Share

Bab 3: Pemberontakan di Dalam Sel

Namun, kejutan menyelimuti Awan ketika beberapa sosok laki-laki muncul di depannya. Mereka menyapa Awan dengan ramah, menciptakan kelegaan di tengah ketegangan. Pemimpin kelompok tersebut, dengan wajah serius, bertanya.

“Selamat malam, nak. Kenapa anak sebelia kamu bisa masuk di sini?”

Awan menjawab dengan jujur, “Saya tidak tahu.”

Merasa heran dan bingung. Pemimpin kelompok menghela nafas, “Mereka berulah lagi, rupanya.” Gumamnya, mencerminkan kekecewaan terhadap situasi yang mungkin sudah sering mereka alami.

“Siapa namamu, nak?” tanya pemimpin kelompok dengan wajah serius.

Awan menjawab, “Namaku Awan.” Pemimpin kelompok menatapnya sejenak sebelum mengangguk.

“Namaku Purwo,” kata seorang pria yang berdiri di samping pemimpin kelompok. Purwo memberi sapaan sambil tersenyum ramah. “Ermono,” katanya sambil memperkenalkan diri.

Awan merasa sedikit lega mengetahui nama-nama mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa saya dibawa ke tempat seperti ini?” tanya Awan, mencoba mencari pemahaman.

“Pasti ada alasan tertentu untuk menangkapmu, Awan,” jawab Purwo. “Aku tidak bisa memahami mengapa pemerintah menargetkan seorang pemuda yang masih terlalu belia.” 

Ermono menambahkan, “Kami, para demonstran dan aktivis, tiap hari diburu oleh aparat, Awan. 

“Saya ditangkap demo bela warga, lahannya dirampas pemerintah untuk waduk tanpa ganti rugi.” 

“Aku bantu oposisi, galang massa, cari dana lawan pemerintah tirani, Awan.” Ungkap Purwo

“Apa kamu adalah anak buah pemimpin oposisi tersebut?” tanya Awan.

“Iya, Awan,” jawab Purwo.

“Tapi sayangnya, pemimpin kamu sudah ditangkap, dan kantor partai kalian sudah diduduki lawan.”

“Apakah benar itu, Awan?” tambah Ermono."Di sini kami tanpa informasi, tanpa bisa dijenguk." Bahkan, sebagian dari kami di sini banyak yang tidak bertahan dan hilang entah kemana."

Purwo mengangguk paham, “Awan, kadang kita dituduh dan dihukum tanpa tahu kesalahan sebenarnya. Pemerintah ini memakai kekuasaannya untuk menekan yang dianggap potensial ancaman.”

Ermono menambahkan, “Sama seperti yang kami alami. Aktivitas kami yang seharusnya melindungi hak rakyat malah dianggap sebagai ancaman oleh penguasa.”

Purwo kemudian bertanya, “Apakah kamu punya rencana untuk melawan atau mencari kebenaran, Awan?”

Awan mengangguk mantap, “Saya tidak akan tinggal diam. Akan cari tahu kebenaran dan perjuangkan hak-hak kita sebagai warga negara.”

Purwo tersenyum, “Baik, Awan. Kami siap membantu. Bersama-sama, kita akan mencari keadilan dan kebenaran.”

Dari kejauhan, terdengar langkah seseorang mendekat ke dalam sel tersebut. Penjaga berjalan dengan langkah berat, suara gemerincing kunci dan pentungan terdengar. Wajahnya yang keras dan matanya yang tajam membuat para tahanan ketakutan.

Melihat penjaga datang, Purwo cepat-cepat mengajak Awan dan Ermono untuk bubar sejenak. Mereka mundur ke bagian lain sel, mencoba menghindari konfrontasi yang tak perlu. Namun, Awan, tampak acuh dan melempar pandangan tajam ke arah penjaga.

Penjaga dengan wajah kesal memukuli jeruji besi sambil berteriak, “Hey kalian, bubar! Malam-malam ngerumpi kaya ibu-ibu di kampung. Ayo, bubar!”

Ia selalu kasar dan mengancam para tahanan seolah mereka adalah sampah yang diinjak-injak.

Beberapa tahanan lain segera menjauh, patuh terhadap perintah kasar penjaga. Namun, Awan masih tetap menatap tajam, tak merasa terintimidasi. Emosi di udaranya terasa semakin tegang.

Penjaga semakin kesal melihat tatapan tajam Awan yang tampak menantang. Dengan penuh kemarahan, penjaga melangkah mendekati jeruji besi sel Awan. Purwo dan Ermono berusaha menenangkan Awan di ruang sel yang dingin dan gelap.

Pria itu tersebut dengan angkuh mendekat dan menghardik, “Hai, bocah ingusan! Kamu mau jadi jagoan, ya?” Bentakan penjaga mencoba mengintimidasi Awan.

Awan, tanpa menghiraukan himbauan penjaga, dengan datar menjawab, “Persetan kalian, para begundal negara.”

Awan, pemimpin geng di jalanan, ahli bela diri dan memiliki mental bertarung kuat.

Saat penjaga semakin mendekat dengan pentungan di tangannya, Awan terus memperhatikan gerakannya. Kewaspadaannya ditingkatkan. Tiba-tiba, tendangan menghantam dada penjaga saat pentungan meluncur ke arah Awan. Sang penjaga terlempar, menabrak dinding sel, dan seteguh darah mengalir dari hidungnya. Semua orang di sel itu tersentak kaget, melihat aksi tegas Awan yang tak terduga.

Penjaga tersungkur, bangkit, dan mendekati Awan dengan niat balas dendam.

Awan, dengan kesiapan penuh, menunggu dengan sikap tak gentar. Ia lalu mencibir penjaga tersebut, “Hai, kau orang tua tak tahu diri.”

Awan memprovokasi, “Berani hanya menghadapi bocah ingusan yang terborgol.” Ia menantang, “Kalau kamu memang berani, kita duel satu lawan satu. Takutkah kamu pada bocah ingusan ini?”

Tertawa sinis, Awan menambahkan, “Tapi lepaskan dulu borgolku, biar seimbang. Kamu boleh pakai pentungan.”

Ungkapan Awan semakin memprovokasi penjaga, yang tampak kehilangan kendali. Suasana di sel kini semakin panas, menanti aksi selanjutnya.

Purwo tersenyum melihat keberanian Awan, sambil berbisik, “Bocah ini cerdik dan pemberani, Ermono.”

Ermono menjawab singkat, “Ia, pak.”

Purwo berharap, “Semoga setelah kita keluar dari sini, bisa bertemu dengan bocah ini.” Purwo menghargai karakter Awan, pemuda berkepribadian kuat dan penuh semangat.

Ermono menambahkan, “Jarang kita menemukan pemuda seperti ini, pak.” Mereka berdua merenung, menyadari nilai luar biasa yang dimiliki oleh Awan.

Penjaga tersebut terlihat bodoh di depan Awan, mengabulkan permintaan Awan untuk melepas borgolnya. Namun, menurut penjaga, Awan hanyalah seorang anak kecil yang bisa diintimidasi.

“Baiklah, nak. Aku akan melepaskan borgolmu, tapi jangan menyesal jika aku akan menghajarmu,” kata penjaga.

“Kamu lihat cecunguk-cecunguk di sekitarmu itu tidak berani membantumu,” tegas penjaga.

Purwo dan Ermono hanya diam, menahan emosi mereka. Mereka lebih bijak, tidak seperti Awan yang muda dan bersemangat.

Ketika penjaga membuka borgol Awan dengan santai, Awan berpura-pura bodoh. “Terima kasih, Pak, sudah membukakan borgolku,” ucapnya dengan senyuman tulus. Penjaga tersenyum, tanpa sadar memberi keleluasaan pada seseorang yang lebih berbahaya dari perkiraannya.

Namun, saat penjaga itu menoleh, sebuah pukulan tiba-tiba melayang ke arahnya. Ia berhasil menghindar dengan cepat, sambil mengumpat karena keterkejutan. “Kurang ajar, bocah tengik! Beraninya kamu menyerang aku!”

Awan, yang pura-pura bodoh sebelumnya, tidak mengabaikan kata-kata kasar itu. Dengan gerakan cepat, dia menyerang penjaga yang kewalahan menghadapi jagoan jalanan ini. Dalam sekejap, Awan mampu melumpuhkan penjaga tersebut.

“Hahaha, cuma itu kemampuanmu, Pak Tua?” ejek Awan sambil mengambil borgol dan memborgol penjaga tersebut. Dengan santainya, ia melihat ke arah teman-teman satu selnya. “Hai, kenapa kalian diam? Saatnya kalian balas penjaga berengsek ini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status