Aku peluk dia. Aku tahu banget rasanya. Aku pernah ada di posisi dia dulu.
“Tapi percaya, deh, suatu hari nanti waktu kamu ingat dia, rasanya enggak sesakit sekarang.” Dia balas pelukanku. “Makasih buat semuanya.” Aku mengangguk. “Kalian di sini, ternyata.” Alvaro masuk, menginjak kain dan benang yang berserakan di lantai. Karin senyum ke dia. “Aku di sini. Bisa anter aku pulang, ya?” Alvaro mengangguk dan langsung melingkarkan lengannya di bahu Karin. “Ayo.” “Makasih, Karin,” kataku. Dia balik badan. "Sama-sama." Alvaro lagi menjaganya, soalnya kita tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua. Karin kehilangan dua-duanya sekaligus neneknya. Keluargaku memang menyebalkan, tapi aku enggak bisa membayangkan kalau hidup sendirian tanpa siapa-siapa. Waktu aku hampir memasukkan kunci itu ke kantong, Danny tiba-tiba muncul di pintu. "Jadi benaran?" "Apaan?" "Dia ngasih kunci itu ke kamu? Dia bakal jual tempat ini ke kita?" Aku melihat-lihat ruangan ini, memikirkan seberapa banyak kita harus renovasi, terus bagaimana caranya mengatasi tiang penyangga kalau mau merobohkan sebagian dindingnya. Danny sudah menulis di kertas, bawa denah lama, menggambar ulang di belakangnya. "Menurutmu kita butuh kursi lebih banyak gak? Atau mending kita nambah produksi aja biar bisa jual lebih banyak varian rasa, masuk ke pasar swalayan juga?" "Kalau aku, sih, mending nambah tempat duduk. Kamu ingat, gak, pas musim liburan ramai banget? Sampai kita harus ngusir tamu." Masih enggak yakin kita bisa bangun tempat nongkrong di sini, sih. Tapi enggak ada salahnya. "Berarti kita harus ngurus perizinan. Bisa-bisa tempat ini resmi kebuka setahun lagi, bro." "Ya ampun, iya." Aku jalan ke jendela depan, memperhatikan mika buram yang dipakai Mirrela buat jaga biar kacanya tetap bening. "Bentar, deh! Kita ini kesannya gak sopan banget. Mending kita tunggu sampai Karin punya waktu buat mikir dulu." Danny jatuhkan pensilnya dan menyilangkan tangan. "Ya udah, deh, kita bahas soal cewek pirang itu aja." "Aku sebenarnya gak peduli juga dia siapa." Dia loncat turun dari meja, jalan ke jendela menghampiriku. "Aku bukannya mau bilang kamu naksir, ya ... tapi kamu gak bisa lepasin pandanganmu dari dia, Bro!" ”Lucu, kamu mikir aku yang kepincut, gitu? Orang jelas-jelas kamu duluan yang nyoba dekatin dia." Dia tertawa, memasukkan tangan ke saku celana jeans-nya. "Lah, emangnya kenapa kalau aku ngelakuin itu? Kamu mau kita saingan secara sehat?" "Enggak! Kurang kerjaan." ”Sumpah, ya. Aku, tuh gak minat sama dia,” katanya. Aku geleng-geleng, "Ya, deh, iyaaa. Apa kata kamu aja." "Vibenya bukan selera aku," cengirnya. "Vibe?" "Dia itu kayak tipe cewek yang harus kencan empat kali dulu baru bisa di ajak tidur bareng." Dia tepuk pundakku. "Itu lebih ke kriteria kamu dibanding aku." Aku memiringkan kepala, "Maksudnya, kamu ngomong gitu mau nyindir aku?" "Ayo lah, kamu dulu pacaran serius banget waktu SMA sama Si Greeselda?" "Aku udah bukan cowok SMA lagi!" "Aku malah heran kamu lulus SMA gak langsung nikah." Dia balik badan, mengambil kertas dari meja lalu melipatnya, terus memasukkan ke kantong belakang. "Aku emang gak nyari istri. Bahkan sengaja ngindarin hal itu." Dia balik badan, menunjuk ke arahku. "Nah, itu dia bedanya kita. Kamu mesti yakinin ke diri kamu sendiri buat gak baper sama cewek. Kalau aku, sih, udah tahu dari awal, aku gak bakal sampai ke tahap itu (menikah) sama siapa pun." Aku enggak mau menyalahkan Danny soal pikirannya itu. Soalnya perceraian kedua orang tuanya tuh, merusak dia juga. Papanya itu cowok berengsek, selingkuh dari Hapsari, terus menikah lagi, dan selingkuh juga. Kayaknya Danny takut banget kelakuan Papanya itu menurun ke dia juga. "Coba jelasin ke aku, kenapa kamu belum nikah dan punya dua anak sekarang?" tanyanya sambil menyilangkan tangan. "Pertama, umur aku baru tiga puluh. Kedua, aku enggak mau nikah, mungkin enggak akan pernah." Aku jalan ke pintu belakang. Aku belum yakin bakal menikah suatu hari nanti, tapi yang jelas sekarang bukan waktunya. Danny berhenti di depan pintu, menatapku lama, seperti mau bicara sesuatu, tapi dia cuma taruh tangan di pundakku. Dia bilang, "Kencan itu bukan janji sehidup semati. Kalau kamu ketemu cewek pirang itu lagi, ajak dia jalan!" Aku enggak jawab apa-apa. Ngobrol sama Maya itu nyaman banget. Aku suka karena dia enggak tahu apa-apa soal aku. Aldani Sunya, anak dari keturunan legendaris Sahar Sunya, yang sekarang meneruskan bisnis Papanya. Aldani Sunya, anak tiri dari Hapsari, wanita yang selalu muncul di setiap acara amal dan kepanitiaan kota. Dan Aldani Sunya, kakak kandung dari empat bersaudara, kakak tiri dari empat orang, dan kakak tiri beda Mama dari satu orang. Nama keluargaku di kota ini punya sejarah panjang, dan aku enggak bakal lupa itu. Aku angkat bahu. "Ya, mungkin aja ... kalau aku ketemu dia lagi." Danny buka pintu, cahaya redup menyelip dari balik pohon di parkiran belakang. "Nah, gitu, dong!" Tapi feeling aku, sih, cewek itu sudah pergi jauh dari sini.୨ৎ A L D A N I જ⁀➴ "Aku enggak yakin juga," kataku ke Karin. "Aku enggak tahu Maya bakal cocok pakai cincin ini atau enggak." "Percaya deh sama aku, dia bakal suka banget. Dan hey, udah setahun, loh. Udah cukup kamu ngulur-ngulur waktu, Aldani Sunya!" Aku angkat tangan. "Oke, oke, aku nurut." Aku pindah rumah, enggak tinggal lagi bareng saudara-saudaraku yang lain. Aku sama Maya beli rumah kecil di pinggir kota, dekat sama Papa-Mamaku dan dekat juga sama tempat usaha kita. "Aku senang banget," kata Karin. Melihat hubungan aku sama Maya makin kuat, ditambah hubungan dia sama Karin makin dekat selama setahun ini, itu indah banget. Kayaknya memang itu yang mereka berdua butuhkan. Tapi tetap saja, aku masih enggak seratus persen yakin bisa percaya Karin soal cincin ini. Aku lihat lagi cincin itu. "Kalau aku
Tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Aku yakin kamu orang baik, tapi kadang ada hal yang enggak bisa diperbaiki. Dan jujur aja, kalau kamu baru nyadar cinta sama anak aku setelah kehilangan dia, aku enggak bakal ijinin kamu ngomong sama dia sekarang!" ”Oke ...aku juga bakal jelasin ke, Tante. Mama aku meninggal waktu aku umur dua belas, dan—" Aku buka pintu dan keluar. Bahu dia langsung merosot saat melihatku. Dia coba melangkah melewati Mama, tapi Mama buru-buru maju lagi, menaruh tangan di dada dia. Aku hampir tertawa. "Enggak apa-apa, Ma." Mama menengok ke aku, "Maya!!!" "Mau jalan bareng bentaaaar aja sama aku?" kata Aldani sambil ulurkan tangan. "Tante juga boleh ikut." "Enggak." Mama mundur selangkah. "Kalian berdua aja." Dia taruh tangan di bahuku, terus kecup pipiku. Aku keluar dari apa
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Mama bakal pulang malam ini, tapi sebelum itu dia bantu aku beres-beres apartemen.Dia keluar dari kamar mandi. "Kamar mandinya udah beres."Dia pegang kantong sampah hitam yang penuh sama karpet, tirai shower, sama barang-barang mandi aku. Dia sampai mau repot-repot bantu urusan begini, itu menunjukan betapa dia sayang banget sama aku. Dia duduk di kasur yang sudah aku bongkar, kasur yang jadi awal dari semua kekacauan ini sama Aldani."Sayang, ikut pulang sama Mama aja," katanya.Aku geleng kepala, sambil buang makanan yang hampir basi dan enggak ingin aku bawa. Aku sudah dapat rumah kecil buat disewa, dekat kota, jadi aku bisa jalan kaki ke tempat kerja. Mobil sewaan makin lama makin bikin tekor, jadi aku beli mobil murah buat dipakai sementara.Aku enggak bangga sama apa yang sudah kulakukan sama Aldani. Sebenarnya, enggak ada alasanku buat ribut di depan orang satu kota. Mungkin aku waktu itu cuma mau bikin di
Garasi penuh mobil, semua saudara kandung sama saudara tiri sudah pada berkumpul.Begitu aku masuk, suara tawa dari dapur pun langsung menghampiri. Suara yang sudah jadi kebiasaan di rumah ini, suara yang enggak bakal pernah ada kalau Hapsari enggak jadi bagian dari hidup kita.Dulu kita bahagia, iya, tapi dia bawa sesuatu yang berbeda. Sama seperti tiap saudara tiri aku. Kalau Papa enggak ambil risiko, hidup aku sekarang bakal sepi banget. Hapsari bahkan bantu Althaf mengurangi rasa bersalahnya. Aku enggak bakal bisa balas semua itu ke dia.Ruangan langsung sunyi saat Aku muncul. Saudara-saudara tiriku langsung maju buat peluk.Danny tepuk punggungku. "Akhirnya balik waras juga?"Aku cuek. "Sejak kapan kamu malah bela Maya?"Dia angkat bahu. "Aku suka aja sama dia. Lagian, Brine & Barrel dapat duit lebih banyak pas Duet Night. Aku berhak sombong, lah."Hapsari langsung peluk aku erat, tangannya naik turun di punggungku.
Aku jalan ke mobil, geleng-geleng kepala. Menyebalkan banget, hari buat mengenang Mama malah jadi fokus ke aku."Aldani!" Althaf mengejar dan tarik siku aku. "Enggak apa-apa mulai buka perasaan kamu."Aku putar badan, melihat mereka semua berdiri bareng Althaf."Kita juga ngerasain sakitnya," kata Alvaro. "Enggak ada dari kita yang pingin ngalamin itu lagi, tapi kita enggak bisa terpuruk terus.""Buktinya aku masih bertahan setelah ditinggal Khalisa," tambah Alzian. "Aku hancur banget, tapi aku masih ada di sini.""Aku udah duluan ngerasain semua itu, jadi jangan dikira aku enggak ngerti," kataku."Hei. Aku cuma dua tahun lebih muda dari kamu," celetuk Almorris. "Iya sakit, tapi bukan berarti kamu enggak boleh jatuh cinta lagi.""Aku lihat kamu sama Maya," kata Alzian. "Kamu udah jatuh cinta sama dia, mau kamu ngaku atau enggak."Mobil Papa berhenti pas di belakang mobil aku. Seperti biasa, dia datang telat sedi
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Tiga hari setelah pembukaan The Libraria, setelah Maya memutuskan buat ribut sama aku di tengah malam acara Duet Night itu, sekarang aku berdiri di makam Mamaku.Althaf bawa semua bunga, setiap batangnya berbeda jenis, biar jadi buket yang Mama pasti suka. Mama selalu bilang kalau dia enggak pernah punya bunga favorit, semuanya cantik, sama seperti anak-anaknya.Tapi mungkin cuma aku yang masih ingat Mama bilang begitu. Kadang aku berpikir, jadi anak paling tua dengan ingatan paling jelas tentang Mama, itu kutukan banget."Kita mulai dari yang paling tua, kayak biasa," kata Althaf sambil kasih kode ke aku.Aku keluarkan napas berat, sebenarnya lagi enggak mood. "Aku skip dulu kali ini.""Aldani, kamu kan selalu duluan," katanya, ngotot.Aku geleng-geleng kepala. Aku malas banget harus jadi orang pertama yang kasih motivasi ke adik-adikku. Kita sudah hidup tanpa Mama jauh lebih lama ketimbang hidup bar