LOGINPertemuan yang telah lama dinanti,
Hari itu akhirnya tiba. Sebuah restoran mewah di dalam Mall Central Park, Jakarta Barat, menjadi saksi pertemuan dua keluarga yang telah lama bersahabat, terutama oleh para ibu yang bersahabat sejak di bangku perkuliahan. Yaitu Keluarga Arnold dan Keluarga Marsha. Di tengah suasana elegan restoran bergaya klasik Eropa dengan alunan musik instrumental lembut, Mami Dina duduk anggun bersama putranya, Arnold Zafazel, pria muda tampan nan kharismatik, berbalut jas semi formal abu gelap dengan rambut tersisir rapi. “Jangan terlalu tegang, Nak,” bisik Mami Dina pelan sambil menyesap teh hangatnya, “Mami dan Tante Bertha sudah sepakat, hari ini kita biarkan semuanya mengalir saja. Kamu tinggal jadi diri kamu sendiri.” Arnold mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Mi. Tapi aku nggak nyangka, dijodohin gini. Kayak kencan buta saja,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Tak lama kemudian, muncullah Mami Bertha dengan langkah percaya diri, diiringi oleh putrinya, Marsha Livia. Gadis anggun berambut panjang yang mengenakan gaun midi berwarna peach pastel itu terlihat memesona. Senyumnya tulus, dan sorot matanya lembut. Sesaat, Arnold terpaku. Ada sesuatu yang terasa familiar dari wajah itu. “Arnold?” sapa Marsha sambil tersenyum manis, “Masih ingat aku?” Arnold bangkit dari kursinya dan menjabat tangan Marsha dengan sopan. “Marsha … kamu? Kita satu sekolah saat di taman kanak-kanak dulu, kan?” Marsha tertawa pelan, “He-he-he. Ya ampun, kamu ingat juga!” Mami Dina dan Mami Bertha saling melirik dan tertawa senang. “Kami tinggalkan kalian ngobrol, ya?” seru Mami Bertha sambil berdiri. “Kita mau ke salon langganan kita dulu, Nak. Pasti kalian punya banyak hal buat diceritain,” tambah Mami Dina, memberi kedipan pada Arnold. “Jangan kabur ya, Arnold,” goda Mami Bertha sebelum mereka pergi. “Aku nggak akan kabur, Tante,” sahut Arnold sambil tersenyum. Begitu kedua ibu itu berlalu, keheningan sempat terjadi di antara mereka. Namun hanya sebentar. “Kamu berubah banget, Marsha,” ucap Arnold sambil duduk kembali. “Dulu kamu kecil, cerewet, dan suka rebutan mainan.” Marsha tertawa, “Ha-ha-ha. Dan kamu suka nangis kalau kalah main puzzle.” Arnold ikut tertawa, “Ha-ha-ha. Ya ampun, jangan bongkar aib aku dong.” Mereka pun tertawa bersama. Pelan-pelan, suasana menjadi mencair. “Jadi, kamu sekarang kerja di mana?” tanya Arnold sambil menyesap lemon tea-nya. “Aku kerja di perusahaan keluarga, sebagai desain interior. Lumayan, proyeknya macam-macam. Tapi lebih banyak handle klien-klien premium. Kadang bikin stres, tapi aku suka,” jawab Marsha sambil tersenyum. “Kamu sendiri? CEO ya, sekarang?” Arnold mengangguk. “Iya, di AZ Corp. Fokus di bidang teknologi dan properti. Dulu aku ragu nerusin bisnis keluarga, tapi akhirnya aku nikmatin juga. Banyak tantangan, tapi itu yang bikin seru.” Marsha memperhatikan Arnold dengan penuh kagum. “Kamu kelihatan dewasa banget sekarang … dan sukses.” Arnold sedikit tersipu. “Ah, biasa aja kok. Kamu juga kelihatan elegan banget sekarang. Dulu aku nggak nyangka kamu bakal tumbuh secantik ini,” ujarnya jujur. Marsha menunduk sebentar, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Terima kasih. Kamu tahu nggak, waktu SMA aku sempat lihat kamu di lomba debat antar sekolah.” Arnold mengerutkan alis, penasaran. “Serius? Kamu nonton?” Marsha mengangguk, “Iya. Dan sejak saat itu entah kenapa, kamu jadi kayak orang yang aku kagumi diam-diam. Tapi ya aku simpan aja sendiri. Gak nyangka sekarang malah kita dijodohin.” Arnold terdiam sesaat. Perkataan Marsha barusan menggema di pikirannya. Dia merasa hatinya ikut menghangat. “Kalau kamu ngerasa nggak nyaman dengan semua ini, Marsha, aku ngerti kok. Maksudku, dijodohin bukan sesuatu yang ringan.” Marsha menatap matanya dan tersenyum lembut. “Aku nggak keberatan, Arnold. Justru aku bersyukur kita bisa ketemu lagi dalam situasi seperti ini. Aku rasa mungkin ini waktu yang tepat.” Arnold tersenyum. “Aku juga mikir hal yang sama. Aku senang kita bisa ngobrol lagi. Dan kamu tahu nggak, waktu pertama kamu masuk tadi, aku sempat mikir, kayaknya aku kenal dia, tapi nggak yakin.” “Kamu juga berubah, Arnold. Dulu kamu pemalu banget, sekarang bisa pimpin satu perusahaan. Keren.” Arnold menahan senyum sambil mengusap belakang lehernya. “Public speaking itu butuh latihan bertahun-tahun, Marsha. Tapi kamu juga luar biasa. Cara kamu bicara sopan, tenang. Aku suka banget sama caramu menyampaikan sesuatu.” Marsha tersipu, “Kamu tahu saja cara membuat orang merasa dihargai.” Keduanya pun melanjutkan percakapan tentang masa kecil mereka, mengenang guru TK yang galak, mainan favorit yang mereka rebutkan, dan foto-foto lawas yang pernah mereka ambil dalam acara pentas seni. Sambil tertawa mengenang masa lalu, Arnold memandangi Marsha dan berpikir dalam hati, Mungkin ini bukan sekadar perjodohan. Tapi awal dari sesuatu yang lebih indah. Beberapa saat kemudian, pelayan datang membawa hidangan yang mereka pesan. Keduanya pun menikmati makanan sambil terus bertukar cerita dan tawa. Ada kenyamanan yang tumbuh perlahan, seperti dua orang sahabat lama yang akhirnya bertemu kembali di waktu yang tepat. Saat mereka selesai makan, Arnold berkata, “Marsha, boleh nggak kalau aku ngajak kamu jalan-jalan sebentar keliling mall? Ngobrol-ngobrol sambil cuci mata?” Marsha tersenyum manis. “Tentu saja, dengan senang hati.” Keduanya lalu berdiri dan berjalan berdampingan meninggalkan restoran. Sementara itu, dari kejauhan, dua ibu mereka yang sedang dalam perawatan kuku memandangi keduanya dari balik kaca salon dengan senyum puas. “Mereka cocok banget, ya,” bisik Mami Bertha sambil menyesap jus detox-nya. “Sudah kubilang dari dulu, Arnold itu calon menantu idaman,” sahut Mami Dina bangga. Sementara itu, di antara langkah-langkah ringan mereka di mall, Arnold dan Marsha terus melanjutkan perbincangan, seolah-olah dunia sedang memberi mereka kesempatan kedua untuk lebih saling mengenal, mencintai, dan mungkin membangun masa depan bersama. Arnold dan Marsha berjalan berdampingan di antara deretan butik dan coffee shop di Mall Central Park. Lampu-lampu hangat menghiasi langit-langit mall, menciptakan suasana nyaman di sore hari itu. Sesekali, mereka berhenti di depan etalase, berbincang ringan tentang gaya hidup, minat, dan hobi. “Kamu masih suka baca komik, nggak?” tanya Marsha tiba-tiba sambil menunjuk sebuah toko buku. Arnold tertawa. “Ha-ha-ha. Waduh, ketahuan ya? Iya, kadang masih sih. Tapi sekarang lebih ke manga detektif, bukan super hero lagi.” “Waktu kecil kamu ngefans banget sama Ultraman,” goda Marsha. Ha-ha-ha!” Arnold tertawa lebih keras. “Aduh, jangan dibongkar lagi, dong. Kamu masih ingat banget, ya?” “Tentu. Inget juga kamu pernah pakai kostum Ultraman ke pesta ulang tahun aku pas kita TK,” jawab Marsha sambil menutup mulut menahan tawa. Arnold menggeleng-geleng malu. “Serius, kamu masih inget itu?” “Masa bisa lupa?” ucap Marsha pelan. Matanya menatap Arnold dalam-dalam, kali ini tanpa bercanda. “Kamu salah satu bagian manis dari masa kecil aku.” Arnold mendadak terdiam. Jantungnya berdegup pelan tapi mantap. Perasaan hangat mulai tumbuh di dadanya. “Aku senang dengar kamu ngomong begitu. Aku juga ngerasa nyaman banget hari ini. Nggak tahu kenapa, kayaknya kita nyambung dari dulu.” Marsha tersenyum lembut. “Mungkin karena kita memang punya akar yang sama.” Mereka lalu melanjutkan langkah mereka ke area taman Tribeca Park yang ada di luar mall. Angin sore menghembus lembut, dan suara air dari kolam buatan menciptakan suasana tenang. “Aku selalu berpikir perjodohan itu kaku, penuh tekanan,” ucap Arnold setelah beberapa saat duduk di bangku taman. “Tapi denganmu, rasanya kayak ngobrol sama sahabat lama yang udah aku cari selama ini.” Marsha menoleh, menatap wajah pria di sampingnya yang kini terasa semakin akrab. “Aku juga sempat nggak percaya saat Mami bilang keluarga kita pengin jodohin kita. Awalnya aku takut ini akan terasa canggung. Tapi ternyata, aku malah merasa nyaman.” Arnold tersenyum dan menunduk sedikit, lalu berkata pelan, “Kamu tahu, dulu waktu kecil aku pernah bilang ke Mami kalau aku mau nikah sama temen TK-ku yang paling cantik.” Marsha menatapnya sambil tersenyum geli. “Serius? Siapa?” Arnold menatap mata Marsha dan menjawab lirih, “Namanya, Marsha Livia.” Wajah Marsha langsung memerah. Dia menunduk, menyembunyikan senyum bahagianya. “Arnold .…” “Iya?” “Aku juga pernah nulis di buku harianku waktu SMP,” ucap Marsha pelan. “Kalau suatu hari nanti, aku ingin bertemu lagi sama cowok pintar dan baik hati yang aku suka sejak kecil.”Langit Jakarta siang itu cerah, meski sedikit mendung menggantung. Di tengah hiruk pikuk kota, Plaza Indonesia tetap ramai seperti biasa. Namun di sebuah sudut restoran mewah di lantai tiga, suasana terasa jauh lebih tenang dan lebih personal. Di sinilah Arnold dan Marsha duduk berhadapan, menatap satu sama lain dengan senyum penuh arti.Arnold, dengan jas abu lembut dan kemeja putih tanpa dasi, menatap kekasihnya dengan hangat. Marsha, tampil anggun dalam blus satin biru muda dan rok putih selutut, menyibakkan rambut panjangnya yang lurus ke belakang telinga. Mereka terlihat sangat serasi. Sejak mengumumkan hubungan mereka kepada orang tua masing-masing seminggu lalu, keduanya tampak lebih terbuka, santai, dan semakin lengket."Terima kasih udah nyempetin waktumu untukku, Sayang," ucap Marsha sambil menyesap es lemon tea-nya. "Aku tahu kamu lagi hectic banget minggu ini."Arnold tersenyum, menyentuh tangan Marsha di atas meja. "Untuk kamu, aku selalu ada waktu. Rapat bisa dijadwal u
Arnold tertawa. “Ha-ha-ha. Ingat banget. Kamu marah karena aku makan bekal kamu.”“Dan kamu nggak minta maaf!” balas Marsha dengan nada menggoda.Arnold mendekat, mencubit hidung Marsha. “Sekarang aku bayar lunas, dengan cinta.”“Ha-ha-ha!”Mereka tertawa bersama, kemudian berbaring berdua sambil menatap langit.“Kalau kamu lagi sama aku, kamu ngerasa apa, Sha?” tanya Arnold tiba-tiba.Marsha menoleh.“Aku ngerasa bahagia banget.”Arnold memejamkan mata, menyimpan kalimat itu dalam hatinya.Di suatu Senin,saat sedang sibuk dengan pekerjaannya, Marsha mendapat kiriman paket ke kantornya. Dia membukanya dan menemukan sebuah scrapbook berisi foto-foto mereka saat kecil, saat reuni keluarga, dan beberapa cetakan foto dari kencan terakhirnya dengan Arnold.Di halaman terakhir, tertulis,“Setiap momen dengan kamu, selalu layak dikenang. Terima kasih sudah jadi cahaya hari-hariku, Marsha.”Dari Arnold.Marsha terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Dia langsung menelepon kekasihnya.“Halo?
Malam itu, angin laut berhembus lembut di tepi pantai Ancol. Di lantai atas sebuah restoran mewah bernuansa mediterania, lampu-lampu gantung kecil berkelip seperti bintang. Lilin-lilin tertata di setiap meja, memberikan cahaya temaram yang menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah ruangan semi-terbuka itu, sebuah panggung kecil berdiri, tempat penyanyi akustik menyanyikan lagu-lagu cinta dengan suara yang merdu.Marsha Livia berdiri mematung saat melihat seluruh pengaturan itu. Malam ini, Arnold mengajaknya makan malam dengan alasan “refreshing setelah kerja.” Tapi jelas sekali ini bukan makan malam biasa.“Arnold,” ucap Marsha pelan, menatap dekorasi penuh bunga peony pink yang mengelilingi meja mereka.Arnold tersenyum hangat. Dia mengenakan kemeja putih dengan jas biru gelap, rambutnya tertata rapi. Tatapannya teduh, tapi ada gugup yang disembunyikan di balik senyumnya.“Lo suka, Sha?” tanya Arnold, berjalan mendekatinya sambil menyodorkan satu tangkai peony besar ke tanga
Arnold menoleh ke luar jendela, senyumnya makin lebar.“Giliran gue jatuh cinta beneran, ya malah sama temen TK sendiri,” ucapnya sambil menggeleng. “Tapi Marsha beda, dia punya cara bicara yang tenang, sopan, tapi juga hangat. Aura dia tuh, adem banget.”Tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Arnold melirik ke layar yang terhubung ke sistem mobil, ada satu pesan dari Marsha.Arnold menekan tombol pada stir, mengaktifkan fitur voice-reader.“Makasih ya, Nold, hari ini bener-bener menyenangkan. Aku masih senyum-senyum sendiri nih. Hati-hati di jalan, jangan ngebut.”Arnold menggigit bibir bawahnya dan tertawa pelan.“Ha-ha-ha. Duh, kamu bikin aku makin nggak bisa tidur malam ini, Sha.”Arnold pun membalas cepat via suara,“Sama-sama, Sha. Aku juga senyum terus di mobil. Dengerin lagu-lagu cinta nih gara-gara kamu. Udah mau nyampe rumah. Nanti kabarin ya kalau kamu udah tidur. Sweet dreams.”Setelah mengirimkan balasan, Arnold menoleh sejenak ke arah kaca spion, lalu ke l
Malam semakin larut ketika mobil sedan hitam yang dikendarai Arnold berhenti perlahan di depan sebuah rumah megah bergaya klasik di Kawasan Gading Serpong. Lampu taman menyala lembut, menerangi jalan setapak menuju pintu utama rumah Keluarga Livia.Di dalam mobil, Marsha tersenyum sambil menoleh ke Arnold.“Terima kasih untuk malam ini, Nold. Aku benar-benar senang.”Arnold membalas senyum itu dengan hangat. “Aku juga, Sha. Rasanya seperti mimpi bisa menghabiskan waktu sama kamu.”Marsha mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil. Namun sebelum dia keluar, Arnold berkata, “Aku boleh antar kamu sampai pintu?”Marsha tertawa pelan. “He-he-he. Boleh banget. Tapi hati-hati ya, jangan sampai Mami suruh kamu masuk sekalian.”Arnold ikut tertawa. “Ha-ha-ha. Kalau disuruh masuk, ya aku masuk dong. Siapa tahu dapat teh hangat.”Mereka lalu berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Belum sempat Marsha mengetuk, pintu itu terbuka sendiri. Nyonya Bertha berdiri di sana dengan senyum lebar
Arnold memutar tubuhnya menghadap Marsha. “Itu aku?”Marsha hanya mengangguk kecil, pipinya masih bersemu merah.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, dan dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucap tapi sangat terasa, yaitu benih cinta yang perlahan tumbuh, disirami kenangan masa lalu dan kehangatan saat ini.“Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold mantap.“Bukan cuma karena orang tua kita berharap begitu, tapi karena aku sendiri ingin.”Marsha mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga, Arnold. Aku mau kita mulai dari awal pelan-pelan, tapi pasti.”Arnold tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. “Kalau begitu, mau temani aku minum kopi di rooftop cafe? Sambil lihat sunset?”Marsha menggenggam tangan Arnold, berdiri dan tersenyum cerah.“Dengan senang hati.”Mereka pun berjalan bersama, meninggalkan taman itu menuju rooftop cafe. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberi semburat jingga keemasan di langit Jakarta.Sementara itu, dari







