Share

Tahanan di Ranjang Sang Letnan
Tahanan di Ranjang Sang Letnan
Author: Yoru Akira

Petaka

Author: Yoru Akira
last update Last Updated: 2025-09-29 11:03:24

Ia terbangun telanjang dalam pelukan seorang Belanda—padahal seminggu lagi ia akan dinikahkan dengan seorang bangsawan pribumi.

Tubuh wanita itu menggeliat, kepalanya berat seakan dihantam palu.

"Ugh..."

Berkas cahaya mentari pagi menembus celah kisi-kisi jendela kayu yang catnya mulai mengelupas. Warnanya pudar, tak lagi jelas apakah coklat atau kusam.

Debu berterbangan, menari dalam sinar tipis itu sebelum jatuh tepat di wajah Cempaka.

Gadis itu tersentak bangun, napasnya terhenti ketika sadar dirinya tengah terperangkap dalam lingkar lengan kekar seorang pria.

"Astaga..." serunya tertahan, tapi tubuhnya langsung menegang.

Ia beringsut menjauh, namun kain seprai tipis yang menutupi mereka terlepas, memperlihatkan tubuhnya yang tak berbalut sehelai kain pun. Jantungnya berdegup kencang, telinganya terasa panas.

Sebuah denyut nyeri menyambar kepalanya—sisa mabuk semalam—membuat langkahnya terhuyung saat meraih baju yang teronggok kusut di lantai papan.

Di antara lipatan kain, secarik kartu kecil tergeletak—lambang pelabuhan tercetak buram di sudutnya. Jantung Cempaka berhenti.

Pegawai… Pelabuhan?

Ia kini kembali menatap sosok yang membuat hatinya seketika merasakan jeri.

Pria itu, yang kini tidur membelakanginya, memiliki wajah yang tak mungkin dilupakan: garis rahang tegas, hidung mancung seperti pahatan, dan bibir tipis yang terkatup rapat.

Beberapa helai rambut pirang kecokelatan jatuh menutupi matanya yang terpejam. Sepasang bola mata biru cerah yang tampak tajam, tapi seolah menyimpan kekaguman setiap kali bersitatap dengan Cempaka. Semalam.

"Apa yang... terjadi semalam?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya bergetar.

Kilasan ingatan datang bagai hantaman ombak: dirinya di sebuah warung arak dekat pelabuhan, lampu minyak berkelip, denting gelas bercampur tawa kasar para serdadu.

Ia mencoba meneguk minuman pahit itu untuk pertama kali. Lalu... tawa yang berubah kabur, tatapan pria itu yang semakin dekat–Cempaka bahkan tak tahu siapa yang memulai lebih dulu.

Hanya ada rasa putus asa bercampur keberanian sesaat ketika ia menenggak arak pahit itu. Selebihnya hanyalah hangat tubuh yang bukan miliknya, ciuman yang membuatnya gemetar, dan kenyataan bahwa ia tidak lagi mampu berkata “tidak.”

Cempaka menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Gusti... aku sudah membuat kesalahan yang takkan diampuni,” gumamnya lirih, hampir menangis.

Namun, sudah terlambat menyesalinya sekarang. Ia sendiri yang datang pada pria itu dan meminta untuk membawanya pergi ke warung penjual arak tersebut. Ia sendiri yang datang dengan pikiran konyol bahwa dirinya bisa menentang ucapan sang ayah.

Hasilnya? Cempaka tak mau memikirkannya sekarang. Perempuan yang seharusnya berada dalam masa pingitan itu, terlalu malu untuk mengakui kesalahan yang sudah dilakukan.

Ia buru-buru mengumpulkan pakaian, lalu mengenakan baju yang dipakainya semalam dengan tangan gemetar.

Lantas keluar dari kamar itu tanpa mengatakan apa pun setelah memakai pakaiannya. Bahkan sekadar berpamitan atau mengucapkan selamat tinggal pada pria yang ...

Wajah perempuan itu memerah. Ia tak mau mengingat adegan panas yang telah mereka lewati semalam.

Langkah Cempaka terseok. Ada nyeri di area kewanitaannya saat ia mencoba berjalan. Ditambah sakit kepala yang tak juga berkurang.

Tak ada pamit, tak ada kata apa pun untuk pria itu. Ia melangkah keluar, menahan perih yang terasa di setiap gerakan pahanya.

Lorong losmen sempit dan pengap. Bau anyir laut bercampur asap rokok kretek memenuhi udara. Samar-samar Cempaka juga mencium aroma pekat yang berasal dari tubuhnya. Aroma kemalangan atau ...

"Jangan pikirkan apa pun! Aku harus segera pergi," bisiknya dengan langkah buru-buru di sepanjang lorong losmen itu.

Ia sempat berhenti sejenak. Memasang telinga ketika dari bilik lain terdengar suara langkah berat dan bahasa Belanda yang terdengar keras. Lampu gantung minyak memercikkan nyala kecil saat ia melewatinya.

“Apa yang kau harapkan, Raden?”

“Aku butuh bantuan, Tuanmu.”

Langkah Cempaka berhenti sepenuhnya di balik pintu. Ia seperti pernah mendengar suara pria tersebut, tapi ... di mana?

"Sudahlah, bukan urusanmu menguping pembicaraan orang sepagi ini, Cempaka! Kau punya masalahmu sendiri!"

Begitu sampai di pintu belakang, seorang gadis muda berwajah tegas dengan kebaya cokelat pudar dan jarik lurik langsung menyongsongnya. Wajahnya pucat, matanya membulat penuh cemas.

“Den Ayu... Gusti, apa yang Den Ayu perbuat? Bagaimana bisa sampai di tempat hina ini?” suara Lastri terdengar seperti bisikan marah, tapi juga ketakutan.

Cempaka menahan napas, menatap ke kiri-kanan untuk memastikan tak ada mata yang mengintai.

“Jangan banyak tanya, Lastri. Kita harus segera pulang. Sekarang.”

Lastri mengangguk cepat, lalu mengeluarkan selendang batik dari buntalan di tangannya. “Ini... untuk menutup tubuh Den Ayu. Bajunya—”

“Kau bawakan kebaya sutraku?” potong Cempaka terburu-buru.

Lastri ragu sejenak, lalu menyerahkan lipatan kain halus berwarna biru muda. Cempaka segera menyampirkan selendang itu di bahu, menutupi gaun putih berenda selutut yang masih melekat di tubuhnya—gaun asing yang ia kenakan semalam untuk menyelinap keluar dari kaputren.

Angin laut membawa aroma asin dan sedikit bau amis ikan dari pelabuhan yang tak jauh dari sana. Denting lonceng gereja dari kejauhan menandakan waktu sudah melewati pukul tujuh pagi.

Cempaka menarik napas panjang. Minggu depan ia akan menjadi istri seorang pria pilihan keluarganya. Malam yang ia lalui semalam—dengan seorang pria yang mengaku sebagai pelukis—adalah noda yang tak boleh tercium oleh siapa pun.

“Ayo, Lastri,” bisiknya, “sebelum ada yang melihat...”

Lastri memegang lengannya, membimbingnya menyusuri gang belakang losmen. Langkah mereka cepat, menghindari tatapan para kuli pelabuhan yang sudah sibuk memanggul karung.

Cempaka tak menoleh lagi. Ia takut sekali jika sosok lelaki itu muncul di ambang pintu, memanggilnya dengan bahasa yang tak ingin ia dengar lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Kau Istriku Sekarang!

    Pernikahan tetap berlangsung. Meski tanpa persetujuan mempelai wanita. Tapi, apa gunanya Cempaka bersuara? Keputusan tetap berada di tangan kedua pria yang kini berhadapan dengan penghulu. Gamelan kembali ditabuh meski iramanya terdengar hambar, seperti sekadar mengugurkan kewajiban. Para tamu bangsawan duduk kaku di kursi kehormatan. Sebagian menundukkan kepala, sebagian lagi berbisik di balik kipas tangan. Tak pelak, setelah hari ini gunjingan pasti dengan cepat menyebar di kalangan pergaulan kelas atas. Satu-satunya orang yang tampak gelisah hanyalah sang pengantin perempuan. Wajah perempuan itu lesu. Bahkan ketika Cempaka didudukkan kembali di pelaminan. Wajahnya basah oleh air mata yang sudah dikeringkan buru-buru oleh para pelayan. Senyum yang seharusnya memancar di wajah pengantin wanita tidak pernah muncul. "Tersenyumlah, setidaknya jangan biarkan dirimu terlihat terpaksa di depan banyak orang." "Saya memang dipaksa oleh keadaan, Tuan. Kenapa saya harus berpura-p

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Terima Takdirmu

    “Cukup!” Suara berat penuh wibawa memotong suasana. Membuat suasana kian tegang. Raden Aryotedjo berdiri dari kursi kehormatan. Sorot matanya tajam menyapu seluruh pendapa, membuat para tamu spontan terdiam. Ia lalu menoleh ke putrinya. “Cempaka.” Suaranya bergetar, setengah ancaman, setengah memohon. “Jaga bicaramu. Hari ini adalah hari pernikahanmu. Jangan mempermalukan keluarga di hadapan para tamu, apalagi di hadapan bangsa asing.” Cempaka menoleh, menatap ayahnya dengan mata basah. “Ayah… apa itu lebih penting ketimbang kehormatan putrimu?” suaranya lirih, nyaris tenggelam. “Tidak, yang lebih ingin kudengar sekarang, apa benar Wira… menjualku?” Raden Aryotedjo terdiam. Rahangnya mengeras, namun ia tidak menjawab. Keheningan itulah yang justru menampar Cempaka paling keras. Letnan Rembrandt menyeringai tipis, jelas puas melihat kebimbangan sang adipati. Ia melipat tangan di dada, seolah yakin kebenaran akhirnya akan menampakkan dirinya tanpa perlu ia tambahkan kata apa pun.

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Fakta atau Tipuan?!

    Darah Cempaka seakan berhenti mengalir. Dunia kembali membisu. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, menembus lebih dalam daripada pisau. Menjualmu. Tidak mungkin. Tidak mungkin lelaki yang malam itu datang ke kamarnya, memegang tangannya, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja… akan melakukan ini. Tidak mungkin lelaki yang akan menjadi suaminya tega menukar kehormatannya dengan kekuasaan atau kekayaan. Namun ketika ia kembali menatap ke arah sang ayah—dan mendapati Raden Aryotedjo kembali menghindari pandangannya—Cempaka mulai mengerti. Segalanya bukan lagi miliknya. Tidak kehormatannya. Tidak masa depannya. Bahkan mungkin tidak pula tubuhnya. Semuanya telah diperjualbelikan. Dan hari yang seharusnya menjadi awal kehidupan barunya… kini berubah menjadi penjara yang tak mungkin ia lepaskan. "Bagaimana menurutmu, Tuan Putri? Apa Anda yakin masih memiliki pilihan sekarang?" Kepala Cempaka terasa berat. Ia tak sanggup menjawab. Namun, ia juga tetap berusaha berd

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Hari Pernikahan

    Seorang pria melangkah masuk dengan langkah tegap, diiringi para pengawal Belanda. Tubuh jangkung, seragam militer dengan hiasan emas, mata biru yang menusuk dari kejauhan. Letnan Rembrandt. Keributan kecil terdengar di antara tamu. Bisik-bisik mengalir deras. “Bukan Wiratama… siapa itu? Mengapa yang datang justru serdadu Belanda?” Cempaka membeku. Tangannya mencengkeram erat kain kebaya, wajahnya pucat pasi. Ia ingin bangkit, ingin berteriak bahwa ini semua salah, tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Letnan Rembrandt berjalan semakin dekat, sorot matanya tidak beranjak dari wajah Cempaka. Senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang pernah begitu dekat di malam kelam itu. Juru caraka mengumumkan dengan suara lantang, “Inilah mempelai pria, Letnan Rembrandt, yang atas perintah dan restu Adipati Aryotedjo, akan bersanding dengan Raden Ayu Cempaka.” Pendapa bergemuruh. Sebagian tamu saling berpandangan, sebagian terdiam bingung. Para abdi dalem menunduk dalam-dalam, tak berani bersu

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Menjelang Hari Pernikahan

    Malam itu, rembulan bulat menggantung di langit, memandikan halaman rumah Adipati Aryotedjo dengan cahaya pucat. Cempaka belum juga terlelap. Jantungnya berdegup cepat, seakan setiap dentum menandai waktu yang kian menipis menuju hari besarnya. Ia duduk di sisi ranjang, memeluk lutut, tatapannya kosong ke arah lantai. Bayangan malam itu—tawa kasar serdadu, genggaman dingin Letnan Rembrandt, dan aib yang kini menghantui dirinya—terus muncul. Ketukan lembut di jendela membuat tubuhnya tersentak. Jantungnya melompat ke tenggorokan. Perlahan ia menoleh, lantas membuka jendela kayu yang tertutup tirai sutra. “Wira…” bisiknya terperangah. Pemuda itu memberi isyarat agar ia membuka jendela. Dengan tangan gemetar, Cempaka mendorong bingkai kayu itu, dan seketika Wiratama melangkah masuk dengan gesit. Napasnya teratur, seakan kehadirannya di tengah malam adalah hal biasa. “Maafkan aku, Cempaka,” katanya dengan suara tenang. “Aku tak bisa menunggu esok hari. Aku ingin melihatmu malam ini,

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Persiapan Pernikahan

    Hari pernikahan semakin dekat. Waktu yang terus bergerak terasa seperti beban yang semakin menekan dada Cempaka. Dalam hitungan hari, ia akan dipersunting oleh Raden Wiratama, calon suaminya yang terhormat dan memiliki kedudukan tinggi. Seluruh keluarga dan kerabatnya menanti dengan penuh harapan. Namun bagi Cempaka, hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya, malah terasa seperti jebakan yang tak bisa ia hindari. Pagi itu, di kamar tidurnya yang rapi dan anggun, Cempaka duduk di depan cermin besar perunggu, memandangi dirinya sendiri dengan pandangan kosong. Wajahnya yang pucat memantul jelas di permukaan cermin. Tiba-tiba, ia merasa seperti orang asing yang sedang menatapnya, bukan dirinya yang dulu. Raut wajah yang penuh keraguan, ketakutan, dan kesedihan. Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi simbol kebanggaan, sebuah langkah besar menuju kedudukan dan kehormatan yang lebih tinggi, namun ada sesuatu yang menghantui dirinya. Ada baya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status