Cempaka menutup pintu biliknya pelan. Kayu jati tua itu berderit lirih, lalu hening kembali. Ruangan besar itu selalu tertata rapi: kelambu putih menggantung di atas dipan rendah, meja kecil berisi kendi air, serta sebilah cermin perunggu di sudut.
Aroma bunga kenanga di wadah tanah liat seolah berusaha menenangkan, namun hati Cempaka justru semakin bergejolak. Ia duduk di tepi dipan, jemari meremas kain selendang yang masih melekat di tubuhnya. Bayangan tadi malam kembali menghantam kepalanya: cahaya lampu minyak redup di losmen, tawa kasar para serdadu, dan tatapan pria asing itu—mata biru yang seakan menelannya bulat-bulat. “Gusti...” bisiknya lirih, “apa yang sudah hamba perbuat?” Tangannya terangkat, menutupi wajah. Ia tahu, semalam bukan sekadar kelalaian kecil. Itu adalah dosa besar—dosa yang menodai kehormatannya sebagai seorang Raden Ayu, yang dalam tujuh hari lagi akan dipersunting Raden Adipati Wiratama. Bayangan wajah calon suaminya melintas: seorang lelaki bangsawan terhormat, kaku, berwibawa, yang akan menjadi penguasa baru di daerah ini. Bagaimana bila tubuh ini sudah bukan milik yang suci lagi? Dadanya bergemuruh. Ia menggigil. Semakin ia berdoa, semakin jelas bayangan serdadu itu muncul, seolah menolak pergi. Suara lirih dari luar serambi memutus lamunannya. Para abdi dalem sedang bercakap. “Katanya, ada tamu baru yang hendak menemui Kanjeng Adipati,” ujar suara pertama. “Seorang pimpinan militer Belanda. Katanya ia akan jadi pengawas baru di pelabuhan, sekaligus sering datang ke pendopo karena punya urusan dengan Kanjeng Adipati.” Cempaka terdiam. Pe–pelabuhan?! Ah, tidak mungkin, Cempaka! Ada banyak orang Belanda di kawasan ini, dan kamu merasa pria itu adalah dia?! Di tengah kemelut pikirannya, Cempaka tersentak tatkala derit halus pintu terdengar. Buru-buru ia menyeka pipinya dengan selendang. Nyai Rengganis berdiri di ambang, tubuhnya berbalut kebaya hitam sederhana dengan jarik batik parang. Sorot matanya tajam, penuh wibawa. “Den Ayu…” suaranya bening namun menekan. Cempaka menunduk. “Nyai…” Nyai melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang. “Aku melihat wajahmu pucat. Apa kau sakit?” “Tidak, Nyai… saya hanya sedikit pening,” jawab Cempaka terbata. “Pening bisa diobati dengan jamu. Tapi hati yang gelisah, tak ada ramuan yang sanggup menyembuhkannya selain kejujuran.” Tatapannya menembus. “Tujuh hari lagi kau akan menikah dengan Raden Adipati Wiratama. Kau sadar betapa besar artinya itu? Kau bukan hanya akan menjadi istri bangsawan, tapi juga memikul kehormatan keluarga.” Cempaka menelan ludah, jemarinya menggenggam kain selendang hingga memutih. “Seorang istri bangsawan harus menjaga diri bagai kaca bening,” lanjut Nyai. “Sedikit goresan saja, kaca itu tak lagi indah. Apalagi jika pecah… maka hancurlah kehormatan yang dijunjung.” Cempaka hanya mampu mengangguk. Dalam hati ia berteriak, Bagaimana aku bisa menjadi kaca bening itu bila aku sudah retak semalam? Nyai Rengganis berdiri perlahan. “Istirahatlah. Kau harus tampil sempurna di hari pernikahan nanti. Jangan biarkan siapa pun melihat kegelisahanmu.” Begitu pintu tertutup kembali, Cempaka jatuh terduduk di lantai, menahan tangis agar tidak terdengar. “Ya Gusti… apakah Engkau mengutus Nyai untuk memperingatkanku, ataukah untuk menguji keberanianku menyimpan aib ini?” */*/ Menjelang sore, matahari condong ke barat. Pendopo kediaman Adipati Aryotedjo ramai oleh abdi dalem yang sibuk menyiapkan sambutan. Cempaka berdiri di balik tirai tipis, jantungnya berpacu melawan denting gamelan. Tangannya dingin oleh keringat. “Den Ayu,” bisik Lastri, “Kanjeng Adipati memerintahkan semua putri keluarga hadir. Den Ayu… tidak bisa menghindar.” Belum sempat Cempaka menjawab, gamelan berhenti. Suara pengawal mengumumkan dengan lantang: “Tamu Kanjeng Adipati telah tiba!” Derap sepatu kulit itu berhenti tepat di hadapan ayahnya, Kanjeng Adipati Aryotedjo. Pria itu menunduk hormat, seragam militernya berkilau diterpa cahaya sore. Rambut pirang kecokelatan, garis rahang tegas, dan—mata biru itu. Tirai tipis tersibak, dan Cempaka melangkah keluar sesuai perintah. Saat pandangannya terangkat, ia membeku. Mata biru itu menatapnya balik. Waktu berhenti. Lastri di sisinya memegang lengannya erat, seakan menyadari kebenaran yang tak terelakkan. “Den Ayu Cempaka,” suara pengawal memperkenalkan, “putri Kanjeng Adipati.” Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, mereka berdiri saling berhadapan—bukan di ranjang losmen, melainkan di hadapan keluarga dan para bangsawan.Pernikahan tetap berlangsung. Meski tanpa persetujuan mempelai wanita. Tapi, apa gunanya Cempaka bersuara? Keputusan tetap berada di tangan kedua pria yang kini berhadapan dengan penghulu. Gamelan kembali ditabuh meski iramanya terdengar hambar, seperti sekadar mengugurkan kewajiban. Para tamu bangsawan duduk kaku di kursi kehormatan. Sebagian menundukkan kepala, sebagian lagi berbisik di balik kipas tangan. Tak pelak, setelah hari ini gunjingan pasti dengan cepat menyebar di kalangan pergaulan kelas atas. Satu-satunya orang yang tampak gelisah hanyalah sang pengantin perempuan. Wajah perempuan itu lesu. Bahkan ketika Cempaka didudukkan kembali di pelaminan. Wajahnya basah oleh air mata yang sudah dikeringkan buru-buru oleh para pelayan. Senyum yang seharusnya memancar di wajah pengantin wanita tidak pernah muncul. "Tersenyumlah, setidaknya jangan biarkan dirimu terlihat terpaksa di depan banyak orang." "Saya memang dipaksa oleh keadaan, Tuan. Kenapa saya harus berpura-p
“Cukup!” Suara berat penuh wibawa memotong suasana. Membuat suasana kian tegang. Raden Aryotedjo berdiri dari kursi kehormatan. Sorot matanya tajam menyapu seluruh pendapa, membuat para tamu spontan terdiam. Ia lalu menoleh ke putrinya. “Cempaka.” Suaranya bergetar, setengah ancaman, setengah memohon. “Jaga bicaramu. Hari ini adalah hari pernikahanmu. Jangan mempermalukan keluarga di hadapan para tamu, apalagi di hadapan bangsa asing.” Cempaka menoleh, menatap ayahnya dengan mata basah. “Ayah… apa itu lebih penting ketimbang kehormatan putrimu?” suaranya lirih, nyaris tenggelam. “Tidak, yang lebih ingin kudengar sekarang, apa benar Wira… menjualku?” Raden Aryotedjo terdiam. Rahangnya mengeras, namun ia tidak menjawab. Keheningan itulah yang justru menampar Cempaka paling keras. Letnan Rembrandt menyeringai tipis, jelas puas melihat kebimbangan sang adipati. Ia melipat tangan di dada, seolah yakin kebenaran akhirnya akan menampakkan dirinya tanpa perlu ia tambahkan kata apa pun.
Darah Cempaka seakan berhenti mengalir. Dunia kembali membisu. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, menembus lebih dalam daripada pisau. Menjualmu. Tidak mungkin. Tidak mungkin lelaki yang malam itu datang ke kamarnya, memegang tangannya, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja… akan melakukan ini. Tidak mungkin lelaki yang akan menjadi suaminya tega menukar kehormatannya dengan kekuasaan atau kekayaan. Namun ketika ia kembali menatap ke arah sang ayah—dan mendapati Raden Aryotedjo kembali menghindari pandangannya—Cempaka mulai mengerti. Segalanya bukan lagi miliknya. Tidak kehormatannya. Tidak masa depannya. Bahkan mungkin tidak pula tubuhnya. Semuanya telah diperjualbelikan. Dan hari yang seharusnya menjadi awal kehidupan barunya… kini berubah menjadi penjara yang tak mungkin ia lepaskan. "Bagaimana menurutmu, Tuan Putri? Apa Anda yakin masih memiliki pilihan sekarang?" Kepala Cempaka terasa berat. Ia tak sanggup menjawab. Namun, ia juga tetap berusaha berd
Seorang pria melangkah masuk dengan langkah tegap, diiringi para pengawal Belanda. Tubuh jangkung, seragam militer dengan hiasan emas, mata biru yang menusuk dari kejauhan. Letnan Rembrandt. Keributan kecil terdengar di antara tamu. Bisik-bisik mengalir deras. “Bukan Wiratama… siapa itu? Mengapa yang datang justru serdadu Belanda?” Cempaka membeku. Tangannya mencengkeram erat kain kebaya, wajahnya pucat pasi. Ia ingin bangkit, ingin berteriak bahwa ini semua salah, tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Letnan Rembrandt berjalan semakin dekat, sorot matanya tidak beranjak dari wajah Cempaka. Senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang pernah begitu dekat di malam kelam itu. Juru caraka mengumumkan dengan suara lantang, “Inilah mempelai pria, Letnan Rembrandt, yang atas perintah dan restu Adipati Aryotedjo, akan bersanding dengan Raden Ayu Cempaka.” Pendapa bergemuruh. Sebagian tamu saling berpandangan, sebagian terdiam bingung. Para abdi dalem menunduk dalam-dalam, tak berani bersu
Malam itu, rembulan bulat menggantung di langit, memandikan halaman rumah Adipati Aryotedjo dengan cahaya pucat. Cempaka belum juga terlelap. Jantungnya berdegup cepat, seakan setiap dentum menandai waktu yang kian menipis menuju hari besarnya. Ia duduk di sisi ranjang, memeluk lutut, tatapannya kosong ke arah lantai. Bayangan malam itu—tawa kasar serdadu, genggaman dingin Letnan Rembrandt, dan aib yang kini menghantui dirinya—terus muncul. Ketukan lembut di jendela membuat tubuhnya tersentak. Jantungnya melompat ke tenggorokan. Perlahan ia menoleh, lantas membuka jendela kayu yang tertutup tirai sutra. “Wira…” bisiknya terperangah. Pemuda itu memberi isyarat agar ia membuka jendela. Dengan tangan gemetar, Cempaka mendorong bingkai kayu itu, dan seketika Wiratama melangkah masuk dengan gesit. Napasnya teratur, seakan kehadirannya di tengah malam adalah hal biasa. “Maafkan aku, Cempaka,” katanya dengan suara tenang. “Aku tak bisa menunggu esok hari. Aku ingin melihatmu malam ini,
Hari pernikahan semakin dekat. Waktu yang terus bergerak terasa seperti beban yang semakin menekan dada Cempaka. Dalam hitungan hari, ia akan dipersunting oleh Raden Wiratama, calon suaminya yang terhormat dan memiliki kedudukan tinggi. Seluruh keluarga dan kerabatnya menanti dengan penuh harapan. Namun bagi Cempaka, hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya, malah terasa seperti jebakan yang tak bisa ia hindari. Pagi itu, di kamar tidurnya yang rapi dan anggun, Cempaka duduk di depan cermin besar perunggu, memandangi dirinya sendiri dengan pandangan kosong. Wajahnya yang pucat memantul jelas di permukaan cermin. Tiba-tiba, ia merasa seperti orang asing yang sedang menatapnya, bukan dirinya yang dulu. Raut wajah yang penuh keraguan, ketakutan, dan kesedihan. Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi simbol kebanggaan, sebuah langkah besar menuju kedudukan dan kehormatan yang lebih tinggi, namun ada sesuatu yang menghantui dirinya. Ada baya