LOGINLastri berjalan di depan, sesekali menoleh memastikan Cempaka tetap mengikutinya.
"Kita lewat jalur tikus ke arah pasar. Jangan lewat jalan utama, banyak serdadu pagi-pagi begini," bisik Lastri. "Dan lagi, kemungkinan bertemu para abdi dalem lebih besar," imbuhnya dengan nada yang masih bergetar. Bagaimanapun, apa yang dilakukan Cempaka semalam adalah tanggung jawabnya juga. Kesalahan yang dilakukan Cempaka, juga merupakan kesalahan yang harus ia tanggung. Jika terjadi hal buruk pada tuan yang dilayaninya, ia juga akan mendapat akibatnya. Sebisa mungkin, Lastri harus menghindari hal yang lebih buruk terjadi. "Ayo, Den Ayu. Lebih cepat. Matahari semakin tinggi." Cempaka mengangguk. Selendang batik yang menutupi gaun renda putihnya ia tarik lebih rapat, khawatir kain itu tersibak angin dan menyingkap aib. Lebih mengkhawatirkan lagi, jika ada seseorang yang mengenali siapa dirinya. Tentu bukan hal baik, jika seorang Raden Ayu anak Bupati Aryatedjo terlihat keluyuran dengan pakaian yang dianggap tabu. "Lebih cepat, Den." Dari kejauhan terdengar teriakan para kuli pelabuhan, bercampur bunyi roda gerobak yang berderit membawa peti-peti berisi hasil bumi. Aroma cengkeh, kopi, dan tembakau bercampur menjadi satu—hasil perdagangan yang membuat kota ini ramai, sekaligus menjadi magnet para kompeni. Pasar pagi mulai ramai. Perempuan-perempuan pribumi berbalut kebaya lusuh duduk di tikar, menawarkan sayur dan rempah. Di sisi lain, pedagang Tionghoa berteriak menawarkan kain dan peralatan dapur. Cempaka menunduk dalam-dalam, tak ingin wajahnya dikenali oleh siapa pun. Setelah hampir setengah jam berjalan, gerbang kaputren akhirnya terlihat dari kejauhan. Dinding temboknya tinggi, berlapis cat putih yang mulai pudar, dan di atasnya berkibar bendera merah-putih-biru milik Hindia Belanda. Di sisi gerbang berdiri dua penjaga: satu pria pribumi dengan ikat kepala hitam, dan satu lagi lelaki Belanda berseragam, lengkap dengan senapan bahu. Jantung Cempaka berdegup tak karuan. Ia tahu setiap tamu yang masuk akan diperiksa, bahkan untuk dirinya sekalipun. Statusnya sebagai putri bangsawan memang memberi keleluasaan, tapi pakaian yang ia kenakan sekarang—dan keadaan dirinya—bisa menimbulkan pertanyaan yang tak sanggup ia jawab. Lastri memperlambat langkah, lalu berbisik, “Den Ayu, biar saya yang bicara. Kalau ditanya, kita bilang semalam Den Ayu tidur di rumah kerabat di kampung seberang kali.” Cempaka hanya bisa mengangguk, meski kerongkongannya terasa kering. Ketika mereka tiba di hadapan gerbang, penjaga pribumi memberi hormat, sementara mata si serdadu Belanda mengamati mereka dari ujung kepala hingga kaki. Pandangan matanya singgah terlalu lama pada gaun renda putih yang terintip di balik selendang batik Cempaka. “Ke mana kalian pergi sepagi ini?” tanya penjaga pribumi dengan suara datar, meski nadanya penuh rasa ingin tahu. Lastri tersenyum tipis. “Kami dari rumah Bulik saya, Ndoro. Den Ayu sakit kepala semalam, jadi saya bawa beliau menginap di sana, jauh dari hiruk pikuk.” Penjaga pribumi mengangguk singkat, tapi serdadu Belanda itu mencondongkan tubuhnya sedikit. Ia mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda, nadanya seperti bertanya-tanya, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum tipis—senyum yang membuat bulu kuduk Cempaka meremang. Lastri menarik lengan Cempaka halus tapi mantap, mengajaknya melangkah masuk. Begitu mereka berada di dalam tembok kaputren, Cempaka baru berani menghela napas panjang. Namun, rasa lega itu tak sepenuhnya datang. Karena di ujung halaman dalam, ia melihat sosok tua berkain songket dan berkebaya hitam—Nyai Rengganis, kepala pengawas kaputren—berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya tajam seperti pedang. Lastri berbisik pelan, “Gusti... sepertinya beliau sudah menunggu.” Cempaka menggenggam erat selendang batiknya, seakan kain itu bisa melindungi semua rahasia yang nyaris terbongkar di gerbang tadi. Tapi ia tahu, langkah berikutnya di halaman kaputren ini mungkin akan lebih sulit daripada melewati penjaga luar. */*/ Langkah Cempaka terasa berat ketika ia dan Lastri melintasi halaman dalam kaputren. Lantainya berlapis batu andesit dingin yang sedikit licin oleh embun pagi. Pohon sawo kecik berjajar rapi di tepi jalur setapak, namun keindahan itu tak mampu menenangkan hati Cempaka yang berdegup semakin kencang. Nyai Rengganis berdiri di bawah pendopo kecil, kebaya hitamnya terpasang rapi, selendang songket emas tersampir di bahu. Usianya sudah lanjut, tapi tubuhnya tegak, matanya tajam seperti menembus lapisan hati. “Den Ayu...” suaranya lirih namun cukup untuk memotong udara pagi yang tenang. Lastri menunduk dalam-dalam. “Nyai...” “Pergi. Biarkan aku berbicara dengan Den Ayu,” ujar Nyai Rengganis tanpa menoleh ke arah Lastri. Nada bicaranya bukan permintaan, melainkan perintah yang tak bisa dibantah. Lastri mengangkat wajah sebentar, menatap Cempaka dengan kekhawatiran yang jelas, lalu mundur perlahan meninggalkan mereka berdua. Cempaka menelan ludah. “Nyai, saya—” “Diam.” Nyai Rengganis melangkah mendekat. Tatapannya turun ke gaun renda putih yang masih mengintip di balik selendang batik. “Pakaian itu... bukan pakaian yang pantas dikenakan seorang putri bangsawan yang tinggal di kaputren.” Cempaka menunduk. “Saya hanya—” “Tidak ada hanya,” potong Nyai Rengganis. “Pagi ini, penjaga gerbang melaporkan padaku bahwa kau datang dari luar sebelum matahari benar-benar tinggi. Dan kau tahu apa artinya? "Mata di luar tembok ini melihatmu. Lidah-lidah mereka akan bekerja lebih cepat dari kaki kuda." Udara terasa lebih berat. Cempaka mencoba mengatur napas, tapi rasa bersalahnya terlalu besar. Nyai Rengganis mendekatkan wajahnya, suaranya menurun namun semakin menusuk, “Apakah kau lupa, Den Ayu? Dalam tujuh hari lagi, kau akan duduk bersanding dengan Raden Adipati Wiratama, bupati wilayah sebelah yang telah dipilih oleh keluargamu. "Itu bukan sekadar pernikahan. Itu persekutuan antara darah bangsawan dengan kekuasaan." Cempaka menggenggam ujung selendangnya erat-erat. “Saya tidak lupa, Nyai...” “Kalau begitu, jaga dirimu. Jagalah kehormatan yang sudah dijaga ketat sejak kau lahir. Sekali saja kau membuat noda, bukan hanya kau yang hancur, tapi nama besar keluargamu akan tercoreng. Mengerti?” Cempaka mengangguk pelan, meski hatinya terasa diremas. Nyai Rengganis menarik napas dalam, lalu berujar dengan nada lebih dingin, “Aku takkan bertanya di mana kau berada semalam. Tapi aku akan memperhatikanmu lebih dekat mulai hari ini. "Tidak ada lagi izin keluar tanpa sepengetahuanku. Tidak ada lagi alasan untuk bertemu dunia luar, apalagi para serdadu atau siapa pun yang kau temui di luar tembok istana." Kata terakhir yang terucap dengan penekanan membuat darah Cempaka serasa berhenti mengalir sesaat. Apakah Nyai Rengganis tahu? “Sekarang, pergilah ke bilikmu. Bersihkan diri. Dan... berdoalah agar apa pun yang terjadi semalam tidak meninggalkan bekas yang akan dibicarakan orang.”Van der Wijck terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Ia menatap pergelangan tangannya yang masih terasa sakit. Seolah tak percaya ada seseorang yang berani menyentuhnya—bahkan mendorongnya—dengan cara sebrutal itu. Cempaka langsung menjauh dua langkah, napasnya terputus-putus, bahunya naik turun dengan cepat. Ada bekas cengkeraman merah di lengannya. Matanya membelalak—antara lega dan ngeri. Dan di hadapan mereka berdiri Pieter. Mantelnya masih tertutup debu perjalanan, rambutnya acak, napasnya berat seolah ia berlari dari gerbang hingga halaman. Namun yang paling mencolok adalah sorot mata itu. Pekat. Membunuh. Seperti bara hitam yang siap meledak. “Cukup,” ulangnya, lebih pelan… lebih berbahaya. “Jangan pernah sentuh istriku! Aku sudah muak melihat kau menyentuh orang yang tidak ingin disentuh.” Van der Wijck menyipitkan mata, tapi angkuhnya belum hilang. Tak ada lagi tatapan segan yang ditunjukkan terakhir kali ketika mereka bertemu di restoran.Ia merapikan mantel, menc
Nama itu. Begitu Aryo menyebutnya—pelan, seperti takut ada sesuatu yang ikut merayap keluar dari kegelapan—Cempaka merasa seluruh lantai bergeser dari bawah telapak kakinya.Ia tidak menjawab apa pun. Tidak bereaksi. Tidak memprotes.Ia hanya berdiri terpaku, memandang Aryo, namun tatapannya kosong. Jauh. Terseret pada masa yang seharusnya tak perlu ia ingat lagi. Faktanya tidak semudah itu bagi Cempaka.Lastri sempat memanggil namanya dua kali. Sriah memegang lengannya, khawatir Cempaka akan jatuh.Namun Cempaka hanya mengucapkan satu kalimat, sangat pelan, “Aku harus bicara dengan Pieter.”Tidak ada yang bisa menahannya ketika ia melangkah keluar dari ruang penahan belakang itu. Napasnya cepat, langkahnya panjang, hampir terburu-buru melewati halaman. Sore menjelang, cahaya matahari redup jatuh di wajahnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak yang bergemuruh di dadanya.Ia tahu nama itu. Semua orang mungkin tidak. Bahkan Lastri, atau Pieter sekalipun. Sebab, ia sendiri yan
Hari-hari setelah malam itu berlalu begitu saja—tanpa kejadian besar, tanpa percakapan yang mengungkap luka lama, tetapi juga tanpa menjauhkan apa pun yang sudah sempat mendekat.Rumah Rembrandt kembali seperti semula. Tidak dingin. Tapi juga… tidak sepenuhnya hangat.Cempaka menjalani rutinitasnya dengan cara yang membuat para pelayan hampir bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Terutama Lastri.Perempuan muda itu tahu, tak mudah bagi Cempaka setelah kemunculan Aryotedjo. Apalagi namanya sempat dibawa-bawa dan membuat suasana makin tegang. Namun, tak ada yang bisa dilakukan Lastri. Cempaka menolak bercerita padanya."Den Ayu, butuh teman bercerita?" tanya Lastri pada suatu sore setelah Aryotedjo muncul di rumah keluarga Rembrandt.Cempaka hanya tersenyum. Menggeleng singkat, lantas menepuk pundak perempuan yang sudah bersamanya sejak usia belia itu."Jika Den Ayu, tidak mengatakan apa pun, itu membuat saya menjadi gusar." Lastri menambahkan. Namun, Cempaka han
Pieter kembali ke kamar ketika malam sudah turun sepenuhnya. Menyisakan hanya cahaya kecil dari lampu minyak yang ia biarkan menyala sebelum pergi tadi. Pria itu membuka pintu perlahan, hampir tanpa suara, tak ingin mengganggu tidur Cempaka. Namun begitu ia masuk, Pieter mendapati sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Cempaka tidak lagi tidur setenang sebelumnya. Perempuan itu meringkuk di bawah selimut, tubuhnya gelisah. Alisnya mengernyit, bibirnya bergerak seakan memanggil seseorang dalam mimpi yang tidak menyenangkan. “Ayah.…” gumamnya kecil, nyaris tak terdengar. Pieter langsung mendekat. Ia menunduk, memperhatikan napas Cempaka yang mulai tersengal—bukan karena sakit, tapi gelombang kecemasan yang muncul begitu ia tak lagi disandari oleh kehangatan seseorang. “Cempaka,” bisiknya lembut sambil duduk di tepi ranjang. “Aku di sini.” Perempuan itu tampak tersiksa dalam tidurnya, jemarinya mencengkeram bagian selimut seolah sedang memohon perlindungan dari sesuatu yang t
Pieter terbangun ketika cahaya senja menyelinap melalui celah tirai. Cahaya lembut itu jatuh tepat pada wajah Cempaka yang masih bersandar di dadanya.Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti—hanya ada embusan napas teratur Cempaka, hangat dan lembut di atas kemeja Pieter.Pria itu menunduk sedikit, memperhatikan perempuan itu dengan tatapan yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.Cempaka tertidur pulas. Damai. Seolah kelelahan hari ini perlahan ditelan ketenangan.Senyum halus muncul di bibir Pieter—senyum yang hanya muncul ketika ia melihat sesuatu yang sungguh ia jaga.Pelan, ia mengangkat tangan dan mengusap rambut Cempaka. Gerakannya hampir seperti doa yang diucapkan tanpa suara. Istrinya bergumam kecil, meringkuk sedikit, tetapi tetap terlelap.Pieter menunggu beberapa detik sebelum bergerak hati-hati. Lengan yang memeluk Cempaka ia lepaskan perlahan. Ketika kepala perempuan itu terjatuh tanpa sandaran, Pieter cepat menahan dengan telapak tangan. Memastikan tidak ada sentak
Mereka berjalan menuju lantai dua tanpa banyak kata. Langkah Cempaka berat, tetapi tidak lagi terasa sendirian. Pieter tetap menggenggam jemarinya—erat, namun tidak pernah memaksa.Setibanya di kamar, Pieter lebih dulu membuka pintu. Mengizinkan Cempaka masuk, lalu menutupnya perlahan. Seolah menutup seluruh kegaduhan dunia di balik daun pintu itu.Cempaka berdiri di tengah ruangan, matanya menyisir sekeliling tanpa fokus. Napasnya masih tersengal, sisa dari pecahan tangis yang tadi belum benar-benar surut.Pieter mendekat secukupnya, tidak terburu-buru.“Duduklah,” ucapnya lembut.Cempaka menurut. Ia duduk di tepi ranjang besar itu, jemarinya saling meremas satu sama lain. Pieter mengambilkan segelas air, lalu menyodorkannya pada perempuan itu.Cempaka menerimanya dengan tangan yang masih sedikit gemetar. “Terima kasih…”Air itu diminumnya perlahan. Satu tegukan. Dua. Hingga dadanya terasa sedikit longgar.Pieter berdiri di depannya, memperhatikannya dengan tatapan yang penuh kekhawa







