Home / Historical / TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA / Bab 3: Pemberontakan di Dalam Sel

Share

Bab 3: Pemberontakan di Dalam Sel

Author: Soeganx
last update Last Updated: 2023-11-30 15:38:25

Namun, kejutan menyelimuti Awan ketika beberapa sosok laki-laki muncul di depannya. Mereka menyapa Awan dengan ramah, menciptakan kelegaan di tengah ketegangan. Pemimpin kelompok tersebut, dengan wajah serius, bertanya.

“Selamat malam, nak. Kenapa anak sebelia kamu bisa masuk di sini?”

Awan menjawab dengan jujur, “Saya tidak tahu.”

Merasa heran dan bingung. Pemimpin kelompok menghela nafas, “Mereka berulah lagi, rupanya.” Gumamnya, mencerminkan kekecewaan terhadap situasi yang mungkin sudah sering mereka alami.

“Siapa namamu, nak?” tanya pemimpin kelompok dengan wajah serius.

Awan menjawab, “Namaku Awan.” Pemimpin kelompok menatapnya sejenak sebelum mengangguk.

“Namaku Purwo,” kata seorang pria yang berdiri di samping pemimpin kelompok. Purwo memberi sapaan sambil tersenyum ramah. “Ermono,” katanya sambil memperkenalkan diri.

Awan merasa sedikit lega mengetahui nama-nama mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa saya dibawa ke tempat seperti ini?” tanya Awan, mencoba mencari pemahaman.

“Pasti ada alasan tertentu untuk menangkapmu, Awan,” jawab Purwo. “Aku tidak bisa memahami mengapa pemerintah menargetkan seorang pemuda yang masih terlalu belia.” 

Ermono menambahkan, “Kami, para demonstran dan aktivis, tiap hari diburu oleh aparat, Awan. 

“Saya ditangkap demo bela warga, lahannya dirampas pemerintah untuk waduk tanpa ganti rugi.” 

“Aku bantu oposisi, galang massa, cari dana lawan pemerintah tirani, Awan.” Ungkap Purwo

“Apa kamu adalah anak buah pemimpin oposisi tersebut?” tanya Awan.

“Iya, Awan,” jawab Purwo.

“Tapi sayangnya, pemimpin kamu sudah ditangkap, dan kantor partai kalian sudah diduduki lawan.”

“Apakah benar itu, Awan?” tambah Ermono."Di sini kami tanpa informasi, tanpa bisa dijenguk." Bahkan, sebagian dari kami di sini banyak yang tidak bertahan dan hilang entah kemana."

Purwo mengangguk paham, “Awan, kadang kita dituduh dan dihukum tanpa tahu kesalahan sebenarnya. Pemerintah ini memakai kekuasaannya untuk menekan yang dianggap potensial ancaman.”

Ermono menambahkan, “Sama seperti yang kami alami. Aktivitas kami yang seharusnya melindungi hak rakyat malah dianggap sebagai ancaman oleh penguasa.”

Purwo kemudian bertanya, “Apakah kamu punya rencana untuk melawan atau mencari kebenaran, Awan?”

Awan mengangguk mantap, “Saya tidak akan tinggal diam. Akan cari tahu kebenaran dan perjuangkan hak-hak kita sebagai warga negara.”

Purwo tersenyum, “Baik, Awan. Kami siap membantu. Bersama-sama, kita akan mencari keadilan dan kebenaran.”

Dari kejauhan, terdengar langkah seseorang mendekat ke dalam sel tersebut. Penjaga berjalan dengan langkah berat, suara gemerincing kunci dan pentungan terdengar. Wajahnya yang keras dan matanya yang tajam membuat para tahanan ketakutan.

Melihat penjaga datang, Purwo cepat-cepat mengajak Awan dan Ermono untuk bubar sejenak. Mereka mundur ke bagian lain sel, mencoba menghindari konfrontasi yang tak perlu. Namun, Awan, tampak acuh dan melempar pandangan tajam ke arah penjaga.

Penjaga dengan wajah kesal memukuli jeruji besi sambil berteriak, “Hey kalian, bubar! Malam-malam ngerumpi kaya ibu-ibu di kampung. Ayo, bubar!”

Ia selalu kasar dan mengancam para tahanan seolah mereka adalah sampah yang diinjak-injak.

Beberapa tahanan lain segera menjauh, patuh terhadap perintah kasar penjaga. Namun, Awan masih tetap menatap tajam, tak merasa terintimidasi. Emosi di udaranya terasa semakin tegang.

Penjaga semakin kesal melihat tatapan tajam Awan yang tampak menantang. Dengan penuh kemarahan, penjaga melangkah mendekati jeruji besi sel Awan. Purwo dan Ermono berusaha menenangkan Awan di ruang sel yang dingin dan gelap.

Pria itu tersebut dengan angkuh mendekat dan menghardik, “Hai, bocah ingusan! Kamu mau jadi jagoan, ya?” Bentakan penjaga mencoba mengintimidasi Awan.

Awan, tanpa menghiraukan himbauan penjaga, dengan datar menjawab, “Persetan kalian, para begundal negara.”

Awan, pemimpin geng di jalanan, ahli bela diri dan memiliki mental bertarung kuat.

Saat penjaga semakin mendekat dengan pentungan di tangannya, Awan terus memperhatikan gerakannya. Kewaspadaannya ditingkatkan. Tiba-tiba, tendangan menghantam dada penjaga saat pentungan meluncur ke arah Awan. Sang penjaga terlempar, menabrak dinding sel, dan seteguh darah mengalir dari hidungnya. Semua orang di sel itu tersentak kaget, melihat aksi tegas Awan yang tak terduga.

Penjaga tersungkur, bangkit, dan mendekati Awan dengan niat balas dendam.

Awan, dengan kesiapan penuh, menunggu dengan sikap tak gentar. Ia lalu mencibir penjaga tersebut, “Hai, kau orang tua tak tahu diri.”

Awan memprovokasi, “Berani hanya menghadapi bocah ingusan yang terborgol.” Ia menantang, “Kalau kamu memang berani, kita duel satu lawan satu. Takutkah kamu pada bocah ingusan ini?”

Tertawa sinis, Awan menambahkan, “Tapi lepaskan dulu borgolku, biar seimbang. Kamu boleh pakai pentungan.”

Ungkapan Awan semakin memprovokasi penjaga, yang tampak kehilangan kendali. Suasana di sel kini semakin panas, menanti aksi selanjutnya.

Purwo tersenyum melihat keberanian Awan, sambil berbisik, “Bocah ini cerdik dan pemberani, Ermono.”

Ermono menjawab singkat, “Ia, pak.”

Purwo berharap, “Semoga setelah kita keluar dari sini, bisa bertemu dengan bocah ini.” Purwo menghargai karakter Awan, pemuda berkepribadian kuat dan penuh semangat.

Ermono menambahkan, “Jarang kita menemukan pemuda seperti ini, pak.” Mereka berdua merenung, menyadari nilai luar biasa yang dimiliki oleh Awan.

Penjaga tersebut terlihat bodoh di depan Awan, mengabulkan permintaan Awan untuk melepas borgolnya. Namun, menurut penjaga, Awan hanyalah seorang anak kecil yang bisa diintimidasi.

“Baiklah, nak. Aku akan melepaskan borgolmu, tapi jangan menyesal jika aku akan menghajarmu,” kata penjaga.

“Kamu lihat cecunguk-cecunguk di sekitarmu itu tidak berani membantumu,” tegas penjaga.

Purwo dan Ermono hanya diam, menahan emosi mereka. Mereka lebih bijak, tidak seperti Awan yang muda dan bersemangat.

Ketika penjaga membuka borgol Awan dengan santai, Awan berpura-pura bodoh. “Terima kasih, Pak, sudah membukakan borgolku,” ucapnya dengan senyuman tulus. Penjaga tersenyum, tanpa sadar memberi keleluasaan pada seseorang yang lebih berbahaya dari perkiraannya.

Namun, saat penjaga itu menoleh, sebuah pukulan tiba-tiba melayang ke arahnya. Ia berhasil menghindar dengan cepat, sambil mengumpat karena keterkejutan. “Kurang ajar, bocah tengik! Beraninya kamu menyerang aku!”

Awan, yang pura-pura bodoh sebelumnya, tidak mengabaikan kata-kata kasar itu. Dengan gerakan cepat, dia menyerang penjaga yang kewalahan menghadapi jagoan jalanan ini. Dalam sekejap, Awan mampu melumpuhkan penjaga tersebut.

“Hahaha, cuma itu kemampuanmu, Pak Tua?” ejek Awan sambil mengambil borgol dan memborgol penjaga tersebut. Dengan santainya, ia melihat ke arah teman-teman satu selnya. “Hai, kenapa kalian diam? Saatnya kalian balas penjaga berengsek ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 19 : Becak Harapan

    Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 18: Harapan dan Bantuan

    Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 17 : Kebenaran dan Keselamatan

    Keesokan paginya, Kapten Haris memanggil seluruh timnya untuk rapat darurat. "Kita memiliki dua tugas. Menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian Bagas. Dan menyelidiki konspirasi yang mungkin terjadi di dalam penjara ini. Saya tidak ingin ada yang melanggar perintah untuk merahasiakan kasus ini," ucap Kapten Haris serius.Tim penyelidik mulai bergerak, memeriksa setiap sudut penjara dengan cermat. Mereka menggali informasi dari tahanan dan petugas, mencoba menyusun puzzle yang semakin kompleks.Sementara itu, Kapten Bagyo dari polisi militer kembali untuk memeriksa kemajuan penyelidikan."Waktu terus berjalan, Kapten Haris. Saya harap ada perkembangan positif," kata Kapten Bagyo tanpa basa-basi.Kapten Haris menatap Kapten Bagyo dengan tekad, "Kami sedang bekerja keras, Kapten Bagyo. Tapi ini bukan tugas yang mudah."Kapten Bagyo mengangguk dan pergi, meninggalkan Kapten Haris dengan beban yang semakin berat. Ia merasa tekanan dari dua arah. Tekanan untuk menjaga rahasia p

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 16: Pertaruhan Gelap

    "Dia tampaknya terkejut saat saya bertanya mengenai tahanan lain yang mengetahui kasus ini," kata Kapten Bagyo.Ketika Kapten Bagyo berbicara secara tegas kepada Sersan Darto, terlihat pertemuan rahasia yang dilakukannya dengan salah seorang tahanan menjadi sorotan."Sersan Darto, saya butuh klarifikasi dari Anda. Pertemuan rahasia dengan narapidana bukan hal yang seharusnya terjadi," kata Kapten Bagyo.Sersan Darto terlihat semakin gelisah. "Ini hanya pembicaraan sepele, Kapten. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sersan Darto. Namun, Kapten Bagyo memutuskan untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai pertemuan tersebut.Selama penggalian kuburan Bagas dan otopsi, beberapa petunjuk muncul. Namun, sebagian dari petunjuk tersebut tampaknya sengaja dipalsukan atau diatur untuk mengalihkan perhatian.Saat Kapten Bagyo bersiap untuk pergi, ia memberikan ancaman terbuka kepada Kapten Haris dan para petugas penjara."Saya akan kembali, Kapten Haris. Jangan sampai ada yang berusaha menghalangi pe

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 15 : Misteri Penjara

    Kapten Haris dengan wajah serius mengumpulkan seluruh personel membahas kasus misterius kematian Bagas. Ketegangan mewarnai udara, dan seluruh anggota tim tampak cemas. Dengan tegas, Kapten Haris melontarkan pertanyaan keras, "Siapa yang melakukan ini?" Suaranya memecah keheningan ruangan, namun tidak ada yang berani menjawab, menunduk dalam ketakutan. Pertanyaan berikutnya diarahkan kepada Letnan Teguh, perwira yang bertugas sebagai komandan piket malam. Kapten Haris ingin tahu mengapa Letnan Teguh berjaga di blok C tempat Bagas ditahan, sedangkan seharusnya ia bertanggung jawab di semua blok. "Letnan Teguh, saya ingin bertanya. Mengapa Anda berjaga di blok C malam itu? Bukankah Anda seharusnya bertanggung jawab di semua blok?" "Maaf, Kapten. Saya bertanggung jawab di semua blok. Namun, malam itu Sersan Jamal yang seharusnya berjaga sakit, jadi saya yang menggantikannya." "Apakah Sersan Jamal sudah memberikan surat izin dari dokter?" Kapten Haris tampak heran dan langsung memer

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 14: Kematian Misterius

    Matahari semakin menunjukkan taringnya dengan panas terik yang menyengat. Sel di dalam penjara terasa semakin pengap. Membuat Awan dan kedua seniornya, Purwo dan Ermono, merasa tidak nyaman. Mereka mondar-mandir di sel karena kepanasan."Aduh, pengap banget ya. Apa akan turun hujan?" tanya Awan."Tidak, cuaca memang panas akhir-akhir ini," jawab Ermono.Waktu makan siang sudah lewat, namun jatah makanan dari penjaga belum kunjung datang. Purwo bertanya, "Kenapa penjaga belum mengirimkan jatah makan?"Awan mencoba mengintip dari pintu sel. Berharap bisa melihat apakah Pak Darto, penjaga yang biasanya mengantar makanan, sudah datang. Saat kepala Awan menempel di pintu sel, tiba-tiba ia terkejut dan berteriak kaget."Hai, ngapain kamu ngintip kaya gitu, Awan?" tanya Darto sambil tertawa."Maaf Pak Darto, saya mengintip karena mencari Bapak. Tumben sudah siang Bapak belum datang," jawab Awan."Wah, baru kali ini kamu merindukanku Awan?" canda Darto."Iya, Pak, saya sudah kelaparan," jawab

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status