Share

Bab 7

"Mas mau tidur di kamar Mbak Rina?" Aku beratanya untuk memastikan bahwa apa yang dia katakan barusan tidak salah.

Tapi jawabannya sungguh di luar ekspektasi.

"Iya, Sayang. Satu malam ini aja. Kamu nggak marah, kan?"

Hampir saja aku menangis dibuatnya. Sampai hati Mas Ahmad ingin membiarkan aku tidur sendiri. Sedangkan dia mau mesra-mesraan sama Mbak Rina. Ya Rabb, apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku?

"Sayang, kamu kenapa diam aja? Kamu nggak apa-apa, kan?" dia mengelus pipiku.

Aku sebenarnya ingin terisak. Air mata ini mulai ingin jatuh dari persembunyiannya. Tapi aku tidak ingin membuat Mas Ahmad kehilangan simpati hanya karena tingkah cengengku. Demi itu, aku membendung air mataku sekuat mungkin.

"Mas sungguh mau tidur sama dia? Bagaimana kalau Mbak Rina masih marah? Dia kan baru aja marah sama kita," pelan-pelan aku berucap. Aku tidak ingin membuatnya menilaiku buruk hanya karena aku tak menyetujui kehendaknya.

"Kamu nggak usah terlalu khawatir. Insyaallah mas bisa menenangkannya. Kayaknya dia juga udah agak tenang sekarang," ucap Mas Ahmad.

"Aku nggak yakin kalo dia bisa tenang secepat ini, " Aku mengulang kembali pendapatku, dengan demikian mudah-mudahan Mas Ahmad bisa mengurungkan niatnya.

"Hmmm... Apa Dek Fika nggak suka kalo mas tidur sama Rina malam ini?"

Eiit.... Dia seperti bisa membaca apa yang terjadi padaku.

"Mmm... Buk.. bukan gitu maksudku, Mas. Tapi sebenarnya aku lebih khawatir kalo dia malah bikin pikiran Mas semakin kacau. Terus terang aku gak mau kalo Mas kenapa-kenapa. Aku nggak mau Mas sakit gara-gara pikiran yang kusut. Gitu maksud aku, Mas," aku menjelaskan panjang lebar.

Aku bisa menjelaskan dengan alasan yang cukup logis, meski jika ingin berkata jujur tentu saja bukan itu alasannya.

Ya, Rabb, aku berusaha sabar atas kelakuan Mbak Rina, racun apa yang sudah ia berikan pada suamiku, hingga membuat suamiku keblinger seperti ini? Kalau tidak digoda habis-habisan, tentu tidak mungkin Mas Ahmad mau ngelonin mbak Rina.

Meskipun harus menanggung rasa sakit hati dan tak rela, tapi tak apa. Untuk kali ini aku bisa berusaha ikhlas. Anggap saja ini sebagai jalan untuk menunjukan pada mereka jika aku memang bisa menghargai siapapun, atau sebagai salah satu caraku untuk menghormati Mbak Rina. Soalnya kalau dipikir-pikir kasihan juga selama kurang lebih tiga bulan ini Mbak Rina harus tidur sendiri. Anggap saja ini sedekah untuknya.

"Kalau Mas mau sama Mbak Rina, aku gak apa, Mas. Aku ikhlas," aku menyandarkan wajahku ke dadanya.

"Terimakasih, Sayang. Kamu memang istri yang baik. Bisa berlapang dada dan sabar atas semua yang terjadi. Sekali lagi makasih, ya," Mas Ahmad mengec*up keningku.

"Gak usah berterima kasih, Mas. Emang udah hakmu untuk membagi malam sama istri-istrimu," meskipun hatiku tak terima, tapi aku tetap memaksakan bibir ini untuk berkata demikian. Sebab bukan karena apa, aku hanya tidak mau Mas Ahmad menganggapku egois.

Dengan hati terbakar cemburu, akhirnya terpaksa juga kurelakan Mas Ahmad untuk pergi menemui istri pertamanya.

Mbak Rina ini memang seringkali berusaha untuk membuatku kesal dan cemburu. Aku yakin, dia pasti memang sengaja membujuk-bujuk Mas Ahmad agar mau menidurinya malam ini. Ngemis kali dia.

Dengan tak banyak bicara aku menutup pintu. Semerbak wangi parfum tercium mengiringi tubuh Mas Ahmad yang keluar dari pintu. Uhhh, sialnya aku. Pasti dia mau buru-buru mencumbui Mbak Rina. Ya ampuun...

Kenapa Mas Ahmad tega mengacuhkanku? Tidakkah dia sadar jika aku ini baru tiga bulan ia nikahi? Kita masih pengantin baru Mas! Sedangkan si Rina, udah bertahun-tahun ia kelon*n, apa dia gak bosan?

Dengan hati yang sakit menerima kenyataan, aku menutup pintu dan langsung menguncinya kembali.

Aku membanting diri ke atas ranjang. Sekarang air mataku menetes dengan bebas. Isak tangisku mulai pecah. Malam ini aku benar-benar kecewa sama Mas Ahmad. Ya, aku kecewa besar. Bagaimana tidak, aku sudah mempersiapkan kostum malam yang kujamin bisa membuat Mas Ahmad nagih berkali-kali, dan aku juga sudah membuat sebuah planning yang bagus untung memuaskan Mas Ahmad malam ini, tapi... Tapi kenyataannya, kenyataannya dia malah mau tidur dengan istri tuanya.

Kulempar ling*rie hitam motif jaring-jaring yang sudah kusiapkan sejak tadi siang. Padahal aku sudah melihat sendiri di cermin kamar kalau betapa cantiknya aku dibalut pakaian haram itu.

Oh ya ampun, ingin rasanya aku menangis lebih keras. Hanya saja aku takut kalau nanti Mas Ahmad mengetahuinya.

Kalau saja Mas Ahmad mau berpikir jernih, justru dia sendiri lah yang rugi karena sudah memilih untuk bermalam sama Rina. Aku tahu, Rina bukanlah istri yang pandai dalam urusan ranj*ng.

Palingan juga malam ini Mas Ahmad hanya akan merasa seperti sedang tidur bersama tong bulat yang hanya bisa ng*ngk*ng doang, tanpa variasi, dan tanpa gaya. Huh rugi sendiri, siapa suruh mengacuhkanku.

Meskipun mulut ini berulang kali mengatakan ikhlas, tapi demi Tuhan, aku sungguh tak bisa terima. Akibatnya, semalaman ini rasanya aku tak bisa tidur. Pikiranku kusut tidak karuan. Bayangkan sendiri, suamiku senang-senang sama Rina di kamar sebelah sana, sedangkan aku disini hanya bisa menahan sakit hati atas perlakuan mereka.

Dengan perasaan kacau, aku keluar kamar. Berniat mencari ketenangan di ruang keluarga atau di ruang tamu.

Aku duduk di sofa ruang tamu dengan lemas, mataku terasa masih sembab, kuharap Mas Ahmad tidak melihatku dalam keadaan seperti ini.

"Ingat, Mas! Hanya malam ini aja kamu bisa sama Rina! Besok-besok, aku gak ajan izinin." dengan lirih, aku berkata pada diri sendiri.

"Apa masih secinta itu kamu sama Rina, Mas?" Jari-jariku saling menggenggam satu sama lain. Hingga menghasilkan bunyi gemeretak lirih. Aku geram.

Aku tak sanggup menahan isak. Aku tahu, aku akan sangat sulit untuk menghentikan tangis ini. Oleh karenanya aku memutuskan untuk kembali saja ke dalam kamar. Aku tak ingin jika hal ini diketahui oleh mereka.

Aku bangkit dan terburu-buru menuju ke kamarku yang luas.

Huuuf...

"Aduuh!" Aku mendadak kaget ketika menyadari ternyata aku baru saja menabrak seseorang.

Spontan aku melihat si pemilik wajah.

Ya Tuhaan...

"Mbak Rinaaa?"

Dengan sangat terburu-buru aku mengelap air mataku yang masih membanjiri pipi, ih najis banget, kenapa malah ada Rina disini, padahal sama sekali aku tidak mengharapkannya untuk ada di saat-saat seperti ini.

"Kamu nangis?" Si sialan itu bertanya.

"Nggak, mataku hanya kejatuhan sesuatu dari langit-langit, Mbak. Maaf ya aku mau ke kamar dulu, aku berkata terburu-buru.

Sementara bibirku berkata, sebenarnya perhatianku jatuh pada pakaian yang melekat di tubuh Mbak Rina. Piyama longgar yang ia kenakan berbahan satin tipis dan terkesan lembut.

Mungkin saja di dalam piyama itu dia malah tidak memakai apa-apa. Rambutnya yang terkesan agak berantakan membuatku berpikir jika mungkin saja dia dan Mas Ahmad baru saja usai bergelut dalam b*rahi. Membayangkannya saja sudah membuatku muak. Aku harus menahan kecemburuan yang besar.

"Jangan cengeng, Fik. Baru aja di biarin semalam sama Ahmad, kamu udah segitunya. Cemburu kok sama istri orang!" Katanya sambil tertawa.

"Apa Mbak bilang?" Aku menghentikan langkah.

"Aku nggak cemburu sama kalian, justru aku lah yang nyuruh Mas Ahmad untuk tidur sama kamu malam ini! Kalo nggak, mana mungkin dia mau tidur sama kamu!" sengaja aku panas-panasin perempuan ini.

"Oh ya? Apa bener?" Rina terlihat tertawa tipis.

Aku tak bisa berkata apa, ingin rasanya ku gamp*r mukanya.

"Fik, Mas Ahmad bilang besok mau ngajak aku buat ke puncak. Rencana mau nginep juga. Kamu nggak apa-apa, kan?" Ia kembali berkata sambil tertawa.

Whattt? Apa yang dia katakan? Mas Ahmad mau ngajak Rina ke puncak? Ngapaiiiin?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status