Alih-alih pesan Grab, aku memutuskan buat jalan kaki keliling Pecang.
Aku menemukan bangku taman, terus aku buka surat dari Mirrela. Sampai sekarang, dia itu wanita yang aku benci, tapi juga bikin aku penasaran. ✎ᝰ. ── ୨୧ ─── ୨୧── Maya, Nama kamu indah sekali. Aku enggak yakin kalau aku sendiri yang memilih nama itu, tapi demi Tuhan, aku bersyukur dikaruniai putri sepertimu. Aku yakin kamu pasti bingung, kenapa aku tulis surat ini ke kamu sekarang ... di umur kamu yang sudah 29 tahun, bahkan saat aku lagi sekarat. Tapi aku merasa kalau aku harus mencoba minta maaf dan kasih kamu sedikit penjelasan sebelum tuhan memanggilku. Aku tahu tentang semua surat-surat, dan hadiah-hadiah dari Angela buat kamu. Orang tua angkatmu baik banget sudah ijinkan dia melakukan itu buat kamu. Tapi di saat aku memutuskan buat meninggalkanmu dulu, aku sadar atas keputusan itu. Dan sekarang, mereka sudah jadi orang tua kamu, meskipun berat banget buat aku. Aku harap kamu mengerti kalau itu bukan keputusan yang aku ambil sembarangan. Dan aku yakin kamu makin bingung saat tahu ada Karin, adik kandung kamu yang selama ini aku sembunyikan. Oh, Maya .… Aku ingin banget percaya kalau hidup bisa berubah. Tapi saat aku hamil kamu, aku sama Papa kamu itu masih dua remaja miskin yang cuma bisa bertahan hidup. Waktu itu, kita benar-benar merasa kalau kamu enggak bakal punya kehidupan yang layak kalau tetap bersama kita. Hubungan kita juga lagi kacau, dan ya … baik atau buruk, akhirnya kita memutuskan buat meninggalkan kamu, biar kamu bisa mendapatkan hidup yang jauh lebih baik. Setelah nenek kamu, Angela, meninggal, aku menemukan foto-foto yang Mama kamu kirim ke dia. Itu pertama kalinya aku tahu kalau kamu ternyata sempat surat-suratan sama dia. Kamu sudah jadi perempuan yang cantik banget sekarang. Sepertinya aku langsung saja ke intinya. Soalnya, kalau aku jadi kamu, permintaan maaf dari wanita tua yang sekarat ini enggak bakal ada harganya. Aku ingin kasih kamu kesempatan dan alasan buat tetap di Pecang. Ini kota kecil yang indah, dan aku harap kamu mau meneruskan toko itu, bebas ... kamu ubah jadi apa pun yang kamu mau. Tapi, tolong … lakukan ini sama Karin. Kalian berdua adalah keluarga terakhir dari garis Mirrela. Aku enggak ingin apa-apa lagi selain melihat kalian berdua benar-benar jadi kakak-adik. Aku tahu permintaan ini berat, dan aku mengerti, kalau kamu mungkin saja langsung merobek surat ini atau tanda tangan buat lepasin hak kamu atas setengah gedung itu, terus balik lagi ke Jakarta. Maya ... Waktu aku hamil kamu, aku sama Papa kamu kabur dari kota kecil ini. Terus kita baru berani balik lagi setelah proses adopsi selesai. Aku pernah coba cerita ke Karin waktu dia sudah dewasa, tapi aku enggak pernah sanggup menghadapi ekspresi apa yang bakal keluar dari dia setelah tahu. Aku pengecut, Maya. Jangan sampai kamu mewarisi gen pengecut dari aku. Semoga saja kamu mewarisi gen dari Papa kamu, dia enggak pernah jadi pengecut, dan justru itu yang bikin dia meninggal. Sekarang aku mulai kehilangan kendali. Aku cuma bisa berharap kamu mau tetap di sini dan coba kasih kesempatan sama hidup kamu di Pecang. Tapi aku juga mengerti kalau kamu enggak mau. Aku enggak bisa mengubah bagaimana perasaan kamu. Tapi tolong tahu satu hal saja, Maya. Enggak ada satu pun pagi di hidup aku, di mana aku bangun tanpa ingat kamu. Rasanya sakit banget hidup dengan mengingat terus-menerus tentang penyesalan terbesarku. Tolong, jangan pernah jadi sepertiku, anakku. Jangan hidup dengan penuh pertanyaan, "Bagaimana kalau?". Pergilah, cari jawaban kamu sendiri. Cintaku. Maya Mirrela ── ୨୧ ─── ୨୧── Aku jatuhkan surat itu ke pangkuan, kesal banget karena seperti dipaksa harus memikirkan perasaan Karin. Tapi saat aku baca kalimat tentang "Bagaimana kalau?", itu sesuatu yang menusuk banget di hatiku. Hidupku sendiri saja sudah penuh dengan "Bagaimana kalau?". Bagaimana kalau aku dulu ambil jurusan sastra Inggris, bukan bisnis? Mungkin sekarang aku lebih bahagia. Bagaimana kalau aku dulu tetap sama William? Mungkin sekarang aku sudah menikah. Bagaimana kalau aku enggak pernah diadopsi? Aku lihat ke sekeliling. Bisa saja ini sebenarnya kota aku. Tapi kalau itu yang terjadi, aku juga bakal kehilangan wanita yang sudah membesarkanku. Di Jakarta, enggak ada lagi yang bisa aku harapkan. Tapi buat tetap di Pecang dan buka usaha bersama seorang adik yang bahkan baru aku tahu keberadaannya hari ini? Gila saja kalau aku sampai berpikir buat menerima itu. Aku masukkan surat itu ke tas, terus jalan balik ke pusat kota Pecang. Aku lewati bar, terus menuju toko jahit. Tokonya kecil, tapi letaknya strategis banget, diapit bar sama toko daging. “Ternyata kamu lagi,” suara Aldani muncul saat dia keluar dari bar. Dia pakai jaket di atas kemeja flanel gelap. Gila sih, dia memang seksi banget. “Aku kira enggak bakal ketemu kamu lagi.” “Ya, ini aku,” kataku sambil membuka tangan, menunjukkan diri biar dia bisa lihat sepuasnya. Dan benar saja, sepertinya dia puas memperhatikanku, sementara aku berusaha keras agar badanku enggak gemeteran disorot tatapannya. Terus dia menengok lagi sebentar ke arah bar sebelum kasih perhatian penuh kepadaku. “Kamu free buat dinner malam ini?” “Dinner?” “Iya, kamu yang pilih tempatnya. Aku bisa kasih kamu beberapa referensi orang yang bisa jamin, kalau aku bukan cowok brengsek atau nakal.” Aku tertawa. Sumpah, sudah lama banget aku enggak tertawa. “Oke. Aku bakal nginep di Bangora ... di River Point Resort?” Dia agak memundurkan kepalanya sedikit, sepertinya kaget sama jawabanku. River Point itu tempat mewah, tapi ya, bodoh amat. Toh, bukan duit aku, itu duit Papa-Mama. “Perfect. Ada restoran di dekat situ, The Ocean Table, aku bakal telpon buat booking.” “Bagus.” Hening sebentar, terus aku bicara lagi, “Kayaknya kita harus tukeran nomor, deh.” Kita sama-sama keluarkan HP, terus bertukar kontak. “Aku bakal chat kamu begitu tahu jamnya,” katanya, dia mundur pelan ke arah bar. “Oke. Aku tunggu kabarnya.” “Aku juga enggak sabar.” Dia senyum sekali lagi sebelum masuk lagi ke bar. Tiba-tiba ada teriakan kencang, “Uhuuuu!” terdengar dari dalam bar, sampai nyaring di jalan. Mukaku langsung panas, pipiku terbakar merah. Serius, segampang ini dapat kencan di sini? Mungkin benar juga kata orang, kalau Pecang memang gudangnya cowok.୨ৎ A L D A N I જ⁀➴ "Aku enggak yakin juga," kataku ke Karin. "Aku enggak tahu Maya bakal cocok pakai cincin ini atau enggak." "Percaya deh sama aku, dia bakal suka banget. Dan hey, udah setahun, loh. Udah cukup kamu ngulur-ngulur waktu, Aldani Sunya!" Aku angkat tangan. "Oke, oke, aku nurut." Aku pindah rumah, enggak tinggal lagi bareng saudara-saudaraku yang lain. Aku sama Maya beli rumah kecil di pinggir kota, dekat sama Papa-Mamaku dan dekat juga sama tempat usaha kita. "Aku senang banget," kata Karin. Melihat hubungan aku sama Maya makin kuat, ditambah hubungan dia sama Karin makin dekat selama setahun ini, itu indah banget. Kayaknya memang itu yang mereka berdua butuhkan. Tapi tetap saja, aku masih enggak seratus persen yakin bisa percaya Karin soal cincin ini. Aku lihat lagi cincin itu. "Kalau aku
Tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Aku yakin kamu orang baik, tapi kadang ada hal yang enggak bisa diperbaiki. Dan jujur aja, kalau kamu baru nyadar cinta sama anak aku setelah kehilangan dia, aku enggak bakal ijinin kamu ngomong sama dia sekarang!" ”Oke ...aku juga bakal jelasin ke, Tante. Mama aku meninggal waktu aku umur dua belas, dan—" Aku buka pintu dan keluar. Bahu dia langsung merosot saat melihatku. Dia coba melangkah melewati Mama, tapi Mama buru-buru maju lagi, menaruh tangan di dada dia. Aku hampir tertawa. "Enggak apa-apa, Ma." Mama menengok ke aku, "Maya!!!" "Mau jalan bareng bentaaaar aja sama aku?" kata Aldani sambil ulurkan tangan. "Tante juga boleh ikut." "Enggak." Mama mundur selangkah. "Kalian berdua aja." Dia taruh tangan di bahuku, terus kecup pipiku. Aku keluar dari apa
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Mama bakal pulang malam ini, tapi sebelum itu dia bantu aku beres-beres apartemen.Dia keluar dari kamar mandi. "Kamar mandinya udah beres."Dia pegang kantong sampah hitam yang penuh sama karpet, tirai shower, sama barang-barang mandi aku. Dia sampai mau repot-repot bantu urusan begini, itu menunjukan betapa dia sayang banget sama aku. Dia duduk di kasur yang sudah aku bongkar, kasur yang jadi awal dari semua kekacauan ini sama Aldani."Sayang, ikut pulang sama Mama aja," katanya.Aku geleng kepala, sambil buang makanan yang hampir basi dan enggak ingin aku bawa. Aku sudah dapat rumah kecil buat disewa, dekat kota, jadi aku bisa jalan kaki ke tempat kerja. Mobil sewaan makin lama makin bikin tekor, jadi aku beli mobil murah buat dipakai sementara.Aku enggak bangga sama apa yang sudah kulakukan sama Aldani. Sebenarnya, enggak ada alasanku buat ribut di depan orang satu kota. Mungkin aku waktu itu cuma mau bikin di
Garasi penuh mobil, semua saudara kandung sama saudara tiri sudah pada berkumpul.Begitu aku masuk, suara tawa dari dapur pun langsung menghampiri. Suara yang sudah jadi kebiasaan di rumah ini, suara yang enggak bakal pernah ada kalau Hapsari enggak jadi bagian dari hidup kita.Dulu kita bahagia, iya, tapi dia bawa sesuatu yang berbeda. Sama seperti tiap saudara tiri aku. Kalau Papa enggak ambil risiko, hidup aku sekarang bakal sepi banget. Hapsari bahkan bantu Althaf mengurangi rasa bersalahnya. Aku enggak bakal bisa balas semua itu ke dia.Ruangan langsung sunyi saat Aku muncul. Saudara-saudara tiriku langsung maju buat peluk.Danny tepuk punggungku. "Akhirnya balik waras juga?"Aku cuek. "Sejak kapan kamu malah bela Maya?"Dia angkat bahu. "Aku suka aja sama dia. Lagian, Brine & Barrel dapat duit lebih banyak pas Duet Night. Aku berhak sombong, lah."Hapsari langsung peluk aku erat, tangannya naik turun di punggungku.
Aku jalan ke mobil, geleng-geleng kepala. Menyebalkan banget, hari buat mengenang Mama malah jadi fokus ke aku."Aldani!" Althaf mengejar dan tarik siku aku. "Enggak apa-apa mulai buka perasaan kamu."Aku putar badan, melihat mereka semua berdiri bareng Althaf."Kita juga ngerasain sakitnya," kata Alvaro. "Enggak ada dari kita yang pingin ngalamin itu lagi, tapi kita enggak bisa terpuruk terus.""Buktinya aku masih bertahan setelah ditinggal Khalisa," tambah Alzian. "Aku hancur banget, tapi aku masih ada di sini.""Aku udah duluan ngerasain semua itu, jadi jangan dikira aku enggak ngerti," kataku."Hei. Aku cuma dua tahun lebih muda dari kamu," celetuk Almorris. "Iya sakit, tapi bukan berarti kamu enggak boleh jatuh cinta lagi.""Aku lihat kamu sama Maya," kata Alzian. "Kamu udah jatuh cinta sama dia, mau kamu ngaku atau enggak."Mobil Papa berhenti pas di belakang mobil aku. Seperti biasa, dia datang telat sedi
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Tiga hari setelah pembukaan The Libraria, setelah Maya memutuskan buat ribut sama aku di tengah malam acara Duet Night itu, sekarang aku berdiri di makam Mamaku.Althaf bawa semua bunga, setiap batangnya berbeda jenis, biar jadi buket yang Mama pasti suka. Mama selalu bilang kalau dia enggak pernah punya bunga favorit, semuanya cantik, sama seperti anak-anaknya.Tapi mungkin cuma aku yang masih ingat Mama bilang begitu. Kadang aku berpikir, jadi anak paling tua dengan ingatan paling jelas tentang Mama, itu kutukan banget."Kita mulai dari yang paling tua, kayak biasa," kata Althaf sambil kasih kode ke aku.Aku keluarkan napas berat, sebenarnya lagi enggak mood. "Aku skip dulu kali ini.""Aldani, kamu kan selalu duluan," katanya, ngotot.Aku geleng-geleng kepala. Aku malas banget harus jadi orang pertama yang kasih motivasi ke adik-adikku. Kita sudah hidup tanpa Mama jauh lebih lama ketimbang hidup bar