Sua menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ia menatap Cai Ji dan Liu Chang secara bergantian. "Ck ck. Aku tidak tahu permainan macam apa yang sedang kalian jalankan."
Cai Ji mendesah, berpura-pura bersedih. "Tapi, Kak... Bukti sudah jelas! Jika tidak ada hubungan apapun, kenapa kakak mengenakan jubah pria? Apalagi jubah ini tampak mewah."
Liu Chang mengangguk setuju. "Hari pernikahan kita sudah berlalu. Apa kau tahu betapa terlukanya aku kehilanganmu? Dan kau, malah kembali dengan keadaan seperti ini? Terbawa arus deras dan angin kencang hanya sedikit mendapat luka? Jelas ada seseorang yang merawatmu. Dengan kau pulang mengenakan pakaiannya, itu sudah menjadi bukti bahwa kau sudah ternoda," ucapnya menunduk berespresi lesu, seolah menampakan rasa kecewa.
Sua mengepalkan tangannya dengan kuat. Sedikit menaikan ujung bibir sembari mendengus, ia membatin. 'Jika kedua orang ini bearada di era abad ke-20, mereka benar-benar akan mendapatkan penghargaan sebagai aktor terhebat karena aktingnya.'
"Ayah," Cai Ji tiba-tiba berlutut di hadapan sang perdana menteri. "Kakak Sua telah mencoreng nama keluarga kita. Tolong, berikan hukuman yang setimpal padanya!"
Sua menatap sang ayah yang duduk di kursi tinggi. Ekspresi pria itu tidak menunjukkan emosi apa pun, tetapi tatapannya tajam, menilai putri sulungnya yang baru kembali.
Saat bibirnya terbuka untuk berbicara, Sua sudah menduga, bahwa lelaki paruh baya itu tidak memiliki raut wajah yang bersahabat dengannya.
"Kau telah mencemarkan nama keluarga ini, Sua Linjin," ujar Han Feng terdengar datar, namun tajam. "Mulai hari ini, kau akan menjalani hukuman. Kau tidak diizinkan keluar dari kamar selama satu bulan, dengan penjagaan ketat."
Han Feng, Perdana Menteri Kekaisaran Shewu, adalah sosok pria paruh baya yang selalu dikelilingi oleh aura misterius dan penuh teka-teki. Ia lebih sering berbicara dengan tatapan daripada kata-kata, dan ketika ia akhirnya berbicara, ucapannya tajam bak belati, menebas tanpa harus mengangkat suara. Di mata publik, Han Feng dikenal sebagai pilar negara yang setia pada Kaisar, namun di balik dinding-dinding tebal istana, banyak bisik-bisik yang menyebutnya sebagai dalang di balik berbagai peristiwa kelam yang mengguncang istana dan bangsawan.
"Hmm!" Sua menyunggingkan senyum dengan menampakkan raut wajah pasrah menyerahkan kedua tangannya dengan patuh ke dua pengawal yang berada di sisinya. "Ayah sudah membuat keputusan, bahkan tanpa meminta penjelasan dariku. Lalu, aku bisa apa?"
Cai Ji kembali berlutut, kali ini dengan air mata yang dibuat mengalir deras. "Ayah, tolong ampuni Kakak! Jangan hukum dia terlalu berat!"
Namun, pria itu tidak tergerak. "Keputusan sudah dibuat. Bawa dia ke kamarnya!"
Sua menatap Cai Ji dengan dingin. Gadis itu hanya berpura-pura menangis, tetapi ada kilatan kemenangan di matanya.
Saat para pengawal menggiring Sua ke kamar, hanya ada satu orang yang senantiasa tampak gelisah— seorang pelayan muda bernama Bae Ya.
Di dalam kamar, Sua duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke jendela yang tertutup rapat. Pengawal berjaga di luar, memastikan ia tidak akan melarikan diri.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
"Nona...." suara lembut itu memanggil.
Sua menoleh. Pelayan setianya itu masuk dengan hati-hati, membawa nampan berisi makanan sederhana. Ia meletakkannya di atas meja kecil, lalu berlutut di hadapan Sua.
"Aku ...," kata Bae Ya dengan suara gemetar. "Aku tahu Nona tidak bersalah."
Sua mengerjap, sedikit terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu?" balasnya.
Bae Ya mengepalkan tangan, ekspresinya penuh keteguhan. "Aku telah melayani Nona selama bertahun-tahun. Aku tahu Nona tidak akan melakukan hal memalukan seperti yang mereka tuduhkan."
Sua merasakan hatinya menghangat, tetapi juga terselip perasaan getir. "Terima kasih sudah percaya padaku."
"Apa yang sebenarnya terjadi pada Anda, Nona? Nyonya Su sangat mengkhawatirkan Anda. Beliau terus menanyakan kabar Anda kepadaku." ujar Bae Ya mendongakkan kepalanya sembari menggenggam lembut kedua tangan Sua yang sedang duduk di hadapannya.
Dalam ingatan sang pemilik tubuh, Sua mengetaui bahwa Nyonya Su adalah ibunya. Terakhir kali, ia mendapat kabar bahwa ibunya mengalami gangguan mental.
Akan tetapi, Sua merasa bahwa itu ada hubungannya dengan sikap sang ayah yang tak acuh kepadanya. 'Aku harus menemui ibu dalam waktu dekat,' batinnya dalam diam.
Kemudian, ia berkata kepada Bae Ya, "Apa kau benar-benar ingin tahu?"
"Tentu, Nona. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi. Membiarkan Anda bersama mereka, adalah kesalahan terbesarku waktu itu. Aku tidak menyangka kalau mereka memiliki niat buruk terhadap Anda," sesal Bae Ya.
"Apa kau percaya? Aku mendapat sebuah keajaiban. Seharusnya, aku sudah mati dibunuh oleh mereka. Napasku tercekat saat mereka melempar tubuhku ke sungai yang deras. Tapi, tiba-tiba aku terbangun di tepi sungai dengan hanya sedikit luka," jelas Sua.
"Syukurlah! Anda selamat. Itu benar-benar suatu keajaiban." Bae ya kembali berlutut menarik napas panjang untuk menahan air mata yang hampir jatuh.
"Adapun jubah itu ...."
Bae Ya langsung menegakkan tubuhnya. Matanya berbinar, penuh antusias. Tatapannya terpaku pada Sua, seolah takut kehilangan satu pun kata yang akan keluar dari mulut majikannya. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, dalam rasa penasaran yang mendebarkan.
"Itu adalah milik Pangeran Rai Yuan. Aku menyelamatkannya saat ia terluka dan dikejar oleh para pembunuh."
"Pa-pa-nge-ran Rai?" Mata Bae Ya membulat, dan tubuhnya refleks mundur sedikit. Wajahnya yang semula penuh harap kini berubah tegang. Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Nama itu bukan sekadar nama—ia membawa segunung cerita tentang banyaknya pertumpahan darah.
"Ya. Aku lupa mengembalikannya. Padahal, tadi dia mengantarku sampai ke depan gerbang," jawab Sua dengan santai sembari memperhatikan makanan yang di bawa oleh Bae Ya.
Warna kuahnya sedikit lebih pekat dari biasanya, dan aroma rempahnya terasa terlalu kuat, seolah berusaha menutupi sesuatu.
'Ini....' Dahi Sua mengernyit. Ia menoleh ke arah Bae Ya yang masih berlutut di lantai, menatapnya dengan mata penuh kesetiaan.
"Bae Ya," panggil Sua dengan suara lembut. "Makanan ini terlihat sangat enak. Kau sendiri yang menyiapkannya?"
Bae Ya menggeleng cepat. "Tidak, Nona. Seharusnya kepala pelayan yang mengantarkannya. Tapi aku memohon untuk melakukannya sendiri. Aku tidak ingin orang lain mendekati Nona saat dalam keadaan seperti ini."
Sua menyipitkan matanya. "Jadi… sebelum makanan ini sampai padamu, ada di tangan kepala pelayan?"
Bae Ya mengangguk. "Benar, Nona."
Kecurigaan Sua semakin kuat. Ia menatap hidangan itu sekali lagi sebelum tersenyum tipis.
"Kalau begitu, tolong cicipi rasanya! Apakah ini benar-benar seenak seperti kelihatannya?," ucap Sua santai.
Bae Ya menatapnya, lalu tersenyum tanpa ragu. "Tentu, Nona!"
Di depan gerbang besar yang masih dijaga ketat oleh penjaga, suara langkah kaki dan detak jantung terdengar seolah bersatu. Saat roda kereta berhenti, para penjaga langsung mengenali rombongan itu, dan dalam sekejap, pintu gerbang terbuka lebar. Pelayan-pelayan kediaman berlarian ke depan, menunduk memberi hormat, dan melapor ke dalam.Su Ying sudah menunggu di halaman utama, berdiri tegak dengan pakaian sederhana, tapi sorot matanya menyimpan gelora emosi yang tidak bisa ditutupi. Matanya langsung tertuju pada satu sosok kecil yang melompat turun dari kereta dibantu oleh Bae Ya.“Zihan!”Su Ying setengah berlari. Dan Zihan, yang selama ini terlihat kuat dan tenang, menghambur ke pelukan ibunya seperti anak kecil yang baru bangun dari mimpi buruk.“Ibu …” suaranya pecah. “Aku minta maaf ... Aku hampir ...”“Tidak perlu bicara apa-apa,” Su Ying memeluknya lebih erat. “Kau sudah pulang. Itu cukup.”Tangis Zihan pecah di pundak ibunya. Beberapa pelayan wanita menunduk haru di kejauhan, t
Rai terhuyung saat mereka melangkah keluar dari jalur hutan. Sua segera menahan tubuhnya sebelum lelaki itu jatuh.Chunying yang berjalan di depan segera berbalik dengan wajah cemas. “Kita harus cari tempat berteduh,” katanya cepat.Mereka menemukan sebuah kota kecil di tepian Hutan Wengi, dan menyewa kamar di sebuah penginapan tua yang terpencil. Zihan dibawa ke ruang sebelah oleh Chunying dan dua pengawal bayangan, sementara Sua membantu Rai berbaring di dipan bambu reyot yang tersedia di kamar utama.Ketika Sua membuka bagian atas jubah pria itu, napasnya tercekat.Luka lama, tepat di bawah tulang dada kiri, masih terjahit kasar. Kulit di sekitarnya tampak menghitam, dan darah mulai merembes keluar, membasahi pakaian dalam Rai.“Yang Mulia ...” Sua berbisik, nyaris tak percaya.Rai menahan napas, lalu tersenyum lemah.“Ini ... luka lama. Tusukan dari Shan Kerei, saat perang. Tak selalu terasa … tapi setelah kabut dan sihir kutukan tadi … kurasa terlalu banyak untuk kutahan.”Sua me
Suara Wu Xian bergetar. Ia melangkah maju, aura sihir menguar liar dari jubahnya seperti ular yang bangkit karena amarah.“Gadis tidak tahu diri! Berani bicara seperti itu padaku?! Kau pikir dia tetap hidup kalau aku tak pernah—!”"Kau sudah kehilangan kesempatanmu, Wu Xian,” ucap Sua, pelan tapi menampar seperti cambuk. “Dan kau, sebenarnya marah bukan karena aku bersamanya. Kau marah … karena dia bahkan tidak pernah memilihmu sejak awal.”Wu Xian mengatupkan rahangnya.Lalu ia tertawa. Pelan, getir, tapi makin lama makin tinggi. Tawa yang bukan berasal dari humor, melainkan dari kepahitan dan kegilaan yang lama disimpan.“Kalau begitu … biar kutunjukkan caraku mengakhiri gadis yang tidak pernah kupilih untuk hidup.”Dan—BOOM!Wu Xian mengangkat kedua tangannya. Simbol mata hitam dari Klan Hei menyala di udara, sihir kutukan mulai membentuk pusaran energi di atas altar batu."Rasakan kutukan yang sama dengan yang menghancurkan ibumu.”Sua terkejut.“Kutukan Ibu?”Wu Xian tersenyum s
Di ujung paling tenggara Hutan Hitam Wengi, tersembunyi sebuah tebing batu raksasa yang dijuluki penduduk sekitar sebagai Dinding Bisu, tempat burung tak berkicau, dan kabut tak pernah surut. Di balik rerimbun akar beringin tua dan lumut darah yang merayap di dindingnya, ada sebuah celah sempit, cukup hanya untuk dua orang berjalan beriringan.Celah itu bukan sekadar retakan alam. Ia adalah pintu gerbang ke Rongronghai, markas ritual terdalam Klan Hei, tempat segala ikatan jiwa dan pengorbanan darah dimulai. Tak terlihat dari luar, tak terjangkau sihir biasa, Rongronghai hanya bisa ditemukan oleh mereka yang pernah merasakannya … atau oleh darah yang pernah mengalir di atas batunya.Di dalamnya, gua melingkar seperti pusaran. Altar berdiri di tengah, dikelilingi ukiran mantera kuno, dan lilin-lilin hitam yang tidak pernah padam. Di atasnya, energi kabut, roh, dan gema dari jiwa-jiwa yang hilang… berputar seperti bayang tak kasat mata.Dan di sanalah, Zihan sempat berdiri.Di sanalah p
Di satu titik lorong yang membelah dua jalur, mereka berhenti.Sua memejamkan mata sejenak, lalu menoleh pada Rai.“Sesuatu menarik energiku ke arah kanan. Tapi jalan itu lebih sempit.”Rai mendekat. “Kalau terlalu sempit untuk dua orang—kau di depan. Aku tepat di belakangmu.”“Jangan terlalu dekat. Kalau aku jatuh—”“Kalau kau jatuh,” potong Rai cepat, “aku ikut jatuh.”Sua mendengus kecil, tak bisa menyembunyikan senyumnya meski lelah mulai menjalar.Mereka bergerak menyusuri celah batu sempit yang seakan dibuat hanya untuk dilalui satu tubuh. Suara air menetes dari dinding, dan jauh di bawah, terdengar gema … seperti napas besar dari makhluk purba.Langkah mereka membawa mereka pada satu balkon batu, semacam tepian altar, dan di bawahnya, terhampar aula besar berbentuk oval. Cahaya ungu dan merah menari dari puluhan lentera ritual.Rongronghai.Jantung Hitam.Sua menahan napas. Tangan Rai secara otomatis menyentuh pundaknya, menstabilkan posisinya.“Ada altar utama di sana,” bisik
Di suatu tempat, seorang wanita berselubung abu-abu berdiri di balik tirai ritual. Namanya Wu Xian, tangan kanan pemimpin cabang Klan Hei di wilayah Lembah Mun Chu.Ia memperhatikan anak lelaki di dalam ruang batu. Cahaya dari mangkuk api membentuk bayangan tinggi di dinding goa.'Anak itu ... terlalu tenang,' gumam Wu Xian dalam hati.Zihan berdiri di tengah lingkaran mantera. Tangan kanannya masih terikat rantai perak ringan, tapi tak ada tanda perlawanan di tubuhnya. Tatapannya tajam, diam, penuh hitungan.“Dia tidak memberontak sejak pertama dibawa. Tidak menangis, tidak mengutuk.”Wu Xian membuka catatan kecil yang tergantung di pinggangnya. Di sana, laporan-laporan tentang kemajuan Zihan ditulis dengan tinta merah:Respon awal terhadap mantra darah: stabil.Kemampuan membedakan sihir ilusi dan sihir pengikat: di atas rata-rata.Kesediaan ikut dalam latihan pengikatan energi: tanpa paksaan.Ia menatap ke arah altar tempat Zihan baru saja menyelesaikan latihan membaca segel. Simbo