Home / Rumah Tangga / Tak Pernah Aku tak Mencintaimu / Bab 3 – Namanya Jazzlyne

Share

Bab 3 – Namanya Jazzlyne

Author: Sofia Saarah
last update Last Updated: 2025-06-06 22:10:51

Pintu apartemen menutup untuk kedua kalinya hari itu. Tapi kali ini, tak ada angin semilir yang menemani. Tak ada kehangatan, tak ada penjelasan. Hanya sisa aroma mawar merah yang kini terasa seperti ejekan.

Alysaa berdiri di tengah ruangan, membatu. Matanya menatap lurus ke pintu yang sudah tertutup, seolah berharap Shaz akan kembali dan berkata, "Aku bercanda, Sayang, aku nggak ke mana-mana."

Tapi itu tak terjadi.

Tangannya gemetar saat ia memegang sandaran kursi. Dada sesak. Lidah kelu. Air mata menetes, tanpa isak, hanya diam yang berat.

“Siapa yang bisa sepenting itu… sampai aku ditinggal saat sedang terluka begini?” pikirnya.

Dalam benaknya, hanya satu nama yang terlintas yaitu Jazzlyne.

Ia kembali ke ruang kerja. Kotak kayu yang tadi pagi sempat ia rapikan, kini dibuka lagi. Foto-foto Jazzlyne dan Shaz berserakan di atas meja.

Tatapan mata Shaz dalam foto-foto itu terasa terlalu jujur. Terlalu hidup. Terlalu... bukan untuknya.

“Bahkan saat kita tidur bersama… dia tidak pernah menatapku seperti itu,” gumamnya lirih.

Ia mengambil satu foto, meremasnya, tapi tak sampai merobek. Ia hanya menggenggamnya erat di dada.

Rasa sakit itu berubah menjadi dorongan “aku harus tahu siapa dia sebenarnya.”

Di kamar, Alysaa membuka laptopnya. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard.

Jazzlyne Marques. Portugal.

Ia mengetik nama itu di kolom pencarian. I*******m, F******k, LinkedIn.

Muncul satu profil yang sangat cocok. Akun I*******m terbuka, jumlah pengikut tak banyak, namun penuh foto estetik: bunga, kafe, seni, dan wajah cantik perempuan berambut cokelat keemasan.

Alysaa memelototi tiap unggahan. Jantungnya berdetak lebih kencang saat melihat nama “Shaz” di kolom like salah satu foto tahun 2024. Tahun lalu.

Foto itu sederhana. Jazzlyne sedang tersenyum, duduk di balkon sebuah apartemen di Lisbon, mengenakan gaun putih yang jatuh lembut di tubuhnya.

Dan di antara ratusan orang yang menyukai foto itu, satu nama terpampang jelas yaitu

“@shaz.manakandathil liked this.”

Alysaa terpaku.

Waktu itu, Shaz sudah menjadi kekasihnya. Mereka bahkan sedang membicarakan pernikahan.

Namun tidak ada satu pun fotonya bersama Alysaa yang pernah mendapatkan like dari pria itu. Bahkan ketika ia pernah mengunggah potret mereka di Bali, atau saat Shaz datang melamar.

“Jadi aku bukan seseorang yang pantas dibanggakan? Bahkan di sosial media?”

Tangannya mencengkeram sisi laptop. Nafasnya tak beraturan. Ia menelusuri lebih jauh. Ke F******k. Ke foto-foto lama.

Shaz dan Jazzlyne berdiri di depan katedral. Senyum mereka cerah. Komentar-komentar penuh pujian. Di pegunungan salju, berpelukan dalam jaket tebal.

Makan malam dengan lilin di sebuah restoran Eropa. Semuanya... terlalu intim. Terlalu utuh. Terlalu dalam. Lebih dalam dari apapun yang pernah ia rasakan bersama Shaz.

Alysaa tak bisa lagi menahan tangis. Tubuhnya menggigil. Ia memeluk lututnya di atas tempat tidur, menyembunyikan wajah di antara lengan.

“Harusnya aku dengarkan instingku dulu... Harusnya aku tahu dari awal bahwa cinta ini sepihak. Dia tidak pernah mencintaiku”

Pernikahan yang ia pikir sakral, nyatanya tak cukup untuk menghapus bayang masa lalu Shaz. Bahkan tak cukup untuk membuat Shaz mencintainya sepenuh hati.

Ia menatap cincin kawinnya lagi, kali ini dengan rasa muak yang sulit dijelaskan. Lalu, ia berkata pelan dengan suara pecah namun jelas.

“Apa aku cuma pengganti saat dia tak bisa dimiliki?”

Saat malam mulai menelan langit Doha, Alysaa berdiri di depan jendela. Lampu kota berkilau di bawah sana, tapi cahaya di dalam hatinya meredup. Kemudian terdengar suara pintu apartemen terbuka. Shaz kembali.

Langkah kakinya terdengar terburu, seperti orang yang mencoba mengatasi sesuatu yang salah. Alysaa tak bergerak. Masih memandangi langit yang kelam dari balik kaca.

Shaz berdiri di ambang pintu kamar, napasnya belum teratur. Wajahnya tampak lelah, tapi ada kecemasan di sana yang sulit disembunyikan.

“Sayang... aku minta maaf.”

Alysaa masih menatap lampu-lampu kota dari balik jendela. Tidak menjawab. Tidak menoleh. Hanya diam yang menggantung di antara mereka.

Shaz melangkah pelan, lalu memeluk istrinya dari belakang. Tangannya melingkari pinggang Alysaa dengan erat, seperti ingin menahan seseorang yang hendak pergi jauh.

“Tadi salah satu store Ravelleux di Mall of Qatar tiba-tiba bermasalah. Sistem stock nama rusak, barcode-nya kacau. Bosku panik, aku harus turun langsung. Aku nggak bisa tolak.”

Alysaa masih tak bergerak. Matanya berkaca, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Tangannya terkulai di sisi tubuh. Pelukan itu hangat, tapi... tak sampai ke hatinya.

“Maaf aku ninggalin kamu kayak gitu tadi,” lanjut Shaz, suaranya mulai pelan. “Aku nggak tahu kamu sedang selemah itu hari ini.”

“Selemah itu?” pikir Alysaa.

Alysaa menutup matanya sesaat, mencoba menahan emosi yang ingin pecah.

Ia ingin berkata banyak tentang foto-foto, tentang like di I*******m, tentang Jazzlyne yang namanya seperti menghantui tiap jeda napasnya.

Tapi mulutnya terkunci. Bukan karena tak berani... tapi karena terlalu kecewa untuk bicara.

Shaz mempererat pelukannya. Dagu lelaki itu bertumpu di pundaknya sekarang.

“Kamu diam terus,” gumamnya. “Kamu masih marah?”

Alysaa menjawab, kali ini lirih, datar, dan nyaris tanpa rasa:

“Aku cuma... kosong.”

Shaz terdiam.

Alysaa melepas diri dari pelukannya perlahan. Ia melangkah menjauh, lalu duduk di ujung ranjang.

Tangannya saling meremas, berusaha menahan tubuhnya untuk tetap terlihat tenang.

“Aku nggak marah,” katanya kemudian. “Aku cuma... mulai nggak tahu bagaimana cara merasakan kamu lagi.”

Shaz berdiri terpaku. Seperti tak mengerti apa yang sedang terjadi. Seperti sedang melihat perempuan yang selama ini ia peluk, perlahan menjauh tanpa alasan yang bisa ia pahami.

Alysaa mengangkat wajah, menatapnya. Kali ini matanya tak menangis, tapi justru lebih menyakitkan, dingin, nyaris pasrah.

“Kalau kamu punya rahasia,... simpan saja baik-baik. Aku tidak akan tanya,” ucapnya pelan.

Shaz mengernyit, bingung. “Rahasia? Apa maksudmu?”

Alysaa berdiri, menepuk bahunya pelan, lalu berkata “Aku cuma minta satu hal... jangan biarkan aku jatuh terlalu dalam kalau kamu memang nggak niat menangkapku.”

Shaz menatapnya lekat-lekat, tapi sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Alysaa melangkah ke kamar mandi, menutup pintu perlahan.

Dan di dalam, ia membiarkan tubuhnya bersandar ke dinding, matanya akhirnya basah.

Di luar, Shaz berdiri lama dalam keheningan. Tak tahu, bahwa untuk pertama kalinya... Alysaa mulai benar-benar menjauh, walau belum melangkah pergi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 12 - Kenangan dan Kerinduan

    Langit Kochi sore itu mulai memudar warnanya, berubah dari biru laut menjadi oranye lembut, seperti susu teh yang terlalu lama diaduk. Jalanan kecil di sekitar lingkungan keluarga Alavi tampak sibuk dengan aktivitas khas penduduk lokal.Shaz menyalakan motor matic-nya Hero Maestro edisi 2016 yang masih gagah berdiri, berwarna hitam doff dengan stiker kecil “Ride Safe, Not Fast” di bagian samping. Ia tersenyum kecil saat tangannya menyentuh setang motor itu. Motor yang masih akan ia gunakan hingga tahun 2025. Saksi bisu banyak perjalanan... dan luka."Kau masih hidup, ya? Bahkan mesinmu lebih setia daripada beberapa manusia,” gumamnya sambil menekan starter.Mesin motor menyala halus. Shaz melaju perlahan melewati gang kecil di pinggir jalan menuju rumah Raheem. Jalan itu... begitu familiar. Tapi kali ini, waktunya yang berbeda. Langit, bau rempah dari dapur warga, dan suara pedagang lewat semuanya terasa seperti lukisan nostalgia.Ia sempat melambatkan laju motornya saat melewati bari

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 11 - Langkah Menuju Alysaa

    Sore hari di Kochi terasa hangat dan tenang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat kisi-kisi jendela kamar Shaz, menyapu lembut meja tempat laptopnya terbuka. Aroma kapulaga dan cengkeh dari dapur sesekali terbawa angin, menandakan Mami sedang menyeduh teh sore.Tapi kali ini, Shaz tak menyentuh teh. Ia duduk tegak, mengenakan kemeja putih dan jam tangan sederhana. Rambutnya disisir rapi, wajahnya bersih. Tak ada jejak lelah atau bimbang.Di hadapannya, layar laptop menyala, menampilkan ruang rapat virtual dengan tiga wajah yang tampak formal dan tajam.Perempuan berhijab bernama Farah Iskandar dari tim HR.Pria berkacamata bernama Anand Mehra, Kepala Departemen Analisis Pasar.Dan satu lagi wanita berkacamata elegan bernama Datin Amira, Wakil Presiden Wilayah Asia Tenggara.“Selamat sore, Tuan Shahjaz. Apakah suara kami terdengar jelas?”Shaz mengangguk, senyumnya sopan dan tenang.“Jelas sekali. Selamat sore. Terima kasih atas kesempatannya.”“Baik. Mari kita mulai dengan perkenalan

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 10 - Aroma, Usaha, dan Jalebi Takdir

    Hari-hari berlalu seperti teh tanpa gula, mengalir, tapi hambar.Setiap pagi, Shaz terbangun dengan harapan kecil yang absurd, semoga ketika ia membuka mata, ia sudah kembali ke apartemen mereka di Doha. Bahwa ia akan mendengar suara khas Alysaa saat merapikan selimut, mencium aroma kopi buatan istrinya, dan memeluk tubuh hangatnya yang wangi vanilla-honey, khas shampoo mahal kesayangannya.Tapi yang ada hanyalah guling biru dongker.Dan kipas langit-langit yang berdecit seperti suara dosa kecil.Shaz tetap memeluk guling itu erat, menutup mata seolah bisa memaksa semesta mengembalikannya ke pelukan Alysaa. Tapi yang terasa hanya… dingin.Lalu, ada yang aneh pagi itu.Guling yang ia peluk… mengeluarkan aroma. Aroma yang sangat ia kenal. Aroma tubuh Alysaa. Bukan hanya samar. Jelas. Menggoda. Membuat jantungnya menjerit lirih.Ia terperanjat. Bangun cepat. Duduk tegak.Matanya melotot ke arah guling yang kini kembali netral.“Guling haram,” gumamnya panik.Ia mengendus bajunya. Udara.

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 9 - Roti Canai, TrueLove, dan Takdir yang Terlambat

    Ponsel masih bergetar ringan di tangan Shaz.“Raheem calling…”Shaz akhirnya menekan tombol hijau.“Halo?” suaranya berat, masih setengah emosional.Suara Raheem langsung menyambar cepat dari seberang.“KU DENGAR DARI AFZAL KAU PULANG KE INDIA?!”Shaz menjauhkan ponsel dari telinga. “Iya...”“Baiklah, kawan,” suara Raheem menurun setengah dramatis, “aku akan ke rumahmu sekarang. Ceritakan padaku... apa yang wanita Argentina itu lakukan padamu.”Shaz memejamkan mata. “Dia dari Portugal, Raheem. Kau ingat?”“Portugal... Argentina… sama aja. Aku pendukung Ronaldo, jadi siapapun mantanmu, aku anggap dari negara Messi!”Shaz mendesah panjang. “Terserah kau.”“Aku serius. Kalau dia dari Argentina, berarti dia bagian dari taktik Messi menjatuhkan Ronaldo. Dan kau… korban konspirasi global.”“Raheem… ini bukan Piala Dunia.”“Justru karena itu aku datang! Tunggu aku di sana. Siapkan teh panas dan dua roti prata. Kita akan membedah trauma dan strategi comeback!”Shaz menggeleng, tapi senyum tip

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 8 - Mawar Merah dan Luka Lama

    Setelah sesi psikiater yang terasa seperti talk show keluarga, Shaz akhirnya masuk lagi ke kamarnya. Kepalanya berdenyut, pikirannya campur aduk.Ia menjatuhkan diri ke kasur, lalu melirik meja samping.Di sana, iPhonenya masih iPhone 7 Jet Black, rilis paling keren tahun itu, dan baterainya sudah terisi penuh.“Mungkin Afzal yang charge,” gumamnya.Ia mengambil ponsel itu, memeriksa casingnya yang sudah sedikit retak di sudut."Ini... benar-benar ponsel lamaku," desahnya.Terakhir kali ia pegang ponsel, itu iPhone 16 Pro Max dengan tiga kamera segede kamera CCTV. Tapi ini? Hape yang harus digeser dulu buat lihat notifikasi.Ia membuka kunci layar.Backgroundnya… langit senja di Kerala. Icon aplikasinya masih jadul. Bahkan, Instagram masih belum punya fitur story!“Kalau memang aku kembali ke masa lalu… berarti Alysaa sekarang ada di Indonesia?”Shaz buru-buru membuka Instagram. Sinyalnya lelet. Loading-nya muter kayak fidget spinner."Astaghfirullah… sinyal Wi-Fi rumah tahun 2017 mem

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 7 - Pasien dari Masa Depan

    Shaz masih terduduk di tangga, wajahnya tertutup tangan. Pikirannya kacau. Nafasnya pendek. Dadanya sesak.Ia mendongak perlahan, matanya memindai ruang tamu. Pandangannya jatuh pada kalender duduk di atas meja sudut. Tangannya bergerak cepat meraihnya.Maret 2017.Tertulis jelas. Tanpa belas kasihan.Shaz menatap tanggal itu lama-lama. “Ini... nyata?” gumamnya lemas.Di atas sofa, Afzal sedang duduk santai sambil memainkan sendok teh di gelas chai-nya. Ia menoleh sambil mengangkat alis. “Bibi... aku rasa dia benar-benar depresi.”Mami yang baru kembali dari dapur mengangguk pelan, sambil membawa sepiring samosa. “Kau benar, Afzal. Matanya kosong. Tatapannya... seperti habis diputusin dua kali oleh wanita yang sama.”“Tapi aku nggak diputusin!” Shaz berdiri. “Aku... aku menikah!”Afzal menyipitkan mata. “Waduh, parah. Sudah delusi. Parah banget.”Shaz memijat pelipisnya. Suasana di rumah makin suram—dan lucu sekaligus tragis.Pintu depan terbuka. Seorang pria berwibawa masuk dengan se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status