"Sa, boleh saya bicara bentar denganmu?" tanyaku saat kami makan siang.
"Tentu saja boleh, Sayang." Tesa membersihkan mulutnya dengan tisu lalu meneguk segelas air putih di depannya."Apa kalian sedang ada masalah?"Aku menatap wanita di sampingku seraya menggenggam tangannya.Tesa tau arah pembicaraanku.Dia terdiam sesaat, mencoba menetralkan kegundahan di hatinya."Darimana kamu tau soal ini?" Tesa menyandarlan tubuhnya di kursi, malas."Kemarin kulihat kalian pergi terpisah, kenàpa?"Wajah Tesa berubah sendu, matanya mulai memerah."Sa, maafkan aku. Bukan maksudku mencampuri urusan kalian."Tesa menggeleng lemah, air mata itu mulai luruh membasahi pipi cabinya. Segera kurengkuh tubuh sahabatku itu, membiarkan Tesa menangis sejenak dalam pelukku.
"Aryo telah mengkhianati cinta suciku, di saat aku tengah mengandung anaknya." Tesa sem
Pagi ini terasa begitu berat. Kupandangi seiras wajah dalam pantulan cermin, terlihat kuyu dengan mata sembabku."Kenapa semakin berat beban diri ini," keluhku sambil mengusap wajah yang terasa lengket, sisa tangis semalam. Entah kenapa beberapa hari ini Kevin semakin memperlihatkan keegoisannya. Atau memang itu lah sifat aslinya."Ah, sudahlah. Aku tidak boleh seperti ini, aku harus bisa melewati semuanya." Tersenyum melihat pantulan diri."SEMONGKO," ucapku penuh semangat. Aku bangkit menuju dapur. Kusiapkan beberapa bahan masakan, mengolahnya lalu gegas kembali ke kamar setelah menghidangkannya di meja makan. Segera mandi, enggan berlama-lama di dapur.Sakit yang semalam mereka buat, tidak mungkin bisa aku lupakan begitu saja."Perfect, tinggal pakai kaca mata." Tersenyum, puas melihat penampilanku
"Aku ingin kita akhiri semuanya!"Terdengar suara dari dalam gudang. Saat aku melewati lorong yang masih nampak sepi.Kutajamkan pendengaran. Hening, tidak terdengar lagi.Malas berfikir macam-macam segera kulajukan kembali kakiku menuju ruang ganti.Namun, tiba-tiba dari dalam gudang keluar Aryo disusul Tesa di belakangnya."Sa!" Aku panggil Tesa saat dia melewatiku. Dia menepuk pundakku, tersenyum, dan berlalu begitu saja."Aryo, ikut aku sekarang!" Kutarik tangan lelaki itu paksa, tidak perduli ada banyak pasang mata yang menatapku curiga."Ada apa sih? Main geret aja lu, mau bilang kalau kamu suka sama aku, gitu?" ucapnya setelah kami sampai di belakang kantin.Aku menggeleng. Kutampar lelaki di depanku penuh emosi."Apa-apaan ini?" tanyanya seraya memegangi pipi kirinya yang terlihat memerah."Masih tanya kenapa?" Aku semakin ge
Bruukkk!!!Pintu depan tiba-tiba terbuka, membuat Aryo dan Tesa terkejut.Segera mereka melepaskan pelukan."Mas!" Tesa terbengong kala mendapati sosok lelaki dengan memakai masker berdiri tegak di depan pintu.Lelaki itu mendekat, memegang tangan Tesa lalu menariknya keluar."Huh, dasar Sasmitho. Dari dulu perangainya tidak pernah berubah," gerutu Aryo kala Tesa melenggang pergi bersama lelaki itu.Apa? Sasmitho? Jadi lelaki itu adalah Sasmitho. Menyadari hal itu aku segera berbalik menyusul Tesa.Sesampainya di parkiran. Nampak Tesa sudah melajukan mobilnya menjauh."Hah, Aku kalah cepat dengan mereka." Kuatur napasku yang tak beraturan. Akibat berlari dari gudang ke parkiran.Aku pun kembali menggeluti pekerjaan yang sedari tadi sudah menungguku. Pergantian sif kerja."Hi ... Sayang. Lihat siapa yang Mama ajak," seruku pada Rossy yang tengah asik
"Happy anniversary yang ketiga, Sayang." Ucapan selamat dari Pras terdengar seperti petir di telingaku.Sembilu menyayat hati, membuat hatiku gamang. Hancur berkeping-keping.Haruskah aku tersenyum atau bahkan menangis? Entahlah, semua membuatku semakin tak berdaya. Sungguh aku merasa diriku terlihat hina di depannya. Di saat kekasihku menyiapkan semua kejutan ini, aku malah menyiapkan batu untuk menyakiti hatinya. Sungguh kejam diriku. Belum hilang rasa haru yang menyesakkan hati, Pras kembali memberi kejutan baru.Pria itu merogoh sakunya dan memberikan selembar kertas dan sebuah kunci mobil. Dengan ukiran nama yang indah di sana, HONDA. “I-ini apa lagi, Pras?” tanyaku dengan suara bergetar menahan tangis. Aku sudah tidak bisa menahan luapan hati."Kenapa, Sayang? Apa ada yang salah? Bukannya ini yang kamu mimpikan selama ini?" tanya Pras dengan senyum
Kevin adalah sahabat Pras yang paling dekat. Namun, beberapa kali ia menyatakan cinta kepadaku. Dan hari itu saat aku tengah berjalan menuju ruang laboratorium.Tiba-tiba sebuah tangan menarikku cepat, lalu membawaku ke dalam gudang yang ada di kampus tempatku mengenyam ilmu. Seketika mataku melotot saat dia mendekap dan mencium bibirku hangat. Bagaikan ada sebuah setrum yang menjalar santai menyusuri setiap lekuk tubuhku. Pria itu terus melumat bibirku tanpa memberi jeda, sedangkan tangan kanannya meremas-remas kedua aset milikku dengan gemas. Dan sungguh aku menikmatinya.Beberapa menit kemudian, ciumannya mulai mengendur, dan menyisakan diriku yang masih ngos-ngosan. Kutatap wajahnya yang cukup ganteng bagiku saat itu."Maaf, aku lancang menciummu. Tapi sungguh aku mencintaimu, Ning," ucap pria itu. Dia adalah Kevin, sahabat Pras. Aku tersenyum l
Hari pun berganti, waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Hubungan gelap antara aku dan Kevin terjalin begitu rapi dan indah. Tanpa Pras ketahui, hingga detik di mana terjadi perubahan pada tubuhku. Di situ aku tau bahwa sirkulasi bulananku telah lama berlalu.Panik. Segera aku mencari tes kehamilan di apotik terdekat."Kevin, tolong temui aku di tempat biasa." Segera kustarter motor matic kesayangan menuju cafe yang biasa kami kunjungi. Setengah jam kemudian sampai juga di tempat yang kutuju. Kulihat dari jauh Kevin melambaikan tangan. Cepat kuparkirkan motorku kemudian menghampirinya."Hai, Sayang!" Dia meraih tanganku lalu mencium pipi kanan dan kiriku."Santai, Sayang. Coba jelaskan apa yang membuatmu menemuiku secara mendadak gini," ucapnya lagi.Tanpa menjawab pertanyaan darinya, aku merogoh tas dan memberikan benda pipih kecil seperti li
Pasca melahirkan anak pertamaku, aku bingung harus dengan apa membayar biaya persalinan. Kutatap wajah emak yang sayu, beliau balik menatapku penuh iba. Sejenak kemudian aku menangis dalam dekapan tubuh emak yang mulai renta. Tangannya mengusap pundakku lembut, menghangatkan."Mak, jual saja TV yang ada di kontrakan!" ucapku seraya mengurai pelukan, menatap wajah Emak pilu."Mana cukup uangnya buat bayar bu bidan." Emak menatapku penuh arti."Semoga saja cukup, Mak." Ku usap air mata di pipi dan melangkah menuju kamar mandi. Ingatanku melayang ke masa lalu di mana kedua orangtuaku ingin menjodohkan diriku."Nduk, Bapak sama emakmu sepakat untuk menjodohkanmu dengan anak Pak Dahlan."Aku terkejut mendengar pernyataan bapak yang tiba-tiba."Tapi, Pak. Nining kan udah besar, Nining ndak mau sama orang yang belum Nining kenal," jawabku seraya bangkit hendak me
Waktu pun berlalu, hampir satu tahun aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Namun, sekarang berbeda, aku tidak lagi menganggur, aku telah bekerja di salah satu swalayan terbesar di kotaku. Lumayan, selain bisa untuk membeli susu untuk Rossy, aku juga bisa terhibur oleh kesibukkanku."Ning, tidak kerja, Nduk?" tanya emak padaku."Ndak, Mak. Nining ambil cuti pengen ngajak Rossy jalan-jalan." Aku mengemasi barangku dalam tas, begitupun perlengkapan milik anakku, Rossy."Perginya dengan siapa, Nduk?" tanya emak penasaran."Tesa, Mak. Temen kerja.""Yo wis, yang penting hati-hati di sana, jaga Rossy dengan baik," ucap emak sebelum berlalu. Usai mengemasi barang-barang, aku menuju teras, menunggu Tesa menjemputku. Tak lama berselang sebuah mobil berwarna hijau berhenti tepat di depan rumah, seorang wanita cantik melambaikan tangan padaku."Ning, ayok buruan! Keburu macet," teriaknya sembari me