Share

0.2 MISTAKE

Maxime menurunkan tubuh Leonardo diatas ranjang king size yang tersedia didalam kamar VIP di hotel tersebut. Tak lama Leonardo mendudukkan tubuhnya dan bersender dikepala ranjang.

"Max, pesankan aku Vodka sekarang."

"Tidak, kau sudah sangat mabuk Leo."

"Aku tak apa."

"Leo, hentikan tidurlah."

"Baiklah, pergi saja sekarang. Aku ingin sendiri."

"Leo aku tak bisa meninggalkanmu sendirian."

"Pergilah Max aku ingin menyendiri dulu. Aku ingin saat kau pergi pesankan aku vodka dan minta pelayan untuk mengantarkannya kemari."

"Baiklah."

"Cepatlah pergi." Usir Leonardo pelan dengan menggunakan tangannya.

"Iya, jika kau butuh sesuatu hubungi aku."

"Iya."

Maxime melirik sebentar kearah Leonardo yang terlihat sangat berantakan, pria itu terlihat sangat kacau. Dan mungkin meninggalkannya sendiri adalah pilihan yang paling baik sekarang. Maxime pun melenggangkan kakinya keluar dari kamar hotel ia mendekati pelayan hotel yang terlihat sedang membawa troly makanan.

"Permisi?"

"Iya." Balas gadis itu sopan.

"Bisakah kau antarkan sebotol vodka untuk pria di dalam kamar 550?"

"Tentu, saya akan antarkan." Balasnya polos.

"Baiklah."

Maxime menjalankan kakinya sementara wanita itu berjalan dulu mengantarkan makanan yang dipesan oleh tamu kamar hotel lain. Setelah selesai ia pun mengambil sebotol vodka dan mengantarkannya ke kamar 550.

Di dalam kamar, Leonardo menghubungi seseorang, Dyandra, seorang mucikari ternama di kalangan wanita penghibur di New York.

"Aku butuh anak buahmu."

"Tentu saja kami punya yang istimewa untukmu."

"Perawan?"

"Sayang sekali, kau tau gadis New York yang masih perawan adalah sebuah anugerah."

"Berarti itu tidak istimewa."

"Tapi aku jamin kau akan puas dengan apa yang akan aku kirimkan."

"Baiklah, kirimkan segera."

Leonardo mematikan sambungan teleponnya sepihak, ia membutuhkan wanita-wanita itu untuk melepaskan segala rasa dendamnya pada Alexa walaupun dendam itu masih tersimpan rapih di dalam benaknya. Tak lama pintu kamar diketuk tiga kali.

"Cepat sekali." Lirih Leonardo mulai kehilangan kesadarannya. Bahkan pandangannya pun mulai terganggu.

"MASUKLAH!" Setelah mendengar sahutan dari sang tamu hotel, wanita itu pun mendorong trolinya ke dalam. Ia meletakkan botol vodka di meja bundar tepat di samping ranjang.

"Ini pesananmu tuan."

Gadis itu tanpa menunggu jawaban dari tamunya langsung membalikkan tubuhnya menjalankan kakinya keluar dari sana. Namun pergelangan tangannya dicekal.

"Aku sudah menunggumu." Bisik Leonardo sensual. Bahkan ia dengan kurang ajarnya mencoba melepas kancing kemeja gadis itu.

"Lepaskan aku!" Gadis itu meronta dengan segala tenaga yang ia miliki. Namun tenaganya tak sebanding dengan pria di hadapannya.

Leonardo mengunci tubuh gadis itu dan menciumnya rakus. Gadis itu benar-benar merasa terhina. Ia melepaskan tautan itu lalu dengan cepat melayangkan satu tamparan kuat di pipi kanan Leonardo.

"Jaga sikapmu tuan!" Sentak gadis itu dan mencoba secepat mungkin pergi dari kamar itu.

"Kau tak bisa lari dariku jalang!" Leonardo dengan cepat menyusul gadis itu, mencekal kuat pergelangan tangannya dan menutup pintunya rapat tak lupa tangannya dengan cepat mengunci pintu itu.

"Mau lari kemana kau!"

"Ku mohon lepaskan aku." Pintanya dengan air mata yang sudah tak terbendung.

"Aku sudah membayarmu mahal!" Leonardo dengan cepat melempar tubuh gadis itu ke tengah ranjang.

Gadis itu sekuat tenaga berusaha keluar dan terbebas dari kungkungan pria iblis di depannya. Namun semuanya sia-sia. Ia hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang sangat buruk. Ia begitu sangat membenci dirinya sendiri karena tak bisa menjaga harta satu-satunya yang paling berharga di sisa hidupnya. Pria itu merenggut paksa kehormatannya. Ia melakukannya dengan kasar dan ia hanya bisa menangis ditengah-tengah aktifitas pria bejat diatasnya.

***

Leonardo membuka matanya perlahan, ia melihat sekeliling kamar yang terlihat sangat berantakan. Pria itu memegangi kepalanya yang sangat pusing akibat mabuk semalam. Ia mendudukan tubuhnya dan merasakan dinginnya AC yang langsung mengenai kulitnya.

Leonardo melihat tubuhnya yang hanya tertutupi oleh selembar selimut dan ia pun sedikit menyibakkan selimut itu, matanya membola seketika saat melihat bercak darah yang menodai selimut putih itu. Darahnya berdesir dan ia pun dengan cepat meraih ponselnya. Terlihat dua pesan di sana dengan orang yang sama, Dyandra.

"Maafkan aku Mr. De Lavega aku tak bisa mengirimkan anak buahku padamu. Ada sedikit masalah disini dan aku harus menyelesaikannya. Tapi aku berjanji akan memberimu dua jalang terbaikku untuk memuaskanmu."

"Sekali lagi maafkan aku Leo, tapi aku akan menggantinya lain kali."

Leonardo menggeram seketika, jika bukan anak buah Dyandra yang semalam ia tiduri lalu siapa? Dan apakah ia telah merebut kehormatan seorang gadis?

Leonardo mengusap wajahnya kasar dengan telapak tangannya, ia sangat bingung. Entahlah dia mungkin akan menyelidiki siapa gadis yang semalam bersamanya. Sekarang ia harus segera pulang ke mansion, pasti orang tuanya sudah menunggunya.

Leonardo meraih selimut itu dan ia pun berjalan memasuki kamar mandi membersihkan tubuhnya. Pikirannya kembali teringat dengan kejadian semalam, hell! apa dia memakai pengaman tadi malam! Sial dia melupakan itu! Kau dalam masalah besar Leo!! Batin Leonardo geram.

Setelah selesai dengan acara mandinya. Ia pun bergegas memakai pakaiannya lalu beranjak keluar dari hotel itu. Dan ia baru ingat lagi mobilnya masih di club milik Maxime, bagaimana ia pulang sekarang? Alhasil ia pun menelpon Alexander.

"Uncle?"       

"Kau dimana? Daddy mu seperti orang gila mencarimu Leo!"

"Uncle hentikan, sekarang aku ingin pulang tapi aku lupa membawa mobilku. Bisakah kau menjemputku?"

"Tentu, dimana kau?"

"Aku di Hotel dekat mansion."

"Ah baiklah, aku akan kesana tunggulah sebentar."

"Uncle, tolong jangan beritahu Daddy dulu biar aku sendiri yang bicara."

"Baiklah, aku berangkat sekarang."

"Oke."

Panggilan terputus ia pun memainkan ponselnya menelpon Reoxane.

"Aku butuh bantuanmu."

"Apa?"

"Kita bertemu jam makan siang ini."

"Baiklah dimana?"

"Kantor." Balas Leonardo dingin.

"Baiklah aku akan kesana."

Leonardo mematikan sambungan teleponnya ia segera memasukkan kembali ponsel itu kedalam saku jasnya. Memang gila ia tak memakai kemeja putihnya ia hanya memakai jas yang kemarin ia pakai. Karena hanya itu yang menurutnya masih bersih sedangkan kemejanya sudah tercampuri dengan bau alkohol dan sudah dipastikan jika Mommy-nya mencium bau terkutuk itu ia akan diceramahi habis-habisan oleh Tabitha.

Tak lama mobil milik Daddy-nya yang dikendarai oleh Alexander berhenti tepat di depannya. Ia segera memasuki mobil itu.

"Sebenarnya apa yang terjadi Leo?" Tanya Alexander pelan bagaimana pun Leonardo adalah putra bossnya dan ia tetap harus bertindak sopan meskipun Leonardo sudah menganggapnya sebagai pamannya sendiri.

"Aku hanya menenangkan diriku uncle."

"Mommy mu tak berhenti memikirkanmu, seharusnya kau menghubungi mereka jika memang kau menginap di hotel semalam Leo."

"Iya itu salahku."

Alexander menganggukkan kepalanya ia pun menjalankan mobil itu hingga sampai di halaman mansion Arthur.

"Di mana kemeja mu?"

"Ku buang."

"Apa!"

Memang benar Leonardo membuang kemeja itu sesaat setelah ia keluar dari kamar hotelnya. Ia hanya tak mau membawa barang tak penting seperti itu.

Leonardo dengan santainya berjalan melewati bodyguard yang berbaris rapih disisi kanan dan kiri menuju pintu mansion. Saat berdiri tepat di depan pintu, salah satu bodyguard dengan sigap membukanya. Saat pintu terbuka Tabitha langsung menyambut putranya, mencium seluruh gurat wajah putranya lembut.

"Kemana saja kau?!"

"Maaf aku tak memberitahu Mommy."

"Aku tau kau terluka son, tapi setidaknya kau memberi kabar pada kami. Kami cemas disini." Ujar Arthur mendekati Leonardo dan melipat tangannya di depan dada.

"Kenapa pakaianmu begini? Dimana kemejamu?"

"Tertinggal di rumah Max." Dusta Leonardo langsung membuat Alexander menatapnya.

"Bagaimana bisa tertinggal?"

"Aku lupa menaruhnya Mom."

"Sudahlah lupakan, apa kau sudah makan?"

"Belum."

"Ayo kita makan dulu."

"Mom duluan saja."

"Ada apa?"

"Aku ada keperluan sebentar."

"Baiklah."

Tabitha dituntun pelan oleh Arthur dengan Fiorella yang berada disamping mereka. Mereka bertiga berjalan beriringan menuju meja makan. Leonardo langsung menatap Alexander dingin.

"Paman."

"Kenapa kau berbohong?"

"Paman tau kan Mommy sangat membenci alkohol dan kemeja itu sudah tercampur dengan bau alkohol oleh karena itu aku membuangnya."

"Lalu kenapa kau berbohong mengenai Maxime?"

"Aku hanya tak ingin Mom dan Daddy berpikir macam-macam."

"Leo, apapun yang terjadi kau harus jujur pada mereka."

"Aku tau, aku masuk dulu paman."

"Baiklah."

Leonardo memasuki kamarnya terlebih dahulu, ia berjalan menuju walk in closet mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih simpel, setelah selesai ia pun segera turun ke meja makan. Disana orang tua dan adiknya sudah mulai sarapan. Leonardo duduk disamping Tabitha, Mommy-nya dengan sigap melayani Leonardo walaupun sudah ada maid yang menawari untuk melayaninya tapi Tabitha menolak. Ia hanya ingin putranya tak lagi bersedih atas kejadian kemarin.

  Leonardo tersenyum tipis sekali sebagai balasan atas pelayanan yang dilakukan Mommy-nya dengan tulus. Tak lama ponsel Arthur berdering, pria itu pun dengan cepat memeriksa si penelpon, Brian.

"Arthur, ada sedikit masalah di Italy, kau harus pulang sekarang."

"Ada apa?"

"Lebih baik kau periksa sendiri Arthur."

"Baiklah."

Arthur menutup ponselnya dan menatap Tabitha lekat.

"Ada apa?" Tanya Tabitha mengerti arti tatapan Arthur.

"Kita harus pulang ke Italy sekarang."

"Ada apa? Kenapa mendadak?"

"Ada masalah dengan perusahaan, aku harus memeriksanya."

"Apa harus hari ini?" Tanya Tabitha berusaha membujuk Arthur agar mendunda kepulangan mereka.

"Ya, tidak bisa di undur."

"Baiklah." Tabitha menghela nafasnya kasar. Ia pun menganggukkan kepalanya.

"Apa kalian akan pulang?" Tanya Fiorella dengan nada memelasnya.

"Iya." Ujar Arthur membelai puncak kepala putrinya lembut.

"Tapi aku baru saja ingin bercerita pada Dad dan Mom mengenai karier modelling ku."

"Nanti kita bicarakan Sweetie." Balas Arthur pelan.

"Baiklah, artinya aku juga harus kembali ke Seattle sekarang."

"Kenapa tidak tinggal disini dengan kakakmu?"

"Kak Leo sangat menjengkelkan Mom, aku tak ingin tinggal dengan pria sedingin dirinya."

"Fio!" Peringat Leo tajam.

"Tuh kan, baru saja dibilang dingin sudah begini."

Arthur tak tahan untuk mengacak-acak puncak kepala Fiorella. Baginya sebesar apapun Fiorella sekarang dalam benak Arthur ia masih sama seperti Fiorella yang dulu, putrinya yang masih sangat manja padanya. Dan Arthur sangat menyayangi putrinya itu.

***

Sementara disisi lain kota New York seorang wanita terlihat sangat berantakan di dalam kamar apartemen sederhana miliknya. Ia begitu tersiksa atas kejadian semalam yang ia alami. Wanita itu menangis tersedu-sedu seraya meremas rambutnya kesal.

"Argh!!! Bodoh! Kenapa hal itu terjadi! Kenapa kau memberiku hal seperti ini Tuhan?!"

Tak lama terdengar ketukan pintu dua kali dan wanita itu sama sekali tak menggubrisnya. Alhasil tamu itu pun membuka pintu apartemennya karena ia sudah mengetahui kodenya.

"Astaga Florence apa yang terjadi?" Tanya gadis itu mendekati wanita yang menangis sesegukan.

"Cathrine." Florence melirih dan langsung memeluk sahabatnya erat. Ia menumpahkan semua tangisannya kedalam dekapan Cathrine."Ada apa Flo? Kenapa kau terlihat sangat kacau?"

"Aku ..."

"Kenapa?"

"Aku kehilangan keperawananku Cath." lirihnya lagi namun kali ini tangisannya bertambah deras.

"Ya Tuhan, bagaimana bisa? Siapa pelakunya Flo? Jawab aku?!"

"Aku tak tau, aku tak mengenalnya."

"Sialan!"

"Cath, aku takut."

"Tenanglah." Cathrine semakin mempererat pelukannya pada Florence.

Cathrine tau sahabatnya pasti sangat terpukul atas kejadian ini, bagaimana pun sahabatnya hanya hidup sebatang kara, ia sendirian di kota ini. Jadi wajar saja jika Florence begitu sangat tersakiti atas kejadian ini.

"Apa kau mengingat wajah si pelaku?" Tanya Cathrine lagi mencoba membantu Florence mencari pelakunya.

"Aku ingat."

"Sebutkan."

"Dia tinggi, kulitnya putih, dagunya sedikit terbelah dan rahangnya tegas. Rambutnya hitam dan warna matanya biru." Ucap Florence sesegukan bagaimana pun ia ingat jelas wajah pria sialan yang merenggut kehormatannya.

"Sepertinya aku agak familiar dengan ciri-ciri yang kau sebutkan tadi."

"Kau mengenalnya?"

"Iya tunggu sebentar." Cathrine meraih ponselnya mengotak-atik benda itu dan tak lama ia menunjukkan sebuah foto di depan wajah Florence.

"Apa dia orangnya?" Tanya Cathrine menunjukkan sebuah foto seorang pria yang berdiri dengan angkuhnya menggunakan seragam formalnya.

"I-iya." Jawabnya terbata.

"Ya Tuhan, apa kau tau dia siapa?"

"Memangnya dia siapa?"

"Dia Leonardo De Lavega."

"Siapa dia?"

"Astaga! Kau sama sekali tak tau?"

"Iya."

"Dia putra dari Arthur De Lavega pembisnis terkenal dan perusahaannya bernama De Lavega Group's, asal kau tau sekarang yang menjadi CEO diperusahaan itu adalah Leonardo, pria yang menodaimu." Ujarnya dengan mata yang berbinar.

"Lalu aku harus apa?"

"Katakan padanya! Minta tanggung jawab!" Seru Cathrine dengan nada suara yang sedikit keras.

"Aku tak mau!"

"Kenapa?"

"Aku tak mau mengemis Cath, aku paham bagaimana orang kaya memperlakukan kalangan sepertiku. Aku hanyalah gadis miskin yang bodoh dan mana mungkin mereka percaya dengan ucapanku."

"Flo, setidaknya cobalah dulu."

"Aku tak mau." Florence menjeda kalimatnya lalu menghela nafasnya kasar.

"Aku akan menanggung ini sendiri."

"Shit! Bagaimana jika kau hamil?!"

"Maka aku akan mengurusnya sendiri."

"Flo jangan bodoh! Kau pikir mengurus hidup itu mudah! Kau mengurus dirimu saja masih kesusahan bagaimana nanti jika ditambah seorang bayi?!"

"Cath, aku yakin bisa melewati semua ini. Aku lebih baik hidup begini dari pada harus mengemis pada mereka."

"Terserah dirimu Flo, intinya aku sudah memberikanmu saran."

"Aku hanya membutuhkanmu disaat-saat seperti ini Cath."

"Kau mendapatkannya." Cathrine memeluk Florence dengan erat, Ia sudah mengenal sahabatnya sejak mereka bekerja di hotel dan sejak saat itulah Cathrine dan Florence menjalin pertamanan yang dekat seperti sekarang.

Hanya satu yang mengganggu pikiran Florence. Benar kata Cathrine bagaimana jika dia hamil?!

TO BE CONTINUED ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Noe Senja
ya begitulah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status