Sua memalingkan wajah. Tapi Bai Yuan sudah menyentuhnya — hanya sebentar, cukup untuk merasakan denyutan lembut yang memancar dari tanda itu.“Ini bukan... mantra Klan Zhen,” bisiknya. “Dan bukan segel milikmu sendiri. Ini... milik orang lain.”Sua tak menjawab. Rahangnya mengeras. Matanya menatap lurus ke depan.Bai Yuan menatapnya lekat-lekat. “Kau tak pernah menyebutkan hal ini.” Nadanya berubah — ada nada getir yang nyaris seperti kekecewaan. “Siapa yang berani menandai seorang Sua Linjin Feng?”Sua menoleh. Pandangannya menusuk. “Seseorang yang bahkan kau tidak akan bisa kalahkan.”Diam sejenak.Kemudian Bai Yuan tertawa. Pelan, tapi getir. “Jadi... dia masih hidup?”Sua tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup untuk menyatakan: Jangan usik dia.Bai Yuan menunduk pelan, menatap tanda itu sekali lagi. Jemarinya nyaris menyentuhnya lagi, tapi ia mengurungkan niat. “Segel ini hidup. Bukan sekadar simbol kepemilikan... tapi ikatan.”Sua berkata dingin, “Dan ikatan itu bukan sesuatu yan
Masih belum tampak jelas wajah sosok itu. Sua memberanikan diri untuk mendekat. Tampak wajah samar yang ia kenal. "Bai Yuan!"Sua berdiri tegak meski dadanya berdegup cepat. Hawa yang keluar dari tubuh Bai Yuan terasa aneh — bukan sekadar tekanan spiritual, tapi juga hawa penuh obsesi yang dingin dan kelam. Bayangan di sekeliling lorong seakan merapat, menyoroti wajahnya yang kini mulai tampak di bawah cahaya pelita: Bai Yuan."Tak disangka kau masih mengingatku," ucap Bai Yuan. Senyumnya masih sama seperti dulu — tenang, memikat, tapi penuh tipu daya. Rambutnya kini lebih panjang, diikat ke belakang, dan matanya... terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menyusup ke istana musuh.Ia melangkah mendekat, pelan, seolah jarak di antara mereka adalah sesuatu yang harus dihormati. Tapi ketika jarak tinggal satu jengkal, tangannya terangkat, hendak menyentuh sisi wajah Sua.Sua menepis dengan tegas. “Jangan sentuh aku.”Bai Yuan tak terlihat tersinggung. Ia hanya tertawa pelan, rendah
Shan Kerei merasakan kehadiran Rai bahkan sebelum namanya disebut. Instingnya yang diasah selama bertahun-tahun dalam kegelapan dan darah berdenyut tajam. Dan saat suara Rai menyebut namanya, ia menoleh. Perlahan, tanpa terkejut, tanpa cemas.Dua pasang mata bertemu dalam bayang-bayang lorong sempit.Rai berdiri tegak, pedang tergenggam di tangan kanan. Sorot matanya dingin, bukan karena takut, tapi karena terlalu sering melihat kematian datang mendekat. Di hadapannya, Shan Kerei berbalut jubah hitam legam, wajah setengah tertutup kain gelap hanya menyeringai tipis.“Lama tak bertemu, Rai Yuan,” ucap Shan Kerei. Suaranya serak, seperti suara batu diasah di atas logam."Atas dasar apa kau menginjakkan kakimu di Shewu, Shan Kerei!" Suara Rai menggelegar rendah, seperti gemuruh dari dalam bumi.Shan Kerei mengangkat bahu, santai, seolah mereka hanya dua orang lama yang kebetulan bertemu di pasar. Tapi sorot matanya tajam, penuh kepastian.“Atas dasar perintah,” jawabnya. “Aku mendapat ta
Malam turun tenang di Istana Shewu. Langit di luar kelabu, tapi di ruang tengah istana, cahaya lampu minyak memantul hangat di dinding-dinding batu yang dihias lukisan bunga Xiang dan sulur-sulur dedaunan. Di ruang makan yang dikelilingi pilar giok itu, duduk empat orang: Rai, Sua, Su Ying, dan Zihan.Mereka makan dalam keheningan yang tidak canggung, tapi dipenuhi rasa saling mengamati. Sendok kayu dan sumpit perak beradu pelan dengan mangkuk, suara pelan sup herbal mendidih di wadah tanah liat, dan aroma teh chamomile memenuhi udara.Zihan duduk di sisi Sua, sesekali mencuri pandang ke kakaknya. Sua tampak tenang, tapi Su Ying, yang duduk di seberangnya, bisa membaca garis lelah halus di sudut matanya. Sementara itu, Rai, duduk menghadap jendela terbuka, tetap diam. Satu tangannya memegang cawan anggur, tapi tak kunjung diminum.Tiba-tiba—Suara tajam melesat membelah udara.“UGH!”Erangan prajurit terdengar dari arah luar. Rai sontak berdiri. Kursinya terjungkal ke belakang, mengha
Sejak itu, Rai berubah. Bukan berubah secara mencolok, bukan pula berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tetap pria gagah, penakluk medan perang, penguasa rimba malam. Tapi ada yang bergeser dalam tatapannya… dalam caranya diam.Ia tak pernah lagi beranjak terlalu jauh dari istana. Segala urusan ia atur dari dalam dinding istana. Bahkan saat diundang dalam perjamuan teh resmi bersama para bangsawan, Rai hadir… hanya jasadnya. Pandangannya? Tak pernah benar-benar berada di ruangan itu.Sua duduk di ujung barisan wanita, mengenakan gaun hijau tua bersulam benang emas, rambut disanggul anggun dengan hiasan giok tembus cahaya. Senyumnya sopan, tutur katanya santun. Tapi, tiap kali ia menggerakkan tangan, menyentuh cangkir teh, atau sedikit mengangguk kepada tamu lain — mata Rai tergerak lebih dulu.Seperti bayangan yang mengikutinya tanpa suara. Tatapan yang tak mau lepas.Tak seorang pun tak menyadarinya — terutama Su Ying, ibu Sua.Perempuan paruh baya itu telah hidup cukup lama untuk t
“Linjin?” Rai langsung bangkit setengah duduk, tangannya sigap menopang kepala perempuan itu.Sua tak menjawab. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Napasnya terputus-putus, tak beraturan, seperti tubuhnya sedang berebut udara dengan sesuatu yang tak terlihat.Lalu... ia merasakannya.Napas lain. Bukan napas Rai. Bukan napasnya. Sesuatu yang asing. Lembut tapi kuat. Menyusup ke dalam dirinya, lalu pergi.Dan bersamaan dengan itu, sesuatu muncul dalam benaknya, sekelebat bayangan ruangan lain. Terlalu cepat dan kabur, tapi cukup nyata untuk membuatnya kaku.Lampu putih menyilaukan. Bau antiseptik menusuk. Suara mesin detak jantung berdetik pelan…Tiit... tiit... tiit...Sua memejamkan mata erat-erat. Tangannya mencengkeram seprai. Suaranya pecah, parau dan gugup, “Ada… sesuatu… yang menarik jiwaku…”Wajah Rai mengeras. “Apa maksudmu? Di mana?”Sua menggeleng cepat, seperti menolak kenyataan. Tapi bayangan itu — bau alkohol medis, kain kasa, detak monitor — masih membekas