Pintu apartemen terbuka perlahan. Shaz melangkah masuk dengan tubuh letih dan pikiran yang tak kalah berat. Lorong kecil menuju ruang tengah tenggelam dalam cahaya temaram dari lampu dapur, seperti menegaskan kesendirian yang menyelimuti malam itu.Suara AC berdengung pelan, dan tak ada tanda-tanda kehidupan lain di dalam unit itu—kecuali Raheem, yang tampaknya sudah lama tertidur di kamarnya.Shaz meletakkan tas kerja dan jasnya dengan asal di kursi dekat meja makan. Ia tidak lapar. Bahkan terlalu lelah untuk merasa lapar. Ia langsung ke kamar mandi, ia hanya mencuci wajah dan berganti pakaian. Tak ada teh hangat, tak ada scrolling sosial media, apalagi membuka WhatsApp—ia memilih langsung berbaring.Ponselnya masih menyala di atas nakas. Notifikasi dari Alysaa muncul, berkedip lembut di layar, tapi tetap tak cukup kuat untuk menggugah jemari Shaz yang sudah mati rasa oleh lelah.Pesan itu masih belum terbaca.Dan malam pun menelannya.Sementara itu, jauh di Bandung...Alysaa duduk
Nalinee mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kerja, bola matanya tak lepas dari layar ponsel yang membisu seperti menghina.Sudah lebih dari satu jam sejak ia meluncurkan jebakan manis itu—sebuah DM polos yang sebenarnya mengandung racun.“Aku rasa, kamu harus tahu apa yang Shaz lakukan saat kau tidak ada.”Tak ada balasan. Bahkan setelah tanda "dibaca" muncul.Gelisah, ia membuka pesan kembali. Matanya menyipit. “Berani mengabaikan aku?” geramnya lirih.Dengan jari gemetar karena amarah, ia mengunggah video hasil tangkapan paginya—detik-detik Shaz dan Zara berdiri terlalu dekat di dekat lobby kantor. Lalu ia mengirim video itu langsung ke akun Facebook Alysaa.Pesan menyertai video itu.“Kau pikir kamu satu-satunya wanita dalam hidupnya? Lihat lagi baik-baik”Wajah Nalinee menyeringai puas. Tapi saat ia menunggu balasan...Tak ada apa-apa.Centang dua. Terbaca. Tapi sepi. Seolah Alysaa menertawakannya dengan diam.Nalinee mengepalkan tangan.Ia melempar ponselnya ke meja hingga terguli
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela kaca gedung kantor seperti biasa—tapi bagi Shaz, segalanya terasa sedikit berbeda.Langkahnya ringan, ekspresi wajahnya lebih tenang. Ada sesuatu yang menyala dalam dirinya—perasaan hangat yang belum sepenuhnya bisa ia beri nama, tapi jelas berasal dari satu sosok yaitu Alysaa.Ia menyapa beberapa staf yang lewat dengan anggukan sopan, sebelum berbelok menuju lift lantai atas. Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok berhijab yang berjalan cepat di ujung lorong.Zara.Perempuan itu jelas berusaha menghindar, mempercepat langkahnya, pura-pura memeriksa dokumen di tangannya. Tapi Shaz tahu. Gerakan itu bukan ketidaksengajaan. Itu... penolakan halus. Dan menyakitkan."Zara—Zara, tunggu," panggil Shaz, langkahnya menyusul cepat. Ia berhasil meraih lengan gadis itu dengan lembut, penuh hati-hati.Zara menoleh, dan untuk pertama kalinya, tatapan lembut itu tak lagi ia temukan. Yang ada hanyalah kecewa. Tersinggung. Dan entah, mungkin luka.“Ada
Damar menegang seketika. “Rangga?” Nada suaranya mendadak berubah—lebih tajam, lebih curiga. “Dari mana kamu tahu soal Rangga?” Matanya menatap Alysaa tak berkedip. “Aku bahkan gak pernah nyebut namanya sekalipun ke kamu… apalagi soal adiknya.”Sebuah jeda sunyi jatuh. Alysaa membeku. Mulutnya seolah baru sadar telah mengucapkan sesuatu yang seharusnya tak ia tahu—belum saatnya ia tahu.“Jawab!” bentak Damar, suaranya naik satu oktaf. Wajahnya kini tegang dan curiga. “Kamu tahu dari mana, Al?”Alysaa berusaha mendorong dada Damar sekuat tenaga. Tapi tubuh pria itu terlalu berat. Napasnya memburu. “Ya! Aku cari tahu... setelah aku gak sengaja lihat dia sering DM kamu di Instagram!”Damar membeku. Matanya menyipit, seolah mencoba menyelam ke balik kepalanya sendiri, menggali ingatan yang nyaris tenggelam.Lalu perlahan… secercah ingatan itu muncul seperti gelembung yang pecah di permukaan kesadarannya.Satu akun Instagram dengan nama yang tidak asing. Seorang gadis berhijab yang dulu se
Langit siang tampak cerah di atas terminal kedatangan. Orang-orang berlalu-lalang, membawa koper dan rindu masing-masing. Di tengah riuh rendah itu, Alysaa melangkah perlahan melewati pintu keluar bandara, diapit Maya dan Radya. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya lelah tapi tetap memancarkan ketenangan—meski jauh di dalam dadanya, ada sesuatu yang mengambang. Tak jelas namanya.Di sana, berdiri seorang pria dengan kemeja putih yang sedikit kusut karena gelisah. Matanya liar menyapu kerumunan sampai pandangannya tertumbuk pada satu sosok."Alysaa!" teriaknya, lalu berjalan cepat, nyaris berlari. Tanpa peduli orang-orang di sekitarnya, Damar langsung menarik tubuh Alysaa ke dalam pelukan.“Aku kangen banget, sayang…, aku pikir kamu kenapa-kenapa.”Pelukannya erat. Panas. Lama.Alysaa diam sejenak. Lalu perlahan membalas pelukan itu, meski tubuhnya terasa lebih kaku dari biasanya. Senyumnya kecil, tidak benar-benar menyentuh matanya.Dari samping, Maya dan Radya hanya bisa saling pan
Udara kamar hotel masih hangat oleh aroma bumbu mi instan yang mengepul dari dua mangkuk styrofoam di meja kecil dekat jendela. Maya duduk bersila di lantai, memegang sumpit seperti pedang. Radya berdiri sambil mengaduk mi-nya yang baru diseduh, wajahnya cerah walau kelelahan. Pintu kamar terbuka. Alysaa masuk dengan langkah ringan, pipinya sedikit merah karena udara malam. “Masih lapar kalian?” tanyanya sambil berjalan ke arah Radya, lalu membuka mulut kecil-kecil. “Suapin dong, Ra.” Radya tertawa dan langsung menyodorkan sejumput mi ke arah sahabatnya. Alysaa mengunyah dengan ekspresi berlebihan seolah sedang mencicipi hidangan Michelin Star. “Enak banget!” katanya dramatis. “Kayak makan malam di Paris… kalau Paris jualan Indomie rasa soto.” Maya ikut tertawa. “Kamu tahu kan, kita emang hobi makan jam-jam terlarang.” Belum sempat mereka melanjutkan candaan, Maya tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh! Kak Damar telepon aku tadi.” Alysaa terbelalak. “ASTAGA! Aku lupa banget!” Ia bur