan kemarahan, karena tingkahnya semakin menjadi. Jadi, Amira mencoba menghela dan mengembuskan napasnya untuk mengontrol emosinya yang mulai menggelegak.
"Gini, ya, Ndi...."
"Kamu boleh panggil aku Sayang kalau mau, Mir."
Amira bernapas dengan mulutnya untuk meredakan ledakan amarah yang menyirap hingga ke kepala. Beberapa kali dia memperingatkan dirinya dalam hati agar mengatasi cecunguk di depannya ini dengan pintar. Membuat Andi mau mundur dengan sendirinya.
"Andi, hubungan pernikahan itu gak main-main," kata Amira. "Itu hubungan sekali seumur hidup kalau bisa. Ada tanggung jawab yang harus diemban oleh kedua pasangan. Saling cinta agar mudah menjalani bahtera rumah tangga. Dan itu perlu saling kenal satu sama lain dan sama-sama saling menginginkan."
"Aku menginginkan kamu, kok. Aku juga cinta pada pandangan pertama malah."
"Pernikahan itu juga tidak bisa dilandasi oleh kebohongan."
"Lha, siapa yang bohong?"
"Kita baru ketemu sekali ini Andi."
"Tapi aku udah lihat kamu berkali-kali, Mir. Kamu aja yang gak sadar." Kedua alis Andi sedikit terangkat. Matanya memandang Amira penuh keseriusan. "Aku juga udah merasa mengenal kamu. Aku udah nyari tau tentang kamu lewat Nattaya, lho."
Amira memejamkan matanya. Berjanji pada dirinya setelah tamu pulang, akan menghajar Nata habis-habisan. Tidak ada ampun!
Mengatur napas kembali, Amira sedikit mencondongkan tubuhnya ingin berbicara serius kembali. Kedua lengannya diletakkannya di atas meja. Rencananya dia akan bersikap formal dan terlihat dewasa. Menautkan kedua tangannya dan memandang Andi lebih serius lagi. Namun, ternyata Andi melakukan hal yang tidak diduganya. Lelaki itu malah meraih ujung jemari Amira dan membuat wanita itu refleks menarik tangannya. Memundurkan tubuhnya ke belakang dan membelalak kaget.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Meyakinkan kamu."
Mata Amira mengerjap beberapa kali. Bibirnya membulat ingin menyemburkan kemarahan, tetapi tertahan oleh otaknya yang tiba-tiba blank. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan dalam gerakan kecil. Tampak bingung.
"Amira nikah aja sama aku, deh. Gak rugi, kok," kata Andi cengengesan. Dia menyandarkan punggungnya kembali ke kursi. Menatap Amira dengan lekat.
"Ya, rugi. Apa kata orang-orang kalau aku nikah sama berondong."
"Kan, aku tinggal kasih maharnya headset, biar bisa nyumpal telinga. Gak dengar lagi deh, omongan orang."
"Jangan ngadi-ngadi, deh." Amira melotot. Kesabarannya kian menipis.
"Siapa juga yang gitu." Andi memasang wajah cemberut yang dibuat-buat. "Aku serius banget, nih."
Amira menggeleng. "Aku menolak pernikahan ini."
"Tapi, aku nggak. Malah senang. Aku bilang orang tuaku ya, biar bisa nyusun tanggal pernikahan."
"Kamu tuli, ya?" sentak Amira.
"Gak, kok. Kalau aku tuli, gak mungkin dari tadi kita sahut-sahutan ngobrol."
"Lalu aku mesti pakai bahasa apa biar kamu ngerti, aku gak mau nikah sama kamu."
"Itu aku juga ngerti. Cuma kan, aku punya tekad kuat dan serius buat nikah sama kamu, Mir. Harus kuperjuangkan lah."
"Aku gak mau ya, dipaksa-paksa. Aku gak cinta sama kamu."
"Ntar juga kalau kamu udah nikah sama aku, kamu bakal cinta. Garansi 100 persen, deh."
Tak tahan lagi menahan diri, Amira menjerit. Matanya memerah menahan geram. Dikepalnya kedua tangan dan dihantamkannya ke atas meja. Memberi ancaman pada Andi tanpa suara.
Akan tetapi, bukannya merasa bersalah karena telah menjadi pemicu kemarahan Amira yang menggelegak, Andi malah tersenyum kecil. Berdiri mendekati Amira. Mengacak ujung kepalanya, seolah wanita itu menggemaskan seperti anak usia ABG.
Dengan garang Amira menepis tangan Andi. Membuat lelaki itu mundur beberapa langkah.
"Aku mau bilang marah-marah itu cepat tua, Mir," kata Andi dengan santai. "Tapi apa daya, kamu malah makin cantik kalau lagi marah gitu."
Seharusnya Amira menerima itu sebagai pujian. Banyak wanita akan meredakan kemarahannya saat dibilang begitu, bukan? Sebenarnya Amira pun akan luluh juga, tetapi jika itu keluar dari mulut orang yang tepat. Bukan dari Andi yang tak tahu malu.
"I love you...."
Andi tertawa dan buru-buru berjalan masuk ke rumah Amira. Sebelum berbelok di dinding yang memisahkan ruang tamu, Andi menghentikan langkahnya. Memandang ke arah Amira lagi dengan senyuman usil. Dia menunjukkan jarinya yang menyilang miring, jempol dan jari telunjuk, seperti bentuk heart ke arah Amira, sembari mengecup jauh.
"Dasar tengil!" umpat Amira. Mengacak-acak rambutnya. Membuang kegusaran di dada.
***
Begitu Andi dan ayahnya pergi dari rumah dan keluarga Sutomo mengantarkan kepergian mereka di teras rumah, Amira masuk lebih dulu. Menghampiri sofa dan memegang bantal sofa dengan kuat. Dia menunggu dengan gusar satu persatu keluarganya memasuki rumah. Memasang wajah datar saat kedua orang tuanya masuk saling bergandengan dan menatap garang pada adiknya, Nattaya.
Wajah Amira merah padam, seakan ada kobaran api yang mengelilinginya. Nata tahu, dia lah target dari kemarahan itu.
"Jangan lari Nata!" teriak Amira. Lalu ikut berlari saat langkah Nata kian terpacu.
"Ogah, aku mau ditimpuk ngapain diam!" balas Nattaya dengan suara tinggi yang sama. Namun, berbeda dengan suara Amira yang tajam, Nattaya mengakhiri kalimatnya dengan tawa. Mengejek kakaknya.
Ambarwati yang terhenti langkahnya di tengah ruangan, setelah disenggol Amira tidak sengaja ketika berlari, mendesah berat. Dipandanginya kedua anaknya yang saling kejar menaiki tangga rumah.
"Amira, Nata, kalian jangan seperti anak-anak lagi, dong," tegur Ambarwati sambil menggeleng-geleng.
"Dia yang mulai duluan, Ma!" Amira melemparkan bantal sekuat tenaga ketika Nata sudah berada di puncak tangga, sedangkan dia masih berada undakan tangga kelima. "Mati kamu malam ini."
"Amira!" Ambarwati merasa ngeri sendiri dengan suara anak perempuannya itu.
Sampai kini pun dia masih belum terbiasa dengan umpatan itu. Walaupun sadar, kedua anaknya tidak mungkin melakukan hal keji itu.
"Udah, biarin aja, Ma. Mereka gak bakal dengar," ujar Sutomo. Menarik tangan istrinya menuju kamar tidur mereka sendiri.
Gilang mengusap-usap punggung tangan Gladis dengan jempolnya. Keduanya sedang duduk di taman belakang rumah gadis itu. Hanya berdua dan ditemani sunyi dan desiran angin lembut yang melambaikan pohon rindang yang berdiri kokoh di sana."Yank, kamu gampang banget dekat sama orang baru, ya?" tanya Gilang setelah sesaat mereka dalam kebisuan.Gladis yang tadi melihat ke depan, memutar lehernya. Memandang tunangannya degan dahi berkerut. "Maksudnya?""Bukannya kamu baru mengenal Amira? Kok, sudah bisa main bareng aja sama dia seharian?"Gladis memang menceritakan kemana saja dia seharian tadi menghilang beberapa saat lalu kepada Gilang. Betapa senangnya dia mendapat teman baru yang bisa bersabar dengan dirinya, mengganggu hari libur wanita itu, dan menyeretnya untuk menemaninya seharian."Mbak Amira menyenangkan, kok?" Gladis tersenyum lebar, seolah tidak bisa menyembunyikan betapa puasnya waktu yang telah dia jalani hari ini. "Dia juga benar-benar tulus.""Kamu yakin dia seperti itu?" Seb
Bagaimana Amira merasa ilfil, apa yang diungkapkan Gladis tidak sesuai dengan ekspektasinya mengenai keburukan yang ada pada diri Andi.Gadis itu hanya mengumbar hal umum dari seorang lelaki, terlalu menuntut pada orang yang disayanginya, terlalu protektif, sedikit gila kerja, menarik diri kalau ada masalah karena ingin merasakannya sendiri, cepat emosi kalau orang yang disayangi Andi teraniya,Bagaimana mungkin hal tersebut dipikir Gladis merupakan hal negatif dari seorang Andi?"Itu bukan hal negatif, Gladis." Amira mendesah. Selama satu jam dia mendengar pemaparan Gladis dengan gemas."Lha, bagiku iya, Mbak," kata Gladis sambil bersungut. "Mbak bisa bayangkan, kan, waktu aku pernah putus sama pacarku waktu SMA, Andi selalu mengekoriku. Bukan cuma mengekori, dia selalu bertampang sangar sama cowok yang mencoba mendekatiku. Katanya itu buat melindungiku, biar aku gak patah hati lagi."Amira menggeleng. "Itu bukti rasa sayang, Gladis.""Tapi rasanya itu terlalu annoying." Gladis mengg
"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran