Matahari baru menembus tirai tipis di kamar mereka. Cahaya keemasan jatuh tepat di sisi tempat tidur Alysaa, menyilaukan kelopaknya yang perlahan terbuka.
Di sebelahnya, Shaz sudah bangun sedang mengenakan kemeja putih dan celana kerja abu gelap, rambutnya basah dan sisirnya masih tergantung di telinga. “Pagi,” sapa Shaz, suaranya datar. Alysaa mengangguk, ia keluar dari kamar mandi dengan menggunakan mini dress yang memperlihatkan lekuk tubuh sexynya . “Pagi. Sarapan sebentar, ya? Aku buatkan.” Shaz hanya mengangguk tanpa tersenyum, lalu melirik jam tangannya. Ia mengancing kemeja dengan cepat, memasukkan kunci mobil ke dalam saku, dan berjalan menuju dapur. Alysaa mengikuti di belakangnya, mengambil piring dan menyajikan telur orak-arik, roti panggang, dan secangkir teh hangat. Semuanya disusun rapi di meja makan marmer. “Kalau kamu mau, nanti siang aku bisa belanja, isi kulkas. Biar kita nggak makan dari luar terus,” ucap Alysaa sambil duduk. Shaz hanya menjawab dengan satu anggukan. Ia duduk, mengambil setengah potong roti, menggigitnya perlahan. Lalu bangkit sebelum sempat menghabiskan separuhnya. “Aku pergi dulu.” Alysaa menoleh, menatapnya. “Nggak... ada cium selamat pagi?” Shaz berhenti di ambang pintu, membalikkan badan, tapi hanya tersenyum kecil. Bukan senyum yang menyentuh, bukan yang ia harapkan. “Nanti malam ya, assalamualaikum,” katanya datar. Lalu pergi. Pintu tertutup pelan. Tapi bunyinya di telinga Alysaa seperti dentuman. “Waalaikumsalam.” Jawab Alysaa perlahan. Setelah membersihkan piring dan merapikan meja, Alysaa berjalan pelan menyusuri apartemen. lni hari pertamanya sendirian di tempat ini. Di rumah suaminya. Tempat yang seharusnya menjadi rumahnya juga. Tangannya menyusuri dinding lorong kecil yang mengarah ke satu pintu tertutup. Saat dibuka, tampak sebuah ruang kerja sederhana, rak-rak kayu tinggi yang penuh buku hardcover dan majalah desain. Meja kerja dari kayu walnut dengan laptop dan tumpukan dokumen, serta aroma khas buku tua yang menguar. Alysaa tersenyum kecil. Ia selalu suka buku. Di rumahnya di Bandung, ia punya rak sendiri yang penuh novel dan jurnal. Matanya menyapu rak buku milik Shaz, ia mulai menyentuh punggung-punggung buku yang tersusun rapi. “Business in Middle East Markets”, “The Art of Strategic Silence”, “Qur’an and the Modern Mind”... Buku-buku itu mencerminkan suaminya yang serius, tertutup, logis. Namun, saat tangannya menarik satu buku tebal berjudul “Cultural Crossings in Marriage”, terdengar suara benda kecil terjatuh di belakang rak. “Apa ini…” Alysaa meraih celah di antara dua baris buku dan menemukan sebuah kotak kayu. Warnanya gelap, berdebu, dan agak berat saat diangkat. Perasaannya mulai tak enak. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia membuka kotak itu. Hanya sedikit udara yang keluar, tapi cukup untuk menyesakkan dadanya. Di dalamnya ada tumpukan foto polaroid dan cetakan digital, beberapa mulai memudar. Di setiap fotonya, Shaz tampak lebih muda, tapi tak kalah memesona. Namun, di sebelahnya... ada seorang perempuan cantik berambut cokelat keemasan, bermata tajam dan berkulit putih pucat. Mereka terlihat tertawa. Berpelukan. Duduk di taman, di restoran mewah, dan bahkan di sebuah sofa dengan pelukan erat yang nyaris terlalu intim untuk dilihat siapa pun selain mereka sendiri. Alysaa meraih satu foto yang berada paling atas. Di pojoknya tertulis dengan tinta hitam. "Jazzlyne, my love." Jantungnya seperti berhenti sejenak. Jazzlyne. Nama itu belum pernah ia dengar. Tapi dari cara huruf-huruf itu ditulis, dari setiap posisi tubuh dalam foto-foto itu jelas ini bukan sekadar teman lama. Ini... cinta. Perlahan, kotak itu terasa berat di pangkuannya. Ia meletakkan foto-foto itu satu per satu di atas meja kerja. Semuanya memiliki benang merah. Mata Shaz terlihat lebih hidup dalam foto-foto itu. Ia tersenyum bukan sekadar formalitas. Ia memeluk, menatap, bahkan mencium dahi wanita itu dalam satu foto yang terasa terlalu mirip dengan tadi malam. Alysaa menutup kotak itu kembali. Tapi kenangan yang ia buka... tak bisa dikunci kembali. Ia bangkit, berjalan kembali ke ruang tamu dengan langkah tak tentu arah. Matanya mulai memanas. Kepalanya penuh pertanyaan. Tangannya ingin menghapus semua itu dari pikiran, tapi bayangan senyum Shaz ke wanita itu, senyum yang belum pernah ia lihat sejak mereka menikah menghantui. Ia terduduk di sofa. Hening. Lalu menunduk, menatap cincin di jari manisnya. “Kenapa kamu nggak pernah tersenyum ke aku... seperti kamu tersenyum ke dia?” gumamnya. Hatinya gemetar. Ini bukan soal kecemburuan. Tapi soal kenyataan. Ada ruang di hati Shaz yang belum pernah ia masuki. Alysaa duduk diam di sofa ruang tamu. Jari-jarinya masih bermain di permukaan cangkir teh yang sudah dingin. Tapi bukan teh itu yang membuat tenggorokannya terasa pahit. Ia kembali memikirkan foto-foto tadi. Tatapan mata Shaz yang begitu hidup dalam pelukan perempuan bernama Jazzlyne hangat, bebas, penuh cinta. Tatapan yang tak pernah ia temui dalam pelukan mereka sendiri, bahkan saat tubuh mereka menyatu malam sebelumnya. Bahkan ketika dia mengucap 'aku mencintaimu', aku tidak merasakan itu sampai ke jantungku..., pikirnya getir. Ia menyandarkan kepala ke sofa, matanya menatap langit-langit apartemen itu yang mewah tapi kosong. Lalu tanpa sadar, bisikannya lolos, lirih namun jelas, “Apa aku hanya... pelarian?” Alysaa memejamkan mata. Tangannya menggenggam erat bantal kecil di sebelahnya. “Kalau kamu benar-benar mencintaiku, Sayang,” bisiknya lagi, “kenapa kamu tak pernah mencintai aku... seperti kamu mencintainya?” Pukul lima sore, pintu apartemen terbuka. Alysaa bangkit dengan cepat dari sofa, menegakkan tubuhnya, berusaha menyembunyikan sisa perasaannya. Shaz masuk sambil membawa buketan besar berisi tiga puluh tangkai mawar merah yang terbungkus rapi dalam kertas hitam doff. Wajahnya tampak cerah, jarang-jarang pulang lebih awal. “Sayang,” ucapnya pelan, berjalan mendekat, “aku pulang lebih cepat hari ini. Aku tahu kamu mungkin merasa canggung sendirian di rumah... jadi aku pikir, kenapa nggak kasih kejutan sedikit?” Ia mengulurkan buket mawar itu dengan senyum yang dipaksakan lembut. Tapi senyum itu tak mendapat sambutan. Alysaa menatap buket mawar itu lama. Sangat lama. Lalu akhirnya berkata, “Aku nggak suka mawar merah.” Shaz berkedip, ekspresinya langsung berubah. “Kamu... nggak suka?” “Bunga favoritku lili putih. Aku pernah cerita.” Shaz terdiam. Tangannya turun perlahan. “Maaf... aku pikir kamu suka mawar.” Alysaa memeluk tubuhnya sendiri, lalu tersenyum tipis tapi pahit. “Atau mungkin... kamu pernah membelikan mawar merah itu untuk perempuan lain. Dan hari ini kamu pikir aku juga akan tersenyum seperti dia.” Shaz menatap Alysaa tajam. Matanya seperti mencari tahu maksud sebenarnya dari ucapan itu. “Apa maksudmu?” tanyanya, nada suaranya lebih berat. “Sayang, kenapa kamu bicara begini?” Alysaa tak langsung menjawab. Ia hanya menatap suaminya lama, sunyi, nyaris menyedihkan. “Aku cuma merasa... kamu tersenyum lebih tulus di masa lalu dibandingkan hari ini. Bahkan saat bersama perempuan yang... bukan aku.” Shaz memicingkan mata. “Sayangku, kamu kenapa? Apa maksudnya semua ini?” Ia mendekat, meletakkan bunga itu di meja. “Apa ini tentang aku tadi pagi? Aku terburu-buru. Tapi aku pulang lebih awal, aku mau menebusnya. Kenapa kamu jadi dingin?” Alysaa menahan air matanya agar tak tumpah. Tapi luka di hatinya mulai menuntut untuk diungkap. Ia menatap suaminya tajam, lalu berkata pelan, “Aku cuma ingin tahu... saat kamu menikahiku, apa kamu benar-benar sudah selesai dengan masa lalumu?” Shaz tercenung. Sorot matanya berubah seketika. Dan sebelum sempat ia menjawab... Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku. Ia mengangkat. “Hello?” Diam beberapa detik. Lalu nada suaranya berubah panik, serius. “What? Now??” Alysaa memperhatikan perubahan ekspresi Shaz dengan detak jantung yang mulai tak karuan. Shaz menutup telepon, lalu mengambil jasnya cepat-cepat. “Ada apa?” tanya Alysaa. Tapi Shaz tak menjawab. Ia hanya berkata, “Aku harus pergi. Urgent. Tunggu aku di rumah.” “Shaz, siapa itu?” Shaz menatap Alysaa dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Dia butuh aku.” Dan pintu pun tertutup kembali. Meninggalkan Alysaa terpaku. "Dia?" Pikiran Alysaa kembali di penuhi curiga, rasa jengkel dan dadanya kembali sesak saat suaminya mengatakan kata “Dia”.Pagi di Kuala Lumpur menari perlahan lewat cahaya matahari yang menyusup di sela tirai putih apartemen. Aroma kopi menyebar dari dapur, sementara Raheem sibuk di meja makan dengan laptop terbuka, beberapa berkas proyek berserakan di sisinya.Shaz muncul dari balik lorong kamar, rapi dengan kemeja biru laut dan jas biru dongker yang elegan. Ia mengenakan jam tangan di pergelangan kirinya, wajahnya bersih, tatapannya seperti biasa—tenang, tapi masih menyimpan musim yang belum berlalu.“Shaz, kau akan pulang malam hari ini?” tanya Raheem tanpa menoleh, masih sibuk membaca dokumen izin bangunan di layar.Shaz merapikan lengan jasnya setelah memasang jam tangan. “Belum tahu, lihat saja nanti. Kenapa?”Raheem mengangguk pelan. “Hanya bertanya.”Shaz duduk sejenak sambil memeriksa notifikasi di ponselnya.Raheem akhirnya menoleh dan tersenyum. “Restoran milikku, Raheem’s Briyani House sepertinya akan segera mulai dibangun bulan depan. Semua perizinan hampir rampung. Tinggal satu tanda tangan
Angin sore berhembus ringan, menyapu dedaunan palem yang berjejer rapi di sisi luar hotel berarsitektur kolonial modern itu. Bangunannya enam lantai, dengan jendela-jendela besar berbingkai kayu putih dan balkon-balkon kecil berisi kursi rotan tua yang tampak usang namun elegan.Begitu taksi berhenti di depan lobi, ketiga perempuan itu turun dengan langkah pelan. Tas-tas mereka terseret ringan di permukaan jalan berbatu yang tertata rapi.Alysaa menatap bangunan itu beberapa detik. Matanya menyisir sisi-sisi jendela yang tampak kosong.“Bagus sih… tapi sepi banget,” gumam Maya sambil membuka kacamata hitamnya.Alysaa terkekeh, “Kalau kita bawa Jena ke sini, pasti tiba-tiba dia nunduk sambil merinding.”Radya langsung tertawa, “Iya, ngeliat setan dia nanti! Terus langsung nangis bilang auranya beda!”Maya menoleh tajam sambil setengah tersenyum, “Hushh, jangan ngomong sembarangan, ya.”“Kenapa?” Radya menaikkan alis iseng.“Gak boleh gegabah kalau ngomong, apalagi di tempat asing,” jawa
Di balkon apartemen, Shaz duduk diam. Tangan kirinya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, sementara matanya menerawang jauh menembus kabut pagi. Sudah seminggu sejak malam itu di apartemen Nalinee, tapi hatinya tetap tidak tenang.Hujan semalam masih menyisakan embun di pagar balkon. Dan di dada Shaz, masih tertinggal kabut rindu yang tak pernah reda.Di dalam, Raheem berdiri sambil menggulir layar ponselnya. Wajahnya bimbang. Ia sudah menimbang hal ini berhari-hari—dan akhirnya ia memutuskan: Shaz tak bisa terus seperti ini.Ia membuka akun Facebook-nya. Jempolnya berhenti di satu nama yang sudah lama ia curigai, yang sering dilihat Shaz diam-diam. Ia menatap foto profil itu lama.Alysaa S. Ramadhani.Raheem menekan tombol Message.Inbox FacebookRaheemAssalamualaikum, Alysaa.Maaf kalau aku tiba-tiba menghubungi kamu seperti ini. Aku tahu kamu mungkin tidak mau tahu apa-apa tentang Shaz lagi. Tapi… izinkan aku bicara sebentar. Aku Raheem — sahabat dekatnya sejak kecil.Aku k
Begitu menjejakkan kaki di KLIA2, angin pagi mengusap wajah Shaz—tapi ia tidak bergeming. Tak ada rindu, tak ada lega. Hanya ruang kosong di dadanya yang terasa semakin luas.Wajah itu… kosong.Tak ada lagi kilau harapan yang dulu menyala di matanya. Yang ada hanya tatapan mati—tajam tapi hampa, seperti pria yang kehilangan sesuatu yang bahkan tak bisa ia sebut namanya.Raheem berjalan di sebelahnya, sesekali melirik Shaz dengan khawatir. Tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ada duka yang terlalu rumit untuk dibahas saat ini.Hari-hari berikutnya…Shaz memulai hari-hari barunya di Mora Global Malaysia. Kantor megah di jantung Kuala Lumpur, dengan jendela kaca tinggi dan ruangan bergaya Skandinavia modern. Ia tampil prima. Jas rapi, langkah tenang, tutur kata yang penuh kharisma.Tapi semua itu hanya... topeng.Setiap malam, Shaz duduk diam di balkon apartemen mereka, menatap lampu-lampu kota sambil menenggak kopi pahit yang tak pernah habis. Dan saat pagi datang… dia kembali ke kantor, men
Pintu kamar terbuka dengan suara klik lembut. Shaz masuk lebih dulu, langkahnya cepat dan berat, seperti menahan badai di dalam dadanya.Tanpa melepas sepatu, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur twin bed, membenamkan wajah di telapak tangan. Bahunya naik turun. Napasnya kasar. Tapi matanya menolak jatuh air mata.“Raheem,” gumamnya lirih. “Kita pergi malam ini juga.”Raheem, yang menyusul dari belakang, menatap sahabatnya dengan cemas.“Shaz, kau harus tenang—”Shaz langsung bangkit, suaranya meninggi, “Aku tidak mau tenang!”Ia berjalan ke koper, menarik resleting dengan kasar. Tangannya gemetar. Dadanya berdegup terlalu keras hingga terasa menyakitkan.“Aku datang ke sini... melewati jarak, waktu, bahkan logika... hanya untuk membuktikan sebuah pengkhianatan istriku sendiri!”Raheem menghela napas pelan. Tapi ia tetap membiarkan Shaz meledak—ia tahu luka itu tidak bisa diredakan dengan nasihat.Shaz berdiri kaku di samping koper. “Kau tahu, di malam pertama pernikahan kami... ada
Tok. Tok.Suara ketukan itu terdengar pelan namun pasti. Di hadapan pintu berwarna kayu tua dengan nomor 7B yang terukir halus di sisinya, dua pria berdiri. Nafas Shaz tertahan, dan Raheem di sampingnya tampak canggung tapi siap siaga.Mereka saling menatap sejenak.Dan kemudian... pintu terbuka.Sosok pria dengan kemeja hitam polos dan tatapan tajam berdiri di sana. Tubuhnya tegap. Alisnya bertaut. Udara di antara mereka mendadak mengeras.“Ada perlu apa?” suara itu tegas, datar, dan nyaris tanpa sopan santun.Shaz terdiam sesaat. Ia tidak mengenali pria ini.“Apa?” ulang Damar, kini dengan nada lebih keras.Shaz—masih mencoba memahami situasi—akhirnya menjawab dalam bahasa Inggris, “Is Alysaa here?”Damar mengernyit. “You both are looking for Alysaa?”Shaz mengangguk pelan, “Yes. I need to speak with her. It's very important.”Damar menyipitkan mata. Senyumnya kaku. “I’m her boyfriend. Why are you looking for my girlfriend?”Shaz membeku.Dunia terasa seperti ambruk dari bawah telap