Share

TUAN MUDA YANG MENYAMAR
TUAN MUDA YANG MENYAMAR
Penulis: Wafa Farha

Terpaksa jadi Perempuan

“Ibu, aku ‘kan laki-laki? Kenapa pakai kerudung?” tanyaku polos kala itu.

“Gak papa, Sayang. Ibu lebih ingin kamu terlihat cantik.” Wanita itu membenarkan posisi kerudung yang membingkai kepala ini, lalu beralih ke rok berwarna merah, yang harus dikenakan di sekolah.

“Ingat, kamu tidak boleh mengatakan pada siapa pun, kalau kamu anak laki-laki, oke!?” Ibu memperingatkan.

Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah. Hari di mana aku sudah fasih membaca Al-Qur’an dan mendengar kartun muslim, kemudian tahu bahwa seorang pria tidak boleh berlaku layaknya seorang perempuan. Itulah sebabnya aku pun protes kepada Ibu.

“Tapi, kita nanti disiksa kalau mengubah ciptaan Allah. Berbohong kan juga dosa, Bu.”

“Sttt, ini hanya untuk pura-pura. Supaya Om jahat tidak menemukan kamu, Sayang. Kalau tidak dia akan ….” Ucapan ibu menggantung.

Maksud ibu adalah Om Rudi, kakak dari ayah. Setiap pagi sebelum pergi, kami diminta untuk melihat fotonya dari waktu ke waktu agar bisa menghindar dan bersembunyi jika bertemu.

“Kalau tidak? Aku akan dibunuh Om kalau ketahuan seorang laki-laki?”

Ibu mengangguk dengan senyum pias di wajah cantiknya.

Sebulan sebelumnya, kami memang kabur dari rumah besar kakek, dan tinggal di pinggiran kota. Baju-baju bagus yang dulu kami kenakan semua diganti Ayah dan Ibu layaknya pakaian orang biasa. Aku dan adik-adikku tak lagi bisa bermain wahana permainan atau pun sekadar game di gadget. Kami benar-benar menjadi orang asing di dunia kami sendiri.

“Tapi, ini rahasia. Jangan bilang siapa pun kalau kamu sebenarnya adalah laki-laki. Ingat pesan ibu baik-baik, ya.” Wanita itu mengulanginya. “Ini demi keselamatan kamu. Orang jahat akan datang menculik dan memakanmu hidup-hidup kalau tahu kamu laki-laki.” Ibu bicara panjang lebar. Semua itu tentu saja membuatku yang masih berusia tujuh tahun bergidik takut.

Namaku hari itu diganti sebagai Junia, padahal sejak lahir mereka memanggilku Juna. Ayah bahkan mengubah nama dan genderku dalam kartu keluarga. Arjuna Brawijaya, menjadi Junia Andria.

Semua orang percaya bahwa aku seorang gadis. Karena fisik rupawan, mirip seorang perempuan. Sesuatu yang kami warisi sebagai keturunan campuran, Jawa-Eropa.

Sampai suatu malam, bencana itu memulai semuanya. Usiaku sudah menginjak 17 tahun. Cukup lama kami bisa bersembunyi dari Om Rudi.

Dari lubang anak kunci, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana pria itu melecehkan adik iparnya, yang tak lain adalah ibuku. Kedua lutut ini terasa lemas, dan mataku memanas. Tak ada yang bisa kuperbuat selain diam dan menyaksikan dari kejauhan.

"Habisi mereka!" perintah Om Rudi yang sudah membenahi penampilan, dan pergi begitu saja meninggalkan kedua orang tua dan adikku.

“Bunuh dan jangan sisakan satu pun!”

Ada nyala marah dalam matanya. Seolah, melecehkan ibuku, dan membunuh ayah serta adikku tidak cukup baginya. Aku tidak tahu, kenapa dia bisa sebenci itu pada kami.

Orang-orang suruhan pria bejat itu pun bergerak. Mendengar kata dihabisi, entah dapat kekuatan dari mana, aku yang tak bisa menahan diri lagi, ingin ke luar dari persembunyian dan menolong mereka.

“Baik, Tuan!"

Mereka menarik pelatuk, menyusul kemudian suara tembakan. Mereka membunuh seluruh keluargaku dengan brutal. Aku terlalu pengecut, untuk tidak ke luar dari persembunyian, karena sudah berjanji pada ibu tidak akan melakukannya.

Napasku tersengal. Sedikit lagi aku akan berteriak kala darah mengucur dari tubuh Ibu, Ayah dan dua adikku sesaat setelah bunyi tembakan terdengar berkali-kali. Aku tak tahan dan ingin berlari menolong mereka dan membunuh semua penjahat itu.

“A …!” Seseorang membekap mulutku hingga teriakan tertahan sebelum terdengar.

“Stt. Diamlah. Aku utusan ibumu!” bisiknya menekan. Aku mengangguk tanda mengerti.

Orang itu menarikku perlahan, mendekat ke jendela dan turun dari balkon dengan hati-hati.

“Ada yang tersisa?” Suara Om Rudi menggema. Suara yang mengecil seiring langkah kami yang menjauh dari mereka.

“Ya, Arjuna! Anak sulungnya belum datang,” sahut salah seorang anak buahnya.

“Sial! Cari dia dan habisi!” seru omku yang kejam.

Aku tak mengerti kenapa dia sejahat itu pada keluargaku? Namun, yang jelas nyawaku sedang terancam.

___________

Tubuh ini meringkuk di ujung ruangan milik Paman Hamzah. Pria itu terus mengatakan bahwa aku aman bersamanya. Katanya dia adalah adik Ibu. Mereka besar bersama di panti asuhan dan terikat satu sama lain hingga dewasa.

Seminggu, dua minggu, aku tak keluar kamar karena masih trauma. Pria berusia 35 tahun itu ternyata bukan orang jahat. Dia merawatku dengan baik. Bahkan ketika aku sakit demam dan menggigil di malam hari.

“Kamu harus kuat, Juna. Jika kamu ikut tumbang siapa kelak yang akan merebut hak ayahmu dari kakaknya yang jahat itu?” ucapnya sambil menutupiku dengan selimut.

Tahun telah berganti, usiaku pun telah bertambah. Pada malam itu Paman Hamzah mengajakku bicara serius.

“Untung saja aku menyelamatkan semua dokumen palsu di rumahmu, jadi kamu masih bisa menggunakan nama yang lama.” Pria itu memulai percakapan.

Aku diam tak bereaksi, karena masih tak tertarik untuk membahas apa pun.

“Ikut paman ke asrama saja. Kembali gunakan nama Junia, aku tak sehebat ayahmu yang bisa memalsukan data pribadi.”

Kepalaku mendongak. Menatap dalam wajah pria yang juga tengah menatapku itu.

“Kamu keberatan?” Bola mata milik Paman Hamzah tampak membesar.

“Ya, aku tak suka jadi perempuan dan hidup bersama perempuan lain di asrama.”

Sial. Membayangkannya saja membuatku sakit kepala. Berkumpul dengan sekumpulan makhluk cerewet, ribet. Lalu harus tidur bersama mereka? Oh, itu mengerikan. Meski aku lelaki baik-baik, aku juga normal, bisa saja setan menjebakku nantinya.

“Tidak ada jalan lain, Juna. Kamu hanya akan aman di tempat itu. Agar Om Rudi tidak menemukanmu. Lagi pula di sana aku bisa mengawasi secara intens karena aku bekerja di sana.”

“Memangnya Paman bekerja di mana?” tanyaku pada pria yang kini menjadi satu-satunya keluargaku itu.

“Di asrama mahasiswi. Akulah yang bertanggung jawab menjaga keamanan mereka.”

“Jadi aku harus pura-pura jadi mahasiswi?” Aku mendecih. Tersenyum masam ke arahnya.

“Kenapa? Bukannya kamu sudah terbiasa menjadi seorang gadis?”

“Itu dulu. Sekarang aku bisa pergi ke mana pun yang kuinginkan, Paman. Aku bisa jadi apa pun asal jangan jadi perempuan. Itu menjijikkan. Belum kalau ada pria yang naksir padaku, itu lebih menjijikan!” Nada suaraku meninggi.

Next....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status