Pintu kamar terbuka dengan suara klik lembut. Shaz masuk lebih dulu, langkahnya cepat dan berat, seperti menahan badai di dalam dadanya.Tanpa melepas sepatu, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur twin bed, membenamkan wajah di telapak tangan. Bahunya naik turun. Napasnya kasar. Tapi matanya menolak jatuh air mata.“Raheem,” gumamnya lirih. “Kita pergi malam ini juga.”Raheem, yang menyusul dari belakang, menatap sahabatnya dengan cemas.“Shaz, kau harus tenang—”Shaz langsung bangkit, suaranya meninggi, “Aku tidak mau tenang!”Ia berjalan ke koper, menarik resleting dengan kasar. Tangannya gemetar. Dadanya berdegup terlalu keras hingga terasa menyakitkan.“Aku datang ke sini... melewati jarak, waktu, bahkan logika... hanya untuk membuktikan sebuah pengkhianatan istriku sendiri!”Raheem menghela napas pelan. Tapi ia tetap membiarkan Shaz meledak—ia tahu luka itu tidak bisa diredakan dengan nasihat.Shaz berdiri kaku di samping koper. “Kau tahu, di malam pertama pernikahan kami... ada
Tok. Tok.Suara ketukan itu terdengar pelan namun pasti. Di hadapan pintu berwarna kayu tua dengan nomor 7B yang terukir halus di sisinya, dua pria berdiri. Nafas Shaz tertahan, dan Raheem di sampingnya tampak canggung tapi siap siaga.Mereka saling menatap sejenak.Dan kemudian... pintu terbuka.Sosok pria dengan kemeja hitam polos dan tatapan tajam berdiri di sana. Tubuhnya tegap. Alisnya bertaut. Udara di antara mereka mendadak mengeras.“Ada perlu apa?” suara itu tegas, datar, dan nyaris tanpa sopan santun.Shaz terdiam sesaat. Ia tidak mengenali pria ini.“Apa?” ulang Damar, kini dengan nada lebih keras.Shaz—masih mencoba memahami situasi—akhirnya menjawab dalam bahasa Inggris, “Is Alysaa here?”Damar mengernyit. “You both are looking for Alysaa?”Shaz mengangguk pelan, “Yes. I need to speak with her. It's very important.”Damar menyipitkan mata. Senyumnya kaku. “I’m her boyfriend. Why are you looking for my girlfriend?”Shaz membeku.Dunia terasa seperti ambruk dari bawah telap
“Apa tadi kalian bilang… Alysaa?” tanyanya perlahan dalam bahasa Inggris.Keduanya tampak bingung sejenak, tak terlalu fasih.Shaz buru-buru mengambil ponselnya, membuka aplikasi Google Translate, lalu mengetik dengan cepat."Apakah kalian mengenal seorang wanita bernama Alysaa?"Ia menunjukkannya kepada mereka dengan harap-harap cemas. Layar ponsel menyala, terang, seperti secercah harapan kecil di malam yang mulai pekat.Kedua pegawai itu saling berpandangan. Lalu, pelan, mereka mengangguk.“Iya,” jawab salah satu, masih ragu-ragu.Dengan tangan gemetar, Shaz membuka akun Facebook yang sedari tadi jadi petunjuk satu-satunya. Ia menunjukkan foto profil Alysaa.“This… is she?”Yang satu menatap lebih lama. Yang lain melirik sambil berbisik.“Iya… itu dia,” sahutnya akhirnya.“How?” tanya Shaz dengan cemas.Salah satu dari mereka akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih penuh keraguan.Shaz nyaris lemas berdiri.Bibirnya bergerak, nyaris mengucap doa. Tapi tak ada suara keluar. Hanya
Sudah hampir memasuki bulan ke tiga sejak ia sadar bahwa dirinya bukan lagi berada di tahun 2025. Tidak ada Doha, tidak ada pernikahan, tidak ada kehidupan yang ia bangun dengan Shaz. Yang ada hanyalah masa lalu—dan seorang lelaki bernama Damar yang kembali mengisi harinya.Dan, entah kenapa... itu membuat dadanya sesak.Ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi dari WhatsApp.“Sayang, hari ini aku jemput jam 5 sore ya. Setelah pulang kerja, kita makan di tempat biasa. Aku sudah reservasi.”Alysaa membaca pesan itu lama. Tangannya tidak langsung mengetik balasan.Damar. Lelaki baik yang dulu ia tinggalkan tanpa penjelasan karena ia merasa bahwa dirinya tidak bisa mencintai Damar. Damar adalah lelaki yang tak pernah menyakiti, tapi justru ia lukai. Ia tahu Damar bukan orang jahat. Tapi juga tahu, Damar bukan... takdirnya.Ia akhirnya membalas singkat,“Oke, terima kasih ya. Sampai nanti.”Tangannya gemetar saat menaruh ponsel kembali ke meja. Bukan karena gugup, tapi karena firasat yang ta
Hari itu tidak terlalu panas, cuaca yang seperti menggambarkan sebuah salam perpisahan dari tanah kelahiran untuk dua pemuda yang akan menjemput takdir di negeri seberang.Shaz berdiri di beranda rumahnya. Di belakangnya, Mami menyeka air mata di sudut mata, mencoba tampak tegar karena putra kesayangannya akan meinggalkannya lagi. Di sisi lain, Baba berdiri tenang dengan tangan di belakang punggung, menatap anak laki-lakinya dengan sorot bangga.“Jangan lupa sholat, dan jaga Raheem juga. Dia seperti anak kami juga,” pesan Mami, suaranya sedikit parau.Shaz mengangguk, lalu membungkuk memeluk Maminya, mencium tangannya lama. “Mami, doakan aku. Bukan hanya soal pekerjaan... tapi untuk semua bagian dari hidupku.”Baba menepuk bahunya, lalu menyerahkan sebuah dompet kulit tua. “Ini milikmu dulu saat pertama kali ke Qatar. Anggap ini keberuntungan.”Di sisi lain, keluarga Shah juga sudah berkumpul. Paman Imran memberi pelukan kaku khas pria-pria tua dan Bibi Zeenat berulang kali menyelipkan
Shaz terbangun dalam keadaan berkeringat, napasnya berat. Tapi yang membuat jantungnya nyaris meledak bukan mimpi buruk... mimpi yang terasa begitu nyata dan tampak di hadapannya.Alysaa.Wajah itu. Senyum itu. Tatapan lembut yang sudah lama sekali hanya tinggal dalam ingatannya, kini nyata di depan matanya."Alysaa... sayangku?" suaranya nyaris tak terdengar, seperti gumaman seorang pengembara yang haus melihat oasis.Tanpa menjawab, Alysaa menatapnya dalam. Senyumnya menggigilkan sendi. Lalu, tanpa peringatan, ia meraih wajah Shaz dan melumat bibirnya dalam ciuman yang penuh kerinduan. Shaz membalas dengan gemetar, seperti pria yang akhirnya menemukan pelabuhan setelah badai panjang."Apakah ini mimpi?" gumamnya di sela-sela ciuman, tangannya tak sadar membelai rambut panjang istrinya yang masih terasa harum seperti yang ia kenang.Alysaa hanya membalas dengan ciuman lain, lebih dalam, lebih panas. Kerinduan mereka meledak seperti dentuman dalam keheningan. Shaz memeluknya, mendekap