Share

Di Asrama Wanita

“Jadi aku harus pura-pura jadi mahasiswi?” Aku mendecih. Tersenyum masam ke arahnya.

“Kenapa? Bukannya kamu sudah terbiasa menjadi seorang gadis?”

“Itu dulu. Sekarang aku bisa pergi ke mana pun yang kuinginkan, Paman. Aku bisa jadi apa pun asal jangan jadi perempuan. Itu menjijikkan. Belum kalau ada pria yang naksir padaku, itu lebih menjijikan!” Nada suaraku meninggi.

Saat menyamar menjadi perempuan, aku pernah beberapa kali mendapat pernyataan cinta dari siswa laki-laki, dan itu sangat mengganggu. Mereka memegang tanganku seolah aku ini seorang gadis cantik yang hidup dalam mimpi mereka. Astagfirullah.

“Sudahlah, Juna! Cepat ganti baju, dan berkemas!” Paman Hamzah tak peduli atas semua keluhan, dan meski telah protes sedemikian rupa.

“Tidak mau!”

“Terserah. Pergilah semaumu kalau begitu. Jangan dikira aku senang karena harus menjagamu. Ini semua kulakukan demi ibumu.” Pria itu bangkit. Berdiri di depan pintu.

Sedikit saja aku tak melihat ke arahnya, agar Paman tahu bahwa aku akan sangat membenci identitasku sebagai Junia.

“Hiduplah sesukamu. Dan hati-hati. Anak buah Rudi ada di segala penjuru.” Paman masih juga bicara mengingatkan. Mungkin dikira aku akan luluh karena perhatiannya. Dia saja yang tidak tahu bahwa Juna bukan pria yang mudah.

Tak lama langkah Paman terdengar, bayangannya bergerak pergi. Meninggalkanku sendiri dalam kesunyian.

Yah, pergilah! Jangan memaksaku jadi orang lain, apalagi jadi perempuan!

Setelah Paman pergi, aku pun memutuskan pergi juga dan mencari tempat tinggal. Pria itu sengaja hanya membayar penginapan untuk satu malam saja. Mungkin supaya keponakannya ini kesulitan dan mencarinya kemudian.

Heh! Jangan harap. Lebih baik aku mati daripada mengikuti kemauannya. Ini bukan hanya soal keamanan, tapi juga harga diri sebagai pria.

“Ah … inilah yang dinamakan hidup! Aku adalah pria bebas yang kuat dan tak terintimidasi apa pun.” Kuhirup udara dalam-dalam di luar ruangan. Aku harus tetap hidup, tidak terpuruk terus-terusan, agar keadilan bisa ditegakkan.

Pada akhirnya nanti aku yakin bisa masuk ke dalam keluarga Brawijaya dan menyingkirkan Om Rudi yang perilakunya suka memangsa seperti binatang itu.

Baru saja ke luar gang penginapan, ada sekitar lima orang dengan tubuh besar berdiri di depan sebuah gambar seorang pemuda. Mataku melebar. Itu adalah fotoku! Bahkan di sepanjang trotoar fotoku disebar.

Arhg! Sial!

Aku beringsut, menyembunyikan diri di balik dinding pagar dan segera mencari tempat bersembunyi. Napasku tersengal. Ada ketakutan yang merayapi pikiran. Bayangan kematian dan pembantaian keluargaku kembali terekam dalam ingatan. Tidak mungkin menghadapi mereka dalam trauma begini. Sendirian pula. Aku butuh rencana.

Di saat seperti ini aku harus berpikir cepat jika tak ingin tertangkap. Lalu tiba-tiba saja ucapan Paman Hamzah terngiang di telinga.

“Ini satu-satunya cara agar kamu bisa hidup dan mendapat keadilan suatu hari nanti.” Begitu katanya semalam.

Kurogoh kertas yang Paman Hamzah berikan tadi pagi dalam saku. Mengamati nama sebuah asrama mahasiswi.

“Tak jauh dari sini,” gumamku sebelum menyelinap pergi, memakai pakaian wanita. Benar kata Paman, bahwa penampilanku sebagai wanita mampu menyihir mata mereka sehingga tidak melihatku.

“Ada yang bisa saya bantu?” Seorang petugas keamanan bertanya saat aku mendekat ke pos, tempat mereka berjaga.

“Saya ingin mendaftar. Ehem.” Kupegang jakun. Rasanya suara ini terlalu berat, hingga membuat pria yang memakai seragam keamanan di depanku menyipitkan mata.

“Ada apa?” tanya pria lain yang baru datang. Mata pria itu sedikit melebar dengan senyum terkembang di bibirnya kala tatapan kami bertemu.

“Kamu datang juga Junia,” ucapnya. Kentara raut bahagia di wajah Paman Hamzah.

“Bang Hamzah kenal?” tanya petugas yang menyambutku sebelumnya.

“Dia ponakanku. Ayo, masuklah!” Paman menggiringku berjalan masuk, dan meninggalkan rekannya.

Pasrah. Aku mengikutinya, memutar bola mata malas melihat seringai Paman Hamzah saat berjalan mendahului.

Di depan sana banyak terlihat para gadis. Makhluk yang paling kubenci di dunia ini. Berat sekali hidup ini Tuhan! Kapan berakhirnya ujian-ujian yang datang?

“Bagaimana kamarku?”

“Tenang satu kamar satu orang, jadi kamu tak harus melihat mereka dengan aurat terbuka.”

“Bagus.” Aku mengucap dingin.

Tak ada yang peduli pada kedatangan kami di sini. Tentu saja karena penampilan kami, terutama aku yang tampak tidak ada bedanya dengan mereka.

Saat berdiri di belakang Paman, menunggu pria itu membukakan pintu, aku terperangah melihat seorang gadis yang berjalan ke arah kami.

“Cantik,” gumamku.

“Apa?!” Paman menoleh. Dia pasti berpikir aku sedang bicara dengannya.

“Ah, nggak!” sahutku cepat.

Pria itu pun melanjutkan pekerjaannya berjalan masuk lebih dulu ke kamar. Sementara aku, mengedarkan pandang mencari sosok seorang gadis berkerudung yang menggendong ransel. Ke mana dia? Begitu berbalik ke arah gerbang, gadis itu sudah pergi menjauh.

‘Apa dia juga tinggal di sini? Semoga saja.’

_____________

‘Ke mana gadis itu pergi? Siapa namanya?’

Rasa penasaran tiba-tiba muncul merajai hati, sampai tak sadar aku masih celingukan. Memindai keberadaan gadis berkerudung ungu yang mencuri perhatian.

“Jun!” Suara Paman terdengar dari dalam.

“Ya, Paman!” jawabku terhenyak, sebelum masuk mendekat.

“Gimana? Kamu suka?”

“Ya aku suka, dia gadis yang cantik.”

“Apa?” Paman mengerutkan kening.

“Hah?” Mataku melebar karena bingung. Sial. Aku meracau. Ini pasti gara-gara terlalu memikirkan gadis ungu.

“Oh, maksudku —.”

“Sudahlah. Aku hanya belum terbiasa dengan kelakuanmu.

” Paman mengucap dingin. Meremehkan dan menganggapku konyol. Itu lebih baik daripada ketahuan memperhatikan seorang gadis.

“Lihat! Ini lebih baik dari pada rumah Nenek di desa.” Paman Hamzah mengingatkan bagaimana kami menghabiskan waktu kurang lebih dua tahun di desa. Kami bersembunyi di sana. Lebih tepatnya Paman perlu menyembunyikanku di tempat teraman dan menghindar dari kejaran anak buah Om Rudi.

Memasuki ruangan berukuran tiga kali empat, dengan satu kamar tidur, kamar mandi dan toilet yang terpisah, satu dapur dan pembatas ruang.

Ini cukup. Setidaknya WC terpisah dari tempat mandi dan mencuci pakaian.

“Lumayan. Setidaknya lebih baik dari penjara.”

“Cih, seperti pernah masuk penjara saja kamu, Jun."

"Aku sering melihatnya di film-film."

"Hmmm. Paman tau kamu bakal senang di sini.” Pria itu tersenyum puas.

“Tapi, untuk apa dapur?”

“Hah? Kamu tak tau fungsinya?”

“Ya, aku ngerti Paman. Untuk masak. Tapi aku tak pernah masak. Jadi untuk apa?”

“Lalu bagaimana kamu akan makan?” Dua alis tebal lelaki itu terangkat. Dia seperti sangat kagum kepada keponakannya yang bisa makan tanpa harus memasak lebih dulu.

“Ya, aku makan saja. Biasanya ibu menaruh di meja makan, kadang aku beli di kantin sekolah dan kadang aku pesan online.” Ah, perlukah menceritakan ini.

“Jadi kamu tak pernah masak?” Tangan Paman menyilang di dada.

Aku mengangguk. Lalu mataku melebar karena ingat sesuatu. “Apa …? Aku harus masak sendiri?”

Paman sontak tersenyum sinis. “Yah, tak usah masak. Anggap saja ibumu akan menyiapkan makan di meja. Belilah sesukamu di kantin. Tenang saja! Tapi ketika jatah mingguan habis, bawa tidur saja! Lupakan soal lapar. Karena uang untuk kuliahmu tak mungkin kuserahkan hanya untuk makan.”

“Apa? Berapa jatahku seminggu?”

“200 ribu?”

“Apa? 200 ribu hanya cukup untuk pesan makanan 3 kali.” Itu artinya hanya sehari aku makan tanpa memasak.

“Terserah! Kamu harus berhemat kalau mau tetap hidup!” Paman berlalu pergi meninggalkanku.

“Paman! Tunggu!” Hais. Bagaimana bisa aku hidup dengan uang 200 ribu per Minggu?

Aku harus mendiskusikan ini dengan Paman. Namun, dia malah menjauh dan tak peduli.

Huft. Pelit sekali pria itu. Rasanya ingin mati saja kalau begini. Terkadang di saat putus asa aku berpikir, kenapa juga Tuhan menyisakanku untuk tetap hidup? Dan malah mengambil seluruh keluargaku?

Sebentar, kalau aku mati, siapa yang akan memberi pelajaran pada Om Rudi dan keluarganya? Kalau mati, aku juga tidak akan bertemu dengan gadis ungu. Lagi pula, untuk apa aku bertahan sejauh ini jika bukan untuk hidup? Mengingat kerasnya kehidupan di asrama dan si ungu secara bersamaan, aku pun jadi bertanya-tanya apa si gadis ungu juga menjalani hidup sesulit ini di asrama?

Next...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status