“Dia tunanganmu?” Sebelah alis Gilang terangkat tidak mempercayai pendengarannya.
“Apa aku mengatakannya kurang jelas,” jawab Andi tanpa mengubah intonasi suaranya.
“Kamu terlalu muda buatnya.” Gilang memundurkan langkahnya. “Sebaiknya jangan ikut campur.”
“Aku harus ikut campur,” sanggah Andi. “Kamu menyakiti wanitaku.”
Amira terperangah. Dipandangnya wajah Andi yang menatap tajam ke arah Gilang. Bagaimana bisa bocah tengil itu bisa berubah menjadi seserius ini, pikir Amira. Dia bahkan rela pasang badan untuknya.
Gilang terkekeh mendengar ucapan Andi. “Apa kamu dibayar oleh Amira untuk mengatakan itu?” cemooh Gilang.
“Uang Amira tidak cukup banyak untuk menyogokku.”
Kedua tangan Gilang dimasukkannya ke dalam kantung celana. Ditatapnya lekat Andi seakan mencari kebohongan di dalamnya. Namun, wajah tegas Andi seakan menampik apa yang dipikirkannya.
“Terserah.” Akhirnya Gilang berkata. “Apa seleramu lebih muda sekarang, Mir?”
Gilang melongokan kepalanya. Amira masih berada di belakang Andi. Dari sudut matanya, lelaki itu bahkan melihat, tangan Andi menahan sisi tubuh wanita itu untuk tetap berada di belakangnya.
“Kenapa? Apa itu aib?” Andi yang menyahut. Memandang remeh ke arah Gilang.
“Aku tidak mengatakan apa-apa.” Gilang mengangkat bahu.
“Aib itu, kalau lelaki berusaha untuk menindas wanita. Banci.”
Pelipis Gilang berkedut. Dia tidak menyukai ungkapan Andi yang diarahkan padanya. Oke, dia tadi mungkin keterlaluan, tapi itu semua gara-gara wanita itu.
“Jangan melewati batasanmu,” geram Gilang.
“Apa aku perlu melakukan yang lebih frontal?” tantang Andi.
Amira menarik baju bagian belakang Andi. Ketegangan memenuhi sekitar mereka bertiga, membuat wanita itu takut kalau-kalau adu jotos akan terjadi di sini.
Dilihatnya sekeliling, banyak orang yang mulai memperhatikan. Membuat Amira ingin segera menjauh dari sini. Dia tidak enak menjadi pusat perhatian.
“Andi, kita pergi,” kata Amira lirih.
Embusan napas panjang keluar dari hidung Gilang. Suara Amira seakan menyadarkannya juga, bahwa dia berada di tempat umum. Walau amarahnya mulai menyulut, lelaki itu memilih untuk meredakannya.
“Sebaiknya aku pergi,” ujar Gilang. Memutus adu tatap tajam antara dia dan Andi. “Yang ingin aku katakan sama Amira udah semua.”
Gilang mundur, Andi masih bergeming.
Saat ingin membalik, lelaki itu itu menghentikan gerakannya. “Amira,” Gilang melongok lagi, jarinya menunjuk. “aku peringatkan kamu. Jangan mengacaukan hubunganku.”
***
"Siapa dia?" tanya Andi saat berada di meja makan di tengah keriuhan pengunjung Solaria yang kelaparan. "Bukan sainganku, kan?"
"Masa lalu," jawab Amira dia kembali mengelus bekas cengkraman Gilang. Sakitnya masih terasa.
"Coba aku lihat." Tangan Andi terulur.
Amira tahu cowok itu ingin melihat lengannya, karena itu dia menarik-narik lengan bajunya yang pendek. Mencoba menutupi, walau itu mustahil. Bahan bajunya bukan jenis yang melar, tapi bahan silk dengan warna broken white.
"Aku gak apa-apa," ucap Amira dan menghentikan usapannya.
"Lihat," perintah Andi tegas, tidak ingin ditolak.
"Aku gapapa," ketus Amira.
"Kamu mau aku menyebrang ke tempatmu dan melihatnya sendiri?"
"Kamu apa-apaan, sih."
"Makanya, lihat."
Amira mengabaikan Andi dan mengalihka pandangannya. Menatap orang-orang yang sedang makan atau menunggu pesanan.
Suara kursi bergeser terdengar, membuat pandangan Amira kembali mengarah pada Andi. Lelaki sudah berjalan dan berdiri di sampingnya. Tanpa berkata apa-apa meraih lengan Amira.
"Kurang ajar," desis Andi. "Seharusnya aku memukulnya."
Amira menepis tangan Andi dan kembali menarik-narik lengan bajunya.
"Jangan berlebihan, deh."
"Lenganmu membiru." Suara Andi dalam menahan amarah. Dia berdiri dengan kepala tertunduk. Fokus menatap lengan Amira. "Tunggu di sini, aku mau mencarinya."
Gegas Amira menangkap tangan Andi yang sudah mulai melangkah. "Jangan bikin keributan."
"Dia menyakitimu dan aku gak terima!"
"Aku tau dan aku pasti membalasnya."
"Sekarang aja," sanggah Andi.
Amira menggeleng. Terlalu mudah. "Kita makan saja."
Amira melihat Andi yang seakan tidak ingin mundur dari keinginannya menghajar Gilang. Wanita membuat tatapan memohon, membuat Andi harus menghirup udara dalam dan mengembuskannya kasar.
"Jika hal ini terjadi lagi, aku pastikan lelaki itu masuk rumah sakit," geram Andi dan berjalan kembali menuju kursinya.
Satu hal yang disadari oleh Amira saat ini, Andi saat serius mengerikan. Ternyata dia punya sisi lain dari sikapnya yang tengil.
Lelaki berambut undercut itu, bisa juga terlihat dewasa. Nattaya mungkin benar.
***
Amira kaget ketika jemarinya digenggam erat oleh Andi yang kini sudah ada di sampingnya. Dia berusaha melepas, tetapi tangan Andi ternyata begitu kokoh dan tak bisa dielaknya.
Mereka berdua baru saja keluar dari Solaria dan memutuskan untuk pulang. Amira membatalkan rencananya untuk berbicara dengan Andi tentang mereka.
"Aku takut kamu menabrakan diri karena lagi sedih," kata Andi. "Jadi, aku gak akan melepaskanmu."
"Kamu pikir aku bodoh apa sampai bunuh diri gara-gara bajingan itu."
Andi hanya mengedikkan bahu. Tersenyum lebar kepada Amira, meski perempuan itu menatapnya bengis.
"Lepasin tanganku, gak?" kata Amira galak yang diabaikan Andi. Dia masih terus berusaha agar jemarinya lolos dari cengkraman berondong itu.
"Potong aja tanganku kalau mau," ucap Andi asal.
"Dasar bocah freak," umpat Amira. Namun, dia sudah menyerah berusaha untuk melepaskan tangannya. Wanita itu memijat kepalanya dengan tangannya yang bebas, seolah ada sesuatu yang menyakiti otaknya.
Amira mengambil langkah dengan pasrah menyusuri koridor mal yang mulai penuh. Tangannya masih terpaut dengan Andi ketika berjalan, membuatnya terlihat seperti pasangan beneran.
Tak ada pembicaraan sepanjang jalan, dari lantai tiga hingga mereka menuju lantai dasar untuk menuju ke luar. Sampai akhirnya Andi memutuskan kesunyian itu.
"Mir, kamu kalau mau marah, bisa lampiaskan ke aku, kok," ujar Andi. "Kalau merasa sesak, aku ada di sini."
Dada Amira terasa penuh. Entah mengapa, sekejap dia menyadari, dia merasa kesal dengan Andi, sekaligus juga merasa nyaman.
"Jangan banyak bacot," ketus Amira tanpa berbalik memandang Andi.
Secara sembunyi-sembunyi, Amira tersenyum kecil. Dia berpura-pura melihat etalase Tiffany yang sedang dilewatinya.
***
“Kamu yakin bisa bawa mobil sendiri? Gak bareng aku aja?”
“Aku cuma kesal, ya, bukan sekarat.”
Andi melipat kedua tangannya di tepi jendela mobil Amira yang kacanya turun. Terlihat menimbang perkataan Amira, walau dia sendiri masih merasa khawatir.
“Aku hanya takut orang lain celaka,” kata Andi
Tangan Amira melayang memukul lengan Andi, membuat cowok itu berpura-pura mengaduh. “Udah, balik ke mobilmu.”
“Tunggu aku sebentar.” Andi menegakkan tubuh. “Aku bakal ngikutin kamu di belakang.”
“Gak usah, kamu pulang aja.”
Andi menatap Amira dalam. “Tunggu aku,” tegas Andi.
Amira mengalah dan akhirnya mengangguk. Entah mengapa, saat Andi mode serius seperti itu, wanita itu tidak bisa menolak.
“Buruan, Bocah!” desak Amira. Dia berusaha menutupi rasa jengah yang tiba-tiba menggelayutinya. Bisa-bisanya aku patuh.
Andi kembali mencondongkan tubuhnya dengan tiba-tiba. Kali ini, hanya jemarinya yang menyangga tubuhnya di tepi jendela.
“Cuma kamu yang nganggap aku bocah, Mir. Apa gak bisa mengubah sedikit pandanganmu tentang aku?”
Wajah Andi terlalu dekat. Ada gelenyar aneh yang membuat Amira harus memundurkan kepalanya agar bisa tercipta jarak.
“Untung sayang,” lanjut Andi dengan senyuman lebar dan kedipan mata jahilnya.
Memangkas kecanggungan yang dirasakan Amira. Wanita mengembuskan napas kasar, saat Andi mulai berjalan menjauh. Namun, hatinya malah berdebar kencang.
Gilang mengusap-usap punggung tangan Gladis dengan jempolnya. Keduanya sedang duduk di taman belakang rumah gadis itu. Hanya berdua dan ditemani sunyi dan desiran angin lembut yang melambaikan pohon rindang yang berdiri kokoh di sana."Yank, kamu gampang banget dekat sama orang baru, ya?" tanya Gilang setelah sesaat mereka dalam kebisuan.Gladis yang tadi melihat ke depan, memutar lehernya. Memandang tunangannya degan dahi berkerut. "Maksudnya?""Bukannya kamu baru mengenal Amira? Kok, sudah bisa main bareng aja sama dia seharian?"Gladis memang menceritakan kemana saja dia seharian tadi menghilang beberapa saat lalu kepada Gilang. Betapa senangnya dia mendapat teman baru yang bisa bersabar dengan dirinya, mengganggu hari libur wanita itu, dan menyeretnya untuk menemaninya seharian."Mbak Amira menyenangkan, kok?" Gladis tersenyum lebar, seolah tidak bisa menyembunyikan betapa puasnya waktu yang telah dia jalani hari ini. "Dia juga benar-benar tulus.""Kamu yakin dia seperti itu?" Seb
Bagaimana Amira merasa ilfil, apa yang diungkapkan Gladis tidak sesuai dengan ekspektasinya mengenai keburukan yang ada pada diri Andi.Gadis itu hanya mengumbar hal umum dari seorang lelaki, terlalu menuntut pada orang yang disayanginya, terlalu protektif, sedikit gila kerja, menarik diri kalau ada masalah karena ingin merasakannya sendiri, cepat emosi kalau orang yang disayangi Andi teraniya,Bagaimana mungkin hal tersebut dipikir Gladis merupakan hal negatif dari seorang Andi?"Itu bukan hal negatif, Gladis." Amira mendesah. Selama satu jam dia mendengar pemaparan Gladis dengan gemas."Lha, bagiku iya, Mbak," kata Gladis sambil bersungut. "Mbak bisa bayangkan, kan, waktu aku pernah putus sama pacarku waktu SMA, Andi selalu mengekoriku. Bukan cuma mengekori, dia selalu bertampang sangar sama cowok yang mencoba mendekatiku. Katanya itu buat melindungiku, biar aku gak patah hati lagi."Amira menggeleng. "Itu bukti rasa sayang, Gladis.""Tapi rasanya itu terlalu annoying." Gladis mengg
"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran