Share

Surat Wasiat

Author: DityaR
last update Last Updated: 2025-08-01 16:22:15

୨ৎ M A Y A જ⁀➴

 Besok paginya, aku naik Grabcar dari salah satu Resort di Bangora. Langsung menuju ke kantor pengacara. Malas banget kalau aku harus balik dulu ke Pecang.

Aku turun dari mobil, berdiri di bawah papan bertuliskan Eifel Botman, Pengacara. Begitu masuk, bel ruangan kecil itu langsung berbunyi. Di balik meja resepsionis duduk ibu-ibu paruh baya yang sepertinya sempat kulihat juga waktu pemakaman kemarin.

Dia melirik ke atas, matanya langsung melebar. "Oh, halo," katanya sambil menunduk lagi. "Kamu Maya, ya?"

Aku mengangguk pelan.

"Sebentar, ya. Aku cek dulu Pak Botman-nya udah siap apa belum."

 Dia senyum ramah, lalu jalan ke lorong kecil di belakangnya.

 Aku duduk di ruang tunggu, sambil berpikir, "Aku pingin banget ngobrol dulu sama Karin sebelum lakuin semua ini. Tapi ya udah, lah …."

Perutku rasanya mual setiap kali membayangkan bagaimana reaksi dia begitu tahu kalau aku sudah di kota ini. Tapi bisa saja dia memang tahu. Atau justru enggak pernah dikasih tahu apa-apa selama ini?

"Dia udah bisa ketemu kamu sekarang," kata si resepsionis dari balik lorong. Aku langsung berdiri dan dia mengantarku ke pintu kantor. Dia buka pintunya, aku masuk, dan dia langsung menutupnya lagi.

Begitu melihat Pak Botman, aku kira dia bakal tinggi, berotot begitu, soalnya di telepon suaranya itu berat dan seksi. Tapi ternyata dia pendek banget, agak gempal, botak pula. Enggak banget, deh kalau buat jadi aktor drama hukum di TV.

Lima hari lalu dia meneleponku, bilang kalau ada kliennya yang meninggal dan nama aku ada di surat wasiat. Dari situ saja aku langsung tahu siapa yang meninggal. Tapi yang bikin kaget, dia tahu di mana aku dan meninggalkan sesuatu buat aku.

Jadi aku terbang ke Pecang, tentu saja Mamaku langsung panik. Dan ya, sekarang aku di sini, siap menerima warisan apa pun itu. Mau itu cuma bros, surat, atau foto kenangan, aku akan terima.

Habis itu?

Aku bakal balik ke Jakarta. Mama Papaku pasti senang banget kalau semuanya cepat selesai. Toh, di sini juga enggak ada yang mengharapkanku.

Hidupku biasa saja. Pekerjaan, ya begitu-begitu saja, kehidupan sosial nyaris nol.

Percintaan?

Jangan ditanya ... Kosong.

“Saudari Mirella, senang bertemu kamu,” sapa Pak Botman dari balik meja.

“Ya, senang juga ketemu Bapak,” jawabku sambil duduk dan bersandar nyaman di kursi empuk itu. Tas, aku taruh di pangkuan.

“Aku minta kamu ke sini langsung karena, mungkin kamu udah bisa nebak ... Karin belum tahu tentang kamu.”

Aku mengangguk pelan. Berarti, dugaanku benar.

Dia mengeluarkan amplop dari map dan menyodorkannya kepadaku. Namaku ditulis di luar pakai tulisan tangan yang asing banget.

“Ini buat kamu. Dia juga nulis surat buat Karin. Aku sempat nyaranin buat enggak ngelakuin ini, tapi dia keras kepala. Katanya, ini keinginannya yang terakhir.”

Aku mengernyit, “Maksudnya gimana?”

“Almarhum, Mirrela … dia punya satu bangunan di pusat kota. Dulunya itu toko jahit, tapi kadang juga dipakai buat kelas jahit atau event grup. Dia profesional banget di bidang kain dan benang.”

“Iya, aku tahu. Aku lewat situ kemarin. Sepi banget tempatnya.”

 “Karin lagi sibuk ngurusin dia pas sakit, jadi ya, toko itu kosong. Dan mungkin Kamu juga belum tahu … Papamu, Domik, udah meninggal lama karena kecelakaan di kapal nelayan.”

Aku mengangguk lagi, makin enggak sabar, “Terus???”

 “Karin dapat rumahnya. Tapi soal toko jahit itu … hmm …” Dia menunduk sedikit, lalu melanjutkan, “... itu dia wariskan ke kamu dan Karin. Jadi itu bangunan sekarang jadi milik kalian berdua.”

Aku langsung duduk lebih tegak. “Serius?”

“Yup. Bangunan itu bisa kalian kelola bareng, atau salah satu bisa beli bagian yang lain. Atau bisa dijual aja, terus bagi hasil. Semua dokumen penilaian dan estimasi nilai udah aku siapin di map ini.”

Aku angkat tangan. “Bareng? Maksudnya … harus bareng Karin?”

Dia melirikku, jelas terlihat malas membicarakan hal ini. “Iya, begitu maunya Mirrela.”

 “Dia waras enggak, sih?”

 “Aku udah bilang kalau ini ide buruk. Karin enggak punya duit buat nebus bagian kamu. Tapi aku juga enggak tahu kondisi finansial kamu .…”

Aku geleng-geleng kepala. Jelas aku juga enggak sanggup. “Ini gila banget, sih. Haduuuhh!”

“Aku cuma pengacara. Tugasku ngejelasin opsi dan risikonya. Keputusan terakhir ya dari dia. Nah, sekarang aku pingin atur waktu buat kamu dan Karin ketemu. Aku bakal ada di situ, dan mungkin Karin bakal aku minta bawa temannya juga buat support.”

Oh jadi Karin perlu support, tapi aku enggak?

Keren.

Sudah terlihat kalau kota ini berpihak kepada siapa.

Aku berdiri. “Oke. Kabari aja!”

Dia menahan langkahku. “Maya … Kamu minat enggak sama bangunan itu?”

Aku ingat kata-kata Mama, 'Jangan pernah buka semua kartu'.

Jadi aku balik badan. “Aku bakal jawab itu setelah ketemu Karin. Atur aja kapan, aku bakal datang!”

Aku pun keluar dari kantornya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Extra Chapter

    ୨ৎ A L D A N I જ⁀➴ "Aku enggak yakin juga," kataku ke Karin. "Aku enggak tahu Maya bakal cocok pakai cincin ini atau enggak." "Percaya deh sama aku, dia bakal suka banget. Dan hey, udah setahun, loh. Udah cukup kamu ngulur-ngulur waktu, Aldani Sunya!" Aku angkat tangan. "Oke, oke, aku nurut." Aku pindah rumah, enggak tinggal lagi bareng saudara-saudaraku yang lain. Aku sama Maya beli rumah kecil di pinggir kota, dekat sama Papa-Mamaku dan dekat juga sama tempat usaha kita. "Aku senang banget," kata Karin. Melihat hubungan aku sama Maya makin kuat, ditambah hubungan dia sama Karin makin dekat selama setahun ini, itu indah banget. Kayaknya memang itu yang mereka berdua butuhkan. Tapi tetap saja, aku masih enggak seratus persen yakin bisa percaya Karin soal cincin ini. Aku lihat lagi cincin itu. "Kalau aku

  • TETANGGA WITH BENEFIT   I Love You [END-Season II]

    Tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Aku yakin kamu orang baik, tapi kadang ada hal yang enggak bisa diperbaiki. Dan jujur aja, kalau kamu baru nyadar cinta sama anak aku setelah kehilangan dia, aku enggak bakal ijinin kamu ngomong sama dia sekarang!" ”Oke ...aku juga bakal jelasin ke, Tante. Mama aku meninggal waktu aku umur dua belas, dan—" Aku buka pintu dan keluar. Bahu dia langsung merosot saat melihatku. Dia coba melangkah melewati Mama, tapi Mama buru-buru maju lagi, menaruh tangan di dada dia. Aku hampir tertawa. "Enggak apa-apa, Ma." Mama menengok ke aku, "Maya!!!" "Mau jalan bareng bentaaaar aja sama aku?" kata Aldani sambil ulurkan tangan. "Tante juga boleh ikut." "Enggak." Mama mundur selangkah. "Kalian berdua aja." Dia taruh tangan di bahuku, terus kecup pipiku. Aku keluar dari apa

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Pulang ke Jakarta

    ୨ৎ M A Y A જ⁀➴Mama bakal pulang malam ini, tapi sebelum itu dia bantu aku beres-beres apartemen.Dia keluar dari kamar mandi. "Kamar mandinya udah beres."Dia pegang kantong sampah hitam yang penuh sama karpet, tirai shower, sama barang-barang mandi aku. Dia sampai mau repot-repot bantu urusan begini, itu menunjukan betapa dia sayang banget sama aku. Dia duduk di kasur yang sudah aku bongkar, kasur yang jadi awal dari semua kekacauan ini sama Aldani."Sayang, ikut pulang sama Mama aja," katanya.Aku geleng kepala, sambil buang makanan yang hampir basi dan enggak ingin aku bawa. Aku sudah dapat rumah kecil buat disewa, dekat kota, jadi aku bisa jalan kaki ke tempat kerja. Mobil sewaan makin lama makin bikin tekor, jadi aku beli mobil murah buat dipakai sementara.Aku enggak bangga sama apa yang sudah kulakukan sama Aldani. Sebenarnya, enggak ada alasanku buat ribut di depan orang satu kota. Mungkin aku waktu itu cuma mau bikin di

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Susahnya Mengakui Perasaan Ini

    Garasi penuh mobil, semua saudara kandung sama saudara tiri sudah pada berkumpul.Begitu aku masuk, suara tawa dari dapur pun langsung menghampiri. Suara yang sudah jadi kebiasaan di rumah ini, suara yang enggak bakal pernah ada kalau Hapsari enggak jadi bagian dari hidup kita.Dulu kita bahagia, iya, tapi dia bawa sesuatu yang berbeda. Sama seperti tiap saudara tiri aku. Kalau Papa enggak ambil risiko, hidup aku sekarang bakal sepi banget. Hapsari bahkan bantu Althaf mengurangi rasa bersalahnya. Aku enggak bakal bisa balas semua itu ke dia.Ruangan langsung sunyi saat Aku muncul. Saudara-saudara tiriku langsung maju buat peluk.Danny tepuk punggungku. "Akhirnya balik waras juga?"Aku cuek. "Sejak kapan kamu malah bela Maya?"Dia angkat bahu. "Aku suka aja sama dia. Lagian, Brine & Barrel dapat duit lebih banyak pas Duet Night. Aku berhak sombong, lah."Hapsari langsung peluk aku erat, tangannya naik turun di punggungku.

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Hidup & Mati

    Aku jalan ke mobil, geleng-geleng kepala. Menyebalkan banget, hari buat mengenang Mama malah jadi fokus ke aku."Aldani!" Althaf mengejar dan tarik siku aku. "Enggak apa-apa mulai buka perasaan kamu."Aku putar badan, melihat mereka semua berdiri bareng Althaf."Kita juga ngerasain sakitnya," kata Alvaro. "Enggak ada dari kita yang pingin ngalamin itu lagi, tapi kita enggak bisa terpuruk terus.""Buktinya aku masih bertahan setelah ditinggal Khalisa," tambah Alzian. "Aku hancur banget, tapi aku masih ada di sini.""Aku udah duluan ngerasain semua itu, jadi jangan dikira aku enggak ngerti," kataku."Hei. Aku cuma dua tahun lebih muda dari kamu," celetuk Almorris. "Iya sakit, tapi bukan berarti kamu enggak boleh jatuh cinta lagi.""Aku lihat kamu sama Maya," kata Alzian. "Kamu udah jatuh cinta sama dia, mau kamu ngaku atau enggak."Mobil Papa berhenti pas di belakang mobil aku. Seperti biasa, dia datang telat sedi

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Selamat Ulang Tahun, Mama

    ୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Tiga hari setelah pembukaan The Libraria, setelah Maya memutuskan buat ribut sama aku di tengah malam acara Duet Night itu, sekarang aku berdiri di makam Mamaku.Althaf bawa semua bunga, setiap batangnya berbeda jenis, biar jadi buket yang Mama pasti suka. Mama selalu bilang kalau dia enggak pernah punya bunga favorit, semuanya cantik, sama seperti anak-anaknya.Tapi mungkin cuma aku yang masih ingat Mama bilang begitu. Kadang aku berpikir, jadi anak paling tua dengan ingatan paling jelas tentang Mama, itu kutukan banget."Kita mulai dari yang paling tua, kayak biasa," kata Althaf sambil kasih kode ke aku.Aku keluarkan napas berat, sebenarnya lagi enggak mood. "Aku skip dulu kali ini.""Aldani, kamu kan selalu duluan," katanya, ngotot.Aku geleng-geleng kepala. Aku malas banget harus jadi orang pertama yang kasih motivasi ke adik-adikku. Kita sudah hidup tanpa Mama jauh lebih lama ketimbang hidup bar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status