Share

Di Asrama Wanita

Penulis: Wafa Farha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-13 15:28:33

“Jadi aku harus pura-pura jadi mahasiswi?” Aku mendecih. Tersenyum masam ke arahnya.

“Kenapa? Bukannya kamu sudah terbiasa menjadi seorang gadis?”

“Itu dulu. Sekarang aku bisa pergi ke mana pun yang kuinginkan, Paman. Aku bisa jadi apa pun asal jangan jadi perempuan. Itu menjijikkan. Belum kalau ada pria yang naksir padaku, itu lebih menjijikan!” Nada suaraku meninggi.

Saat menyamar menjadi perempuan, aku pernah beberapa kali mendapat pernyataan cinta dari siswa laki-laki, dan itu sangat mengganggu. Mereka memegang tanganku seolah aku ini seorang gadis cantik yang hidup dalam mimpi mereka. Astagfirullah.

“Sudahlah, Juna! Cepat ganti baju, dan berkemas!” Paman Hamzah tak peduli atas semua keluhan, dan meski telah protes sedemikian rupa.

“Tidak mau!”

“Terserah. Pergilah semaumu kalau begitu. Jangan dikira aku senang karena harus menjagamu. Ini semua kulakukan demi ibumu.” Pria itu bangkit. Berdiri di depan pintu.

Sedikit saja aku tak melihat ke arahnya, agar Paman tahu bahwa aku akan sangat membenci identitasku sebagai Junia.

“Hiduplah sesukamu. Dan hati-hati. Anak buah Rudi ada di segala penjuru.” Paman masih juga bicara mengingatkan. Mungkin dikira aku akan luluh karena perhatiannya. Dia saja yang tidak tahu bahwa Juna bukan pria yang mudah.

Tak lama langkah Paman terdengar, bayangannya bergerak pergi. Meninggalkanku sendiri dalam kesunyian.

Yah, pergilah! Jangan memaksaku jadi orang lain, apalagi jadi perempuan!

Setelah Paman pergi, aku pun memutuskan pergi juga dan mencari tempat tinggal. Pria itu sengaja hanya membayar penginapan untuk satu malam saja. Mungkin supaya keponakannya ini kesulitan dan mencarinya kemudian.

Heh! Jangan harap. Lebih baik aku mati daripada mengikuti kemauannya. Ini bukan hanya soal keamanan, tapi juga harga diri sebagai pria.

“Ah … inilah yang dinamakan hidup! Aku adalah pria bebas yang kuat dan tak terintimidasi apa pun.” Kuhirup udara dalam-dalam di luar ruangan. Aku harus tetap hidup, tidak terpuruk terus-terusan, agar keadilan bisa ditegakkan.

Pada akhirnya nanti aku yakin bisa masuk ke dalam keluarga Brawijaya dan menyingkirkan Om Rudi yang perilakunya suka memangsa seperti binatang itu.

Baru saja ke luar gang penginapan, ada sekitar lima orang dengan tubuh besar berdiri di depan sebuah gambar seorang pemuda. Mataku melebar. Itu adalah fotoku! Bahkan di sepanjang trotoar fotoku disebar.

Arhg! Sial!

Aku beringsut, menyembunyikan diri di balik dinding pagar dan segera mencari tempat bersembunyi. Napasku tersengal. Ada ketakutan yang merayapi pikiran. Bayangan kematian dan pembantaian keluargaku kembali terekam dalam ingatan. Tidak mungkin menghadapi mereka dalam trauma begini. Sendirian pula. Aku butuh rencana.

Di saat seperti ini aku harus berpikir cepat jika tak ingin tertangkap. Lalu tiba-tiba saja ucapan Paman Hamzah terngiang di telinga.

“Ini satu-satunya cara agar kamu bisa hidup dan mendapat keadilan suatu hari nanti.” Begitu katanya semalam.

Kurogoh kertas yang Paman Hamzah berikan tadi pagi dalam saku. Mengamati nama sebuah asrama mahasiswi.

“Tak jauh dari sini,” gumamku sebelum menyelinap pergi, memakai pakaian wanita. Benar kata Paman, bahwa penampilanku sebagai wanita mampu menyihir mata mereka sehingga tidak melihatku.

“Ada yang bisa saya bantu?” Seorang petugas keamanan bertanya saat aku mendekat ke pos, tempat mereka berjaga.

“Saya ingin mendaftar. Ehem.” Kupegang jakun. Rasanya suara ini terlalu berat, hingga membuat pria yang memakai seragam keamanan di depanku menyipitkan mata.

“Ada apa?” tanya pria lain yang baru datang. Mata pria itu sedikit melebar dengan senyum terkembang di bibirnya kala tatapan kami bertemu.

“Kamu datang juga Junia,” ucapnya. Kentara raut bahagia di wajah Paman Hamzah.

“Bang Hamzah kenal?” tanya petugas yang menyambutku sebelumnya.

“Dia ponakanku. Ayo, masuklah!” Paman menggiringku berjalan masuk, dan meninggalkan rekannya.

Pasrah. Aku mengikutinya, memutar bola mata malas melihat seringai Paman Hamzah saat berjalan mendahului.

Di depan sana banyak terlihat para gadis. Makhluk yang paling kubenci di dunia ini. Berat sekali hidup ini Tuhan! Kapan berakhirnya ujian-ujian yang datang?

“Bagaimana kamarku?”

“Tenang satu kamar satu orang, jadi kamu tak harus melihat mereka dengan aurat terbuka.”

“Bagus.” Aku mengucap dingin.

Tak ada yang peduli pada kedatangan kami di sini. Tentu saja karena penampilan kami, terutama aku yang tampak tidak ada bedanya dengan mereka.

Saat berdiri di belakang Paman, menunggu pria itu membukakan pintu, aku terperangah melihat seorang gadis yang berjalan ke arah kami.

“Cantik,” gumamku.

“Apa?!” Paman menoleh. Dia pasti berpikir aku sedang bicara dengannya.

“Ah, nggak!” sahutku cepat.

Pria itu pun melanjutkan pekerjaannya berjalan masuk lebih dulu ke kamar. Sementara aku, mengedarkan pandang mencari sosok seorang gadis berkerudung yang menggendong ransel. Ke mana dia? Begitu berbalik ke arah gerbang, gadis itu sudah pergi menjauh.

‘Apa dia juga tinggal di sini? Semoga saja.’

_____________

‘Ke mana gadis itu pergi? Siapa namanya?’

Rasa penasaran tiba-tiba muncul merajai hati, sampai tak sadar aku masih celingukan. Memindai keberadaan gadis berkerudung ungu yang mencuri perhatian.

“Jun!” Suara Paman terdengar dari dalam.

“Ya, Paman!” jawabku terhenyak, sebelum masuk mendekat.

“Gimana? Kamu suka?”

“Ya aku suka, dia gadis yang cantik.”

“Apa?” Paman mengerutkan kening.

“Hah?” Mataku melebar karena bingung. Sial. Aku meracau. Ini pasti gara-gara terlalu memikirkan gadis ungu.

“Oh, maksudku —.”

“Sudahlah. Aku hanya belum terbiasa dengan kelakuanmu.

” Paman mengucap dingin. Meremehkan dan menganggapku konyol. Itu lebih baik daripada ketahuan memperhatikan seorang gadis.

“Lihat! Ini lebih baik dari pada rumah Nenek di desa.” Paman Hamzah mengingatkan bagaimana kami menghabiskan waktu kurang lebih dua tahun di desa. Kami bersembunyi di sana. Lebih tepatnya Paman perlu menyembunyikanku di tempat teraman dan menghindar dari kejaran anak buah Om Rudi.

Memasuki ruangan berukuran tiga kali empat, dengan satu kamar tidur, kamar mandi dan toilet yang terpisah, satu dapur dan pembatas ruang.

Ini cukup. Setidaknya WC terpisah dari tempat mandi dan mencuci pakaian.

“Lumayan. Setidaknya lebih baik dari penjara.”

“Cih, seperti pernah masuk penjara saja kamu, Jun."

"Aku sering melihatnya di film-film."

"Hmmm. Paman tau kamu bakal senang di sini.” Pria itu tersenyum puas.

“Tapi, untuk apa dapur?”

“Hah? Kamu tak tau fungsinya?”

“Ya, aku ngerti Paman. Untuk masak. Tapi aku tak pernah masak. Jadi untuk apa?”

“Lalu bagaimana kamu akan makan?” Dua alis tebal lelaki itu terangkat. Dia seperti sangat kagum kepada keponakannya yang bisa makan tanpa harus memasak lebih dulu.

“Ya, aku makan saja. Biasanya ibu menaruh di meja makan, kadang aku beli di kantin sekolah dan kadang aku pesan online.” Ah, perlukah menceritakan ini.

“Jadi kamu tak pernah masak?” Tangan Paman menyilang di dada.

Aku mengangguk. Lalu mataku melebar karena ingat sesuatu. “Apa …? Aku harus masak sendiri?”

Paman sontak tersenyum sinis. “Yah, tak usah masak. Anggap saja ibumu akan menyiapkan makan di meja. Belilah sesukamu di kantin. Tenang saja! Tapi ketika jatah mingguan habis, bawa tidur saja! Lupakan soal lapar. Karena uang untuk kuliahmu tak mungkin kuserahkan hanya untuk makan.”

“Apa? Berapa jatahku seminggu?”

“200 ribu?”

“Apa? 200 ribu hanya cukup untuk pesan makanan 3 kali.” Itu artinya hanya sehari aku makan tanpa memasak.

“Terserah! Kamu harus berhemat kalau mau tetap hidup!” Paman berlalu pergi meninggalkanku.

“Paman! Tunggu!” Hais. Bagaimana bisa aku hidup dengan uang 200 ribu per Minggu?

Aku harus mendiskusikan ini dengan Paman. Namun, dia malah menjauh dan tak peduli.

Huft. Pelit sekali pria itu. Rasanya ingin mati saja kalau begini. Terkadang di saat putus asa aku berpikir, kenapa juga Tuhan menyisakanku untuk tetap hidup? Dan malah mengambil seluruh keluargaku?

Sebentar, kalau aku mati, siapa yang akan memberi pelajaran pada Om Rudi dan keluarganya? Kalau mati, aku juga tidak akan bertemu dengan gadis ungu. Lagi pula, untuk apa aku bertahan sejauh ini jika bukan untuk hidup? Mengingat kerasnya kehidupan di asrama dan si ungu secara bersamaan, aku pun jadi bertanya-tanya apa si gadis ungu juga menjalani hidup sesulit ini di asrama?

Next...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Bahagia

    “Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Ingin Nikah, Paman

    “Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Abi Salsa

    Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Melayakkan Diri

    Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Senang Dia Mati

    "Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Tumbangnya Musuh

    Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status