Pintu apartemen menutup untuk kedua kalinya hari itu. Tapi kali ini, tak ada angin semilir yang menemani. Tak ada kehangatan, tak ada penjelasan. Hanya sisa aroma mawar merah yang kini terasa seperti ejekan.
Alysaa berdiri di tengah ruangan, membatu. Matanya menatap lurus ke pintu yang sudah tertutup, seolah berharap Shaz akan kembali dan berkata, "Aku bercanda, Sayang, aku nggak ke mana-mana." Tapi itu tak terjadi. Tangannya gemetar saat ia memegang sandaran kursi. Dada sesak. Lidah kelu. Air mata menetes, tanpa isak, hanya diam yang berat. “Siapa yang bisa sepenting itu… sampai aku ditinggal saat sedang terluka begini?” pikirnya. Dalam benaknya, hanya satu nama yang terlintas yaitu Jazzlyne. Ia kembali ke ruang kerja. Kotak kayu yang tadi pagi sempat ia rapikan, kini dibuka lagi. Foto-foto Jazzlyne dan Shaz berserakan di atas meja. Tatapan mata Shaz dalam foto-foto itu terasa terlalu jujur. Terlalu hidup. Terlalu... bukan untuknya. “Bahkan saat kita tidur bersama… dia tidak pernah menatapku seperti itu,” gumamnya lirih. Ia mengambil satu foto, meremasnya, tapi tak sampai merobek. Ia hanya menggenggamnya erat di dada. Rasa sakit itu berubah menjadi dorongan “aku harus tahu siapa dia sebenarnya.” Di kamar, Alysaa membuka laptopnya. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard. Jazzlyne Marques. Portugal. Ia mengetik nama itu di kolom pencarian. I*******m, F******k, LinkedIn. Muncul satu profil yang sangat cocok. Akun I*******m terbuka, jumlah pengikut tak banyak, namun penuh foto estetik: bunga, kafe, seni, dan wajah cantik perempuan berambut cokelat keemasan. Alysaa memelototi tiap unggahan. Jantungnya berdetak lebih kencang saat melihat nama “Shaz” di kolom like salah satu foto tahun 2024. Tahun lalu. Foto itu sederhana. Jazzlyne sedang tersenyum, duduk di balkon sebuah apartemen di Lisbon, mengenakan gaun putih yang jatuh lembut di tubuhnya. Dan di antara ratusan orang yang menyukai foto itu, satu nama terpampang jelas yaitu “@shaz.manakandathil liked this.” Alysaa terpaku. Waktu itu, Shaz sudah menjadi kekasihnya. Mereka bahkan sedang membicarakan pernikahan. Namun tidak ada satu pun fotonya bersama Alysaa yang pernah mendapatkan like dari pria itu. Bahkan ketika ia pernah mengunggah potret mereka di Bali, atau saat Shaz datang melamar. “Jadi aku bukan seseorang yang pantas dibanggakan? Bahkan di sosial media?” Tangannya mencengkeram sisi laptop. Nafasnya tak beraturan. Ia menelusuri lebih jauh. Ke F******k. Ke foto-foto lama. Shaz dan Jazzlyne berdiri di depan katedral. Senyum mereka cerah. Komentar-komentar penuh pujian. Di pegunungan salju, berpelukan dalam jaket tebal. Makan malam dengan lilin di sebuah restoran Eropa. Semuanya... terlalu intim. Terlalu utuh. Terlalu dalam. Lebih dalam dari apapun yang pernah ia rasakan bersama Shaz. Alysaa tak bisa lagi menahan tangis. Tubuhnya menggigil. Ia memeluk lututnya di atas tempat tidur, menyembunyikan wajah di antara lengan. “Harusnya aku dengarkan instingku dulu... Harusnya aku tahu dari awal bahwa cinta ini sepihak. Dia tidak pernah mencintaiku” Pernikahan yang ia pikir sakral, nyatanya tak cukup untuk menghapus bayang masa lalu Shaz. Bahkan tak cukup untuk membuat Shaz mencintainya sepenuh hati. Ia menatap cincin kawinnya lagi, kali ini dengan rasa muak yang sulit dijelaskan. Lalu, ia berkata pelan dengan suara pecah namun jelas. “Apa aku cuma pengganti saat dia tak bisa dimiliki?” Saat malam mulai menelan langit Doha, Alysaa berdiri di depan jendela. Lampu kota berkilau di bawah sana, tapi cahaya di dalam hatinya meredup. Kemudian terdengar suara pintu apartemen terbuka. Shaz kembali. Langkah kakinya terdengar terburu, seperti orang yang mencoba mengatasi sesuatu yang salah. Alysaa tak bergerak. Masih memandangi langit yang kelam dari balik kaca. Shaz berdiri di ambang pintu kamar, napasnya belum teratur. Wajahnya tampak lelah, tapi ada kecemasan di sana yang sulit disembunyikan. “Sayang... aku minta maaf.” Alysaa masih menatap lampu-lampu kota dari balik jendela. Tidak menjawab. Tidak menoleh. Hanya diam yang menggantung di antara mereka. Shaz melangkah pelan, lalu memeluk istrinya dari belakang. Tangannya melingkari pinggang Alysaa dengan erat, seperti ingin menahan seseorang yang hendak pergi jauh. “Tadi salah satu store Ravelleux di Mall of Qatar tiba-tiba bermasalah. Sistem stock nama rusak, barcode-nya kacau. Bosku panik, aku harus turun langsung. Aku nggak bisa tolak.” Alysaa masih tak bergerak. Matanya berkaca, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Tangannya terkulai di sisi tubuh. Pelukan itu hangat, tapi... tak sampai ke hatinya. “Maaf aku ninggalin kamu kayak gitu tadi,” lanjut Shaz, suaranya mulai pelan. “Aku nggak tahu kamu sedang selemah itu hari ini.” “Selemah itu?” pikir Alysaa. Alysaa menutup matanya sesaat, mencoba menahan emosi yang ingin pecah. Ia ingin berkata banyak tentang foto-foto, tentang like di I*******m, tentang Jazzlyne yang namanya seperti menghantui tiap jeda napasnya. Tapi mulutnya terkunci. Bukan karena tak berani... tapi karena terlalu kecewa untuk bicara. Shaz mempererat pelukannya. Dagu lelaki itu bertumpu di pundaknya sekarang. “Kamu diam terus,” gumamnya. “Kamu masih marah?” Alysaa menjawab, kali ini lirih, datar, dan nyaris tanpa rasa: “Aku cuma... kosong.” Shaz terdiam. Alysaa melepas diri dari pelukannya perlahan. Ia melangkah menjauh, lalu duduk di ujung ranjang. Tangannya saling meremas, berusaha menahan tubuhnya untuk tetap terlihat tenang. “Aku nggak marah,” katanya kemudian. “Aku cuma... mulai nggak tahu bagaimana cara merasakan kamu lagi.” Shaz berdiri terpaku. Seperti tak mengerti apa yang sedang terjadi. Seperti sedang melihat perempuan yang selama ini ia peluk, perlahan menjauh tanpa alasan yang bisa ia pahami. Alysaa mengangkat wajah, menatapnya. Kali ini matanya tak menangis, tapi justru lebih menyakitkan, dingin, nyaris pasrah. “Kalau kamu punya rahasia,... simpan saja baik-baik. Aku tidak akan tanya,” ucapnya pelan. Shaz mengernyit, bingung. “Rahasia? Apa maksudmu?” Alysaa berdiri, menepuk bahunya pelan, lalu berkata “Aku cuma minta satu hal... jangan biarkan aku jatuh terlalu dalam kalau kamu memang nggak niat menangkapku.” Shaz menatapnya lekat-lekat, tapi sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Alysaa melangkah ke kamar mandi, menutup pintu perlahan. Dan di dalam, ia membiarkan tubuhnya bersandar ke dinding, matanya akhirnya basah. Di luar, Shaz berdiri lama dalam keheningan. Tak tahu, bahwa untuk pertama kalinya... Alysaa mulai benar-benar menjauh, walau belum melangkah pergi.Hari-hari berjalan pelan, seperti jarum jam yang enggan bergerak. Shaz duduk di kursi rodanya, menatap layar ponsel dengan mata sayu. Pesan yang ia kirim ke Alysaa beberapa hari lalu masih tetap sama—seen, tapi tak berbalas. Sesekali ia membuka ulang, berharap ada notifikasi baru, berharap ada titik-titik tanda balasan yang muncul. Namun hening.Nomornya masih diblokir. Jalan menuju Alysaa seakan tertutup rapat.Shaz menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. Ia ingat betul—di kehidupan sebelumnya, ia memang pernah berselingkuh di belakang Alysaa. Ia tahu dosanya, ia tahu betapa kejamnya kesalahan itu. Namun Alysaa tidak pernah mengetahui saat itu.“Lalu… kenapa di kehidupan ini, kau mengetahuinya, Al?” suaranya pecah, lirih, seakan bertanya pada dinding putih kamarnya. “Apakah aku ditakdirkan hanya untuk terus kehilanganmu, di kehidupan manapun aku berada?”Air matanya jatuh, menodai kain selimut rumah sakit yang kini sudah diganti dengan kasur apartemen tempat ia tinggal.
Beberapa hari kemudian, cahaya matahari Doha menembus kaca rumah sakit Rumailah General Hospital . Di koridor, kursi roda Shaz berderit pelan, didorong perlahan oleh Baba. Garis kerut di kening Baba semakin dalam, tapi genggaman tangannya di pegangan kursi roda terasa kokoh, penuh cinta dan kekuatan seorang ayah.Shaz hanya menunduk. Tubuhnya lemah, tapi yang jauh lebih berat adalah hatinya. Ada ruang kosong yang terus menganga—nama itu, wajah itu, Alysaa. Ia merogoh kantong bajunya, mencoba memastikan ponselnya ada, seakan berharap pesan itu tiba-tiba masuk. Tapi tetap kosong, hampa.Di lobi rumah sakit, Mami sudah menunggu bersama Sharah, Faheem, dan Fateema yang berlari menghampiri. “Paman, paman sudah boleh pulang!” serunya riang, pelukannya melingkari kaki Shaz yang masih lemah.Shaz berusaha tersenyum, meski suaranya serak. “Iya… paman pulang sekarang.”Sharah mendekat, menunduk meraih tangan adiknya, lalu mengecup keningnya. “Kamu bikin semua orang panik, Shaz. Jangan pernah be
Suara tangisan tertahan memenuhi ruang perawatan. Shaz masih terbaring lemah, napasnya tersengal, matanya terus mencari sesuatu yang tak ada di sana. “Alysaa… Alysaa…” panggilnya, berulang-ulang.Mami yang berdiri paling dekat, menggenggam tangan putranya erat-erat. “Shaz, Nak… tenanglah. Siapa itu Alysaa?” suaranya bergetar, penuh cemas.Baba melangkah mendekat, menepuk bahu istrinya seakan ingin menenangkan. Tapi wajahnya pun sama bingungnya. Sharah menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca, sementara Fateema justru menatap paman kesayangannya dengan polos, tak mengerti.Seorang dokter berjas putih memeriksa denyut nadi Shaz, lalu menatap keluarga dengan nada profesional namun lembut. “Tidak perlu panik. Dalam kondisi trauma, wajar jika pasien menyebut nama seseorang yang sangat berarti baginya. Ini biasanya respon bawah sadar—sebuah memori emosional yang kuat.”Semua terdiam, saling pandang, menyerap kata-kata itu. Nama Alysaa kini bukan sekadar bunyi asing; ia menjadi misteri yang
Gelap itu belum sepenuhnya hilang. Shaz merasa seolah dirinya masih terperangkap di antara batas hidup dan mati. Namun samar-samar, suara-suara mulai menembus ruang hampa itu, seperti gema jauh yang perlahan mendekat.“Dokter… bagaimana keadaan putra saya?” suara seorang perempuan paruh baya bergetar, terdengar begitu familiar. Mami. Nada khawatirnya menusuk telinga Shaz, seakan mencoba menariknya kembali dari kehampaan.“Keadaannya masih kritis, madam,” jawab seorang perawat dengan suara formal, sedikit tertahan. “Kami sudah berusaha menjaga stabilitasnya, tapi kami butuh waktu untuk melihat respon berikutnya.”“Dia anak lelaki kami satu-satunya,tolong selamatkan dia,” suara Baba kini terdengar, tegas namun penuh luka. “Apapun yang terjadi… tolong selamatkan dia. Saya mohon.”Langkah-langkah tergesa. Hembusan napas tertahan. Lalu suara tangis tertahan yang sangat dikenalnya. Kakak-kakaknya.“Shaz… adikku… kenapa sampai seperti ini?” suara sang kakak perempuan terisak, suaranya pecah.
Ruang gawat darurat dipenuhi kepanikan. Dentuman suara monitor jantung, teriakan instruksi dokter, dan langkah tergesa para perawat bercampur menjadi satu. Tandu yang membawa Shaz didorong cepat masuk, tubuhnya lemah, pucat, dan hampir tak bergerak.“Pressure’s dropping fast! 60 over 40!” seru seorang perawat sambil menatap layar monitor.“Get me two liters of normal saline, now! Cepat!” dokter jaga memberi instruksi, tangannya cekatan memasang infus di lengan Shaz yang penuh darah. Jarum masuk, cairan mulai mengalir deras.“Respirasi makin lemah, Dok!” seru perawat lain yang menempelkan stetoskop ke dada Shaz.“Ambu bag, cepat! Kita bantu ventilasi!” seorang perawat segera memasang masker oksigen dan memompa udara ke paru-paru Shaz. Dadanya naik turun pelan, tapi sangat lemah.Raheem berdiri terpaku di balik kaca ruang IGD, wajahnya pucat, tangannya mengepal. Ia melihat tubuh Shaz yang semakin tak berdaya, hanya bergantung pada alat medis dan tangan-tangan sibuk para dokter.“Pulse i
Hari-hari berlalu, tapi bagi Shaz, waktu terasa seperti berhenti. Ia mencoba beraktivitas seperti biasa—makan, bekerja, berbicara dengan orang—namun semua dilakukan setengah hati. Senyumnya hilang entah kemana, tatapannya dingin seperti langit mendung yang tak pernah memberi sinar.Malam itu, ia pulang ke rumah dengan langkah berat. Raheem yang sedang duduk di ruang tamu langsung bangkit.“Shaz, kau pulang…!” ucapnya.Shaz hanya menoleh sekilas, tidak menjawab. Wajahnya tak menunjukkan rasa ingin tahu atau kelelahan—hanya datar.Raheem menghela napas, lalu menyodorkan ponselnya. “Kau harus lihat ini.”Shaz menerima ponsel itu. Satu ketukan layar, dan ia melihat sebuah postingan Facebook pada akun Alysaa. Di sana tertulis: Resmi menjadi istri dari Damar Indra Prasetya.Ada foto mereka berdiri di pelaminan, senyum bahagia terpancar. Bahkan ada video singkat saat akad nikah berlangsung—suara ijab kabul Damar terdengar jelas.Shaz terdiam.Memori itu langsung menghantamnya—mengingat hari