Share

Bab. 4

Tiara Ananda Prasetyo, bocah dengan mata bulat yang lahir dan tumbuh setelah berhasil melawan maut sejak dalam kandungan. Anak yang tak tahu apa-apa, tapi selalu jadi tameng akan kesalahan orang tuanya. 

Meskipun kenyataan Tiara tak terlahir dari rahimnya, Karin tetap memutuskan untuk mencintai bocah itu. Dan mengubur fakta serta masa lalu menyedihkan tentangnya. Sebagaimana janji yang sudah dia ikat dengan orang tuanya.

Selama itu Karin hanya simpan faktanya seorang diri. Pura-pura tak tahu bahwa bocah itu adalah benih dari lelaki yang berjanji akan menempatkannya di posisi tertinggi hatinya, tapi kenyataan dia kalah berperang dengan hawa nafsunya.

Namun, pada akhirnya hari ini sebuah rahasia yang telah dia simpan rapat selama empat tahun lamanya diketahui Adam ... lelaki yang dia pikir tak pernah peduli. Selalu bersikap masa bodo dan tak ingin tahu tentang apa pun kehidupannya dulu.

"Kok, kaget? Kayak yang habis kedapatan selingkuh aja kamu," cibirnya saat melihat mata Karin melebar dengan mulut setengah terbuka.

"Kenapa ...?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Dia tatap Adam yang duduk di sofa yang terletak depan TV dengan bertumpang kaki.

Adam menoleh, mengalihkan pandangan dari ponsel di genggaman tangannya.

"Pake nanya lagi. Kamu pikir saya bodoh, Karina?" Sebelah alisnya tampak tertarik ke atas, senyum miring pun tersungging di bibirnya.

Lagi, Karin tertegun.

"Kamu itu nggak pantai bohong, empat tahun, loh ... empat tahun kita tinggal bersama. Ternyata kamu masih belum kenal saya dengan baik. Bangkai kalau kelamaan disembunyiin bakal kecium bau juga, Rin." Adam beranjak dari sofa, dia menghampiri Karin yang berdiri mematung di dekat aquarium.

"Awalnya saya emang nggak tahu, apa lagi selama lima bulan pertama kamu tutupi dengan pakaian longgar dan tubuh tinggi kecil itu. Tapi, lagi kelamaan sayangnya kamu lupa satu hal. Selama lima bulan kamu salah memperkirakan kalau saya nggak akan nyentuh kamu-- Oh, nggak bisa gitu, dong. Udah dinikahin, kok nggak diapa-apain, 'kan rugi." Karin tampak meremas gamis, saat mengingat satu demi satu kebohongannya pada Adam akhirnya terbongkar.

Jujur, selama empat tahun ini dia pikir semua sandiwaranya berjalan baik-baik saja.

Tatapan Adam tampak bergantian antara wajah juga perut istrinya. "Ya ... walaupun saya sadar, kamu emang nggak hamil, saya tetep bukan laki-laki yang pertama buat kamu." Senyuman kecut tercipta di bibir Adam. Senyuman yang tak Karin tahu apa artinya.

Menunduk. Karin sembunyikan wajah yang tiba-tiba terasa hangat saat Adam menjelaskan begitu terperinci dengan jarak kurang dari setengah meter. Dengan posisi seperti ini perempuan itu bisa merasakan bagaimana Adam menatapnya seolah tengah menelanjangi.

Tiba-tiba kaki Adam kembali melangkah, membunuh jarak yang tersisa di antara mereka.

"Jadi, sekarang saya tanya. Anak siapa yang kamu bawa sepulang dari Amerika, Karina? Siapa ibu kandung Tiara sebenarnya?" Karin mendongak seketika. Menatap kedalaman mata yang menyorot lurus itu. Mencoba mencari sesuatu di sana.

Nihil, tak ada yang dia temukan selain dari sorot rasa keingintahuan yang kentara.

"Beri tahu saya lebih banyak tentang dirimu, juga tentang sosok yang mengubah wanita periang yang saya kenal dulu, menjadi manekin seperti ini? Asal kamu tahu aja, Rin. Empat tahun ini saya bertahan hanya karena kasihan, nggak lebih."

Karin terpaku. Tak bersuara. Semua ucapan Adam berhasil membungkamnya. Membangkitkan sosok lemah yang selama ini berusaha Karin bunuh dalam dirinya.

Mata perempuan itu pun berkaca-kaca seketika, pandangannya mengabur. Hingga ... pertahanan yang selama ini dia bangun, roboh seketika.

"Menangislah, keluarkan semua yang selama ini kamu tahan. Bersikap sok kuat nggak selamanya bikin kamu kelihatan tangguh, Karin. Untuk kali ini aja, saya sediakan bahu buat kamu sandari. Inget! Ini cuma bentuk simpati suami pada istri, nggak lebih. Jadi, jangan kegeeran!"

***

Tiba-tiba senyuman Karin tersungging saat mengingat kejadian semalam.

Memang tak ada yang berubah, Adam tetaplah Adam. Karin yakin, dia masih lelaki yang tak akan pernah memiliki tempat di hatinya.

Sejak hari itu Karin bahkan sudah memutuskan untuk menutup rapat pintu hatinya. Tak ada yang boleh memasukinya lagi. Bahkan dia ... yang dulu pernah mendiami berkian lama, hingga akhirnya pergi setelah menorehkan luka.

Karin mengusap wajah. Kemudian menutup kitab suci yang baru saja dibaca. Bangkit dari sofa, setelah meletakkan Al-Qur'an tersebut di atas meja.

"Buna ...!"

Tiara tiba-tiba muncul dari balik pintu, lalu masuk ke kamar sembari memeluk boneka yang terasa asing di mata Karin.

"Ini, dari siapa, Sayang?" tanyanya menunjuk boneka Hello Kitty di pelukan Tiara.

"Dari Ayah, Bun!"

Karin tertegun. Menatap Tiara dengan seragam sekolahnya yang masih melekat.

"Ayah? Kamu yakin?"

Tiara mengangguk antusias.

"Ya, Bun. Ayah juga yang anter pulang. Bukan Mang Midun!" 

Dahi Karin mengernyit dibuatnya.

"Ayah? Anter kamu pulang?" tanya Karin sekali lagi. Memastikan.

"Kenapa? Aneh banget gitu kalau saya anter dan beliin Tiara mainan?"

Adam tiba-tiba muncul. Dia tampak bersandar di pintu dengan setelan tadi pagi, dan kaki yang disilangkan.

"Ayah ...!" Tiara berlari, hendak memeluknya, tapi Adam menahan dahi bocah itu dengan telunjuk.

"Eee ... mandi dulu sana. Badan kamu bau asem, baru boleh peluk, sa-- Ayah."

Tiara tampak mengangguk, kemudian berlari sembari memanggil-manggil Rida.

"Mas, tumben udah pulang?"

"Kenapa? Emang nggak boleh? Rumah, rumah saya."

"Bukan gitu, maksudku biasanya, 'kan Mas pulang sore atau malam."

"Hari ini nggak ada syuting. Saya cuma interview buat majalah aja."

Pekerjaan Adam adalah sutradara. Sejak lulus kuliah dia langsung direkrut perusahaan papanya dan bergabung dengan Wira's Entertainment. Empat tahun menggeluti profesi itu dia sudah banyak menyutradarai Film, FTV, dan iklan. Beberapa kali bahkan wajahnya juga wara-wiri di TV, mengisi talk show. 

"Oh."

 Adam tampak mengedikan bahu, sembari berjalan masuk Karin lihat dia membuka satu per satu kancing kemeja. Seketika perempuan itu mengingat kejadian semalam bagaimana dada itu mendekapnya erat.

Bergegas Karin mengusap wajah, mengeyahkan segala pikiran aneh yang berkecamuk dalam benak.

"Oh, iya, Rin! Tadi Nana nelpon. Katanya dia ngundang kita makan bareng di kafe-nya."

Deg.

"Siap-siap aja jam empat. Dia suka cerewet kalau kita nggak dateng."

Nana ... apa yang kamu rencanakan kali ini? Batin Rina.

***

Tiba di Kafe Ranila. Tempat makan milik Nana yang terletak di pusat kota. Adam sudah lebih dulu keluar. Sedangkan Nana tampak masih terjaga di dalam mobil. Menatap bangunan kafe yang di desain kekinian dengan konsep full color.

 Entah kenapa berhadapan dengan Nana untuk sekarang rasanya dia belum sanggup. Ucapannya tempo hari saja masih terngiang-ngiang di kepalanya. Apa lagi bila harus bertatap muka kembali.

"Karina!"

Karin terlonjak saat Adam tiba-tiba mengetuk kaca mobil.

"Eh, iya, Mas." 

Dia bergegas turun agar tidak membuat Adam menunggu lebih lama lagi.

"Ayo!" Adam memberi isyarat dengan anggukan dagu.

Karin tampak melangkah ragu, sembari menatap sekeliling.

"Ck, lama!"

Kesal menunggu. Akhirnya Adam menarik pergelangan tangan Karin. Kemudian mengiringnya cepat masuk ke dalam kafe.

"Sorry, kalian udah nunggu lama?" ujar Adam setibanya mereka di dalam.

Setelah sampai tatapan Karin langsung tertuju dengan arah pandang Nana. Matanya jelas menyorot tajam saat melihat mereka bergandengan. Bergegas Karin menepis tangan Adam, lalu memberi mereka sedikit jarak.

Namun, fokus Karin tak hanya ke sana. Tapi, seseorang di samping Nana tentu saja.

Baim! Karin tak tahu kalau lelaki itu juga bahkan akan ikut.

"Eh, nggak apa-apa, kok, Mas. Ayo, duduk!" ucap Nana berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa canggung.

Mereka duduk berhadapan, dalam meja berbentuk bundar. Di depannya sudah tersedia jus Alpukat dan Stroberi.

"Langsung aja, kamu mau apa ngumpulin kita di sini?" Pertanyaan Adam membuka percakapan sore hari ini.

"Ekhmm ...." Nana berdehem sejenak. "Kita memutuskan untuk bercerai, Mas!"

Tak bisa disembunyikan. Raut wajah Adam tampak begitu terkejut.

"Wow ... really? But, why?" tanyanya.

"Kita udah nggak cocok aja, Mas. Kebetulan, kan belum ada anak juga," terang Nana mantap.

Karin tak habis pikir. Kenapa Nana bisa dengan mudah mengucapkan sesuatu yang begitu sulit dia putuskan saat itu.

"Oh, oke. Alasan klise, tapi bisa diterima. Jadi, kapan mulai sidang?"

Karin rasa pembahasan ini sudah sampai pada intinya.

"Minggu depan. Tapi, bukan hal ini yang mau aku bahas sebenernya, Mas!"

Dahi Adam mengernyit, seketika Karin rasakan jantungnya mulai berdetak tak karuan.

"Lah, terus?" 

"Aku, Mbak Karina, juga Mas Baim udah putusin. Kita akan--"

"Uhuk, uhuk, uhuk ...." Tiba-tiba Karin tersedak jus stroberi yang dia tenggak sekaligus, saat melihat tatapan lekat Baim padanya.

"Maaf, sebentar." Perempuan itu bangkit, lalu pamit ke toilet, untuk menetralisir perasaannya yang terasa campur aduk saat ini.

Sesampainya di toilet. Di depan wastafel dia basuh wajah, lalu menatap bayangan dirinya dalam cermin. 

Sesungguhnya dia benar-benar belum siap. Belum siap dengan kenyataan yang akan dihadapi kelak, belum siap menerima respons Adam. Juga belum siap mengendalikan perasaannya sendiri.

"Karina!"

Seketika Karin menoleh saat mendengar suara yang sudah sangat dia kenal. Berdiri di depan pintu toilet, lelaki berperawakan tinggi tegap, dengan sorot mata yang sayu.

"Mas Baim!" 

Seketika Karin mundur beberapa langkah saat Baim berjalan maju. Beruntung kali ini toilet sepi, pengunjung di luar juga hanya terisi beberapa meja. Hingga tak akan ada yang meneriaki lelaki itu yang tiba-tiba masuk toilet wanita.

"Kenapa? Kenapa kamu kelihatan ragu. Padahal ini kesempatan kita. Aku nggak pernah mencintai Nana begitu juga kamu pada Adam. Udah saatnya kita melanjutkan kisah yang pernah tertunda. Kembali membangun rumah tangga yang baru berjalan seumur jagung, karena keadaan yang memaksa kita untuk pisah."

Karin menggeleng. Bayang demi bayang masa lalu yang berusaha dia kubur dalam, tiba-tiba muncul ke permukaan, saat Baim mengungkitnya.

Kenangan mereka yang mati-matian dia lupakan setelah tiga tahun pernikahan dengan Adam, seolah Baim desak untuk timbul kembali.

"Kamu masih mencintaiku, 'kan, Rin? Rasa itu ... masih ada, 'kan?" Dia meraih pergelangan tangan Karin, lalu mencengkeramnya kuat.

"A--"

"Ini toilet wanita, Bung! Dan tolong singkirkan tangan kotormu dari istriku!"

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status