“Hari ini kita pindah ke Jakarta. Kemarin, Mas diberi kabar ada panggilan dari perusahaan besar di sana.”Sudah dua bulan sejak perubahan sikap Baim, hari ini tiba-tiba dia meminta Karin untuk mengemasi barang.“Perusahaan apa? Kenapa secepat ini, Mas?” tanya Karin heran, sembari menghentikan pergerakan tangan Baim yang tengah mengemasi pakaian di kamar mereka.“Udahlah, Rin. Nggak usah banyak tanya. Yang penting kita bisa segera mengesahkan pernikahan di mata publik, kebutuhan terpenuhi dan kamu nggak kelaparan!”Karin tertegun lama.Jujur, sebenarnya dia sangat ingin bertanya apa yang telah terjadi. Kenapa sikap Baim berubah? Kenapa dia tiba-tiba diterima kerja? Dan, kenapa mereka harus pindah?Semua pertanyaan yang menggelayut dalam benak, akhirnya hanya bisa dia telan sendiri. Pelan tapi pasti, mungkin Baim akan menjelaskannya.“Kuliahku?” tanyanya lirih.“Kamu bisa tunda kuliahmu untuk sementara, ya.” Baim menghampiri Rina, lalu meletakkan kedua tangan di bahunya.Karin menghela
Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Baim hingga meninggalkan bekas kemerahan di kulit putihnya. Lelaki itu hanya bisa bungkam sembari berlutut di hadapan istrinya.Tak perlu bertanya, dia sudah tahu seperti apa akhirnya. Gadis yang dia pikir hanya ingin main-main, rupanya telah menancapkan duri dalam rumah tangganya.“Katakan sekarang, Mas! Aku ingin dengar dari mulutmu, apa benar kamu menghamilinya? Apa benar benih yang tertanam di rahimnya adalah darah dagingmu?” Suara Karin menggelegar di ruang apartemen. Hanya berselang beberapa menit setelah Baim pulang kantor, dia menarik tangan lelaki itu kemudian menuntut jawaban.Baim terpaku. Dia akui kesalahannya yang khilaf saat bergumul dengan Nana. Walau bagaimanapun, dia hanya lelaki biasa. Imannya tak cukup kuat melawan hasrat lelakinya.Namun, dia tak menyangka semua akan berakhir sefatal ini. Kenikmatan sesaat yang dia rasakan justru menghancurkan segalanya. Menghancurkan rencana masa depannya.“I-iya.” Tak ada alasan untuk men
"Omaa ...." Tiara langsung berlari ke arah Risma, lalu memeluknya.Perempuan setengah baya yang masih modis di usianya itu berjalan menghampiri Karin, lalu menatap putrinya dengan sorot mata yang aneh, hingga akhirnya Risma dan Tiara berlalu ke belakang.Sedangkan Karin dan Adam langsung duduk di sofa kosong yang terletak di samping kanan mereka, saat Hamdan memberi isyarat dengan dagunya."Jadi, Adam ikut juga?" Hamdan mulai membuka percakapan dengan mempertanyakan kehadiran Adam di sini. "Baguslah, begitu lebih baik. Kita bisa menyelesaikannya lebih cepat di sini," lanjutnya bahkan sebelum sempat Adam buka mulut untuk menjawab.Suasana tiba-tiba terasa tegang. Khususnya untuk Karin, sejak dulu dia memang tak pernah bisa menatap langsung ke dalam mata Hamdan. Dia dikenal dengan pribadi yang tegas. Lelaki setengah baya itu bahkan mendidik anak-anaknya dengan cukup keras, terlebih pada Karin.Sebisa mungkin Rina selalu menghindari Hamdan bila ada kesempatan. Terlebih setelah tragedi ti
Perceraian adalah hal yang lumrah terjadi dalam ikatan pernikahan. Jangankan pasangan yang tak saling mencintai, mereka yang menikah dengan cinta pun bisa berpisah karena ego yang sama-sama dibumbung tinggi. Tak tahu kondisi, tak peduli orang yang dikasihi, hingga akhirnya anak menjadi korban situasi. Ada dua alasan kenapa suami istri yang tak saling mencintai memilih bertahan dengan pasangannya. Pertama, karena anak. Dan yang kedua, karena mereka terikat dengantujuan lain, meskipun berakhir merugikan salah satu di antara keduanya. Dalam kasus ini, para pasangan melupakan hal kecil yang justru akan berakibat besar di kemudian hari. Hukum tabur-tuai pun berlaku menjadi karma yang kelak bisa menimpa anak turunannya. ***20 Maret 2001Prang!Gelas kaca itu tampak berserak di lantai, meninggalkan bunyi yang memekakkan telinga. Di ruang utama kediaman keluarga terpandang itu, terlihat Hamdan Adiguna—lelaki berusia tiga puluh tahun. Pemimpin PT. KNUSA, perusahaan yang bergerak di bidang
2 Februari 2002Hari ini Karina masuk SD, dia begitu antusias saat memakai baju merah putih pertamanya. “Mbok, Ibu antar Karin sekarang, ‘kan?” celoteh bocah itu pada Mbok Nah, tetangga yang biasa Risma pakai jasanya untuk menjaga Karin setahun belakangan setelah dia memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga kantin sebuah perusahaan besar di pusat kota. Bocah itu tampak kesepian, dia kehilangan kasih sayang. Tak jarang dia melamun di depan jendela sembari berharap pada Tuhan agar ayahnya pulang dan mereka bisa berkumpul bersama lagi. Namun, harapnya hanya tinggal angan. Sang ayah tak pernah kembali. “Hari ini Ibu ada janji, Nduk. Kamu sama Simbok aja berangkatnya.” Nanar mata Mbok Nah saat menatap bocah malang itu. Wanita paruh baya kelahiran Jawa Timur itu hanya bisa mengusap kepala Karin, meyakinkannya agar mengerti.“Oh.” Kecewa. Jelas, itu yang tergambar di mata bening Karin. Manik cokelat muda sama seperti yang dimiliki Haris. Gadis kecil malang korban perceraian dan keegoi
Seminggu tinggal di rumah besar ini, membuat Karin tak cukup terbiasa. Bocah itu bahkan seringkali kebingungan dengan sikap Nana yang makin hari makin aneh. Kadang Karin mendapati bocah itu mengurung diri sendirian di kamar dan tak mau bermain dengannya. Tak cukup sampai di situ, Hamdan yang dia panggil ‘ayah’ itu mulai berubah. Sikapnya terlihat agak ketus, tak sebaik saat ibunya ada di rumah.“Mbak Kalin ....” Nana membuka pintu kamarnya, memanggil Karin yang tengah menonton TV di luar.Karin menoleh. Bocah itu terdiam sejenak sampai akhirnya memutuskan masuk ke dalam tanpa bertanya apa pun, mengekori Nana berjalan menuju dekat jendela yang terbuka di sudut tengah kamar. “Didi ....” Nana menunjuk ke luar jendela dengan wajah datar. Rina tampak terkejut. Dia berlari menghampiri Nana saat sadar Didi yang dimaksud adalah boneka kesayangannya. Ternyata Nana menjatuhkan boneka beruang yang Karin pinjamkan padanya.“Nana, Mbak kan bilang jaga Didi baik-baik!” ucap Karin setengah be
“Izinkan aku untuk bertemu dengan Karin, Risma. Kumohon! Aku yakin selama ini dia menungguku pulang.” Haris berlutut di hadapan Risma, memohon agar dipertemukan dengan putrinya. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak dia dan Atikah memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan melangsungkan pernikahan di sana sampai kondisi membaik. Keluarga besar Adiguna sudah memutuskan, “toh pada akhirnya mereka berpisah baik-baik dan menjalani hidup masing- masing”. Maka dari itu, tetua keluarga Adiguna—yang tak lain adalah neneknya, membolehkan dia pulang setelah operasi plastik Atikah selesai dilakukan. Menutupi kenyataan bahwa dulu wanita berdarah Pakistan itu adalah mantan istri Hamdan, saudaranya. “Sudah terlambat, Haris. Dia melupakan semuanya, bahkan dirimu. Kalau kita bekerja sama dan tak membuatnya mengingat betapa buruk ayahnya dulu, maka hidup Karina akan baik-baik saja. Lakukanlah peranmu sebagai paman dengan baik!” papar Risma sembari menatap lurus mantan suaminya. Haris tertegun. Dia han
Karin memegangi kepala yang tiba-tiba terasa pening. Kilas-kilas bayangan tiba-tiba berputar di kepala bagai kaset rusak. Kalimat demi kalimat yang tertangkap oleh indra pendengar seperti besi berkarat yang tumbuh di daging, lalu dicabut paksa.“Karin ... maaf.” Tiba-tiba Haris menyela. Dia beralih dari kursi, lalu bersimpuh di hadapan Karin.Perempuan itu hanya bisa membekap mulut. Dia tatap Haris dengan nanar, berusaha menerima semua kenyataan yang ada.Seorang ayah adalah cinta pertama putrinya, lelaki pertama yang mengajarkan bagaimana menyayangi ... tapi pada Karin, lelaki berkaca mata ini justru tanamkan rasa membenci.Haris berusaha meraih tangan perempuan itu yang terkepal di kedua paha, tapi buru-buru ditepisnya.Sejak Risma membawanya ke rumah ini, nasib seolah sudah menempatkan dia pada posisi tertindas, tak dihargai, tameng, juga pelampiasan amarah. Tak diberi kesempatan untuk melawan, membela diri, bahkan hanya untuk sekadar menyampaikan pendapat akan perilaku menyimpa