Sua menekan bagian dada Rai untuk menghentikan kembali fungsi motoriknya. Ia sangat memahami keadaan lelaki itu. Sehingga, dia harus selalu waspada pada setiap gerakannya.
Gadis itu tidak menanggapi perkataan Rai dan hanya menganggapnya sedang ngelantur. Dia mendorong Rai hingga jatuh terlentang. Kemudian memeriksa luka yang menganga di lehernya. "Ini harus dibersihkan dulu. Aku lupa membawa air. Tunggulah! Aku akan mengambil air di sungai," kata Sua beranjak pergi. Namun, sejenak ia menghentikan langkahnya dan berpikir. Dia tidak bisa meninggalkan lelaki itu dalam keadaan bahkan tidak bisa menggerakan ujung jarinya. Sua pun akhirnya mengangkat salah satu kaki Rai ke atas pundak dan menyeretnya seperti karung sampah menuju tepi sungai. "Bisa celaka jika ada binatang buas menerkam Anda dalam keadaan seperti ini," ocehnya. Setelah beberapa saat kemudian, fungsi motorik Rai tampak pulih lebih cepat. "Kau, benar-benar gadis yang unik," ucap Rai melipat tangan dalam keadaan dirinya masih diseret oleh tangan kecil gadis itu. "Apapun status Anda, saat ini, Anda hanyalah seorang pasien yang sedang kritis dan sangat membutuhkan bantuan ahli medis," balas gadis itu. Sesampainya di tepi sungai, Sua menyandarkan pria itu di sebuah batu besar. Suatu keberuntungan, gadis itu menemukan sebuah potongan bambu yang bisa ia gunakan untuk mengambil air di sungai. Namun, sebelum itu, ia membersihkannya terlebih dahulu dan memastikan air yang dibawanya benar-benar bersih. Sementara itu, Rai menunggu dengan keadaan kacau. Ia dikejutkan oleh siraman air yang mengalir dari atas kepalanya. Tidak hanya sekali, bahkan sampai beberapa kali. "Air yang mengalir bisa menjernihkan pikiran Anda, Yang Mulia Pangeran," kata Sua menampakkan senyum atas kejahilannya. Sua terperanjat ketika merasakan genggaman erat di pergelangan tangannya. Dalam sekejap, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpa Rai. Jarak di antara mereka nyaris lenyap, napas keduanya bertaut dalam kehangatan yang menguar di udara. Mata Rai menatapnya lekat, penuh dengan hasrat yang mulai menyala akibat racun di tubuhnya. Telinga Sua bergetar ketika Rai membisikkan sesuatu dengan suara parau, "Aku menginginkanmu." Gadis itu merasakan detak jantungnya berdebar tak karuan, tetapi sebelum dirinya hanyut lebih dalam, ia segera sadar akan situasinya. Dengan sigap, Sua bangkit menjauh, meski belum sepenuhnya bisa melepaskan diri. Kini, ia justru berada di pangkuan Rai, tatapan mereka masih bertaut dalam ketegangan yang menguar di antara desir angin dan gemericik sungai. Sua menarik napas panjang, berusaha mengendalikan dirinya, lalu berkata dengan nada serius, "Aku tahu Anda terpengaruh racun. Ini bukan keinginan Anda yang sebenarnya, tapi efek dari racun itu." Rai mengerutkan alisnya, masih berusaha melawan perasaan yang berkecamuk di dalam tubuhnya. "Jadi, kau punya cara untuk menghilangkan racun ini?" Sua mengangguk mantap. "Hmm, ya. Dengan herbal dan akupunktur, aku bisa menetralisir efeknya. Tapi, Anda harus percaya padaku dan tidak melakukan hal bodoh." Rai tersenyum miring, menatap gadis itu dengan tatapan menggoda. "Dan jika aku menolak?" Sua menatapnya tajam, lalu dengan sengaja menekan titik tertentu di leher Rai. Seketika, tubuh pria itu melemas dan gairah yang tadi berkobar mulai mereda sedikit demi sedikit. Rai terkesiap, tidak menyangka gadis itu bisa melakukan hal semacam ini. "Aku tidak akan membiarkan Anda kalah oleh racun ini," ujar Sua tegas. "Jadi, sekarang diamlah dan biarkan aku menyembuhkan Anda, Yang Mulia." Rai tersenyum kecil, kali ini dengan rasa hormat yang tulus. "Baiklah, aku menyerah. Lakukan sesukamu!" Sua mulai bekerja, membersihkan luka di leher, menyiapkan ramuan herbal dan menekan titik-titik akupunktur di tubuh Rai dengan penuh ketelitian. Ia tahu, waktu mereka tidak banyak. Jika racun ini tidak segera dinetralisir, Rai bisa kehilangan kendali lebih jauh, dan itu sesuatu yang tidak akan Sua biarkan terjadi. Sua menatap dengan penuh kewaspadaan saat Rai tiba-tiba terbatuk keras. Seketika, lelaki itu memuntahkan sesuatu—cairan gelap bercampur darah, dengan gumpalan putih berbusa yang tampak menjijikkan. Napasnya tersengal, tubuhnya sedikit bergetar, tetapi perlahan warna pucat di wajahnya mulai memudar, tanda bahwa racun itu mulai keluar dari tubuhnya. Gadis itu menghela napas lega. Dengan cekatan, ia meraih selendang yang melilit pinggangnya, kemudian membalut luka menganga di leher Rai. "Anda beruntung, racunnya tidak menyebar lebih jauh. Kalau terlambat, Anda mungkin sudah kehilangan nyawa." Rai hanya menatapnya dalam diam, tatapannya lebih tenang, tetapi juga penuh misteri. Setelah Sua memastikan perban terikat dengan benar, ia bersiap untuk beranjak. Namun, sebelum sempat bergerak, sebuah tarikan lembut menghentikannya. Tangan Rai yang kokoh meraih pergelangan tangannya, dan sebelum Sua sempat bereaksi, bibir pria itu mendarat di bibirnya. Hangat, namun sekaligus begitu mengejutkan. Sua membelalakkan mata, refleks hendak mendorong Rai, tetapi tubuhnya terasa kaku seketika. Lalu, sesuatu yang lebih aneh terjadi. Jari-jemari Rai yang masih berada di lehernya bergerak perlahan, seperti menelusuri kulitnya dengan tujuan tertentu. Sua merasakan sensasi dingin yang menusuk, seperti ada sesuatu yang tertanam di sana. Rasa perih halus menjalar, membentuk pola yang tak kasatmata. Sua tersentak, buru-buru menyingkir dan meraba lehernya dengan panik. "Apa yang Anda lakukan?" suaranya tercekat, penuh kebingungan. Rai menatapnya dengan senyum samar, matanya menyimpan sesuatu yang sulit diartikan. "Aku hanya memastikan kau tidak akan bisa lari dariku." Jantung Sua berdetak lebih cepat. Tangannya meraba lehernya, dan ia merasakan sesuatu yang kini terukir di kulitnya—sebuah tanda, berbentuk huruf R, samar tetapi perlahan semakin jelas. "Apa ini…?" Rai mendekat, suaranya rendah, nyaris berbisik di telinganya. "Tanda kepemilikan." Gadis itu terpaku, jantungnya berdentam keras, sementara malam semakin pekat di atas mereka—membawa rahasia baru yang belum ia pahami sepenuhnya.Di depan gerbang besar yang masih dijaga ketat oleh penjaga, suara langkah kaki dan detak jantung terdengar seolah bersatu. Saat roda kereta berhenti, para penjaga langsung mengenali rombongan itu, dan dalam sekejap, pintu gerbang terbuka lebar. Pelayan-pelayan kediaman berlarian ke depan, menunduk memberi hormat, dan melapor ke dalam.Su Ying sudah menunggu di halaman utama, berdiri tegak dengan pakaian sederhana, tapi sorot matanya menyimpan gelora emosi yang tidak bisa ditutupi. Matanya langsung tertuju pada satu sosok kecil yang melompat turun dari kereta dibantu oleh Bae Ya.“Zihan!”Su Ying setengah berlari. Dan Zihan, yang selama ini terlihat kuat dan tenang, menghambur ke pelukan ibunya seperti anak kecil yang baru bangun dari mimpi buruk.“Ibu …” suaranya pecah. “Aku minta maaf ... Aku hampir ...”“Tidak perlu bicara apa-apa,” Su Ying memeluknya lebih erat. “Kau sudah pulang. Itu cukup.”Tangis Zihan pecah di pundak ibunya. Beberapa pelayan wanita menunduk haru di kejauhan, t
Rai terhuyung saat mereka melangkah keluar dari jalur hutan. Sua segera menahan tubuhnya sebelum lelaki itu jatuh.Chunying yang berjalan di depan segera berbalik dengan wajah cemas. “Kita harus cari tempat berteduh,” katanya cepat.Mereka menemukan sebuah kota kecil di tepian Hutan Wengi, dan menyewa kamar di sebuah penginapan tua yang terpencil. Zihan dibawa ke ruang sebelah oleh Chunying dan dua pengawal bayangan, sementara Sua membantu Rai berbaring di dipan bambu reyot yang tersedia di kamar utama.Ketika Sua membuka bagian atas jubah pria itu, napasnya tercekat.Luka lama, tepat di bawah tulang dada kiri, masih terjahit kasar. Kulit di sekitarnya tampak menghitam, dan darah mulai merembes keluar, membasahi pakaian dalam Rai.“Yang Mulia ...” Sua berbisik, nyaris tak percaya.Rai menahan napas, lalu tersenyum lemah.“Ini ... luka lama. Tusukan dari Shan Kerei, saat perang. Tak selalu terasa … tapi setelah kabut dan sihir kutukan tadi … kurasa terlalu banyak untuk kutahan.”Sua me
Suara Wu Xian bergetar. Ia melangkah maju, aura sihir menguar liar dari jubahnya seperti ular yang bangkit karena amarah.“Gadis tidak tahu diri! Berani bicara seperti itu padaku?! Kau pikir dia tetap hidup kalau aku tak pernah—!”"Kau sudah kehilangan kesempatanmu, Wu Xian,” ucap Sua, pelan tapi menampar seperti cambuk. “Dan kau, sebenarnya marah bukan karena aku bersamanya. Kau marah … karena dia bahkan tidak pernah memilihmu sejak awal.”Wu Xian mengatupkan rahangnya.Lalu ia tertawa. Pelan, getir, tapi makin lama makin tinggi. Tawa yang bukan berasal dari humor, melainkan dari kepahitan dan kegilaan yang lama disimpan.“Kalau begitu … biar kutunjukkan caraku mengakhiri gadis yang tidak pernah kupilih untuk hidup.”Dan—BOOM!Wu Xian mengangkat kedua tangannya. Simbol mata hitam dari Klan Hei menyala di udara, sihir kutukan mulai membentuk pusaran energi di atas altar batu."Rasakan kutukan yang sama dengan yang menghancurkan ibumu.”Sua terkejut.“Kutukan Ibu?”Wu Xian tersenyum s
Di ujung paling tenggara Hutan Hitam Wengi, tersembunyi sebuah tebing batu raksasa yang dijuluki penduduk sekitar sebagai Dinding Bisu, tempat burung tak berkicau, dan kabut tak pernah surut. Di balik rerimbun akar beringin tua dan lumut darah yang merayap di dindingnya, ada sebuah celah sempit, cukup hanya untuk dua orang berjalan beriringan.Celah itu bukan sekadar retakan alam. Ia adalah pintu gerbang ke Rongronghai, markas ritual terdalam Klan Hei, tempat segala ikatan jiwa dan pengorbanan darah dimulai. Tak terlihat dari luar, tak terjangkau sihir biasa, Rongronghai hanya bisa ditemukan oleh mereka yang pernah merasakannya … atau oleh darah yang pernah mengalir di atas batunya.Di dalamnya, gua melingkar seperti pusaran. Altar berdiri di tengah, dikelilingi ukiran mantera kuno, dan lilin-lilin hitam yang tidak pernah padam. Di atasnya, energi kabut, roh, dan gema dari jiwa-jiwa yang hilang… berputar seperti bayang tak kasat mata.Dan di sanalah, Zihan sempat berdiri.Di sanalah p
Di satu titik lorong yang membelah dua jalur, mereka berhenti.Sua memejamkan mata sejenak, lalu menoleh pada Rai.“Sesuatu menarik energiku ke arah kanan. Tapi jalan itu lebih sempit.”Rai mendekat. “Kalau terlalu sempit untuk dua orang—kau di depan. Aku tepat di belakangmu.”“Jangan terlalu dekat. Kalau aku jatuh—”“Kalau kau jatuh,” potong Rai cepat, “aku ikut jatuh.”Sua mendengus kecil, tak bisa menyembunyikan senyumnya meski lelah mulai menjalar.Mereka bergerak menyusuri celah batu sempit yang seakan dibuat hanya untuk dilalui satu tubuh. Suara air menetes dari dinding, dan jauh di bawah, terdengar gema … seperti napas besar dari makhluk purba.Langkah mereka membawa mereka pada satu balkon batu, semacam tepian altar, dan di bawahnya, terhampar aula besar berbentuk oval. Cahaya ungu dan merah menari dari puluhan lentera ritual.Rongronghai.Jantung Hitam.Sua menahan napas. Tangan Rai secara otomatis menyentuh pundaknya, menstabilkan posisinya.“Ada altar utama di sana,” bisik
Di suatu tempat, seorang wanita berselubung abu-abu berdiri di balik tirai ritual. Namanya Wu Xian, tangan kanan pemimpin cabang Klan Hei di wilayah Lembah Mun Chu.Ia memperhatikan anak lelaki di dalam ruang batu. Cahaya dari mangkuk api membentuk bayangan tinggi di dinding goa.'Anak itu ... terlalu tenang,' gumam Wu Xian dalam hati.Zihan berdiri di tengah lingkaran mantera. Tangan kanannya masih terikat rantai perak ringan, tapi tak ada tanda perlawanan di tubuhnya. Tatapannya tajam, diam, penuh hitungan.“Dia tidak memberontak sejak pertama dibawa. Tidak menangis, tidak mengutuk.”Wu Xian membuka catatan kecil yang tergantung di pinggangnya. Di sana, laporan-laporan tentang kemajuan Zihan ditulis dengan tinta merah:Respon awal terhadap mantra darah: stabil.Kemampuan membedakan sihir ilusi dan sihir pengikat: di atas rata-rata.Kesediaan ikut dalam latihan pengikatan energi: tanpa paksaan.Ia menatap ke arah altar tempat Zihan baru saja menyelesaikan latihan membaca segel. Simbo