Se connecterPria itu tersenyum miring. Jelas, ia mengenali siapa perempuan yang kini berdiri di depannya. Sebelum pertemuan semalam pun, ia tahu siapa perempuan yang berada di bawah kuasanya. Hanya saja, ia tak mengira akan bertemu dengan Cempaka secepat ini.
Sedangkan Cempaka sebisa mungkin menghindari tatapan. Meski menurut hukum tata krama yang dipelajarinya, tidak memperbolehkan seorang putri bangsawan seperti dirinya, mengalihkan pandangan dari seseorang yang tengah berbincang dengannya. “Senang bertemu dengan Anda, Tuan Putri,” ucap pria itu bersikap sebagaimana pria Belanda pada umumnya. Ia meraih tangan Cempaka dan mencium punggung tangannya. Senyum tak juga memudar dari wajah pria itu. Sesaat tubuh Cempaka menengang. Dari sekian banyak pria Belanda yang ditugaskan di wilayah kekuasaan ayahnya, kenapa bisa terjadi kebetulan semacam ini? Kepalanya mendadak pusing. Ia mual. Adegan tadi malam kembali merasuk dalam benaknya. Semakin ia berusaha melupakan, semakin ia tak sanggup membuangnya begitu saja. Cempaka hampir kehilangan keseimbangan. “Lastri.” Bukannya menanggapi sapaan sang letnan, Cempaka justru memanggil pelayan pribadinya. Perempuan yang tak jauh umurnya dari Cempaka itu, mendekat pada sang putri bangsawan. “Ya, Den Ayu.” “Bawa aku ke kamar. Kepalaku pusing,” ucap Cempaka pelan. Lastri dengan cekatan hendak membimbing sang tuan putri meninggalkan pendopo. Namun, mereka tak bisa pergi begitu saja, sebab sang pria Belanda dalam balutan seragam militer itu menahan Cempaka. “Apa Anda perlu bantuan saya, Tuan Putri?” Adegan itu sempat mengalihkan perhatian Raden Aryotedjo yang diam-diam mengamati sang putri. “Apa yang terjadi?” tanya Raden Aryotedjo. Suara ayahnya terdengar heran sekaligus khawatiran. Teguran itu membuat jarak antara Cempaka dan sang pria merenggang. Cempaka pun menghentikan langkahnya yang hampir meninggalkan pendopo. Tubuhnya bergetar, meskipun ia berusaha untuk tidak memperlihatkan kelemahannya. Ia menoleh dengan ragu, menatap wajah ayahnya yang penuh otoritas. Raden Aryotedjo melangkah maju, matanya tajam menilai. “Kepala saya pusing, Ayah. Sepertinya saya tidak bisa mengikuti perjamuan ini lebih lama.” “Apakah kau tidak tahu tata krama, Cempaka?” Suaranya mengandung nada yang berat. "Seorang putri bangsawan tidak pantas bertindak seperti itu di depan tamu. Menarik diri begitu saja tanpa sepatah kata untuk menyapa adalah perbuatan yang sangat tidak sopan.” Cempaka terdiam. Kata-kata ayahnya menghantamnya seperti palu yang memecah ketenangan hati. Dalam hati ia tahu, ia telah melakukan kesalahan besar, meskipun dalam kondisinya yang terpuruk, ia tak mampu bertindak lebih baik. Lastri menundukkan kepala, memberikan tanda hormat kepada Kanjeng Adipati, tetapi Cempaka tetap diam. Namun, dalam kebisuan itu, sebuah suara lain menyusup ke dalam percakapan. “Benar, Kanjeng Adipati, putri Anda tampak letih. Sepertinya, dia merasa tidak sehat.” Suara berat yang penuh ketenangan itu berasal dari Letnan Pieter Rembrandt, pria Belanda yang semalam menghantui pikiran Cempaka. Cempaka mengangkat kepala, tetapi kali ini ia tak bisa menghindari tatapan mata biru itu. Tatapan yang sama seperti semalam. Namun kali ini, ada yang berbeda. Ada kekhawatiran yang tampak samar di wajah pria itu. Letnan Rembrandt melangkah sedikit lebih dekat, memberi ruang pada Cempaka yang masih terhuyung. Tak bisa dipungkiri, meskipun matanya yang biru itu menawarkan perhatian yang tulus, Cempaka merasa itu adalah siksaan yang semakin menambah rasa bersalah yang tak tertahankan. Ia berusaha menepisnya, namun tak mampu. Raden Aryotedjo, yang telah menyaksikan kejadian ini, mendekat dengan langkah berat. Tatapannya penuh selidik, seolah-olah ia mencium bau ketidakwajaran dalam sikap putrinya. "Letnan," ucap Raden Aryotedjo dengan suara penuh wibawa, "Apakah Anda merasa perlu memberikan perhatian yang lebih dari yang diperlukan kepada putri saya?" Letnan Rembrandt menundukkan kepala, seolah sadar akan ketegangan yang terbentuk. Namun, senyum kecil tetap terukir di bibirnya, senyum yang Cempaka tahu terlalu penuh makna. "Saya hanya berusaha untuk memastikan bahwa Tuan Putri dalam keadaan baik. Saya merasa khawatir dengan sikapnya yang tampak begitu tertekan," jawab Letnan itu, suaranya tenang namun penuh penekanan pada kata "tertekan." "Saya mengerti, Tuan. Tetapi izinkan saya mengingatkan Anda, bahwa ini adalah rumah bangsawan. Tidak semestinya seseorang seperti putri saya dibiarkan dalam keadaan demikian oleh seorang pria asing, meskipun niat Anda baik." Tatapan tajam Raden Aryotedjo kembali beralih ke Cempaka, dan kali ini, ia menambah tekanan dalam suaranya. "Aku berharap kamu tidak memberi kesempatan pada diri sendiri untuk merendahkan kehormatan keluarga ini di hadapan orang luar. Apa pun yang terjadi, jaga nama baik kita." Cempaka menunduk lebih dalam, tak mampu berkata apa-apa. Setiap kata ayahnya adalah jarum yang menusuk hati, menambah berat beban yang kini terpaksa ia tanggung. Namun, di tempat yang sama, di tengah percakapan yang semakin tegang, ada sosok lain yang memperhatikan dengan penuh perhatian. Raden Wiratama, calon suami Cempaka, berdiri agak jauh, matanya terfokus pada setiap pergerakan yang terjadi. Senyum tipis muncul di wajahnya. Lalu, tanpa diketahui siapa pun, ia melangkah pergi dengan langkah tenang.Van der Wijck terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Ia menatap pergelangan tangannya yang masih terasa sakit. Seolah tak percaya ada seseorang yang berani menyentuhnya—bahkan mendorongnya—dengan cara sebrutal itu. Cempaka langsung menjauh dua langkah, napasnya terputus-putus, bahunya naik turun dengan cepat. Ada bekas cengkeraman merah di lengannya. Matanya membelalak—antara lega dan ngeri. Dan di hadapan mereka berdiri Pieter. Mantelnya masih tertutup debu perjalanan, rambutnya acak, napasnya berat seolah ia berlari dari gerbang hingga halaman. Namun yang paling mencolok adalah sorot mata itu. Pekat. Membunuh. Seperti bara hitam yang siap meledak. “Cukup,” ulangnya, lebih pelan… lebih berbahaya. “Jangan pernah sentuh istriku! Aku sudah muak melihat kau menyentuh orang yang tidak ingin disentuh.” Van der Wijck menyipitkan mata, tapi angkuhnya belum hilang. Tak ada lagi tatapan segan yang ditunjukkan terakhir kali ketika mereka bertemu di restoran.Ia merapikan mantel, menc
Nama itu. Begitu Aryo menyebutnya—pelan, seperti takut ada sesuatu yang ikut merayap keluar dari kegelapan—Cempaka merasa seluruh lantai bergeser dari bawah telapak kakinya.Ia tidak menjawab apa pun. Tidak bereaksi. Tidak memprotes.Ia hanya berdiri terpaku, memandang Aryo, namun tatapannya kosong. Jauh. Terseret pada masa yang seharusnya tak perlu ia ingat lagi. Faktanya tidak semudah itu bagi Cempaka.Lastri sempat memanggil namanya dua kali. Sriah memegang lengannya, khawatir Cempaka akan jatuh.Namun Cempaka hanya mengucapkan satu kalimat, sangat pelan, “Aku harus bicara dengan Pieter.”Tidak ada yang bisa menahannya ketika ia melangkah keluar dari ruang penahan belakang itu. Napasnya cepat, langkahnya panjang, hampir terburu-buru melewati halaman. Sore menjelang, cahaya matahari redup jatuh di wajahnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak yang bergemuruh di dadanya.Ia tahu nama itu. Semua orang mungkin tidak. Bahkan Lastri, atau Pieter sekalipun. Sebab, ia sendiri yan
Hari-hari setelah malam itu berlalu begitu saja—tanpa kejadian besar, tanpa percakapan yang mengungkap luka lama, tetapi juga tanpa menjauhkan apa pun yang sudah sempat mendekat.Rumah Rembrandt kembali seperti semula. Tidak dingin. Tapi juga… tidak sepenuhnya hangat.Cempaka menjalani rutinitasnya dengan cara yang membuat para pelayan hampir bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Terutama Lastri.Perempuan muda itu tahu, tak mudah bagi Cempaka setelah kemunculan Aryotedjo. Apalagi namanya sempat dibawa-bawa dan membuat suasana makin tegang. Namun, tak ada yang bisa dilakukan Lastri. Cempaka menolak bercerita padanya."Den Ayu, butuh teman bercerita?" tanya Lastri pada suatu sore setelah Aryotedjo muncul di rumah keluarga Rembrandt.Cempaka hanya tersenyum. Menggeleng singkat, lantas menepuk pundak perempuan yang sudah bersamanya sejak usia belia itu."Jika Den Ayu, tidak mengatakan apa pun, itu membuat saya menjadi gusar." Lastri menambahkan. Namun, Cempaka han
Pieter kembali ke kamar ketika malam sudah turun sepenuhnya. Menyisakan hanya cahaya kecil dari lampu minyak yang ia biarkan menyala sebelum pergi tadi. Pria itu membuka pintu perlahan, hampir tanpa suara, tak ingin mengganggu tidur Cempaka. Namun begitu ia masuk, Pieter mendapati sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Cempaka tidak lagi tidur setenang sebelumnya. Perempuan itu meringkuk di bawah selimut, tubuhnya gelisah. Alisnya mengernyit, bibirnya bergerak seakan memanggil seseorang dalam mimpi yang tidak menyenangkan. “Ayah.…” gumamnya kecil, nyaris tak terdengar. Pieter langsung mendekat. Ia menunduk, memperhatikan napas Cempaka yang mulai tersengal—bukan karena sakit, tapi gelombang kecemasan yang muncul begitu ia tak lagi disandari oleh kehangatan seseorang. “Cempaka,” bisiknya lembut sambil duduk di tepi ranjang. “Aku di sini.” Perempuan itu tampak tersiksa dalam tidurnya, jemarinya mencengkeram bagian selimut seolah sedang memohon perlindungan dari sesuatu yang t
Pieter terbangun ketika cahaya senja menyelinap melalui celah tirai. Cahaya lembut itu jatuh tepat pada wajah Cempaka yang masih bersandar di dadanya.Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti—hanya ada embusan napas teratur Cempaka, hangat dan lembut di atas kemeja Pieter.Pria itu menunduk sedikit, memperhatikan perempuan itu dengan tatapan yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.Cempaka tertidur pulas. Damai. Seolah kelelahan hari ini perlahan ditelan ketenangan.Senyum halus muncul di bibir Pieter—senyum yang hanya muncul ketika ia melihat sesuatu yang sungguh ia jaga.Pelan, ia mengangkat tangan dan mengusap rambut Cempaka. Gerakannya hampir seperti doa yang diucapkan tanpa suara. Istrinya bergumam kecil, meringkuk sedikit, tetapi tetap terlelap.Pieter menunggu beberapa detik sebelum bergerak hati-hati. Lengan yang memeluk Cempaka ia lepaskan perlahan. Ketika kepala perempuan itu terjatuh tanpa sandaran, Pieter cepat menahan dengan telapak tangan. Memastikan tidak ada sentak
Mereka berjalan menuju lantai dua tanpa banyak kata. Langkah Cempaka berat, tetapi tidak lagi terasa sendirian. Pieter tetap menggenggam jemarinya—erat, namun tidak pernah memaksa.Setibanya di kamar, Pieter lebih dulu membuka pintu. Mengizinkan Cempaka masuk, lalu menutupnya perlahan. Seolah menutup seluruh kegaduhan dunia di balik daun pintu itu.Cempaka berdiri di tengah ruangan, matanya menyisir sekeliling tanpa fokus. Napasnya masih tersengal, sisa dari pecahan tangis yang tadi belum benar-benar surut.Pieter mendekat secukupnya, tidak terburu-buru.“Duduklah,” ucapnya lembut.Cempaka menurut. Ia duduk di tepi ranjang besar itu, jemarinya saling meremas satu sama lain. Pieter mengambilkan segelas air, lalu menyodorkannya pada perempuan itu.Cempaka menerimanya dengan tangan yang masih sedikit gemetar. “Terima kasih…”Air itu diminumnya perlahan. Satu tegukan. Dua. Hingga dadanya terasa sedikit longgar.Pieter berdiri di depannya, memperhatikannya dengan tatapan yang penuh kekhawa







