Share

TULANG RUSUK YANG REMUK
TULANG RUSUK YANG REMUK
Penulis: Aisy David

TULANG PUNGGUNG

Penulis: Aisy David
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-24 09:09:40

Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.

Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.

Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.

Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung beban yang terlalu berat hingga terasa remuk dan patah.

Kunci tokonya berbunyi. Bukan pelanggan, melainkan Arman. Suaminya masuk dengan wajah lesu. Kemeja kantornya sudah kusut, dan ia langsung menjatuhkan diri di kursi belakang.

“Gaji bulan ini, Ra. Sudah dipotong utang ke teman-teman kantor. Sisanya... ini,” kata Arman, ia menyodorkan beberapa lembar uang merah yang menyedihkan.

Aira mengambilnya. Jumlahnya sama, atau mungkin lebih sedikit, dari upah seminggu karyawan paruh waktunya.

“Baik, Mas,” kata Aira, lalu menyimpan uang itu.

“Tadi aku bertemu Bu Tina, Ra. Istrinya Pak Toni, supervisor-ku. Mereka baru beli mobil baru,” kata Arman, nadanya mendadak berubah menjadi penuh harap.

Aira membalikkan badan, ia memandangi bayangannya yang berjuang di kaca etalase. “Baguslah. Kerja keras Pak Toni membuahkan hasil.”

“Bukan itu intinya. Bu Tina tidak bekerja, Ra. Dia fokus mengurus rumah dan anak. Suaminya yang menanggung semua. Seharusnya kau juga begitu, Ra. Jadi istri itu di rumah, bukan jadi kuli begini. Apalagi Ibu  di rumah juga sering mengeluh. Katanya, kau tidak fokus mengurus rumahnya.”

Kalimat itu, "Seharusnya kau juga begitu," bagaikan pukulan telak, diperkuat dengan keluhan Ibu Lastri yang selalu disampaikannya melalui Arman.

Air mata Aira tumpah. “Aku kuli karena kau tidak mampu menanggung, Mas!” Aira berbalik, ia menunjuk tumpukan nota di mejanya.

“Aku Tulang Rusukmu! Tapi kau membiarkanku menjadi Tulang Punggung! Aku mencari nafkah, mengurus rumah, dan kau masih bisa menuntutku untuk mengurusi rumah dan ibu?! Aku lelah, Mas!”

Arman terkejut melihat luapan emosi Aira. Ia mencoba merangkul istrinya, tetapi Aira menepisnya.

“Sudah, Mas. Aku lelah. Aku ingin pulang.”

Aira segera menutup toko, ia mengabaikan tatapan bersalah Arman. Di dalam angkutan umum menuju rumah Ibu Lastri, Aira menatap ke luar jendela. Ia adalah tulang rusuk yang diciptakan untuk dilindungi, tapi kini ia patah, remuk karena menahan beban yang seharusnya dipanggul oleh bahu suaminya.

Aira menutup mata. Wanita itu berbisik pada dirinya sendiri, "Sampai kapan, Mas Arman? Sampai kapan kau akan membiarkan tulang rusukmu yang ini hancur di rumah Ibumu?"

*

*****

*

Rumah kecil yang mereka tinggali terasa lebih sesak malam ini. Bukan hanya karena sempit, tetapi karena kehadiran Ibu Lastri yang selalu menjadi komandan utama dalam segala hal.

Memang, sejak El—anaknya lahir, Bu Lastri bersikeras bahwa Aira, Arman, dan Rey harus tinggal bersamanya di pinggiran Jakarta, dengan alasan menghemat biaya dan juga alasan lainnya.

Namun, bagi Aira, ini seperti tinggal di bawah kendali mertuanya secara penuh.

Aira tiba di rumah sekitar pukul setengah sembilan bersama Arman. Bau mentega dan kelelahan melekat pada dirinya. Ia mendapati Bu Lastri sudah duduk di sofa reyot ruang tamu. Wanita paruh baya itu menonton sinetron dengan volume penuh, sementara piring bekas makannya sendiri teronggok di meja.

“Pulang juga, kau, Ra. Itu, piring-piring di dapur belum kau cuci dari tadi pagi. Bau amis,” sambut Bu Lastri tanpa menoleh.

Aira menahan napas. Piring itu adalah piring bekas sarapan mereka bertiga, dan Bu Lastri sudah beristirahat seharian penuh sementara ia bekerja di toko.

Arman yang sudah lebih dulu tiba di rumah pun memilih tidur di sofa daripada mencuci piring. Pria itu malah berbasa-basi menjemput istrinya ke toko roti sembari memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada istrinya.

Ya! Setiap bulan memang Aira hanya diberi uang  200 ribu rupiah.

"Ra! Jangan melongo! Cepat cuci piring di dapur!" Sang mertua kembali memerintah.

“Iya, Bu. Sebentar, saya cuci,” jawab Aira lembut.

Saat Aira sedang mencuci piring di bak kecil yang mampet, Bu Lastri tiba-tiba muncul.

“Kau ini bagaimana sih, Ra? Sudah jadi pengusaha roti sukses, kok piring dicuci sendiri? Bayar saja pembantu. Kan uangmu banyak. Arman itu anak baik, dia tidak pernah meminta uangmu, seharusnya kau yang mengerti dan tidak pelit,” sindir Bu Lastri.

Pelit? Aira menelan kepedihan. Ia menahan semua pengeluaran demi membayar kebutuhan utama.

“Oh ya, Ra,” lanjut Bu Lastri, ia mengubah nada suaranya menjadi lebih manis. “Bulan ini Ibu harus bayar kontrakan ladang di kampung. 500 ribu . Uang Ibu kurang. Tolong kau tambahkan dulu ya. Nanti Ibu ganti kalau ada.”

"Kalau ada," kata-kata itu selalu berarti "tidak akan pernah diganti."

Aira mengeringkan tangannya. Ia lelah dengan sandiwara ini. Ia meraih buku catatan keuangannya.

“Lima ratus ribu, Bu?” Aira membuka bukunya. “Uang toko hari ini hanya sisa empat ratus ribu. Itu harus dibelikan bahan untuk besok. Listrik sudah jatuh tempo. Kalau Ibu ambil lima ratus, kita makan apa besok?”

“Ya kau buat saja roti yang lebih banyak! Kau ini pelit sekali. Arman kan sudah bekerja juga. Masak gak ada duit?"

"Uang Mas Arman bulan ini hanya sisa 200 ribu, Bu!"

"Halah! Jangan banyak alasan . Harusnya kau yang inisiatif supaya ada pemasukan lebih!” Bu Lastri meninggikan suara.

Saat itulah Arman muncul. Ia pergi ke dapur karena merasa istirahatnya terganggu.

“Ada apa sih, ribut-ribut?” tegur Arman, tapi tatapannya langsung tertuju pada Aira dengan rasa menyalahkan.

“Ini, Mas. Ibu butuh uang kontrakan ladang, lima ratus ribu. Aku bingung, kas toko sudah kosong,” jelas Aira pelan.

Arman menghela napas kasar, ia mengambil dompet Aira di meja.

“Sudah, Bu. Biar aku yang bicara. Ambil saja, Bu. Nanti aku yang urus kekurangan toko. Kau ini, Ra. Sama Ibu sendiri saja perhitungan!” Arman mengambil uang dari dompet Aira, tanpa izin, dan menyerahkannya kepada Ibunya.

Bu Lastri tersenyum puas, ia melirik Aira dengan penuh kemenangan. “Nah, begitu baru anak Ibu. Terima kasih, Man.”

Aira berdiri kaku, air matanya tak terbendung lagi. “Kau ambil uang belanja besok, Mas! Kita makan apa?” bisik Aira, suaranya parau.

Arman menatap Aira sejenak, wajahnya menunjukkan kejengkelan. “Besok pagi aku akan pinjam dari kantor, beres! Kau ini drama sekali.”

“Pinjam? Yang melunasi siapa? Aku lagi, Mas!” Aira tidak bisa lagi menahan ledakan emosinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   MENGHAPUS CINTA

    Ruang tengah terasa mencekik. Tuduhan Arman—bahwa uang pembayaran Daycare berasal dari hasil perselingkuhan—menggantung di udara seperti racun. Bu Lastri tampak menikmati drama itu, matanya memancarkan kepuasan, senyuman di bibirnya nampak kian lebar dan sinis.Aira menatap Arman dengan tajam, bahkan tanpa berkedip. Ia tidak marah, tetapi matanya memancarkan rasa lelah dan kecewa yang sangat dingin."Apa katamu? Aku berselingkuh? Kau bilang uangku banyak karena aku mendua? Dari mana kamu memiliki pemikiran seperti itu, Mas?" Aira bertanya, suaranya tenang, tetapi tajam."Uang Daycare ini tidak lebih dari uang yang kau biarkan aku cari sendiri! Aku lembur sampai tidak tidur! Aku bekerja seperti orang gila! Dan sekarang, kau menuduhku berselingkuh karena aku akhirnya bisa membiayai anakku sendiri?!" pekiknya.Wanita itu melangkah maju, tangannya menunjuk Arman. "Coba, jelaskan padaku! Kalau aku berselingkuh, kenapa aku masih sudi mencuci piring kotor di rumah ini? Kenapa aku masih harus

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   TUDUHAN BERSELINGKUH

    "Apakah kamu sedang berencana untuk selingkuh?" Bu Lastri tiba-tiba muncul di belakang Aira dan membombardir menantunya dengan sederetan pertanyaan yang sangat menyudutkan. Wanita paruh baya itu datang ketika menantunya sedang memikirkan bagaimana cara melancarkan aksinya untuk mengerjakan orderan dari Bima."Aira sedang berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang lebih untuk memberi makan suami dan mertua, Bu." Aira tersenyum simpul. "Halah! Jangan banyak bacot! Kau ini benar-benar menantu kurang ajar." Bu Lastri berkacak pinggang."Apa yang Ibu inginkan? Kenapa Ibu tiba-tiba datang ke toko? Apakah Ibu lapar lagi? Ah, Ibu pasti ingin meminta beberapa roti untuk cemilan kan?""Tidak! Aku datang ke sini untuk meminta uang! Ada iuran RT yang harus dibayarkan sore ini. Cepat! Minta duit!" Bu Lastri mendelik.Tanpa menunggu persetujuan menantunya, sang mertua langsung menghampiri meja kasir dan membuka laci. Dia mengambil beberapa lembar uang dan langsung berlalu pergi begitu saja tanpa

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   HARUS BANGKIT

    Aira meninggalkan mertuanya begitu saja. Dia tak peduli dengan teriakan wanita paruh baya itu. Aira pergi ke kamarnya.Saat ia membuka pintu kamar. Di dalamnya, ada El yang berusia empat tahun. Bocah itu sedang asyik bermain mobil-mobilan.Untunglah, El bukan anak yang rewel. Biasanya, pagi begini ... dia menunggu Aira kembali dari toko sambil bermain di dalam kamar. Siangnya, biasanya Aira akan membawa anaknya ke toko roti. Meskipun usianya sudah 4 tahun, tapi El belum sekolah. Aira tak ada uang untuk memasukkan anaknya ke PAUD."El, sayang. Mama bawakan nasi bungkus untukmu, Nak," kata Aira dengan lembut, lalu ia menyodorkan nasi bungkus hangat itu kepada putranya.Ia duduk di tepi ranjang yang berderit, sementara Bu Lastri masih mengomel dari luar kamar. Sang mertua terus memaki-maki kemalasan dan ketidakpekaan Aira. Namun, Aira tidak peduli. Ia membiarkan omelan itu menguap begitu saja.Dia memeluk El dengan erat."Makan yang kenyang ya, Sayang. Mama minta maaf, Mama belum sempat

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   BABU DI RUMAH MERTUA

    Aira merasakan hiruk-pikuk udara dini hari di Terminal Angkot Jatinegara. Ini adalah pusat keramaian yang tidak pernah tidur, tempat para pencari nafkah memulai hari jauh sebelum matahari terbit.Dia berdiri di sudut yang strategis, di dekat pangkalan ojek, tempat para buruh pabrik yang turun dari angkutan malam transit menuju kendaraan terakhir mereka. Ia menyusun kantong-kantong kertas berisi Roti Panggang Krispi Gula Mentega di atas sebuah kardus bekas. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena rasa cemas bercampur malu.Ia seorang pemilik toko roti yang kini berdiri di pinggir jalan.Aira menyusun kantong-kantong kertas berisi Roti Panggang Krispi Gula Mentega di atas sebuah kardus bekas. Tangannya sedikit gemetar."Lima ratus ribu, Ra. Lima puluh bungkus. Demi besok," bisiknya pada dirinya sendiri.Wanita itu menatap dagangannya. Dia membungkus lebih dari 50 bungkus. "Kalau laku semua, aku pasti bisa mendapatkan uang lebih dari 500 ribu," tandasnya.Pelangg

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   MOKONDO

    Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   TULANG PUNGGUNG

    Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status