Siapa yang tak mengenal dirinya? Keturunan keluarga Lixston yang kaya raya, mempunyai perusahaan diberbagai bidang yang sukses hingga kini. Zio, itulah nama panggilannya, wajahnya tampan dengan sorot mata tajam bak elang.
Di umurnya yang masih muda Zio sudah mempunyai perusahaan sendiri yang terkenal hingga mancanegara.
Kata orang hidupnya enak, dikelilingi harta berlimpah apapaun dia bisa lakukan namun nyatanya kehidupannya tak seindah itu.
Faktanya Zio kesepian, sunyi, gelap, sepi itu semua adalah temannya dari dulu. Zio memang susah bergaul, dia hanya memiliki 2 orang teman baik saja. Mereka ada disaat ia susah maupun senang.
Sekarang Zio tengah duduk diruang kerjanya yang berada di apartemen, dihapannya terdapat laptop dan beberapa berkas-berkas ditemani kegelapan hanya ada cahaya yang berasal dari laptop miliknya. Zio tak fokus dengan pekerjaan, dia mematikan laptopnya dan bersender dikursi sembari melihat pemandangan didepannya yang menampilkan keindahan kota dimalam hari.
Letak apartemen Zio bisa dibilang paling atas, dan ruang kerjanya berhadapan langsung dengan gedung-gedung pencakar langit yang sangat indah bila malam hari. Zio memundurkan kursinya dan bangkit dari duduknya. Zio berjalan perlahan-lahan ke arah sudut ruangannya dengan tangan yang ia masukkan kecelana.
Zio melihat kebawah dimana banyak pengguna jalan berlalu lalang, dia membuka sebagian tirai yang menutupi kaca dan seketika ruangan yang tadinya gelap kini mendapatkan cahaya remang-remang dari bulan yang berbentuk bulat sempurna.
Zio menatap bulan itu, seketika dia teringat kejadian diparkiran apartemen beberapa waktu lalu. Bawahnya sudah memberitahu dirinya jika kemarin orang yang memiliki wajah mirip seperti dirinya adalah kembarannya yang tak lain adalah ZETA ARASYA, ia sangat terkejut mendengar fakta ini. Kenapa dia datang disaat ia ingin bedamai dengan masa lalunya? Zio hancur sekarang, semua usaha untuk melupakan masa lalunya sia-sia sejak kedatangan Zeta.
Mengingat nama itu tiba-tiba saja tangannya mengepal, entahlah dia membenci Zeta sekarang. Sedari kecil ia tak pernah merasakan apa yang namanya kasih sayang orang tua, dia dulu dirawat oleh kakek dan neneknya yang mendidiknya dengan keras.
Saat itu Zio masih SD dia harus menjadi yang terbaik di sekolahnya atas paksaaan kakek nya. Pernah suatu ketika dirinya dihukum untuk belajar 1 hari penuh, jika dia menangis karena kelelahan belajar kakeknya akan memberikan uang supaya dia diam. Semuanya kakeknya hargai dengan uang, uang, dan uang.
Zio tak butuh uang, dirinya hanya butuh figuran seoarang ibu dan ayah saja tak lebih. Dirinya iri melihat teman-temannya yang diantar sekolah dengan mamanya, sedangkan dia diantar oleh supir kadang jalan kaki.
"Aku pengin peluk kamu, tapi keadaan memaksaku untuk membencimu," lirih Zio, bohong jika dia tak rindu kembarannya. Namun hanya untuk berdekatan saja rasa benci menjalar hatinya.
Zio berfikir pasti hidup Zeta enak bisa mendapatkan kasih sayang kedua orang tua, sedangkan dirinya tak pernah mendapatkan sama sekali hingga kini. Zio tak tega melihat Zeta yang kemarin menangis karena dirinya, apalagi kemarin dia sempat diseret oleh beberapa bodyguardnya.
Dulu disaat Zeta menanyakan kepada kakeknya dimana mama dan papanya berada, bukan jawaban yang dia dapatkan melainkan ejekan-ejekan dan umpatan tentang mamanya yang seharusnya anak seusianya tak mendengar kata-kata seperti itu.
Zio tinggal di apartemen sendiri sejak kelas 2 SMA, dia tak tahan satu rumah dengan kakeknya sebab jika dirumah ia diperlakukan layaknya asisten pribadi. Mereka tak menyayangi Zio tulus, mereka hanya memanfaatkan kepintarannya saja.
Jika ada acara diperusahaan besar ia akan diajak, Zio akan dibanggakan dihadapan rekan kerjaanya dan disebut-sebut namanya oleh sang kakek sehingga mereka mengira Zio beruntung bisa terlahir dikeluaga lixston. Kenyataannya tak seindah itu, setelah pulang dari berbagai acara Zio diperlakukan layaknya orang asing yang numpang hidup.
Bohong jika Zio tak menginginkan keluarga, bohong jika ia membenci kembaranya sendiri hati kecilnya menolak itu semua namun dia mengucapkan kata-kata itu menggnakan mulutnya dihadapan semua orang bahkan kembaranya sendiri, entah bagaimana perasaan Zeta.
Tiba-tiba asisten pribadi Zeta masuk.
"Tuan hari ini anda ada pertemuan penting dengan klien."
"Hm," dehemnya lalu pergi diikuti oleh asisten pribadinya.
Zio sangat sibuk dengan perusahaanya, jika ada masalah ia pasti melampiaskan semuanya dengan bekerja tak kenal waktu. Zio tak ada penyemangat hidup, dia selalu merasa sendiri. Kadang Zio berfikir mengapa tuhan tidak adil kepada nya?.
Zio tak mempunyai pacar, menurutnya mempunyai pacar sama saja dengan menghambur-hamburkan uang. Wanita yang dekat dengannya pasti hanya mengincar uangnya saja, maka dari itu Zio tak pernah mau berurusan dengan yang namanya perempuan.
*****
Dilain tempat, Zeta tengah berada di apartment nya. Perempuan berlesung pipi itu terlihat sangat fokus menghadap laptopnya, entah apa yang dia lihat. Sesekali Zeta meminum teh yang ia buat didalam gelas, iacukup bingung dengan kehidupannya sekarang, dia tak mungkin terus bertahan hidup dengan uang tabungannya.
"Kapan yah dia ngak benci lagi sama aku?" batin Zeta sendu, ingin sekali dia memeluk kembarannya.
Zeta sedih mendengar jika kehidupan kembarannya tak baik-baik saja. Zeta tau jika kembarannya sebenarnya rapuh, namun ditutupi oleh wajahnya yang datar dan sifatnya yang dingin tak tersentuh.
"Meningan aku masak dulu aja deh," ujar Zeta lalu pergi kedapur.
Zeta mulai menyalakan kompor, ia akan memasak mie instant dengan telur ceplok saja karena kalau masak yang lain pasti ribet. Setelah mienya matang ia membawa nya keruang tamu lalu memakannya sambil menonton Tv.
Tiba-tiba saja ada panggilan masuk dari HPnya, setelah ia lihat ternyata teman-temannya yang ada didesa menelfon dirinya. Zeta pun mengankat video call dari teman-temannya. perempuan berlesung pipi iti menyenderkan HPnya diVas bunga.
"Hai Zeta," pekik semua teman-temannya.
"Hai juga," balasnya.
"Gimana kabar kamu?"
"Baik kok," jawabnya.
"Gimana soal kembaran kamu?"
"Yah begitu lah masih sama," jawab Zeta seadanya.
Zeta memang masih menceritakan semuanya kepada sahabat nya, mereka yang mendengar hanya bisa men support dirinya dari jauh dan terus menyemangatinya.
"Semangat terus Zeta!"
"Kita bakal doa'in kamu terus kok."
"Betul tuh apa yang Ais ucapkan."
"Termima kasih semua." Zeta tersenyum haru.
"Hehehe santai aja Ze, kayak sama siapa aja."
"Betul tuh."
"Bia diem deh."
Sudah menjadi kebiasaan jika mereka Video call pasti Bia dan Ais berantem makanya Zeta tak heran lagi jika mereka pasti akan berdebat.
"Jutek banget kamu sama aku."
"Emang aku pikirin?"
"Jahat banget, Bea tolongin Bia."
"Jijik."
"Lebay!"
Mereka mengobrol dan bertukar cerita, sesekali Zeta memakan mienya yang belum habis. Perempuan berlesung pipi iti kadang tertawa melihat tingkah teman-temannya yang tak pernah berubah dari dulu. Bercerita bersama mereka membuat bebannya sedikit berkurang, mereka memang pendengar yang baik dan akan selalu memberi semangat untuknya.
Kini Zeta tengah duduk berhadapan dengan sang kembaran, tepatnya dikantor milik Zio. Butuh perjuangan untuk bisa sampai kesini, lantaran banyak bodyguard yang melarang Zeta untuk masuk. Dengan tangisan dan mohon-mohon akhirnya Zio mau bertemu dengan Zeta.Sejak 10 menit suasana hening, Zeta sendiri tak tau ingin memulai obrolan dari mana. Zio sendiri hanya sibuk berkutat dengan laptopnya, seolah tak menghiraukan keberadaan Zeta. Diruangan ini terasa sepi, bahkan terlihat menyeramkan, lantaran temboknya berwarna gelap bahkan hiasanya pun warna gelap."Bisa kita berbicara?" Akhirnya Zeta lah yang lebih dulu membuka obrolan."Hm," dehemnya.Zeta menghela nafas, dirinya ingin menangis sekarang namun dia sadar ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya bukan malah menangis."Kamu ngak mau kemakam mama papa?" tanya Zeta takut-takut.
"Apa yang sebenarnya terjadi Rey?" Tanya Zeta khawatir apalagi melihat keadaan Rey yang kacau. Reyasa masih menggunakan jas dokter nya dan matanya sembab kemungkinan besar Rey sehabis menangis.Beberapa jam yang lalu....Reyasa tengah berada dirumah sakit, namun tiba-tiba sang mama menyuruh dirinya untuk cepat-cepat pulang. Untungnya pasien sedikit jadinya tak apa jika dirinya pulang lebih dahulu. Reyasa pulang nenggendarai mobil, dia bergerak gelisah ditempat duduk nya. Tadi ia sempat mendengar nada bicara sang mama yang nampak khawatir.Sampailah Rey dirumahnya, dirinya melihat semua barang-barang diruang tamu berantakan, banyak pecahan gucci dimana-mana. Rey melihat sang ibu yang tengah duduk dimeja makan, dengan tangan yang dilipat dimeja dan menatap kedepan dengan pandangan kosong.Rey menghampirinya dan mengelus pundak Manda pelan, ia takut terjadi sesuatu kepada mama ya
Pagi tlah datang, Zeta mengerjapkan matanya karena sinar matahari mengenai retina matanya. Perempuan itu mengeliat pelan, ia melihat kesamping dan ternyata Nathan dan Syika masih tertidur. Zeta hampir lupa jika dirinya membawa mereka pulang. Kemarin Zeta sempat membelikan mereka baju."Nathan, Syika." Zeta menepuk-nepuk pelan pipi mereka. Tak lama Syika mengeliat karena merasa tidurnya terusik."Kakak?" Syika duduk ditepi ranjang sembari mengucek matanya."Jangan diucek, Syi." Zeta mencegah tangan Syika yang ingin mengucek matanya lagi."Bangunin Natha gih," suruh Zeta dan Syika pun mengangguk. Zeta memanggil mereka dengan sebutan Syi dan Nath supaya manggilnya lebih simpel.Anak perempuan berusia 4 tahun mulai membangunkan sang kembaran dengan menarik-narik tangannya pelan. Tak ada 5 menit mereka sudah terbangun membuat Zeta tersenyum kecil.
Seperti yang dikatakan tadi, Zeta dan Rey sudah berada didalam supermarket. Mereka berada tempat daging dengan Rey yang mendorong troli. Zeta, perempuan itu tengah memilih-milih beberapa jenis daging. "Rey, kamu ambil sayuran sama buah kesukaan tante Manda yah," ucap Zeta, Rey mengangguk dan pergi menuju rak sayuran dan buah. Setelah melihat-lihat jenis daging, akhirnya Zeta menemukan daging yang pas untuk sotonya nanti. Perempuan itu segera menyusul Rey, trolinya lumayan penuh karena Rey sekalian belanja mingguan supaya mamanya tak perlu repot-repot untuk datang ke sini lagi. "Udah semua kan?" tanya Rey, Zeta mengangguk mereka menuju kasir untuk membayar belanjaannya. Zeta dan Rey keluar dari supermarket dengan masing-masing menenteng 2 kresek berukuran sedang. Mereka memasukan belanjaannya ke dalam mobil. Rey pamit untuk membuang sampah di tempat sampah yang letaknya
Zeta tengah berada di area taman bersama dengan twins. Setelah dari rumah Rey, Zeta langsung mengajak twins untuk jalan-jalan, dirinya juga bingung di apartmen ingin ngapain. Saat ini mereka sedang duduk disalah satu bangku sembari menikmati masing-masing 1 cup eskrim. "Apakah es krimnya enak?" tanya Zeta. Nathan dan Syika mengangguk semangat. "Yaa, ini sangat enak," ucap mereka dengan mulut penuh dengan noda Es krim. Zeta mengelap bibir mereka menggunakan tisu, Nathan izin kepadanya untuk pergi kelapangah. Di sana banyak sekali anak-anak seumuran dengan Nathan. Kini yang duduk di bangku hanya Zeta dan Syika. Zeta memantau Nathan dari sini saja karena letak lapangannya hanya beberapa langkah dari tempat duduknya. "Syika, suka main di sini?" tanya Zeta melihat ke arah Syika yang sedari tadi hanya fokus melihat Nathan yang sedang bermain bola. "Ya.
Pagi harinya Zeta mendengarkan twins yang sedang bercerita dari pintu depan kamar. Sehabis mandi ia ingin masuk kekamar namun ia mengurungkan niatnya karena mendengar twins yang mengobrol. Suara twins terdengar jelas dari tempatnya berdiri. "Kakak, tadi malam Syi ngelasa dipeluk mama." "Mama udah ngak ada, dek!" "Mama peluk Syi kak. Mama bilang kalau mama ngak akan ninggalin kita." "Kita ngak punya mama, mama udah mati. Adek ngak inget kalau kakak benci mama?" "Syi pengen dipeluk mama kakak. Hiks hiks mama tadi datang, dia gendong Syi." Begitulah kira-kira percakapan twins yang Zeta dengar. Perempuan itu langsung masuk dan menghampiri Syika yang menangis, sedangkan Nathan membuang muka dengan wajah dinginnya. Zeta sama sekali tak pernah melihat wajah Nathan sedingin ini. "Nath, kok adiknya nangis?" ta
Diruangan yang nampak gelap terdapat seorang lelaki berumur sekitar 25 tahun tengah melihat layar iPad yang berada diatas tangannya. Lelaki itu bernama Albiru, lebih tepatnya Albiru Evander.Albi seorang CEO diperusahaan terkenal, ia memiliki banyak sekali perusahaan. Albi menikah diusia 21 tahun karena perjodohan, namun setelah istrinya melahirkan buah hati mereka dia pergi begitu saja. Selama ini Albi lah yang merawat anaknya seorang diri.Nathan dan Syika, mereka adalah anak dari Albi. Lelaki itu sibuk dengan dunia kerjanya sampai-sampai meluapakan sang anak yang butuh perhatin darinya. Albi mendengar segala keluh kesah anaknya kepada wanita yang saat ini tengah bersama sang anak. Albi gagal menjadi papa yang baik buat mereka.Lama merenung pintu terbuka menampilkan seorang lelaki yang umurnya sama dengan dirinya. Lelaki itu duduk disebelah Albi, sebelumnya ia menyalakan lampu. Kini ruangan itu teran
Zeta berada dirumah Manda, tentu saja twins ikut bersamanya. Rey tak ada dirumah, lelaki itu sedang bekerja dirumah sakit. Tadi, Rey meminta untuk dia menemani mamanya dirumah. Dengan senang hati Zeta menerima permintan lelaki itu. Kini Zeta tengah mengobrol dengan Manda diruang keluarga.Twins main dilantai yang beralaskan karpet berbulu. Manda sengaja membeli mainan untuk twins supaya mereka betah berada dirumahnya. Mereka melihat tv ditemani beberapa camilan dan juga teh hangat sebagai pelengkapnya."Dimana soal, Zio?" Tanya Manda."Masih sama." Jawab Zeta lesu, terakhir ia bertemu dengan kembarannya dikantor Zio dan sejak saat itu Zeta tak bertemu lagi dengan sang kembaran.Manda mengengam tangan Zeta, "Dulu mama kamu pengen banget bisa peluk, Zio. Bahkan sewaktu dia lahir mama kamu hanya memeluknya selama beberapa menit saja." Ungkapnya."Aku ak