-15-
Mobil yang dikemudikan Theo berhenti di tempat parkir Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setelah mengunci mobil Theo jalan cepat menuju pintu terminal kedatangan.
Berhenti sesaat di depan layar besar yang menginformasikan jadwal kedatangan pesawat dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bibirnya melengkung ke atas menciptakan sebuah senyuman, saat melihat nomor penerbangan yang membawa kedua orang tuanya telah dinyatakan mendarat.
Theo bergegas menuju pintu kedatangan dan berdiri menunggu di belakang pagar besi bersama penjemput lainnya. Sesekali dia mengedarkan pandangan ke arah pintu, untuk memastikan sosok-sosok yang keluar itu kemungkinan adalah orang yang ditunggu.
"Pak!" seru Theo saat melihat sosok pria paruh baya yang tengah mendorong trolley yang dipenuhi koper.
Pria tersebut menoleh dan langsung mengajak perempuan dewasa di sebelahnya untuk menuju tempat Theo berdiri. Setibanya mereka di luar antrean
-16-Perjalanan menuju rumah Theo ditempuh dalam keheningan. Nadine lebih banyak menghabiskan waktu dengan memandangi luar kaca mobil, sedangkan Theo fokus menyetir.Ucapan pria di sebelahnya tadi membuat Nadine bingung. Dia sama sekali belum pernah berpikir untuk meneruskan rencana pernikahan dengan perjanjian itu menjadi pernikahan yang sesungguhnya.Sesekali Theo memperhatikan Nadine yang tampak termenung. Dia pun sebenarnya masih terkejut dengan ucapan spontannya tadi. Sedikit kecewa dengan reaksi Nadine yang sampai sekarang masih belum menjawab pertanyaannya.Setibanya di tempat tujuan, ibunya Theo langsung ke luar dan menyambut kedatangan calon menantunya dengan wajah berseri-seri. Bu Ida menyalami Nadine sambil mengusap lengan perempuan muda itu dengan penuh kekaguman."Cantiknya kamu, Nak. Nggak salah nih, mau sama Koko?" tanya Bu Ida sembari melirik anaknya yang memutar bola mata dengan gemas.
-17-"Pacar?" Nadine mengerutkan dahi. Dia hendak memprotes tetapi terjeda karena Bagaskara telah melambaikan tangan dan memanggil pelayan yang segera mendekat."Saya pesan dua orange juice dan ... ini," ujar Bagaskara sambil menunjuk ke daftar menu.Pelayan tersebut mengangguk dan segera berlalu dari tempat itu. Pria berpenampilan rapi itu kembali memusatkan perhatian pada Nadine yang menatapnya dengan tajam."Apa maksudmu dengan pacar? Hubungan kita sudah putus, Bagas. Aku juga akan segera menikah dengan Theo," ujar Nadine dengan ketus."Yakin mau menikah dengan sopir?" Bagaskara tertawa mengejek."Kenapa memangnya dengan sopir?""Apa dia sanggup menghidupi kamu?""Oh, tentu saja. Menurutmu, kenapa aku bersedia menikah dengannya kalau dia tidak sanggup menghidupiku?"Bagaskara terdiam sesaat, mencoba mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Nadine. "Apa kamu dipel
-18-Fenita mematung sesaat, kemudian berdiri dan jalan menjauhi Theo yang masih berjongkok di tempat. Pria bertubuh tinggi itu menatap punggung gadis itu dengan segumpal penyesalan di dalam dada. Berharap bisa mengubah waktu kembali, dan dia tidak melakukan hal tersebut pada Nadine.Theo mengusap rambut dengan tangan sambil memejamkan mata. Dalam hati merutuki diri yang tidak bisa menahan nafsu. Namun, penyesalannya tidak bisa mengubah apa pun.Sekarang Theo harus fokus pada satu perempuan. Berjanji akan berusaha melupakan sosok Fenita dan benar-benar mencintai Nadine. Dia juga akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan pernikahan yang baru hendak dilaksanakan. Tak peduli dengan perjanjian yang pernah disepakati bersama perempuan berkulit putih tersebut."Pak." Panggil seseorang dari samping kanan.Saat Theo membuka mata dan menoleh, seraut wajah bulat milik asisten Sheila menatapnya dengan seulas senyum
-19-Ucapan Theo tadi masih terngiang di telinga Nadine. Perempuan itu memiringkan tubuh ke kiri dan menatap jendela kamarnya yang terbuka lebar. Sesekali Nadine menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap hal tersebut bisa membuatnya lebih tenang.Takut jatuh cinta. Sepertinya itu memang salah satu alasan Nadine menginginkan pernikahan yang singkat bersama Theo. Kegagalannya bersama Bagaskara membuatnya harus lebih hati-hati dengan urusan percintaan.Meskipun saat ini Nadine merasa nyaman bersama Theo, tetapi untuk kembali jatuh cinta itu dia benar-benar merasa takut. Terutama karena dia menyadari bahwa pesona Theo kian hari kian kuat terpancar. Bukan hanya dia yang merasa seperti itu, tetapi Nadine bisa melihat pancaran mata beberapa perempuan yang sepertinya mengagumi sosok calon suaminya tersebut.Ketukan di pintu seiring dengan terbukanya benda besar itu membuat Nadine membalikkan tubuh. Senyumannya me
-20-Theo mengernyitkan dahi saat melihat furniture pilihan calon istrinya. Sedangkan Nadine malah tampak semringah dan sering kedapatan menyunggingkan senyuman.Keduanya saat ini berada di toko furniture langganan Nadine. Mereka baru saja pulang dari tempat praktek dokter untuk memeriksakan kesehatan Nadine sekaligus Theo, sebelum acara pernikahan dimulai.Kekhawatiran Nadine dengan kondisinya ternyata tidak beralasan. Dia hanya kelelahan dan perlu istirahat saja serta harus menjaga pola makan."Bagus warna hitam atau putih?" tanya Nadine sambil melihat brosur di tangannya."Biru tua," jawab Theo."Ha? Nggak ada pilihan warna itu.""Hitam bosen aku, putih cepat kotor. Nggak ada pilihan warna lain?"Nadine membolak-balik beberapa lembar katalog itu untuk mengecek persediaan warna dari model sofa yang diinginkan. "Adanya marun," jelasnya."Aku nggak suka marun," timp
-21-"Hai, Sayang," sapa Bagaskara sambil membungkukkan badan dan hendak mengecup pipi kanan Nadine, tetapi dengan sigap perempuan tersebut menolak tubuhnya ke kiri dan menempatkan bungkusan kerupuk kulit di bagian pipi, sehingga ciuman Bagaskara mendarat di bungkusan kerupuk dengan mulus.Theo menggigit bibir bawah untuk menahan tawa, sedangkan Nadine berdiri dan segera berpindah tempat ke sebelah calon suaminya tersebut.Kadung malu, Bagaskara menarik bungkusan plastik itu dan merobeknya dengan semangat. Kemudian mengoleskan kerupuk ke kuah sisa daging cincang di piring Nadine. Tanpa sungkan pria bertubuh tinggi besar itu mengunyah benda berbunyi kriuk itu sembari memandangi sepasang kekasih yang ada di hadapannya, dengan tatapan tajam."Sepertinya jodoh kita masih panjang, Sayang!" tegas Bagaskara, sengaja menekan kata sayang itu dengan suara yang terdengar menggeram."Hati-hati kalau ngomong, Bagas. Jodohmu yang
-22-Pak Daniel menatap wajah anak perempuannya dan lelaki yang berada di hadapan itu dengan tajam. Sedangkan Bu Rianti hanya menggeleng-geleng pelan sambil melipat tangan di depan dada. Merasa kecewa dengan tingkah anak perempuannya dan Theo, yang telah melanggar norma agama dan sosial."Sejak kapan kalian melakukan free sex seperti ini?" tanya Pak Daniel sembari menatap tajam pada Nadine."Maaf, Pak," ucap Theo, dia sengaja menghindar untuk menjawab pertanyaan calon mertuanya tersebut, karena tidak ingin mengungkap aib dirinya dan Nadine."Jawab!" bentak Pak Daniel sambil menegakkan punggung. Rahang pria itu mengeras. Berusaha sedapat mungkin untuk tidak bangkit dan menghajar pria muda itu, karena telah menjadikan putrinya sebagai pemuas nafsu."Ba-baru aja, Pi," jawab Nadine dengan suara nyaris tak terdengar."Apa ini yang membuat kalian ingin cepat-cepat menikah?"Theo mengan
-23-Tanpa bisa menahan diri, Theo langsung maju dan menghantamkan tinjuan di perut Bagaskara. Namun, pria yang tubuhnya lebih besar itu tidak mau kalah. Dia membalas dengan meninju pundak Theo dan membuat pria bertubuh tinggi itu terhuyung.Melihat situasi yang semakin memanas, Nadine menarik benda terdekat yaitu tong sampah yang tadinya berada di dekat pintu lift, dan mendorong benda itu ke tengah-tengah Theo dan Bagaskara yang sontak berhenti."Siapa pun yang maju, kupukul pakai ini!" pekik Nadine yang membuat kedua pria itu bergeming.Sesaat suasana terasa hening meskipun masih ada aura pertentangan antara kedua pria tersebut. Nadine menggamit lengan Theo dan mengajak calon suaminya itu memasuki lift.Bagaskara hanya bisa menatap nanar pada pasangan tersebut. Ketika pintu lift tertutup, dia pun menendang tempat sampah sambil mengumpat.Pria itu masih menggerutu selama beberapa saat, sebelum akhirnya