Di penghujung tahun kelima berada di Gunung Tulang Naga, Xuan Li akhirnya akan segera meninggalkannya. Ia dan gurunya berjalan menuruni gunung.
Sekilas pandang, langkah mereka seolah lamban, tetapi hanya dalam sekejap, jarak ratusan meter sudah mereka lewati. Setelah tiba di kaki gunung, Tabib Hantu Wu menghentikan langkahnya, menatap Xuan Li sejenak, lalu ia berkata, “Ingatlah, dunia luar penuh tipu daya. Gunakan semua ilmu yang kuajarkan seperlunya saja. Jangan terlalu percaya pada apa yang terlihat oleh mata, karena kebenaran seringkali tersembunyi jauh di balik penampilan.” Xuan Li menundukkan kepalanya dalam-dalam lalu menyatukan kedua tangannya sebagai tanda penghormatan. “Aku akan selalu mengingat nasihatmu, Guru.” "Pergilah!" Tanpa menunggu balasan, pria tua itu berbalik dan mulai kembali mendaki gunung. Ia tidak menoleh lagi untuk menyembunyikan segala perasaan berat di hatinya. Di dalam dadanya, ada kesedihan yang mendalam, tetapi ia tidak ingin muridnya melihatnya. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi muridnya itu untuk menjelajahi dunia. Untuk beberapa saat Xuan Li tertegun menatap kepergiannya. Di hatinya, ada kekosongan yang tidak bisa ia jelaskan. Namun, ia tahu, ia tidak bisa terus melihat ke belakang. Setelah menghabiskan waktu di tempat terpencil ini untuk berlatih, belajar, kini saatnya ia melangkah ke dunia luas. Selangkah lagi ia akan menginjak pelindung yang menjadi penghalang dengan dunia luar, namun sebelum itu ia sekali lagi menatap sekilas ke arah puncak Gunung Tulang Naga. Tekadnya sudah bulat, tidak ada lagi keraguan meskipun terasa berat. Untuk pertama kalinya kakinya kembali menginjak dunia luar setelah sekian lama. Matanya disuguhkan dengan pemandangan yang jauh berbeda dari alam tenang yang selama ini menjadi rumahnya. Xuan Li berdiri di dasar jurang berbatu yang tandus. Ia lalu berjalan menuju ke ujung jurang, tempat terakhir yang ia singgahi sebelum tinggal bersama dengan gurunya. "Tidak ada yang mengira jika aku masih hidup hingga saat ini setelah terjatuh dari ketinggian." Lima tahun lalu, di sinilah ia nyaris menemui ajalnya. Ia mendongak, menatap puncak tebing yang menjulang tinggi. Pandangannya mengedar ke sekeliling dan sebuah batu besar menarik perhatiannya, ia lalu berjalan mendekatinya dan mengeluarkan sebuah pisau. Ujung pisau yang mengandung energi spiritual dari dalam tubuhnya menggores permukaan batu keras dengan mudah. Tak lama kemudian, di batu itu tertulis "Xuan Li", seolah menjadi tanda kubur dirinya yang telah lama "mati" di dunia ini. Ia berharap, siapa pun yang melihatnya akan mengira bahwa Xuan Li sudah tiada. *** Setelah perjalanan yang panjang, Xuan Li akhirnya tiba di sebuah kota yang ramai, yaitu Kota Debu Hitam. Baginya segala sesuatu yang ia lihat terasa baru. Mata orang-orang yang melintas tertuju pada pakaian lusuhnya, beberapa di antaranya terang-terangan merendahkannya. Xuan Li mengabaikannya. Di depannya berdiri sebuah penginapan dua lantai yang juga berfungsi sebagai rumah makan. Ia melangkah masuk tanpa mempedulikan tatapan orang-orang disekelilingnya. Seorang pelayan datang mendekati Xuan Li sambil membawa nampan kosong yang baru selesai ia pakai untuk mengantar pesanan pada pengunjung. “Selamat sore, Tuan. Di sini, kami menerima pembayaran di muka,” katanya, dengan ketus. Xuan Li menatap pelayan itu tanpa ekspresi. Ia tahu pelayan ini merendahkannya karena penampilannya yang kumuh. Namun, ia tidak mempermasalahkan hal itu. Ia mengeluarkan kantong uangnya dan menyerahkan beberapa biji perak pada pelayan tersebut. Pelayan itu tekejut, matanya melebar karena tak menyangka jumlah yang diberikan Xuan Li sangat banyak. “A-Apakah Tuan akan bermalam di sini?” “Aku akan menginap dua atau tiga hari. Sediakan juga makanan untukku,” balas Xuan Li singkat. Pelayan itu segera mengangguk. “Mari, saya antar ke kamar Anda, Tuan.” Pelayan meminta Xuan Li mengikutinya dengan isyarat gerakan tangan. Xuan Li mengangguk lalu berjalan mengikuti pelayan menuju ke lantai dua. Ada beberapa orang yang sedang makan atau sekedar menikmati minuman di meja-meja yang disediakan untuk pengunjung rumah makan. Pandangan Xuan Li tertumbuk pada sosok berpakaian serba hitam yang duduk di pojok ruangan. Orang itu mengenakan penutup wajah, hanya sepasang mata tajam yang terlihat. Xuan Li segera mengalihkan pandangannya dan kembali melangkah. "Ini kamar Anda, Tuan. Apakah Anda ingin makan di dalam atau di luar kamar?" Xuan Li merasa sangat penat. Saat ini ia lebih membutuhkan istirahat ketimbang mengisi perut. "Aku belum lapar. Layani saja tamu yang lain lebih dulu." Pelayan itu membungkuk lalu pergi dari hadapan Xuan Li. Baru beberapa detik memasuki kamar, suara gaduh terdengar di luar. Xuan Li menghentikan langkahnya dan mempertajam pendengarannya. Sebuah perkelahian terjadi di luar tetapi ia tidak ingin terlibat. Meskipun berusaha acuh dengan menutup telinganya tetapi jiwa sosialnya yang tinggi tetap memaksanya untuk peduli. "Sial! Sepertinya aku harus melihatnya." Xuan Li keluar dengan tergesa. Di luar kamarnya terlihat pemandangan yang sangat berantakan. Kini pertarungan berpindah ke lantai satu. Saat menuruni tangga, dia berpapasan dengan sekelebat bayangan hitam yang terasa familiar. Gerakannya sangat cepat hingga membuatnya hampir tak terlihat. Xuan Li tidak ingin mengejarnya dan memilih untuk turun meskipun pertarungan telah usai. Terlihat seorang pria tergeletak di lantai dengan luka di beberapa bagian tubuhnya. Di sisi yang berbeda terdapat beberapa korban lain dengan nasib yang tidak jauh berbeda. Wajah-wajah ketakutan para pelayan dan pengurus penginapan menatapnya penuh tanda tanya. Di saat yang lainnya pergi menyelamatkan diri, Xuan Li justru datang menghampiri bahaya. Xuan Li menghampiri satu persatu para korban untuk memeriksa denyut nadinya. Dari kelima korban tidak ada satupun yang selamat. Selain terluka oleh senjata, mereka juga mengalami pecah pembuluh darah. "Orang yang membunuh mereka sangat terlatih. Sebenarnya kelima orang ini memiliki kultivasi yang tinggi tetapi mampu dikalahkan dalam sekejap." Xuan Li bergumam lirih. Pengurus penginapan datang mendekatinya setelah merasa keadaan telah aman. "Mereka semua sudah mati." Xuan Li berbicara sambil beranjak saat melihat pengurus penginapan hampir bertanya. Tidak ingin terlibat lebih jauh lagi, Xuan Li memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Dengan kekuatan spiritual, tangan kanannya mengibas ke samping untuk menyingkirkan benda-benda sisa pertarungan yang menghalangi jalannya. Sesampainya di kamar, Xuan Li pergi ke ruang kecil tempat untuk mandi atau sekedar mencuci muka. Namun, langkahnya terhenti saat ia merasakan ada hawa kehidupan lain di balik dinding. "Ada nafas lain di kamar ini. Aku harus berhati-hati." Xuan Li menghentikan langkahnya dan bersikap waspada. Seseorang datang ke arahnya dengan gerakan yang hampir tak terlihat. Sebuah pedang dingin telah menempel di lehernya. "Jangan berteriak dan memberitahukan keberadaanku! Biarkan aku tetap di sini sampai keadaan benar-benar aman." Meskipun suaranya dibuat menyerupai seorang pria tetapi Xuan Li tahu jika pemilik tubuh orang yang menyanderanya adalah seorang wanita.Xuan Li bisa saja melawan dan menjatuhkan penyandera itu dengan mudah. Namun, ia memilih untuk menahan diri. Wanita itu terluka, dan dalam situasi seperti ini, lebih baik tidak menambah musuh baru."Jangan khawatir."Suara Xuan Li yang rendah tidak membuat wanita itu menurunkan pedangnya, meski kewaspadaannya sedikit mengendur. Di luar kamar terdengar suara langkah kaki mendekat dan tidak lama kemudian pintu diketuk dari luar. Ketegangan kembali terasa, penyandera memberi tatapan tajam pada Xuan Li sebelum akhirnya kembali bersembunyi. Seorang pelayan berdiri di depan pintu dengan satu nampan penuh makanan lezat. Xuan Li tidak membiarkannya masuk."Berikan padaku!" Xuan Li mengambil nampan berisi makanan dengan satu tangannya. "Kamu boleh pergi!"Xuan Li menarik nampan itu dengan cepat, lalu segera menutup pintu sebelum pelayan sempat berkata lebih jauh. Ia lalu berjalan ke sebuah meja kayu dan meletakkan nampan yang dibawanya. Masih dengan sikapnya yang santai, ia duduk di lantai
Xuan Li menyibak lengan baju dan menyodorkan tangan kirinya ke depan. Di balik sikapnya yang tenang, ada kegelisahan yang tersembunyi. Ia sudah memikirkan setiap kemungkinan, namun tetap saja, ada rasa khawatir yang sukar ia jelaskan.Penasehat istana mulai memeriksa nadi Xuan Li. Jemarinya yang sudah berpuluh tahun menangani berbagai kasus menyentuh kulit Xuan Li dengan perlahan, seolah merasakan riak-riak energi spiritual di balik lapisan daging. Mata penasehat terpejam dengan penuh konsentrasi, aliran energi murni itu terasa seperti sungai tenang yang mengalir di sepanjang meridian tubuh Xuan Li. Tapi, di tengah ketenangan itu, ia juga mendeteksi sesuatu yang lain, yaitu sebuah kekuatan besar, tak terduga, bersumber dari sebuah artefak yang tersimpan di dalam lautan kesadaran pemuda ini.Artefak itu bukan sembarang benda. Penasehat istana membuka matanya perlahan, alisnya sedikit berkerut. “Artefak ini…,” pikirnya. Artefak itu milik Wu Jin atau yang lebih dikenal sebagai Tabib Han
Sesosok tubuh tinggi besar, berwajah tegas muncul dari balik dinding. Pakaian khas panglima membalut tubuhnya yang kekar, membuatnya terlihat kuat dan berwibawa. Aura kekuatan spiritual terasa begitu pekat meskipun ia sedang tidak menggunakannya."Panglima Shu!" pekik pengawal yang mengenalnya.Mereka segera memberi hormat dan berlutut di hadapannya."Ada apa ini? Kenapa kalian membuat keributan?" Panglima Shu mengulangi pertanyaannya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling."Ampun, Tuan. Pemuda itu mencuri giok seleksi tabib. Kami khawatir dia akan membahayakan nyawa Tuan Putri." Salah satu pengawal berbicara dengan lancar.Xuan Li tetap tenang meskipun Panglima Shu menatapnya tajam. Ia percaya, bahwa orang yang cerdas tidak akan bertindak sembarangan, apalagi menuduh tanpa bukti.Ketika berdiri tepat di hadapannya, Xuan Li segera menyatukan kedua tangannya memberi hormat. "Saya tidak mencuri, Tuan. Token ini diberikan secara langsung oleh penasihat istana. Jika Tuan tidak perc
Saat Xuan Li masih dalam meditasi, tiba-tiba ia merasakan getaran energi yang mendekat dengan cepat. Mata batinnya menangkap kehadiran sejumlah besar kekuatan yang mengarah ke tempatnya berada. Ia segera menyadari bahwa daya serapnya mungkin telah menimbulkan efek samping tak terduga. Dengan sigap, ia menutup penyerapan energi dan menstabilkan aliran spiritual dalam tubuhnya, mengalihkan kesadarannya kembali ke keadaan waspada.Tidak lama setelah itu, suara langkah-langkah berat terdengar semakin dekat. Beberapa tetua istana, dipimpin oleh tetua utama yang berwibawa, memasuki ruangan dengan ekspresi tajam dan penuh kecurigaan. Mereka mengenakan jubah berornamen yang menandakan posisi tinggi mereka di istana."Apa yang kau lakukan di sini, anak muda?" tanya tetua utama dengan nada datar namun penuh ancaman. Matanya menyipit, menatap Xuan Li seakan ingin menembus sampai ke inti jiwanya.Xuan Li berdiri, membungkukkan badan dan menyatukan tangan sebagai bentuk penghormatan. “Maafkan s
Di aula megah yang dihiasi pilar emas dan lampu gantung perunggu, keenam tabib terpilih berdiri berjajar, suasana penuh tekanan menyelimuti ruangan. Beberapa di antara mereka tampak gelisah, mengusap jubah mereka dengan gugup, sementara yang lain berusaha menjaga wajah tetap tenang meski ketegangan terlihat dari sorot mata mereka. Xuan Li berdiri di antara mereka, tubuhnya tegap, dengan ekspresi netral yang tak menunjukkan emosi apa pun, seperti danau tenang yang menyembunyikan kedalamannya.Dari sudut aula, suara langkah berat menggema, memecah keheningan. Para pengawal membuka pintu besar, dan sosok Raja Jing memasuki ruangan. Mantel ungunya berkilauan di bawah cahaya lilin, setiap gerakannya menunjukkan wibawa seorang penguasa. Di belakangnya, penasihat istana mengikut dengan diam, memegang gulungan dokumen dengan hati-hati.“Yang Mulia Raja Jing telah tiba!” seru seorang pengawal, membungkukkan badan hingga sejajar dengan lantai. Para tabib serentak menundukkan kepala mereka seb
Xuan Li berdiri diam di samping ranjang Putri Jing Yue, memandangi wajah pucat sang putri yang tampak tak bernyawa. Tangan kanannya terulur, dengan jemari yang gemetar pelan saat ia melepaskan seutas energi spiritual untuk memeriksa kondisi sang putri lebih dalam. Begitu energinya menyentuh lautan kesadaran Putri Jing Yue, perasaan dingin yang menusuk segera menyambutnya."Lautan kesadaran yang beku..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Namun, jauh di dalam kegelapan, ia merasakan sesuatu yang lebih buruk. Jiwa sang putri seperti terperangkap, membeku dalam cengkeraman bayangan hitam yang mengerikan.Dahi Xuan Li berkerut dalam, dan dadanya sesak oleh kesadaran yang menghantamnya. Belenggu Jiwa. Racun yang terkenal hanya berasal dari satu tempat yaitu Suku Tali Merah, sebuah kelompok kuno di Dataran Tengah. Mereka dikenal karena sihir gelap dan kutukan yang memanfaatkan lautan kesadaran sebagai ladang permainan mereka. Suku itu sangat berbahaya, bahkan bagi para kultivator ti
Tubuh Xuan Li terasa seperti diikat beban tak kasatmata, setiap tarikan napasnya membawa bara panas yang merongrong kekuatannya. Jika bukan karena tubuh giok yang diwarisinya, ia takut jika racun Belenggu Jiwa sudah lama menghancurkan dirinya. Racun itu bukan hanya mematikan, melainkan seperti hidup, menjelajah nadinya, menyerang kesadaran, dan menciptakan ilusi kelam. Namun, tubuh gioknya yang kokoh, menangkis sebagian besar ancaman racun yang menyerangnya.Di dalam dirinya, getaran halus seperti riak air perlahan menjalar. Ia merasakan kehadiran gelombang destruktif yang siap menghancurkan kapan saja. Jemarinya mengepal, dingin oleh keringat, seolah menggenggam harapan yang hampir tergelincir.“Tubuhku... akankah bisa bertahan?” pikirnya. Tatapannya jatuh pada lantai marmer berkilau di bawah kakinya yang memantulkan bayangan dirinya yang kini ringkih namun tetap mencoba untuk berdiri tegap.Dalam dantiannya, artefak batu hitam pemberian Tabib Hantu Wu memancarkan cahaya redup, men
"Racun sekuat apa pun bisa dihancurkan dengan api spiritual, tetapi kau harus tenang. Jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu," begitu gurunya pernah berkata.Kepercayaan diri Xuan Li bangkit, ia lalu memusatkan energinya di dantian, mencoba membentuk api spiritual. Namun, kekuatan yang ia miliki saat ini hanya mampu menghasilkan api tingkat satu. Itu belum cukup untuk menghadapi racun Belenggu Jiwa. Perlahan, tangannya merogoh kantong kain kecil di sabuknya, mengeluarkan sebuah pil berkilauan dengan cahaya lembut. Pil itu adalah pil budidaya energi tingkat tujuh yang sangat berharga dari gurunya."Gunakan ini hanya jika kau benar-benar membutuhkan," pesan Tabib Hantu Wu saat menyerahkannya. "Pil ini bisa memberimu kekuatan untuk sementara, tapi risiko menggunakannya pun tidaklah kecil."Mengingat efek pil itu, Xuan Li tampak ragu. Namun, rasa panas yang kian membakar tubuhnya memaksanya mengambil keputusan dengan cepat. "Tak ada pilihan lain," gumamnya pelan. Setelah merasa yaki
Langit Kota Kedua tetap suram. Kabut abu-abu menutupi atap-atap batu. Tidak ada matahari di sini, hanya tekanan samar dari langit gelap yang seolah mengintai setiap gerak makhluk di bawahnya.Begitu Xuan Li dan Mo Xiang keluar dari pusaran dimensi, keduanya langsung menuju penginapan kecil yang sebelumnya mereka tinggali. Tidak ada kata yang keluar selama perjalanan, hanya langkah kaki dan napas yang belum sepenuhnya tenang.Begitu pintu kamar tertutup rapat, Mo Xiang langsung memecah keheningan.“Kakak Wu Yu… kau sungguh akan datang ke tempat mereka tiga hari lagi?” Suaranya pelan, tapi tegang. Sorot matanya mencerminkan rasa takut yang tak bisa disembunyikan.Xuan Li duduk di sisi ranjang. Ia tidak langsung menjawab. Kepalanya sedikit menunduk, seperti mempertimbangkan sesuatu yang terlalu berat untuk diucapkan.“Iya,” katanya akhirnya. Satu kata, tegas, tanpa ragu.Mo Xiang membeku. “Tapi mereka... mereka bukan orang biasa. Ras iblis itu… mereka memperlakukan manusia seperti bahan
Langkah Xuan Li dan Mo Xiang baru saja melewati gerbang batu Aula Awan ketika hawa di sekitarnya berubah. Tidak drastis, tapi cukup tajam bagi seorang kultivator untuk langsung waspada.Suara tapak kaki datang dari belakang. Berat. Terukur.Xuan Li berhenti, tubuhnya tetap menghadap ke depan, tapi telinganya menajam. Di belakang mereka, seorang pria berdiri di seberang jalan sempit yang dibatasi dinding-dinding batu hitam.“Jangan panik,” gumam Xuan Li pelan pada Mo Xiang. Lalu ia perlahan membalikkan badan.Pria itu berpostur tinggi, dengan jubah hitam menyelimuti tubuhnya. Wajahnya tampak tenang, tapi mata yang sempit dan menyala keunguan memancarkan sesuatu yang tidak ramah. Seolah-olah ia melihat dua binatang percobaan yang baru keluar dari kandang.“Tidak biasanya ada wajah asing berkeliaran di pagi seperti ini,” ucap pria itu tanpa senyum.Suara pria itu berat, namun terkontrol. Tidak lantang, tapi menggema samar di antara bangunan batu di sekitar mereka.Xuan Li tidak menjawab.
Malam itu mereka tidak banyak bicara. Setelah percakapan singkat di kamar penginapan itu, keduanya tenggelam dalam keheningan.Xuan Li duduk bersila di dekat jendela, memejamkan mata dan menarik napas panjang. Energi spiritual di dimensi ini, meski mengandung aroma iblis yang tajam, tetap bisa diserap olehnya. Bahkan lebih mudah meresap dibandingkan energi alam dunia manusia.Ia memfokuskan aliran itu menuju dantiannya, membiarkan kekosongan dalam tubuhnya perlahan terisi kembali.Mo Xiang duduk tidak jauh darinya. Meski postur meditasinya belum sempurna, ia berusaha keras meniru Wu Yu. Wajahnya masih menyimpan kecemasan, tapi napasnya mulai tenang. Ia sadar, tempat ini bukan tempat yang bisa dilalui hanya dengan semangat dan keberanian.Waktu berlalu. Malam berganti.Keesokan harinya, cahaya tidak pernah benar-benar muncul. Dimensi iblis tidak mengenal terang. Tapi langit yang semalam pekat seperti tinta kini agak memudar, cukup untuk disebut pagi. Lampu kristal spiritual di sepanjan
Tubuh Xuan Li mendarat ringan di atas batu hitam yang hangat oleh aliran energi spiritual. Aura teleportasi di sekelilingnya mulai menghilang, menyisakan sisa pusaran tipis di udara. Di sampingnya, Mo Xiang terbatuk pelan, tubuhnya masih terguncang oleh efek perpindahan ruang yang mendadak.Xuan Li menoleh, alisnya sedikit mengerut. “Kau ikut,” ucapnya singkat.Mo Xiang mengangguk tanpa ragu. “Aku tak bisa membiarkanmu pergi sendiri, Wu Yu.”Tak ada kemarahan dalam sorot mata Xuan Li. Ia justru menatap pemuda itu lebih lama, seperti menimbang sesuatu. Pada akhirnya, ia hanya menghela napas pelan.“Terserah padamu. Kuharap tidak menyesal.”Tanpa berkata lagi, Xuan Li menoleh dan mulai berjalan menjauh dari platform teleportasi. Tempat itu sunyi. Tidak ada penjaga. Tidak ada iblis yang menyambut. Hanya sisa formasi di lantai yang masih memancarkan kilatan samar, lalu padam sepenuhnya.Namun dari kejauhan, samar-samar terdengar suara keramaian. Musik, tawa, dan denting logam yang saling
Xuan Li berdiri lama di sisi tempat tidur sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari kamar penginapan. Di pojok ruangan, Mo Xiang masih terlelap, napasnya tenang. Ia sengaja tidak membangunkannya.Dengan satu gerakan jari, Xuan Li menyematkan tanda pelacak ke lengan jubah Mo Xiang, sebuah segel tipis yang hanya akan aktif bila Xuan Li menyentuhnya langsung atau dalam keadaan darurat. Ia tidak ingin Mo Xiang ikut terseret dalam hal ini."Kau sudah cukup membantuku," pikirnya.Suara dalam darahnya terus memanggil. Sejak ia menyentuh pecahan Lonceng Pengubah Takdir malam tadi, resonansi itu tumbuh lebih kuat, mengarahkannya menuju pusat kota ini, tepat ke jantung formasi spiritual yang mengikat tempat ini seperti jaring laba-laba.Xuan Li menyusuri jalan-jalan kota iblis yang dingin dan sepi. Kabut di jalanan mengendap di permukaan batu seperti napas makhluk hidup. Beberapa iblis bermata merah memperhatikannya dari kejauhan, sebagian besar hanya menatap lalu pergi. Namun, saat i
Kabut hitam menyelimuti jalan setapak yang mulai berubah menjadi bebatuan hitam halus. Xuan Li melangkah diam-diam, pikirannya masih dipenuhi gema suara yang berasal dari dalam dirinya. Ia menoleh ke arah Mo Xiang yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Mereka tak berbicara, tapi keduanya tahu: mereka tersesat."Bao Tingyi sudah terlalu jauh," gumam Mo Xiang, matanya menatap ke kejauhan yang buram. "Kita tak bisa menyusul."Xuan Li tidak menjawab. Matanya menyisir lingkungan sekitar. Tidak ada jejak pertempuran, tidak ada tanda keberadaan tim mereka. Apa yang barusan terjadi, serangan dari dua faksi berbeda, membuyarkan formasi dan arah mereka. Kini mereka sendirian, di jantung wilayah iblis.Langkah mereka membawa mereka ke dataran lebih rendah. Kabut mulai menipis, berganti dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Di hadapan mereka, berdiri sebuah kota, terlihat lebih tertata dibandingkan reruntuhan yang mereka lalui sebelumnya. Pilar-pilar batu berukir, rumah-rumah tinggi de
Xuan Li melesat ke depan. Tanpa suara, tanpa aba-aba. Hanya gerakan secepat bayangan yang meluncur di tengah kabut gelap.Cahaya merah dari sepasang mata iblis menyala tajam, tapi tak sempat bereaksi saat telapak tangan Xuan Li menembus dadanya. Darah hitam menyembur. Mayat itu jatuh tanpa suara.Di sekitarnya, pengintai faksi musuh yang lain mencoba melawan. Tapi di dimensi ini, dunia iblis, tanah yang bukan milik manusia, Xuan Li lebih dari sekadar kuat. Energi spiritualnya menyatu bersama aliran gelap di tanah, udara, dan bahkan tulang yang tersembunyi di balik kabut.Seolah dunia ini mengenalinya. Menerimanya. Memberinya kekuatan.Satu per satu musuh roboh. Tidak ada peringatan. Tidak ada belas kasihan. Xuan Li bergerak cepat, tenang, dan presisi. Setiap serangan mengenai titik vital. Bahkan sebelum mereka menyadari bahwa sedang diserang, tubuh mereka telah terbaring diam selamanya.Dalam waktu tak sampai seperempat jam, kamp pengamatan faksi Aska tinggal reruntuhan dan mayat.Mo
Faksi itu tidak memiliki nama, atau setidaknya tidak satu pun yang diucapkan dengan suara keras. Di sepanjang jalan, para anggota tidak banyak bicara. Mereka hanya memberi isyarat dengan tangan atau saling bertukar pandang. Seperti kawanan hewan yang sudah saling memahami tanpa perlu kata.Bao Tingyi, si makhluk bermantel hitam, memimpin perjalanan. Langkahnya tegap, tubuhnya tidak terlalu besar, tapi aura yang memancar dari punggungnya membuat siapa pun enggan mendahuluinya.Xuan Li dan Mo Xiang mengikuti tanpa suara. Di belakang mereka, dua iblis pengintai menjaga jarak, seperti bayangan yang tak punya wajah.Mo Xiang mendekat ke Xuan Li dan berbisik, “Mereka seperti sekumpulan roh yang lupa caranya menjadi hidup.”Xuan Li tidak menanggapi. Pandangannya tertuju ke depan. Bau tanah busuk dan uap darah tipis menyesaki udara. Semakin dalam mereka masuk ke wilayah ini, semakin ia merasa tubuhnya bereaksi aneh. Denyut spiritualnya selaras dengan aliran di sekitarnya, seolah tempat ini m
Beberapa hari setelah menetap di reruntuhan, apa yang dinanti Xuan Li akhirnya datang.Pagi itu, langit kelam masih menggantung seperti biasa. Mo Xiang duduk bersandar di dinding, telinganya terangkat seperti biasa, tapi tidak bicara sepatah kata pun. Di sisi lain, Xuan Li membuka mata perlahan. Ada gelombang spiritual yang baru saja melewati ambang pengamatannya, bukan kekuatan sembarangan, tapi terarah, mengincar.Langkah kaki terdengar dari kejauhan. Berat, ritmis, bukan sembarang iblis pengembara. Mereka datang dengan maksud.Lima sosok mendekat. Tubuh-tubuh mereka tinggi dan kurus, kulit gelap mengilat dengan guratan seperti bekas luka terbakar. Dua di antaranya membawa senjata berujung bengkok yang tampak dipakai untuk mencabik, bukan menebas. Di tengah kelompok itu berdiri satu makhluk yang mengenakan mantel hitam lusuh, matanya berwarna perak pucat.Begitu mereka cukup dekat, pemimpin kelompok itu mengangkat tangan. Mulutnya bergerak, mengeluarkan suara aneh, serak dan dalam,