Hari minggu tanggal Tujuh November 2021 pukul 10.00, adalah waktu akan diadakannya pertunangan Leo dengan Mira.
Satu minggu sebelum hari H. Mama Leo sudah mengirimi kain kebaya untuk Ibu dan Mira, yang berbeda motif dan warna. Kebaya Mira memiliki motif modern dan berwarna merah muda. Sedangkan kebaya Ibu memiliki motif keibuan namun modern dan berwarna Merah Maron. Kain itu nantinya akan dijahit dan dipakai saat acara pertunangan.Mama Leo juga mengirim baju batik ukuran M yang sangat modis buat Bapak. Sebenarnya baik Ibu, Bapak maupun Mira sangat bahagia diberi kain yang terlihat mahal dan elegan itu. Tapi wajah mereka kembali bermuram durja saat mengingat pelaksanaannya bukan di rumah pihak perempuan, tapi di pihak laki-laki. Keluarga mereka sekarang, sedang menjadi topik pembicaraan satu desa. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Undangan telah disebar. Mau tidak mau, mereka dipaksa menuruti kemauan Mama Leo.Keluarga bLeo menggandeng tangan Mira sambil terus saja berlari tidak tentu arah. Leo berpikir asalkan tidak terlihat dari pandangan Mama Leo. Tibalah mereka di suatu tempat, entah berantah. Intinya mereka masih tetap di desa yang sama, tapi mereka tidak tahu di mana itu. Mereka berhenti di suatu gang sempit yang hanya cukup buat orang lewat. Kendaraan bermotor tidak bisa lewat si sana, apalagi mobil.“Kamu ... mau ... membawaku ... ke mana?” tanya Mira sambil terengah-engah karena kelelahan setelah berlarian cukup jauh.“Aku ... sendiri ... tidak ... tahu ... harus ... ke mana,” jawab Leo sambil berusaha mengatur napasnya yang bergerak cepat, bahkan lebih cepat dari dentuman detik pada jam.“Terus ... kenapa kamu menggandengku keluar? Kupikir kamu punya tempat yang dituju,” tanya Mira. Ada sedikit penyesalan di nada bicaranya. Napasnya sudah lebih teratur dari sebelumnya.“Maaf. Aku tadi Spont
Mira berusaha membuka matanya yang masih berat. Semalam tidurnya kurang lelap, karena terlalu banyak yang dipikirkan. Dia baru bisa terpejam saat pagi dan sekarang, Kakek memintanya membuka mata padahal baru saja tidur selama empat jam. Leo sangat terganggu dengan suara bising yang harus membuatnya terbangun. Matanya masih ingin terpejam. Dia tidak mau bangun dari tidurnya, jadi dia bersembunyi ke dalam selimut dan menutup telinganya dengan bantal. Kakek geregetan tapi tersenyum melihat tingkah lucu cucunya. Dia malah mendekati Leo dan memukul-mukul pantat panci dekat dengan telinganya. Leo menjadi kesal dan terpaksa terbangun dengan menutup telinga. “Iya, iya Kek. Aku bangun. Tolong stop! Berisik, Kek!” ucap Leo dengan geram. Matanya masih tertutup saat mengatakan itu. Kakek senang bukan main melihat keberhasilannya membangunkan Mira dan Leo. Mira dari tadi sudah bangun dan duduk di kursi ruang tengah dengan wajahnya yang masih mengantuk. S
“Kami pikir, ini waktunya pulang, Kek. Kasian orang tua kami menunggu di rumah,” jelas Mira dengan nada terendah tapi terdengar jelas, saking kalemnya. “Benar! Kami sudah membicarakannya tadi. Terima kasih atas pelajarannya, Kek!” sambung Leo dengan nada tegas khasnya. “Pelajaran yang berharga buat kami. Kami akhirnya sadar dengan perasaan orang tua kami,” ucap Mira menjiwai. “Setelah ini, kami akan memberikan kejutan juga buat mereka ... haha,” kata Leo sambil mengeluarkan tawa jahatnya. Mira nyengir kuda mendengar tawanya. Kakek tercengang saat Leo dan Mira saling sahut-sahutan menjelaskan secara panjang lebar kepada Kakek tanpa terputus. “Apa maksudmu dengan kejutan? Apa kalian telah melakukannya? Waktu Kakek lengah. Dan sekarang, di perut Mira ada ... “ tanya Kakek dengan wajah mulai memucat karena rasa bersalah dan kesedihan yang terkumpul pelan-pelan. Dadanya didekap dengan kedua tangannya, seolah-olah mengatakan tidak kuat denga
Leo bercerita kepada papanya. Ketika di rumah kakeknya, dia dititipi dua anak tetangga Kakek. Awalnya mereka kewalahan. Apalagi Leo yang sama sekali belum pernah berurusan dengan anak kecil. Tapi, lambat laun mereka belajar memahami kedua anak itu, dan akhirnya mereka dapat bersenang-senang. Nah, setelah kejadian itu Mira dan Leo saling berkata, ternyata seru juga. Tiba-tiba muncul inisiatif dari otak encer Leo, “Gimana kalau kita nikah secepatnya?” Usulnya langsung disetujui Mira dengan lantang. Mira seperti memahami maksud terselubung dibalik pertanyaan Leo, karena dia memiliki pemikiran yang sama. Jadi tidak perlu menjabarkan jawabannya dengan panjang lebar. “Aku bayangin, Pa. Pasti sangat lucu kalau kami bisa bermain dengan anak yang datang dari perut Mira. Buah hasil pembauran kami berdua,” jelas Leo sambil mengangkat alisnya dan tersenyum ringan. Dia memandang Mira dengan tatapan ingin mencengkeram nakal. Mira membalas tatapannya dengan menu
“Apa mungkin dia ... ? Sial. Bisa jadi. Huff, bikin kesel.” Tepat saat itu, Leo bersalaman dengan tamu terakhirnya. Setelah itu, dia segera melangkahkan kakinya, turun ke panggung dan menuju kepada seseorang. Leo berhenti persis di sisi wanita itu. “Bisa, kita bicara sebentar!” pinta Leo dengan nada datar yang dingin. Membuat yang dipanggilnya menoleh membeku menatapnya. “Oke, bleh sja,” jawabnya dengan cepat tanpa ekspresi. “Ren, aku minta tolong bentar dong. Ini ada yang bikin gatel punggungku,” pinta Mira sambil mencoba meraih punggungnya, namun sulit karena gaun yang dia gunakan. Otomatis Reni lebih memilih menolong sahabatnya dari pada meladeni Leo yang sedang tidak jelas maunya. Reni menatap Leo sebentar, tanpa bicara. Kemudian meninggalkannya, pergi bersama Mira untuk menemaninya di kamar mandi. Hendak menolong menggarukkan punggungnya. Leo menghela napas dengan halus. Dia mengamati sekitar sebentar dan melangkahkan kakinya dengan ringan kembali ke
Mira dan Leo akhirnya keluar dari mobilnya. Mira tidak melepas pegangan tangannya sama sekali. Tangannya masuk ke dalam ruas jari-jari Leo. Dia memainkan jari jemarinya di sana. Sebenarnya Mira sedang berhasrat tinggi dan mengajak suaminya untuk bisa merasakan serta. Walaupun sebenarnya yang dirasakan Leo hanya kehampaan, tapi dia berusaha bertahan dengan segala tingkah istrinya. Kaki mereka dilangkahkan dengan semangat. Sebenarnya yang memotori semangat itu adalah Mira. Sedangkan Leo bergerak karena tarikan tangan Mira dan dorongan keterpaksaan untuk mengiringi langkah kaki istrinya agar bisa berbarengan. Itu semua karena mereka jadi pusat sentra lensa Mama dan Papa Leo yang telah lebih dulu berada di sana. Kamar pengantin yang telah disiapkan untuk mereka berada di kamar Leo. Kamar itu dihiasi dengan berbagai rangkaian bunga mawar dengan dominan warna merah dan juga bunga sedap malam yang berbau wangi menambah kesan gairah. Beberapa kelopak mawar dibiarkan
Mira berusaha menelepon Leo berkali-kali. Dia ingin tahu alasan dia ditinggal begitu saja di malam pertama. Namun teleponnya tidak diangkat. Mira melempar tubuhnya di tepi ranjang. Matanya terus saja berputar seiring dengan otaknya. Yang saat ini, berusaha mencari kemungkinan alasannya. Agar hatinya sedikit lebih tenang. Mira sempat berpikir. Mungkin tadi Leo kaget karena dia yang lebih agresif. Menciumi Leo terlebih dahulu. Biasanya memang Leo yang memulai lebih dahulu. Tapi kemudian, dia menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak. Masak seperti itu menjadi masalah besar. Bukankah dia mestinya merasa lebih bahagia” batin Mira. Leo pergi meninggalkan Mira begitu saja bersama dengan mobil kesayangannya. Telepon selulernya berkali-kali berbunyi. Dia meletakkannya di kursi penumpang di sebelahnya. Saat berdering, dia hanya meliriknya sebentar dan membaca nama peneleponnya. Ketika dia tahu itu dari Mira. Dia melanjutkan pandangannya ke d
Ketika itu Mira mandi, Leo terbangun dengan kepala yang berat. Perutnya ingin mengeluarkan sesuatu. Segera dia berlari mencari kamar mandi terdekat di luar kamarnya dengan sempoyongan. Tapi isi perutnya semakin mendesak ingin segera keluar. Leo sudah tidak dapat menahannya lagi. Akhirnya dia mengeluarkan semuanya pada tempat sampah yang ditemukannya di depan kamar. Setelah semuanya dikeluarkan, barulah Leo merasa lega. Dia terduduk bersandar pada tembok dengan lemas. Tanpa menunggu terlalu lama, Leo kemudian berusaha berdiri sekuat tenaga yang masih dia punya. Berjalan lunglai menuju ke dalam kamarnya kembali. Bukan ingin istirahat, tapi mengganti pakaiannya dengan kemeja dan jas. Langkah kakinya dibuat secepat mungkin untuk turun dari tangga. Padahal nyatanya masih berjalan sempoyongan dan lambat. Setelah sampai ke dalam mobilnya. Leo menyandarkan kepalanya sebentar. Kemudian dengan hitungan detik, mobilnya sudah melaju bersamanya. Di