Share

7. Terpesona

Sebuah mobil warna hitam meninggalkan pelataran rumah sakit. Di dalamnya berisi dua orang wanita dan seorang pria yang duduk di balik kemudi.

"Udahan dong, Mel. Jangan cemberut gitu. Jelek tahu!" Suara Delia segera memecah keheningan malam ini.

"Bodo amat!"

Brukk

Amel menjatuhkan badannya di kursi belakang dan memilih memejamkan matanya. Sebuah bantal hello kitty segera menutupi wajahnya, menyembunyikan rasa kesal luar biasa yang ia tampilkan.

Delia melirik suaminya, meminta pertimbangan. Gadis di kursi belakang itu kini benar-benar marah. Delia merasa bersalah karena memaksa Amel pulang lebih awal.

Pria bertubuh sedikit berisi itu menggelengkan kepala, meminta istrinya untuk tak memaksa adik sepupunya ini. Tidak ada yang salah. Mereka hanya menjalankan amanah papa dan mama. Lagipula ini juga demi kebaikan Amel.

Mobil melaju membelah jalanan, bersiap kembali ke Depok. Beberapa kali sempat terhenti di lampu merah, dan melaju detik berikutnya saat lampu lalu lintas berubah hijau.

Di saat yang bersamaan, di kediaman orangtua Amel.

"Ini nak Ryan Wibisono, yang CV-nya saya berikan ke Bapak." Pak ustadz memperkenalkan tamu yang dibawanya. Papa Amel mengangguk.

"Dimana nak Amelnya, Pak, Bu?"

Papa mama Amel saling pandang.

"Amel belum pulang. Dia masih di perjalanan, anak angkat saya lagi jemput dia di tempat kerjanya." Mama akhirnya yang menjawab.

"Belum pulang? Jadi anak Bapak Ibu belum tahu mau dikenalkan sama anak saya?" tanya wanita bersanggul ini. Dia terlihat tidak nyaman saat tahu Amel tidak di rumah.

"Maaf. Ini salah saya," ucap pria berkumis tebal itu, papa Amel. "Saya meminta pak ustadz mencarikan jodoh untuk anak saya, tapi dia sendiri belum tahu mau dita'arufkan sama anak Ibu ini. Saya belum memberikan biodata nak Ryan."

"Lah, gimana tho? Udah, Pak. Ayo pulang. Ndak jelas keluarga ini." Ibu Wibi tersulut emosinya.

"Bu," Wibi menahan lengan ibunya, "Kita tunggu sebentar lagi."

"Nunggu apa? Ibu ndak mau ya buang-buang waktu di sini. Mending pulang saja. Udah, masalah jodoh gampang. Nanti ibu carikan kamu calon istri di Solo, tempat mbah kamu!" ketus wanita itu lagi. Logat jawanya terdengar jelas.

"Saya minta maaf, Pak, Bu." Papa Amel menunduk dalam, merasa tak enak hati pada tamunya ini.

Ibu Wibi sudah berdiri, dia tergolong wanita yang keras kemauannya. Apa yang dia inginkan, tidak ada yang berani membantahnya.

"Bu, kalau bukan Amel. Aku nggak mau nikah!" cetus Wibi tiba-tiba, membuat semua orang yang ada di sana terhenyak.

"Eh? Apa maksud kamu? Memangnya kamu kenal Si Amel ini?" Ibu bertanya-tanya apa maksud pernyataan putranya.

Wibi menceritakan kronologi kejadian saat Amel bertemu dengannya di rumah sakit. Dia juga jujur, mengungkapkan bahwa siang tadi mobilnya sempat menyenggol sepeda motor Amel, membuat siku dan punggung tangannya berdarah. Tapi Amel tidak mengenalinya.

"Mungkin terdengar klise. Tapi saya benar-benar mengagumi Amel, Pak, Bu." Wibi menatap papa dan mama Amel bergantian, juga bapak dan ibunya. Itu membuat dua pasutri itu saling tatap dalam diam. Mereka tidak menyangka akan ada pertemuan kebetulan antara anaknya dengan calon suami/istri yang akan dita'arufkan padanya.

"Nak, kamu belum kenal dia loh. Baru ketemu hari ini." Ibu Wibi kembali duduk, menatap manik mata putranya dalam-dalam.

"Ibu percaya cinta pada pandangan pertama?" tanya Wibi, meraih jemari ibunya. "Aku jatuh cinta sama Amel, Bu. Titik! Aku mau nikah sama dia. Secepatnya."

"Kamu yakin?" Kali ini pria di sebelah kanan Wibi yang berbicara.

"Yakin, Pak." Wibi mengangguk mantap. Itu benar adanya. Dia tidak sengaja bertemu dengan Amel dua kali hari ini. Dan hatinya yakin memilih gadis itu sebagai pendamping hidupnya.

"Eh, tunggu sebentar." Ibu Wibi tampak memikirkan sesuatu, "Kamu ketemu Amel di rumah sakit?"

"Ya, Bu. Nama lengkapnya Winda Amelia. Dia perawat di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta."

"Bukan itu." Wanita ini menggeleng cepat. "Siapa yang sakit? Kenapa kamu ke rumah sakit?"

Glek

Wibi tergagap. Dia hanya bisa menelan ludahnya dengan paksa, menyimpan rapat-rapat nama Teresa agar jangan sampai terdengar di telinga ibunya. Wanita ini sangat membenci mantan calon istrinya yang kabur itu.

"Nganter temen yang sakit." Wibi memegang tengkuknya, kebiasaan saat dia gugup.

"Kamu ndak bohong, 'kan?" Ibu memastikan.

Di luar, terdengar suara mobil datang. Tampaknya itu Delia dan suaminya yang kembali dari Jakarta, sengaja menjemput Amel untuk pulang lebih awal.

Ya, itulah yang membuat gadis ini uring-uringan sepanjang jalan. Delia menemui atasan Amel dan meminta izin agar adiknya itu bisa pulang lebih awal.

"Ada kepentingan mendesak, Bu." Kalimat itu yang Delia ucapkan, membuat Amel diizinkan pulang saat itu juga, meski jam dinding baru menunjukkan pukul delapan malam, satu jam sebelum shift kerjanya berakhir.

"Mel, bangun. Udah sampe rumah." Delia berusaha membangunkan adik sepupunya ini. Dia menggoyang-goyangkan bahu Amel cukup keras.

Amel keluar dari mobil dengan wajah tertekuk. Ia masih kesal pada wanita berbadan dua ini.

BAMM

Pintu mobil hitam ini menjadi sasaran empuk kemarahan Amel. Dia marah karena Delia memaksanya pulang. Jelas-jelas dia mengatakan akan pulang setelah jam kerjanya berakhir.

"Itu anak saya. Maaf, permisi sebentar, Pak, Bu." Mama Amel sigap beranjak dari duduknya. Dia siap menyambut putri semata wayang kesayangannya itu.

"Amel?!" panggil mama saat berpapasan dengan Amel di depan pintu. "Lewat pintu samping aja. Kamu ganti baju dulu! Masa' penampilanmu kusut gini mau ketemu calon suami?"

Amel menatap mamanya dengan pandangan tajam. Ia jengkel pada wanita yang sudah melahirkannya 25 tahun yang lalu. Amel salah paham. Dia pikir mamanya yang berinisiatif akan hal ini. Tanpa persetujuannya, dia mengundang orang untuk ta'aruf, bahkan langsung datang ke rumah. Menyebalkan.

Mama menarik tangan Amel, memutari teras dan masuk ke rumah melalui pintu samping. Detik berikutnya, dua wanita beda usia itu sudah sampai di kamar Amel diikuti Delia di belakangnya.

"Mel, cuci muka kamu. Gosok gigi sekalian," titah mama padanya.

"Del, bantu mama siapin dress buat adikmu. Mama ambil kosmetik kamu dulu."

Samar-samar terdengar percakapan itu dari dalam kamar mandi. Amel enggan menanggapinya. Dia memilih bungkam dan tidak memusingkan tingkah polah mamanya. Wanita itu memang sudah berharap Amel menikah di usianya yang tak lagi muda ini.

"Duh, kok lama sih? Ayo sini, Mel. Pakai ini." Mama menyodorkan sebuah gaun warna biru langit, satu detik setelah Amel keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat sedikit lebih segar dibandingkan sebelumnya.

"Ih, warnanya norak banget sih, Ma." Amel tak bisa tinggal diam lagi. Dia tidak suka pakaian warna-warna cerah seperti ini.

"Udah deh. Nggak usah banyak protes. Mama sengaja beli ini siang tadi."

"HAH?" Amel memutar matanya, jengah dengan obsesi mamanya yang ingin membuat tamu mereka terkesan dengan penampilannya.

"Sini, mama pakein kalo kamu nggak mau pakai sendiri."

Srett

Amel mengambil gaun yang ada di tangan mamanya dan segera mengganti pakaian serba putih yang ia kenakan sejak siang tadi.

Delia dengan cepat membantu Amel berhias, memakaikan eyeliner, eyeshadow, blash on, dan berbagai riasan lain termasuk perona bibir warna pink.

"Maaf, Amel lagi ganti baju dulu." Mama memilih kembali ke ruang tamu lebih awal, menghampiri keluarga calon besannya ini.

Ibu Wibi diam saja, tak merespon sama sekali. Dia sudah terlanjur kesal karena sudah menunggu cukup lama. Tadinya dia terkesan dengan keluarga ini saat pak ustadz menceritakan karakter mereka. Papa dan mama Amel membuatnya cocok. Mereka pasangan yang ramah.

"Ma, Pa," panggil Delia. Dia berdiri di samping Amel yang kini tampak begitu cantik. Gadis ini tampak bersinar di bawah cahaya lampu ruangan.

Wibi berdiri seketika. Dia menatap calon istrinya dengan penuh kekaguman. Pria itu terpesona pada penampilan Amel, calon istrinya.

Srett

Ibu menarik tangan Wibi, memintanya duduk kembali. Sepertinya putra sulungnya ini benar-benar menyukai Amel.

"Ini anak saya, Pak, Bu." Mama membawa Amel duduk.

"Malam Om, Tante," sapa Amel. Namun lidahnya berubah kelu saat melihat pria di antara dua tamu yang ia sapa sebelumnya.

Glek

'Dia?' Amel membatin. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya. Kilasan pertengkaran pria ini saat di depan ruang IGD kembali terlintas. Juga Teresa yang memakai pakaian sangat minim, yang dikatakan mengandung anaknya. Entah itu benar atau tidak, Amel tidak tahu. Tapi itu sungguh mengganggu pemikirannya saat ini.

Dan percakapan empat orang tua itu berlanjut. Amel tidak memerhatikannya sama sekali. Dia gagal fokus dengan pria yang kini tersenyum penuh arti padanya. Apa-apaan ini?

Acara ta'aruf terus berlanjut. Pak ustadz menanyakan beberapa hal pada Amel dan dijawab dengan lancar oleh gadis itu. Sebagai pamungkas, mereka makan malam bersama di meja makan.

"Pak, Bu, ada yang ingin saya bicarakan dengan Amel. Boleh minta waktunya sebentar?" Wibi bertanya dengan sopan, meminta izin pada papa dan mama yang kini saling pandang.

"Silakan." Papa yang menjawabnya.

Dan di sinilah keduanya sekarang, di taman kecil yang ada di halaman. Ada tiga kursi yang mengelilingi sebuah meja bundar. Berjarak beberapa meter dari pintu masuk rumah ini.

Amel terus bungkam. Dia masih bingung dengan situasi yang ada. Bagaimana bisa dia bertemu dengan pria ini lagi? Apa ini sebuah kebetulan?

"Kamu ingat saya?" tanya Wibi memecah keheningan.

"Iya inget." Amel memasang wajah datarnya.

"Kamu sudah lihat CV saya?"

"Belum," jawab Amel seadanya.

"Bagus. Kalau gitu, kamu bisa tanya langsung ke saya."

Amel mengerutkan keningnya, heran dengan sikap percaya diri yang pria ini tunjukkan.

"Ada pertanyaan?" pancing Wibi. Dia berharap Amel akan mengakrabinya.

Amel menggeleng. Dia mengaktifkan mode hemat bicara andalannya.

Kali ini Wibi yang ikut mengerutkan keningnya. Dia teringat pernyataan papa dan mama Amel yang mengatakan putri mereka itu pendiam, persis seperti sekarang ini. Padahal saat di rumah sakit, dia terlihat begitu ramah dan banyak senyum.

"Jadi, beneran kamu nggak mau tanya apa-apa?"

Lagi-lagi Amel menggeleng. Tak tertarik sama sekali pada pria ini. Namun, Wibi justru merasa sebaliknya. Dia semakin menyukai karakter calon istrinya ini. Profesional di tempat kerjanya, namun pendiam dan penurut di rumah. Calon pendamping hidup yang sempurna.

"Kamu nikah sama saya!" titah Wibi to the point.

"HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" Amel akhirnya bersuara, menyatakan keberatannya atas ide luar biasa yang pria ini ungkapkan.

"Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu! Kita nikah minggu depan."

"HAH?"

* * *

Duh, Si Abang gercep syekali. Jadi penasaran kaan kelanjutannya? See you next episode, bye-bye.

Hanazawa Easzy

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hanazawa Easzy
maaf ya kak. nanti author cari waktu buat lanjutin cerita ini. maafkan
goodnovel comment avatar
Veni Sinaga
Kenapa gak dilanjut lagi Thor?udah lama banget aku nunggu nya astagahh😭
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status