Lima tahun lalu ....
Hari ini cuaca tampak cerah di Kota Surabaya. Terlihat orang-orang lebih sibuk melakukan aktivitasnya, hingga jalanan dari dua arah pun padat merayap. Terletak di Bulak, daerah Utara Kota Pahlawan, sebuah ikatan suci baru saja terjalin di kantor KUA setempat. Kota ini akhirnya menjadi saksi pertemuan kedua insan yang akhirnya dipersatukan dalam sebuah ikatan halal. “Sah.”Kalimat sakral itu terdengar. Tampak sang mempelai wanita dengan pakaian kemeja putih dan rok hitam, menangkupkan wajah mengusap syukur, karena telah sah dipersunting lelaki pujaannya secara agama dengan bukti selembar kertas dengan materai bertanda tangan saksi. Dengan sudut matanya dia menatap Baim, suaminya, lalu menunduk malu. Tak menyangka, ternyata lelaki ini tak main-main dengan janjinya. Saksi dan wali duduk di kanan kiri kedua mempelai, dua di antaranya adalah keluarga sang mempelai wanita. Sebulan setelah mendengar kabar bahwa putrinya akan menikah-- Risma-- ibu kandung Karin memang langsung terbang ke Surabaya. Tak banyak yang wanita sosialita itu tanyakan. Entah kenapa, dia justru bersyukur putrinya cepat menikah agar bisa terlepas dari belenggu. Toh, kehadirannya di tengah-tengah keluarga besar pun antara ada dan tiada. Terlebih itu menyangkut suaminya. Kemarin dia terbang ditemani Haris, mantan suaminya juga paman dari Karin. Dalam ruangan yang hanya dihadiri mereka berempat itu, sorot bahagia tak bisa Karin sembunyikan. Dia raih tangan Baim kemudian menciumnya takzim. Akhirnya lelaki ini akan menjadi pendamping hidupnya, seorang suami yang akan dia hormati sebagai kepala keluarga. Tak peduli bila untuk sementara pernikahan ini harus dirasahasiakan, karena orang tua Baim belum menerima. Pelan tapi pasti, keduanya pasti bisa meluluhkannya. Baim tampak menatap Rina lekat, diulurkannya tangan menangkup wajah gadis berjilbab putih itu, mengelus pipinya yang kemerahan. “Mas nggak bisa janjikan kehidupan mewah layaknya keluargamu. Walaupun Papa pejabat daerah, semua itu miliknya, bukan milik Mas. Kita coba pelan-pelan dari bawah, ya, Rin. Insya Allah, Mas bisa bertanggung jawab penuh atas pernikahan kita.”***Tak terasa sembilan bulan sudah pernikahan Karina dan Baim berjalan. Selama itu, hampir tak ada konflik serius yang mewarnai rumah tangga mereka. Sambil menunggu surat nikah keluar, keduanya pun sepakat untuk menunda momongan.Dengan uang tabungan masing- masing, akhirnya Karin dan Baim berhasil membeli kamar apartemen Pavilion Berlian yang terletak di Dukuh Pakis Baru, daerah timur Surabaya. Pelan tapi pasti sampai semua uangnya terkumpul, mereka baru akan menggelar resepsi juga mengumuman pada publik tentang pernikahan keduanya. Dengan Baim, Rina merasa benar-benar hidup. Definisi keluarga yang selama ini hanya nama dalam keluarga Adiguna, dia bisa ciptakan dengan Baim sebagai keluarga kecil. Lelaki bermata sipit ini terbukti begitu lembut. Hampir setiap hari dalam seminggu dia sempatkan menjemput Karin di kampus sepulang bekerja sebagai kepala staf di salah satu swalayan. “Mas, berangkat dulu, ya. Jaga diri di rumah.” Baim mengecup kening Rina lembut sebelum beranjak pergi. “Siap, Tuan Danuarta! Eh, nanti sore mau makan apa?” tanya perempuan itu, seolah menahan pergerakan suaminya yang baru hendak melangkah.Terdiam sesaat. Setelahnya, Baim tersenyum penuh arti menatap istrinya. “Makan kamu aja!” goda lelaki itu dengan mata yang semakin menyipit.“Eh!” Seketika wajah Karin bersemu merah saat paham maksudnya. “Udah berangkat aja sana. Hati-hati!” seru Karin sembari mendorong tubuh Baim pelan, menyembunyikan wajahnya yang merona. Lelaki itu tersenyum, kemudian melangkah menuju lift yang hanya berjarak dua meter dari pintu masuk. Tak lama ia berbalik menghadap Rina yang masih menunggu di ambang pintu.“Tunggu Mas pulang, ya. Jangan ke mana-mana!” teriak Baim sebelum pintu lift di depan kamar apartemen mereka tertutup. “Iya.” Karin melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam dan menutup pintu. Baru saja dia hendak meraih remote TV dan duduk di sofa, tiba-tiba pintu diketuk seseorang. Perempuan itu beranjak, lalu berjalan menuju pintu.“Mbak Karin!” Karin tertegun di tempat, terkejut saat melihat siapa yang datang berkunjung dari Jakarta. Dia adalah Nana. Gadis berambut panjang dengan tinggi semampai dan kulit putih bersih itu tampak menyeret sebuah koper berukuran sedang. “Mau apa dia ke sini?” batin Karin. “Nana numpang liburan nggak apa-apa, ya, Mbak? Semenjak Mbak pergi, di rumah sepi,” ujarnya dengan wajah memelas.“Iyalah sepi, nggak ada lagi orang yang bisa kamu mintain tolong seenaknya,” batin Karin mencibir.“I-iya boleh. Lagian kamu udah ke sini, masa mau Mbak usir.” Walaupun ingin, tapi hal itu tentu tak bisa Rina lakukan. Akhirnya, gadis itu masuk ke dalam. Mengedarkan pandangannya ke segala penjuru apartemen dan mengabaikan kalimat terakhir yang Rina lontarkan. “Mbak yakin tinggal sendiri di sini?” tanya gadis itu menelisik. “Ya.” Karin hanya menanggapi datar. “Tapi, kok ada celana dalam laki-laki.” Nana menatap heran, saat dia menyibak gorden dan menemukan jemuran di balkon. “Na, bisa nggak kamu tinggal aja dan nggak usah banyak tanya,” cetus Karin gusar. Bergegas dia menutup kembali gorden cokelat tersebut, lalu menghadap Nana dengan tatapan tajam. Sepertinya, Karin mulai tak nyaman dengan kehadiran Nana di sini. Apalagi setelah dia ketahui kalau gadis ini akan tinggal cukup lama.“Ah, aku tahu ... ternyata Mbak Karin yang polos udah gede,” ejeknya sembari tersenyum penuh arti. Telunjuk terjulur tepat di hadapan perempuan itu yang seketika membuatnya risi. “Na ....” Suara Karin merendah. Tanda peringatan.“Iya, maaf-maaf.” Nana terkekeh sembari menyeret kopernya menuju kamar yang Karin tunjukkan.“Haahh ... capek banget!” Gadis itu mengempaskan diri ke ranjang. Berbaring menatap langit-langit kamar.“Eh, Mbak beneran nggak keberatan, nih?” Nana menyerongkan tubuhnya menghadap Karin yang berdiri di ambang pintu, bersedekap. “Kalaupun Mbak keberatan, kamu tetep nggak akan pulang, ‘kan?” sindir Karin tepat sasaran. Nana menyengir. “Itu tahu!” Kali ini dia mengubah posisi telungkup. “Diem di rumah bikin stres. Semenjak Mbak pindah ke sini, dia jadi sering marah-marah ke aku. Masalah kecil aja dibesar-besarin. Sebel!” Karin tertegun.“Lah, wajarlah dia marah. Sama Mbak yang nggak salah apa-apa aja sering kena semprot, apalagi kamu yang susah diatur.” Karin mengatakannya sembari berlalu dan menutup pintu.“Ih ... Mbak Rina kok gitu!” Masih bisa terdengar teriakan Nana menggelegar di seisi kamar. Karin tampak mengedikkan bahu tak acuh. ***Akhirnya, hari yang dinanti Karin tiba. Sudah dua pekan berlalu sejak Nana berlibur atau Karin lebih suka menyebutnya numpang di apartemennya. Hari ini, gadis itu akan kembali ke Jakarta diantar Baim menggunakan mobilnya. Kebetulan kantornya dan bandara searah.Selama dua minggu ini dia benar-benar geram dengan gadis itu. Kehadirannya begitu mengusik Karin. Apalagi, dia begitu menempel pada Baim sejak pertemuan mereka. Hal itu tentu membuat Karin risi dan berharap harinya segera berlalu. “Titip Nana, ya, Mas!” pesannya pada Baim dengan wajah semringah sebelum mereka pergi menuju bandara. “Iya, kamu tenang aja. Ya udah, Mas pergi dulu. Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” “Dah ... Mbak Karin!” Nana melambaikan tangan sembari tersenyum semringah. Masuk ke dalam lift, gadis itu bahkan masih sempat-sempatnya memeluk lengan Baim.Tanpa perempuan itu sadari, sesuatu terjadi pada suami dan adiknya. Perasaan yang tak seharusnya itu, tumbuh tiba-tiba dan akan merusak segalanya. Karin memejamkan mata sesaat, lalu mengangguk. Entah hanya perasaannya saja atau sebuah firasat. Dia seolah tak ikhlas Baim mengantar Nana. Berbeda dari orang asing kebanyakan, Nana terlihat lebih mudah mengakrabkan diri pada Baim. Terlihat dari cara gadis itu memeluk lengan suaminya. Semoga saja insting-nya salah kali ini.***Karin menunggu dengan gelisah di depan pintu. Sudah selarut ini, tapi suaminya belum juga pulang. Ponselnya pun tak bisa dihubungi, entah Nana maupun Baim. Dia menatap sekali lagi jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 01.02 dini hari. Dengan gusar dia beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu. Tangannya terulur menarik hendelnya, lalu menarik benda berbahan kayu tersebut. Seketika Karin terlonjak saat mendapati suaminya duduk menenggelamkan wajah di samping pintu apartemen mereka. Sejak kapan dia ada di sana? “Mas!” pekik Karin antara lega dan terkejut.Pria dengan penampilan berantakan itu tiba-tiba bangkit. “Mas ... dari mana?” Tak ada jawaban. Lekat dia mengamati wajah istrinya. Sebuah kalimat sudah dia susun di dalam benak, tapi tak sanggup Baim utarakan. Pada akhirnya, lelaki itu berhambur ke pelukan Karin. Memeluk perempuan itu begitu erat. “Mas, kenapa?” Lagi-lagi tak ada jawaban. Di balik tubuh Karin, Baim mengetatkan rahang. Seberapa kuat menahannya ... Baim tak bisa. Akhirnya, air mata lolos dari pelupuk matanya....Flashback selesaiSeketika Karin tersadar dari lamunan masa lampau saat melihat Adam sudah berdiri di hadapan."Mas Adam!" pekik Karin tertahan."Tanya hati terdalammu, Rin. Dia nggak akan pernah salah memilih!" Seolah tak mengindahkan kehadiran Adam, Baim masih belum juga melepaskan cengkeramannya di tangan Karin."Hey, Bung! Apa Anda budeg? Saya bilang singkirkan tangan kotor itu!"Adam menepis tangan Baim yang masih melekat di lengan Karin. Kali ini tatapannya berubah tajam. Empat tahun dia tahan keinginan untuk menghajar lelaki yang sudah menyia-nyiakan perempuan sebaik istrinya ini.Betapa ingin dia bertukar posisi dengan lelaki ini saat itu. Menjadi lelaki yang pertama untuk Rina dan tentu saja dia cintai.Lelaki bermata sipit itu balik menatap nyalang. Seolah tak menghiraukan peringatan Adam dia bersikukuh menutut jawaban dari perempuan itu."Pikirkan lagi, Karina. Pikirka--"TAK.Sebelum sempat menyelesaikan kalimat, Adam sudah memukul kepala Baim dengan botol pembersih toilet yang entah dia dapat dari mana."Ternyata emang budeg. Ditampol dulu baru nyaut," imbuhnya sembari mengalihkan tatapan ke sekeliling. Menunjukan raut wajah tanpa dosa.Karin membekap mulut. Tak menyangka Adam akan melakukan hal itu.Jelas terlihat, amarah Baim mulai tersulut. Tampak dari kedua tangannya yang mengepal di sisi tubuh. Entah kebetulan atau apa. Hubungan mereka berdua memang tak pernah berjalan baik sejak dulu.Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk berbalik, melangkahkan kaki menendang botol pembersih toilet yang tergeletak di bawah kakinya."Cih, dasar tempramental. Dipancing sedikit aja ngamuk." Karin menutup mulut menahan rasa menggelitik. Bisa-bisanya suaminya ini mengumpati orang seolah lupa berkaca diri."Hey, Karina!" Dia beralih pada Karin. "Liat tangan kamu!" Tiba-tiba Adam meraih tangan perempuan itu, lalu mengangkat sedikit lengan gamis yang menutupi lengannya.Terlihat tanda merah bekas tapak tangan, tercetak jelas di kulit Karin yang kebetulan berwarna pucat."Ck, gimana bisa kamu berurusan dengan lelaki sekasar itu? Dia bahkan nggak tahu cara menempatkan diri." Terdiam Karin menatap Adam yang mengiring tangannya menuju wastafel. Memperhatikan lelaki itu membasuh bekas merah yang tertinggal di lengannya ke dalam air keran yang mengalir.Entah kenapa Karin seolah kehabisan kata yang perlu dirangkai bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Sebuah kata tanya yang perlu dilontarkan pada lelaki ini akan perubahan sikapnya akhir-akhir ini."Kenapa bengong? Ayo, pulang!" Dia menatap Karin sekilas, lalu mematikan keran setelahnya.Karin tampak menarik diri, saat sadar posisi mereka terasa cukup intim."Eh, ng--""Buruan, Karina!" Adam berbalik dan berjalan mendahului. Akhirnya Karin putuskan untuk mengekor dan tak melontarkan apa pun lagi, hingga sampai di dalam mobil."Mas.""Hmm ...." Adam hanya bergumam, sembari memasang seatbelt."Kenapa Mas nggak tanya tentang hubunganku dengan Mas Baim?" Hati-hati Karin lontarkan pertanyaan itu sembari meremas gamis, lalu menangkupkan tangan."Nggak penting. Udah ketebak. Saya nggak peduli dengan masa lalu kamu Karina. Saat kamu memilih untuk menikah dengan saya, saya yakin saat itu kamu sudah memutuskan untuk mengubur masa lalumu." Datar wajah Adam saat ucapkan kalimat itu. Namun, tegas setiap kata yang berhasil Karin dengar.Perempuan itu menunduk, menatap cincin emas putih yang melingkari jemari manisnya. Simbol yang mengikat mereka. Karin bahkan masih ingat saat Adam memasangkannya. Terburu-buru dan terkesan ... gugup."Nana ... dia ke mana saat kita tinggal ke toilet tadi? Apa yang dia bilang ke kamu, Mas?" tanyanya.Sorot mata Adam tak berubah. Tapi, Karin bisa melihat kegelisahan dari cara lelaki itu mencengkeram setir."Nggak penting. Wanita childish!"...Bersambung.Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah lelaki yang berdiri di hadapannya, kemudian merapikan rambut bocah dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... kenapa cuma cowok yang harus disunat? Kak Ara sama Ais enggak?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putranya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Muhammad Rasyid Prasetyo yang lebih sering dipanggil Rasyid itu setelah."Kak Ara sama Ais, kan perempuan, Sayang. Sedang anak ayah yang ganteng ini, jagoan sholeh. Rasyid selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak Ayah, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Rasyid mau jadi kayak Ayah. Ayah yang ganteng, sayang sama Bunda juga Rasyid.""Nah, itu kamu tahu. Dalam Islam, hukum khitan bagi anak laki-laki itu wajib. Tujuannya bukan cuma sekadar mematuhi perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar terhindar dari najis yang kadang nggak keliatan. Kalau udah gede R
Dua bulan kemudian ....Lantunan ayat suci Al-Quran, terdengar samar-samar, ketika kesadaran Karin kembali dari alam mimpi. Menoleh ke bawah, Karin melihat Adam tengah bersila dengan kitab itu di pangkuan.Sadar tengah diperhatikan, Adam menoleh dan tersenyum."Kebangun, ya?"Membalas senyumnya, Karin mengangguk kecil. "Ada yang kamu mau? Biar aku ambilin?" tanya Adam kemudian. Karin menggeleng dan hanya termangu memperhatikan suaminya. Sadar dirinya diperhatikan dengan lekat, Adam langsung menarik pergelangan tangan Karin pelan hingga keduanya duduk berhadapan di atas sajadah yang digelar. "Masa nifas kamu udah selesai, kan?" Karin yang langsung paham dengan maksud Adam pun tersenyum dan mengangguk pelan. "Udah dari dua minggu lalu, Mas!" ucapnya."Umm ... bolehkah?" Adam terlihat ragu melanjutkan. Lelaki itu mengusap tengkuk salah tingkah. Karin yang melihatnya pun lantas terkekeh. "Itu sudah kewajibanku, Mas. Memangnya boleh menolak apa yang sudah menjadi hakmu?!"Kini Adam
Monika berdiri di depan pintu apartemen Pondok Indah Residenses bernomor 210 yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan Adam di Menteng. Meskipun sempat ragu, akhirnya dia mengulurkan tangan dan menekan bel. Tak lama sosok Adam muncul dari baliknya. Lelaki itu sempat kaget saat melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. "Monika! Ngapain lu di sini?" cetusnya. "Pevita udah pulang?" Pertanyaan Adam itu kembali dijawab oleh pertanyaan lagi."Bentar lagi kayaknya. Ada apa, Mon?""Kenapa hape lo nggak aktif, Dam? Udah berapa hari nggak pulang. Istri lo mau ngelahirin, Dodol!"Sontak mata Adam melebar. Lelaki berdarah Timur Tengah itu langsung menyisir kasar rambutnya ke belakang dan merutuk sendiri. "Astagfirullah. Gue lupa charger hape, Mon. Gue panik banget waktu Monika bilang mantan suaminya dateng buat bawa Gerald. Udah dua hari ini Pevita ngurusin kasus ini. Dia minta tolong gue karena Gerald nggak mau dititip sama yang lain. Baby sitter yang biasa rawat dia lag
"Gimana?" Panggilan ibunya lantas menarik Karin dari lamunan. Masih berdiri di tempat yang sama ia memikirkan segala kemungkinan yang ada kenapa sang suami masih belum juga tiba. Malam semakin larut, dan perasaannya juga kian terasa kalut. Semenjak usia kandungannya menginjak sembilan bulan, ia merasa instingnya lebih kuat dan peka. Perasaannya juga menjadi lebih sensitif daripada sebelumnya, padahal Karin tahu betul suaminya itu setia. Namun, entah kenapa hari ini ada yang berbeda. "Katanya syuting udah selesai dari dua hari lalu, Bu. Jadi, Mas Danu juga nggak tahu Mas Adam ada di mana sekarang." Suara Karin terdengar bergetar. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu tak lagi terlihat tenang. Beberapa kali dia mengelus perut buncitnya yang kembali terasa mulas. "Mungkin Adam pulang ke rumah orangtuanya kali, Rin. Coba ibu telepon Bu Nisa."Karin langsung menggeleng. "Nggak, Bu. Kalau Mas Adam pulang ke rumah mama sama papa dia pasti hubungin Karin, atau--arrghhh." Tubuh Kar
Empat bulan kemudian .... "Kamu beneran nggak apa-apa nih aku tinggal?" Untuk ketiga kalinya Adam bertanya pada Karin yang tengah sibuk mengunyah satu buah apel di depan pelataran rumah mereka. "Iya nggak apa-apa, Mas. Lagian ada Ibu, Bi Narti sama Mbok Nah. Lagian Mas ke Bandung mau kerja, kan bukan main-main." Melihat itu Adam lantas menghela napas panjang sebelum mengecup kening Karin dan benar-benar pamit. Di hadapan mereka tampak sudah terparkir sebuah mobil Fortuner hitam yang Mang Midun siapkan sejak tadi. "Baiklah kalau gitu. Pokoknya jangan sungkan telepon kalau ada apa-apa. "Iya, Mas." Karin mengangguk patuh, lalu meraih tangan Adam dan mencium punggung tangannya takzim. "Hati-hati. Jangan ngebut!""Siap." Adam melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Sementara itu Mang Midun terlihat sudah bersiap membuka pagar di depan. "Makasih, Mang!" ucapnya pada Mang Midun sebelum mobil beranjak meninggal pelataran dan kompleks perumahan elite
"Innalilahi wa innalilahi rojiun."Tanpa sadar ponsel Karin terlepas dari genggaman tangannya. Bagai palu godam yang baru saja menghantam, untuk seperkian detik napasnya terasa sesak, dengan dentaman jantung yang bertalu-talu ngilu. Satu jam mereka saling memaafkan. Baru satu jam setelah perempuan itu memeluknya erat bahkan hendak bersujud di kaki untuk meminta pengampunan. Belum ada dua puluh empat jam sejak ia meminta Tiara memanggil mama. Maut, memang demikian itulah adanya. Ia kerap datang di waktu-waktu tak terduga tanpa manusia sangka-sangka. Secara seketika menampar bahwa hidup memanglah sementara. Nana masih muda, usianya belum sampai dua puluh tiga. Psikolog belum memastikan kesembuhannya, tapi yang Karin lihat satu jam lalu dia sudah cukup normal meskipun keadaannya mengkhawatirkan. Perempuan itu bahkan kehilangan delapan kilogram bobot tubuhnya di tengah kandungan yang sudah mencapai tujuh bulan. Mata yang biasa menyorot bening dengan riasan sederhana, kini tampak cekun