Share

Part 7

Suasana begitu hening. Malam semakin larut entah jam berapa. Kubuka mata perlahan. Tak ada Mas Bima di ranjang. Mungkin dia ke kamar mandi. Pikirku. Dengan langkah lesu menahan kantuk, kubuka pintu kamar mandi. Kosong. 

Mungkin dia ke dapur untuk mengambil minum. Biasanya memang aku sediakan di atas meja kamar sebelum tidur namun tadi memang lupa menyiapkan air minumnya ke botol. 

Perlahan kubuka pintu kamar. Suara tangis Yuka dari kamarnya tiba-tiba terdengar begitu nyaring. Setengah berlari aku membuka kamar si kembar. Yuki masih mengucek pelan kedua matanya sedangkan Yuka terus menangis sembari melipat kedua lutut. 

 

"Bunda ...." Yuka berteriak memanggil namaku saat kunyalakan lampu kamarnya. Bergegas kupeluk si kembar sambil menenangkan Yuka yang terus menangis. 

 

"Yuka kenapa, Nak?" tanyaku pada Yuka yang masih terisak. Berkali-kali dia menghapus air matanya.

 

"Mimpi buruk, ya?" tanyaku lagi. Dia mengangguk pelan.

 

"Emm ... Yuka lupa baca doa sebelum bobok, ya?" tanyaku lagi. Yuka hanya meringis kecil.

 

"Sudah nggak apa-apa. Kalau mau bobok jangan lupa baca doa, ya? Baca surah-surah pendek juga, oke?"

 

Yuka dan Yuki memelukku lagi sembari mengangguk kecil. Saat mau mematikan lampu kamar, kulihat Mas Bima dari ruang tengah melangkah ke kamar si kembar. 

 

"Dari mana kamu, Mas?" tanyaku penasaran. Meski terburu-buru sepertinya tadi tak ada Mas Bima di ruang tengah saat aku lari ke kamar Yuka. Kalau pun ada aku pasti sudah mengajaknya ke kamar si kembar sama-sama, secara kamarku dan ruang tengah berhadapan. 

 

"Aku ... aku tiduran di sofa, Dek," jawabnya sedikit gugup. 

 

"Ngapain? Kamu tiduran di sofa atau tidur di kandang drakula sih, Mas?" tanyaku mulai kesal. 

 

Ada tanda merah di leher Mas Bima. Sama seperti tanda milik Dinda kemarin. Kulihat jam yang menempel di dinding, hampir jam dua pagi. 

 

"Maksudmu apa, Dek?" Mas Bima sedikit pias mendengar pertanyaanku. 

 

"Kamu habis digigit drakula? Leher sampai merah begitu," jawabku ketus.

 

Mas Bima meraba lehernya lalu meringis kecil. Padahal jelas nggak ada yang lucu dan aku juga nggak ngelawak. Itu dia lakukan hanya untuk membuyarkan kecurigaanku saja.

 

Dia pasti ke kamar Dinda. Dasar manusia nggak tahu diri. Kalau mau mesum kenapa harus di rumah ini, sih? Lihat saja nanti aku akan pasang cctv tanpa sepengetahuan mereka. Kalau saja Yuka tak teriak, aku pasti sudah merekam kelakuan mesum mereka. 

 

Beberapa menit kemudian, Dinda keluar kamar dengan wajah sok baru bangun tidur. Dua kancing piyamanya terbuka.

 

"Kancingkan piyamamu, Din. Malu!" Perintahku ketus. Dinda tampak salah tingkah. Buru-buru mengancingkan piyamanya. Kulihat dari ekor mataku mereka saling lirik. 

 

'Sampai kapan kalian bersandiwara? Dasar dua manusia munafik. Jijik rasanya melihat kalian di sini tapi apa boleh buat, sebelum rumah ini menjadi milikku, kubiarkan kalian terus melakukan sandiwara konyol ini.'

 

Setelah si kembar tidur, aku sengaja tak kembali ke kamar. Tiduran dengan si kembar sedikit membuatku lebih tenang. Demi memperjuangkan hak mereka berdua, aku harus pura-pura tak tahu dan pura-pura bodoh dengan kelakuan mereka yang menjijikkan itu.

 

Terdengar guyuran air dari kamar mandi. Aku yakin Mas Bima sedang mandi di kamar. Kamar kami memang memiliki kamar mandi dalam. Jika pakai kamar mandi samping dapur, otomatis suaranya terdengar lebih jelas karena berdekatan dengan kamar si kembar. 

Tak berselang lama, pintu kamar mandi sebelah berderit. Pasti Dinda mandi di sana. Sebentar lagi adzan subuh berkumandang. Bergegas ke dapur untuk membuat sarapan sembari menunggu adzan mungkin lebih baik daripada terus di kamar yang ada mataku bisa kembali terpejam. 

Perlahan kubuka pintu dan menutupnya kembali. Memasak nasi goreng dengan telur mata badak untuk si kembar. Mas Bima dan Dinda biar saja masak sendiri.

 

Hatiku masih sangat kesal melihat kelakuan mereka yang makin nggak waras dan terang-terangan. Meski bukti yang kudapatkan belum terlalu kuat, tapi hatiku mulai yakin kalau mereka memang memiliki hubungan spesial. 

 

Adzan mulai berkumandang begitu merdu. Aku melangkah ke kamar untuk melaksanakan salat subuh. Sebelum masuk kamar, kulihat Dinda keluar kamar mandi sembari mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. Sedangkan Mas Bima terlihat keramas juga. Mengenakan kemeja dan sarung hendak ke masjid. 

 

Panas hatiku melihat mereka seperti ini. Berulang kali kubendung air mataku agar tak tumpah namun sia-sia. Air bening itu pun meluncur dari porosnya begitu saja. 

 

"Loh, Mbak. Kenapa?" tanya Dinda tiba-tiba. Mas Bima pun menoleh ke arahku seketika.

 

"Ah, nggak. Kepedesan aja tadi ngupas bawang merah buat nasi goreng si kembar," jawabku asal. 

 

Dinda dan Mas Bima hanya saling lirik lalu mengangguk pelan. Meski kulihat dari wajah mereka masih terlintas penasaran.  

 

Setelah selesai salat, kubangunkan si kembar untuk salat subuh juga. Meski terlihat begitu malas, Yuka dan Yuki tetap melakukan apa yang kuperintahkan. 

 

"Kamu bikin sarapan sendiri ya, Din. Ohya sekalian buat Mas Bima. Tadi buru-buru jadi Mbak cuma bikin buat si kembar aja," ucapku saat melihat Dinda dan Mas Bima melangkah ke ruang makan. 

 

Mas Bima sedikit kaget mendengar ucapanku. Memang tak biasanya aku seperti ini. Sekesal apa pun pada Mas Bima biasanya aku selalu melakukan kewajiban sebagai istri seutuhnya namun entah mengapa pagi ini hatiku benar-benar tak bisa diajak kompromi.

 

"Din, tolong bikinkan telur goreng aja, ya?" Pinta Mas Bima kemudian. 

 

"Nggak nasi goreng sekalian, Mas? Aku mau bikin nasi goreng juga ini. Sepertinya enak pagi-pagi sarapan nasi goreng," ucap Dinda sambil tersenyum. 

 

"Oh, boleh lah kalau begitu. Maaf merepotkan," ucap Mas Bima lagi sembari menarik kursi dan mendudukinya. 

 

"Nggak apa-apa, Mas. Santai aja," balas Dinda pelan. 

 

Aku hanya mendengarkan obrolan tak penting mereka sambil menyeruput teh. Kulihat Dinda mulai memasukkan nasi ke atas penggorengan. 

 

"Mas, segini cukup nggak?" tanyanya kemudian, menoleh ke arah Mas Bima yang masih memainkan ponsel lamanya. Entah dia simpan di mana ponsel keluaran terbaru itu. 

 

Bergegas mendorong kursi ke belakang, Mas Bima menghampiri Dinda di depan kompor. 

 

"Sini biar aku saja yang menggoreng, Din," ucapnya lagi. 

 

Kulihat tangan mereka saling bertumpuk sesaat sebelum Dinda  buru-buru menarik tangannya sambil melirik ke arahku. Aku pura-pura tak melihat. 

 

Yuki dan Yuka keluar kamar dengan ceria. Mereka berhamburan ke arahku untuk ikut sarapan. Syukurlah mereka sudah datang, setidaknya hatiku bisa lebih tenang jika ada mereka di sini. Jangan sampai hati ini terbakar emosi dan menghancurkan semua rencana yang sudah kususun sedemikian rapi. 

*** 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Jahat banget sih mereka berdua
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
isi otak kau itu yg harus kau rapikan bukan rencana mu tolol
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status