Namun, kejutan menyelimuti Awan ketika beberapa sosok laki-laki muncul di depannya. Mereka menyapa Awan dengan ramah, menciptakan kelegaan di tengah ketegangan. Pemimpin kelompok tersebut, dengan wajah serius, bertanya.
“Selamat malam, nak. Kenapa anak sebelia kamu bisa masuk di sini?”
Awan menjawab dengan jujur, “Saya tidak tahu.”
Merasa heran dan bingung. Pemimpin kelompok menghela nafas, “Mereka berulah lagi, rupanya.” Gumamnya, mencerminkan kekecewaan terhadap situasi yang mungkin sudah sering mereka alami.
“Siapa namamu, nak?” tanya pemimpin kelompok dengan wajah serius.
Awan menjawab, “Namaku Awan.” Pemimpin kelompok menatapnya sejenak sebelum mengangguk.
“Namaku Purwo,” kata seorang pria yang berdiri di samping pemimpin kelompok. Purwo memberi sapaan sambil tersenyum ramah. “Ermono,” katanya sambil memperkenalkan diri.
Awan merasa sedikit lega mengetahui nama-nama mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa saya dibawa ke tempat seperti ini?” tanya Awan, mencoba mencari pemahaman.
“Pasti ada alasan tertentu untuk menangkapmu, Awan,” jawab Purwo. “Aku tidak bisa memahami mengapa pemerintah menargetkan seorang pemuda yang masih terlalu belia.”
Ermono menambahkan, “Kami, para demonstran dan aktivis, tiap hari diburu oleh aparat, Awan.
“Saya ditangkap demo bela warga, lahannya dirampas pemerintah untuk waduk tanpa ganti rugi.”
“Aku bantu oposisi, galang massa, cari dana lawan pemerintah tirani, Awan.” Ungkap Purwo
“Apa kamu adalah anak buah pemimpin oposisi tersebut?” tanya Awan.
“Iya, Awan,” jawab Purwo.
“Tapi sayangnya, pemimpin kamu sudah ditangkap, dan kantor partai kalian sudah diduduki lawan.”
“Apakah benar itu, Awan?” tambah Ermono."Di sini kami tanpa informasi, tanpa bisa dijenguk." Bahkan, sebagian dari kami di sini banyak yang tidak bertahan dan hilang entah kemana."
Purwo mengangguk paham, “Awan, kadang kita dituduh dan dihukum tanpa tahu kesalahan sebenarnya. Pemerintah ini memakai kekuasaannya untuk menekan yang dianggap potensial ancaman.”
Ermono menambahkan, “Sama seperti yang kami alami. Aktivitas kami yang seharusnya melindungi hak rakyat malah dianggap sebagai ancaman oleh penguasa.”
Purwo kemudian bertanya, “Apakah kamu punya rencana untuk melawan atau mencari kebenaran, Awan?”
Awan mengangguk mantap, “Saya tidak akan tinggal diam. Akan cari tahu kebenaran dan perjuangkan hak-hak kita sebagai warga negara.”
Purwo tersenyum, “Baik, Awan. Kami siap membantu. Bersama-sama, kita akan mencari keadilan dan kebenaran.”
Dari kejauhan, terdengar langkah seseorang mendekat ke dalam sel tersebut. Penjaga berjalan dengan langkah berat, suara gemerincing kunci dan pentungan terdengar. Wajahnya yang keras dan matanya yang tajam membuat para tahanan ketakutan.
Melihat penjaga datang, Purwo cepat-cepat mengajak Awan dan Ermono untuk bubar sejenak. Mereka mundur ke bagian lain sel, mencoba menghindari konfrontasi yang tak perlu. Namun, Awan, tampak acuh dan melempar pandangan tajam ke arah penjaga.
Penjaga dengan wajah kesal memukuli jeruji besi sambil berteriak, “Hey kalian, bubar! Malam-malam ngerumpi kaya ibu-ibu di kampung. Ayo, bubar!”
Ia selalu kasar dan mengancam para tahanan seolah mereka adalah sampah yang diinjak-injak.
Beberapa tahanan lain segera menjauh, patuh terhadap perintah kasar penjaga. Namun, Awan masih tetap menatap tajam, tak merasa terintimidasi. Emosi di udaranya terasa semakin tegang.
Penjaga semakin kesal melihat tatapan tajam Awan yang tampak menantang. Dengan penuh kemarahan, penjaga melangkah mendekati jeruji besi sel Awan. Purwo dan Ermono berusaha menenangkan Awan di ruang sel yang dingin dan gelap.
Pria itu tersebut dengan angkuh mendekat dan menghardik, “Hai, bocah ingusan! Kamu mau jadi jagoan, ya?” Bentakan penjaga mencoba mengintimidasi Awan.
Awan, tanpa menghiraukan himbauan penjaga, dengan datar menjawab, “Persetan kalian, para begundal negara.”
Awan, pemimpin geng di jalanan, ahli bela diri dan memiliki mental bertarung kuat.
Saat penjaga semakin mendekat dengan pentungan di tangannya, Awan terus memperhatikan gerakannya. Kewaspadaannya ditingkatkan. Tiba-tiba, tendangan menghantam dada penjaga saat pentungan meluncur ke arah Awan. Sang penjaga terlempar, menabrak dinding sel, dan seteguh darah mengalir dari hidungnya. Semua orang di sel itu tersentak kaget, melihat aksi tegas Awan yang tak terduga.
Penjaga tersungkur, bangkit, dan mendekati Awan dengan niat balas dendam.
Awan, dengan kesiapan penuh, menunggu dengan sikap tak gentar. Ia lalu mencibir penjaga tersebut, “Hai, kau orang tua tak tahu diri.”
Awan memprovokasi, “Berani hanya menghadapi bocah ingusan yang terborgol.” Ia menantang, “Kalau kamu memang berani, kita duel satu lawan satu. Takutkah kamu pada bocah ingusan ini?”
Tertawa sinis, Awan menambahkan, “Tapi lepaskan dulu borgolku, biar seimbang. Kamu boleh pakai pentungan.”
Ungkapan Awan semakin memprovokasi penjaga, yang tampak kehilangan kendali. Suasana di sel kini semakin panas, menanti aksi selanjutnya.
Purwo tersenyum melihat keberanian Awan, sambil berbisik, “Bocah ini cerdik dan pemberani, Ermono.”
Ermono menjawab singkat, “Ia, pak.”
Purwo berharap, “Semoga setelah kita keluar dari sini, bisa bertemu dengan bocah ini.” Purwo menghargai karakter Awan, pemuda berkepribadian kuat dan penuh semangat.
Ermono menambahkan, “Jarang kita menemukan pemuda seperti ini, pak.” Mereka berdua merenung, menyadari nilai luar biasa yang dimiliki oleh Awan.
Penjaga tersebut terlihat bodoh di depan Awan, mengabulkan permintaan Awan untuk melepas borgolnya. Namun, menurut penjaga, Awan hanyalah seorang anak kecil yang bisa diintimidasi.
“Baiklah, nak. Aku akan melepaskan borgolmu, tapi jangan menyesal jika aku akan menghajarmu,” kata penjaga.
“Kamu lihat cecunguk-cecunguk di sekitarmu itu tidak berani membantumu,” tegas penjaga.
Purwo dan Ermono hanya diam, menahan emosi mereka. Mereka lebih bijak, tidak seperti Awan yang muda dan bersemangat.
Ketika penjaga membuka borgol Awan dengan santai, Awan berpura-pura bodoh. “Terima kasih, Pak, sudah membukakan borgolku,” ucapnya dengan senyuman tulus. Penjaga tersenyum, tanpa sadar memberi keleluasaan pada seseorang yang lebih berbahaya dari perkiraannya.
Namun, saat penjaga itu menoleh, sebuah pukulan tiba-tiba melayang ke arahnya. Ia berhasil menghindar dengan cepat, sambil mengumpat karena keterkejutan. “Kurang ajar, bocah tengik! Beraninya kamu menyerang aku!”
Awan, yang pura-pura bodoh sebelumnya, tidak mengabaikan kata-kata kasar itu. Dengan gerakan cepat, dia menyerang penjaga yang kewalahan menghadapi jagoan jalanan ini. Dalam sekejap, Awan mampu melumpuhkan penjaga tersebut.
“Hahaha, cuma itu kemampuanmu, Pak Tua?” ejek Awan sambil mengambil borgol dan memborgol penjaga tersebut. Dengan santainya, ia melihat ke arah teman-teman satu selnya. “Hai, kenapa kalian diam? Saatnya kalian balas penjaga berengsek ini.”
Dalam pantauan ketat itu, Darto muncul. Dengan sikap tenang, ia mendekat. “Kenapa kalian berdiri di depan pintu?” tanyanya, suaranya seperti angin sejuk yang menusuk ketidakpastian. Kami hanya mencari angin, Pak," jawab Ermono. Darto menatap Ermono, seakan mencoba membaca setiap ekspresi yang terpantul di wajahnya. “Kalian hanya mencari angin?” ulang Darto, suaranya mengejek. “Saya di sini sudah puluhan tahun, jangan pikir kalian bisa menyembunyikan sesuatu dariku.” Ermono dan Purwo saling berpandangan, menyadari bahwa Darto tidak mudah dikelabui. Meskipun suasana tegang memenuhi sel, Darto tidak kehilangan sikap tegasnya. Ia mendekati Ermono, memandanginya dengan penuh pengetahuan tentang tingkah laku para tahanan. “Bocah itu tidak seperti yang lain, ya?” goda Darto, mencoba menggali informasi lebih lanjut. “Saya tahu ketika ada yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Jadi, apa yang sedang terjadi?” Ermono terdiam, mencoba merumuskan jawaban yang tidak akan membocorkan terla
Komandan merenung sejenak, mencoba menyusun potongan informasi yang ada di hadapannya. “Apakah ada alasan khusus yang membuat kamu terlibat dalam situasi ini? Ada tekanan dari pihak lain, atau mungkin ada motif tertentu?”Awan tetap tenang. “Tidak ada alasan atau tekanan, Pak. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya berada di sini. Dan saya tidak melakukan apa pun yang dapat merugikan siapa pun.”Keheranan di wajah Komandan semakin mendalam. Masih ada misteri yang perlu dipecahkan sebelum mereka dapat menemukan akar masalah ini. Komandan mengerutkan kening, wajahnya mencerminkan kebingungan.“Bukankah menurut berkas ini, keluarga Anda memiliki latar belakang penting di masa lalu?” tanya Komandan dengan suara yang penuh keraguan.Awan tersenyum pahit. “Maafkan saya, Pak, tapi itu tidak benar. Saya hanya seorang anak jalanan, tidak memiliki hubungan dengan keluarga yang mulia.”Komandan menatap Awan dengan intensitas, mencoba memahami kebenaran di balik kata-kata tersebut. Dia kembali
Melihat Awan, beberapa tahanan mulai terprovokasi dan menghajar penjaga tersebut. Awan duduk santai, memperhatikan keributan yang terjadi di sel. Sementara itu, Purwo dan Ermono berusaha menghentikan kebrutalan para tahanan. “Berhenti, kalian!” teriak Purwo lantang, mencoba menghentikan kekerasan yang terjadi. “Jangan sampai penjaga ini tewas, atau nasib kalian akan berakhir tragis.” Namun, beberapa tahanan tidak menghiraukan peringatan Purwo dan terus menyerang. Situasi semakin kacau, penjaga lain yang mendengar segera datang untuk menyelamatkan rekan mereka. Awan yang awalnya santai langsung disergap oleh beberapa penjaga. Meskipun berusaha melawan, akhirnya ia dilumpuhkan. Awan yang telah berhasil dikendalikan oleh penjaga, kemudian dibawa ke sel bawah tanah. Di sana, Awan mengalami serangkaian penyiksaan yang sadis dan kejam. Tubuhnya yang telah lelah dan terluka membuatnya semakin rentan terhadap siksaan tersebut. Meskipun demikian, semangat perlawanan Awan tidak pernah padam
Darto, penjaga berkulit gelap dan bertubuh tambun, sosok yang menonjolkan kehumanisan. Meskipun pekerjaannya memerlukan ketegasan, Darto tetap mendekati para tahanan dengan sikap empatik. Usianya yang sudah mencapai lima puluhan tahun memberinya pengalaman dan kebijaksanaan. Pada pandangan pertama, orang mungkin menilai Darto dari penampilannya. Namun, di balik eksterior tersebut, Darto memiliki hati yang lembut. Ia sering memahami beban yang diemban oleh para tahanan dan berusaha memberikan dukungan. Sikap humanis Darto tercermin dalam tindakannya membawa makanan dan kepeduliannya terhadap para tahanan. Ia melihat Awan yang tidak mau makan, tahu bahwa anak ini dalam tekanan yang besar. Darto berusaha memberikan sedikit kemanusiaan dalam situasi yang sulit. Darto juga memiliki kebijaksanaan untuk memahami nuansa di antara para tahanan. Meskipun menjalankan tugasnya dengan tegas. Dirinya tidak segan untuk menunjukkan kepeduliannya dan mendengarkan mereka. Darto melihat Awan yang te
Kepala penjaga memberikan hormat dan bergerak cepat untuk mengurus Awan. Ruangan itu kembali ditinggalkan dalam keheningan, tetapi ketegangan tetap menggelayuti udara. Semuanya menunggu hasil dari interogasi cepat yang akan menentukan jalannya peristiwa mendatang.Kepala penjaga, setelah berbicara dengan Komandan, mendekati Awan dengan sikap yang lebih tenang. “Nak, kamu sebaiknya segera bekerja sama dengan kami. Dengan usia kamu yang masih sangat muda, kamu bisa mendapatkan keringanan hukuman. Jangan biarkan dirimu berakhir tragis karena melawan.”Awan, meskipun masih merasa marah dan tidak bersalah, merenung sejenak. Dia tahu bahwa situasinya sulit. Kata-kata kepala penjaga menyiratkan kemungkinan konsekuensi yang lebih buruk jika dia terus melawan.“Saya tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya tidak mau mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat,” jawab Awan dengan tegas.Kepala penjaga menggeleng. “Kamu mungkin tidak tahu seberapa besar tekanan yang sedang terjadi di sini, nak. Kami in
Sersan Jamal dan dua kopralnya berjalan ke arah Awan. Mereka mengepung Awan dan menatapnya dengan tatapan tajam. “Hai, bocah,” kata Sersan Jamal. “Kamu takut?” Awan menatap Sersan Jamal dengan tatapan berani. “Aku tidak takut,” katanya. Sersan Jamal tersenyum sinis. “Oh, ya?” katanya. “Lalu mengapa kamu terlihat seperti pengecut?” Kopral Joko dan Kopral Bayu tertawa. Mereka kemudian menarik kaki Awan dan memaksanya duduk di kursi. “Ayo, mengaku saja,” kata Sersan Jamal. “Kamu tidak akan bisa lolos.” Awan menggelengkan kepala. “Aku tidak bersalah,” katanya. Sersan Jamal meninju perut Awan dengan keras. Awan meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. “Ayo, mengaku saja,” kata Sersan Jamal lagi. “Atau kamu akan merasakan sakit yang lebih parah lagi.” Kopral Joko menampar pipi Awan. Awan kembali meringis kesakitan, tetapi dia tetap diam. Sersan Jamal menarik kursinya dan duduk di atasnya. Dia meletakkan kakinya di atas jempol kaki Awan dan menekannya dengan keras. Awan berte
Suasana di dalam kantor terasa tegang ketika Jenderal Budi memasuki ruangan tersebut. Kapten Haris langsung memberi hormat kepada Jenderal yang berpengaruh besar tersebut. "Kapten, aku titipkan anak ini padamu."ucap Jenderal Budi dengan suara serius. Kapten Haris mengangguk tegas sebagai tanda penerimaan tugas baru ini. "Baik, Jenderal. Saya akan mengawasinya dengan ketat," jawab Kapten Haris, menyatakan kesiapannya. Jenderal Budi, yang tampak serius, memberikan instruksi lebih lanjut kepada Kapten Haris. Kapten, Awan masih terlalu muda. Jangan terlalu keras padanya, kata Jenderal Budi. Kapten Haris mengangkat alis, menunjukkan rasa penasaran dan ketidaksetujuan pada saat yang bersamaan. “Perlakuan apa yang dimaksud, Jenderal?” tanya Kapten Haris. Jenderal Budi, dengan ketenangan yang meyakinkan, menjelaskan lebih lanjut. "Dia sedang menghadapi masa-masa sulit. Saya tidak ingin perlakuan yang berlebihan terhadapnya. Biarkan dia berpikir dan memahami keadaannya," papar Jende
Purwo bersama Ermono sedang membersihkan ruang makan. Mereka berdua cukup disegani oleh tahanan lain. Mereka pemimpin tahanan politik terkemuka di Kota Bengawan. Saat keduanya sedang asyik membersihkan sambil bernyanyi dangdut, tampak Sersan Jamal berjalan mendekat. Purwo berbisik ke Ermono, "Tak biasanya iblis ini datang kemari." "Iya, Pak," jawab Ermono singkat. "Kedatangannya pasti membawa masalah. Kita harus bersiap," tambah Purwo. "Saya juga khawatir ada hubungannya dengan Awan," sahut Ermono. "Iya, Ermono. Mudah-mudahan anak itu selamat," jawab Purwo dengan keprihatinan. Namun, ketegangan terasa di udara seiring kedatangan Sersan Jamal. Mereka berdua tahu bahwa kedatangan penjaga sadis ini mungkin membawa masalah. "Pak, ada yang bisa kami bantu?" tanya Purwo dengan ramah saat Sersan Jamal semakin mendekat. Sersan Jamal terlihat serius. "Purwo, Ermono, kita butuh bantuan kalian terkait Awan." Ermono saling pandang dengan Purwo, menyadari bahwa pasti masalah sedang mener