Share

Bab 4

“Dia tunanganmu?” Sebelah alis Gilang terangkat tidak mempercayai pendengarannya.

“Apa aku mengatakannya kurang jelas,” jawab Andi tanpa mengubah intonasi suaranya.

“Kamu terlalu muda buatnya.” Gilang memundurkan langkahnya. “Sebaiknya jangan ikut campur.”

“Aku harus ikut campur,” sanggah Andi. “Kamu menyakiti wanitaku.”

Amira terperangah. Dipandangnya wajah Andi yang menatap tajam ke arah Gilang. Bagaimana bisa bocah tengil itu bisa berubah menjadi seserius ini, pikir Amira. Dia bahkan rela pasang badan untuknya.

Gilang terkekeh mendengar ucapan Andi. “Apa kamu dibayar oleh Amira untuk mengatakan itu?” cemooh Gilang.

“Uang Amira tidak cukup banyak untuk menyogokku.”

Kedua tangan Gilang dimasukkannya ke dalam kantung celana. Ditatapnya lekat Andi seakan mencari kebohongan di dalamnya. Namun, wajah tegas Andi seakan menampik apa yang dipikirkannya.

“Terserah.” Akhirnya Gilang berkata. “Apa seleramu lebih muda sekarang, Mir?” 

Gilang melongokan kepalanya. Amira masih berada di belakang Andi. Dari sudut matanya, lelaki itu bahkan melihat, tangan Andi menahan sisi tubuh wanita itu untuk tetap berada di belakangnya.

“Kenapa? Apa itu aib?” Andi yang menyahut. Memandang remeh ke arah Gilang.

“Aku tidak mengatakan apa-apa.” Gilang mengangkat bahu.

“Aib itu, kalau lelaki berusaha untuk menindas wanita. Banci.”

Pelipis Gilang berkedut. Dia  tidak menyukai ungkapan Andi yang diarahkan padanya. Oke, dia tadi mungkin keterlaluan, tapi itu semua gara-gara wanita itu.

“Jangan melewati batasanmu,” geram Gilang.

“Apa aku perlu melakukan yang lebih frontal?” tantang Andi.

Amira menarik baju bagian belakang Andi. Ketegangan memenuhi sekitar mereka bertiga, membuat wanita itu takut kalau-kalau adu jotos akan terjadi di sini.

Dilihatnya sekeliling, banyak orang yang mulai memperhatikan. Membuat Amira ingin segera menjauh dari sini. Dia tidak enak menjadi pusat perhatian.

“Andi, kita pergi,” kata Amira lirih.

Embusan napas panjang keluar dari hidung Gilang. Suara Amira seakan menyadarkannya juga, bahwa dia berada di tempat umum. Walau amarahnya mulai menyulut, lelaki itu memilih untuk meredakannya.

“Sebaiknya aku pergi,” ujar Gilang. Memutus adu tatap tajam antara dia dan Andi. “Yang ingin aku katakan sama Amira udah semua.”

Gilang mundur, Andi masih bergeming.

Saat ingin membalik, lelaki itu itu menghentikan gerakannya. “Amira,” Gilang melongok lagi, jarinya menunjuk. “aku peringatkan kamu. Jangan mengacaukan hubunganku.”

***

"Siapa dia?" tanya Andi saat berada di meja makan di tengah keriuhan pengunjung Solaria yang kelaparan. "Bukan sainganku, kan?"

"Masa lalu," jawab Amira dia kembali mengelus bekas cengkraman Gilang. Sakitnya masih terasa. 

"Coba aku lihat." Tangan Andi terulur. 

Amira tahu cowok itu ingin melihat lengannya, karena itu dia menarik-narik lengan bajunya yang pendek. Mencoba menutupi, walau itu mustahil. Bahan bajunya bukan jenis yang melar, tapi bahan silk dengan warna broken white. 

"Aku gak apa-apa," ucap Amira dan menghentikan usapannya. 

"Lihat," perintah Andi tegas, tidak ingin ditolak. 

"Aku gapapa," ketus Amira. 

"Kamu mau aku menyebrang ke tempatmu dan melihatnya sendiri?"

"Kamu apa-apaan, sih."

"Makanya, lihat."

Amira mengabaikan Andi dan mengalihka  pandangannya. Menatap orang-orang yang sedang makan atau menunggu pesanan. 

Suara kursi bergeser terdengar, membuat pandangan Amira kembali mengarah pada Andi. Lelaki sudah berjalan dan berdiri di sampingnya. Tanpa berkata apa-apa meraih lengan Amira. 

"Kurang ajar," desis Andi. "Seharusnya aku memukulnya."

Amira menepis tangan Andi dan kembali menarik-narik lengan bajunya. 

"Jangan berlebihan, deh."

"Lenganmu membiru." Suara Andi dalam menahan amarah. Dia berdiri dengan kepala tertunduk. Fokus menatap lengan Amira. "Tunggu di sini, aku mau mencarinya."

Gegas Amira menangkap tangan Andi yang sudah mulai melangkah. "Jangan bikin keributan."

"Dia menyakitimu dan aku gak terima!"

"Aku tau dan aku pasti membalasnya."

"Sekarang aja," sanggah Andi. 

Amira menggeleng. Terlalu mudah. "Kita makan saja."

Amira melihat Andi yang seakan tidak ingin mundur dari keinginannya menghajar Gilang. Wanita membuat tatapan memohon, membuat Andi harus menghirup udara dalam dan mengembuskannya kasar.

"Jika hal ini terjadi lagi, aku pastikan lelaki itu masuk rumah sakit," geram Andi dan berjalan kembali menuju kursinya.

Satu hal yang disadari oleh Amira saat ini, Andi saat serius mengerikan. Ternyata dia punya sisi lain dari sikapnya yang tengil.

Lelaki berambut undercut itu, bisa juga terlihat dewasa. Nattaya mungkin benar.

***

Amira kaget ketika jemarinya digenggam erat oleh Andi yang kini sudah ada di sampingnya. Dia berusaha melepas, tetapi tangan Andi ternyata begitu kokoh dan tak bisa dielaknya.

Mereka berdua baru saja keluar dari Solaria dan memutuskan untuk pulang. Amira membatalkan rencananya untuk berbicara dengan Andi tentang mereka.

"Aku takut kamu menabrakan diri karena lagi sedih," kata Andi. "Jadi, aku gak akan melepaskanmu."

"Kamu pikir aku bodoh apa sampai bunuh diri gara-gara bajingan itu."

Andi hanya mengedikkan bahu. Tersenyum lebar kepada Amira, meski perempuan itu menatapnya bengis.

"Lepasin tanganku, gak?" kata Amira galak yang diabaikan Andi. Dia masih terus berusaha agar jemarinya lolos dari cengkraman berondong itu.

"Potong aja tanganku kalau mau," ucap Andi asal.

"Dasar bocah freak," umpat Amira. Namun, dia sudah menyerah berusaha untuk melepaskan tangannya. Wanita itu memijat kepalanya dengan tangannya yang bebas, seolah ada sesuatu yang menyakiti otaknya.

Amira mengambil langkah dengan pasrah menyusuri koridor mal yang mulai penuh. Tangannya masih terpaut dengan Andi ketika berjalan, membuatnya terlihat seperti pasangan beneran.

Tak ada pembicaraan sepanjang jalan, dari lantai tiga hingga mereka menuju lantai dasar untuk menuju ke luar. Sampai akhirnya Andi memutuskan kesunyian itu.

"Mir, kamu kalau mau marah, bisa lampiaskan ke aku, kok," ujar Andi. "Kalau merasa sesak, aku ada di sini."

Dada Amira terasa penuh. Entah mengapa, sekejap dia menyadari, dia merasa kesal dengan Andi, sekaligus juga merasa nyaman. 

"Jangan banyak bacot," ketus Amira tanpa berbalik memandang Andi. 

Secara sembunyi-sembunyi, Amira tersenyum kecil. Dia berpura-pura melihat etalase Tiffany yang sedang dilewatinya. 

***

“Kamu yakin bisa bawa mobil sendiri? Gak bareng aku aja?”

“Aku cuma kesal, ya, bukan sekarat.”

Andi melipat kedua tangannya di tepi jendela mobil Amira yang kacanya turun. Terlihat menimbang perkataan Amira, walau dia sendiri masih merasa khawatir.

“Aku hanya takut orang lain celaka,” kata Andi

Tangan Amira melayang memukul lengan Andi, membuat cowok itu berpura-pura mengaduh. “Udah, balik ke mobilmu.”

“Tunggu aku sebentar.” Andi menegakkan tubuh. “Aku bakal ngikutin kamu di belakang.”

“Gak usah, kamu pulang aja.”

Andi menatap Amira dalam. “Tunggu aku,” tegas Andi.

Amira mengalah dan akhirnya mengangguk. Entah mengapa, saat Andi mode serius seperti itu, wanita itu tidak bisa menolak. 

“Buruan, Bocah!” desak Amira. Dia berusaha menutupi rasa jengah yang tiba-tiba menggelayutinya. Bisa-bisanya aku patuh.

Andi kembali mencondongkan tubuhnya dengan tiba-tiba. Kali ini, hanya jemarinya yang menyangga tubuhnya di tepi jendela. 

“Cuma kamu yang nganggap aku bocah, Mir. Apa gak bisa mengubah sedikit pandanganmu tentang aku?” 

Wajah Andi terlalu dekat. Ada gelenyar aneh yang membuat Amira harus memundurkan kepalanya agar bisa tercipta jarak. 

“Untung sayang,” lanjut Andi dengan senyuman lebar dan kedipan mata jahilnya.

Memangkas kecanggungan yang dirasakan Amira. Wanita mengembuskan napas kasar, saat Andi mulai berjalan menjauh. Namun, hatinya malah berdebar kencang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status