Home / Rumah Tangga / Mencari Istriku di Masa Lalu / Bab 4 – Doa yang Tak Bisa Kumengerti

Share

Bab 4 – Doa yang Tak Bisa Kumengerti

Author: Sofia Saarah
last update Huling Na-update: 2025-06-06 22:28:03

Langit di luar masih gelap. Kota Doha belum bangun. Suara detik jam terdengar jelas di kamar tidur mereka yang hening. Jam menunjukkan pukul 03.12 dini hari.

Shaz terbangun dengan gelisah. Tubuhnya meraba ke sisi ranjang.

Kosong.

Tidak ada Alysaa.

Ia duduk perlahan, mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat.

Ingatan tentang malam sebelumnya muncul kembali tatapan Alysaa yang dingin, pelukan yang ditolak halus, dan kalimatnya yang terus terngiang.

"Aku cuma... mulai nggak tahu bagaimana cara merasakan kamu lagi."

Shaz menghela napas. Rasanya dada ini sesak. Sejak mereka menikah, Alysaa selalu menjadi tempatnya pulang.

Entah mengapa, tiap pelukannya mampu meredam ribuan pikiran yang tak pernah ia bagi pada siapa pun.

Tapi tadi malam... untuk pertama kalinya, tubuh mereka tidak menyatu sebelum tidur. Dan itu mengganggunya lebih dari yang ia kira.

Ia berdiri pelan, berjalan menuju kamar mandi. Tidak ada. Ia keluar, dan mengira istrinya di dapur.

Namun, ia melihat cahaya kecil menembus dari bawah pintu ruang shalat kecil yang disediakan di pojok apartemen.

Ia membuka pintu itu dengan hati-hati.

Dan di sana… Alysaa sedang sujud. Matanya terpejam. Bibirnya bergerak pelan, lirih, nyaris tak terdengar.

Namun Shaz tahu, istrinya sedang berdoa.

Bukan hanya shalat... tapi memohon. Meminta. Mungkin juga mengadu. Ia tidak tahu kata-kata apa yang diucapkan, karena semuanya dalam Bahasa Indonesia.

Tapi dari wajah Alysaa, dari aliran air mata yang jatuh satu-satu ke sajadah... itu bukan doa yang ringan.

Shaz berdiri mematung. Matanya tak berkedip menatap wanita yang sejak awal tampak begitu lembut, kuat, dan kini... sedang pecah dalam diam di hadapan Tuhan. Ia bahkan lupa bernapas.

Ini bukan pertama kalinya ia melihat istrinya menangis dalam sujud. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya adalah alasan di balik air mata itu.

Saat Alysaa selesai dan mengusap wajah dengan tangan basah, Shaz masuk perlahan.

Ia mendekat, lalu berlutut di sebelahnya. Tangannya menyentuh bahu Alysaa, tapi perempuan itu hanya menunduk dalam diam.

“Sayang...” suara Shaz pelan. “I couldn’t sleep.”

Alysaa mengangguk pelan, lalu menjawab tanpa menatapnya, “Aku juga.”

Shaz menggenggam jemari istrinya. “Can I hold you... just for a moment?” Alysaa diam. Lalu mengangguk pelan.

Mereka duduk bersisian di lantai, hanya terdengar detak jam dan sisa isakan yang tertahan.

“Aku melihatmu tadi,” bisik Shaz. “Kamu... menangis.”

Alysaa menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan. “Kamu nggak tahu apa yang aku minta, kan?”

Shaz menggeleng. “No. Tapi I can feel it. Dan aku tahu, itu... tentang aku.”

Suasana kembali sunyi. Tapi dalam sunyi itu, ada jarak yang perlahan tumbuh. Jarak yang tidak kasat mata, tapi bisa dirasakan.

“Aku ngerasa seperti kamu jauh sekali,” ucap Alysaa pelan, memeluk lututnya. “Bahkan saat kamu di sebelahku.”

Shaz menunduk. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud seperti itu sayang.”

“Tapi kenapa aku selalu merasa sendirian?” Alysaa menatap suaminya dalam.

Shaz ingin menjawab, tapi bibirnya kelu. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa rasa takut kehilangan kadang lebih besar dari keberaniannya mencintai?

Alysaa menarik napas, lalu berdiri perlahan. “Aku ke dapur. Mau buat teh.” Shaz ikut berdiri, menahan tangan istrinya. “Stay here. Please.”

Alysaa menatap matanya, untuk pertama kalinya malam itu. Tapi yang terlihat hanyalah kejenuhan yang diam-diam menumpuk selama ini.

“Aku cuma butuh... ruang. Sedikit saja.”

Lalu ia pergi meninggalkan ruangan. Membiarkan Shaz berdiri sendiri di ruang shalat itu, di bawah lampu temaram, dengan hati yang mulai dicekam rasa takut.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Shaz benar-benar merasa kehilangan... padahal wanita itu masih tinggal bersamanya.

Alysaa berdiri di dapur yang tenang, hanya suara ketel air yang pelan mulai mendidih. Ia menuang teh ke dalam dua gelas, uap hangatnya membelai wajahnya yang masih tampak segar meski malam belum benar-benar usai.

Langkah kaki Shaz mendekat dari belakang. Ia bersandar di ambang pintu, diam-diam mengamati punggung istrinya.

Alysaa dalam balutan lingerie satin abu muda dan rambut yang sedikit berantakan tetap terlihat begitu memesona di matanya.

Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat seseksi itu di jam segelap ini?, batin Shaz.

Alysaa menoleh, sedikit terkejut melihat Shaz berdiri tak jauh darinya. “Sayang, juga mau tehnya?” tanyanya pelan, suaranya tenang nyaris datar.

Shaz hanya mengangguk dan mendekat. Tapi alih-alih mengambil gelasnya sendiri, ia meraih gelas yang lebih dulu disentuh Alysaa dan meminum dari sisa bibir istrinya.

Tatapannya menempel pada mata Alysaa, seolah ingin mencari makna di balik kilau bening di sana. Namun Alysaa sedikit memalingkan wajah.

Gerakan kecil itu membuat dada Shaz bergetar. Ada sesuatu yang berubah. Dan ia semakin yakin bukan hanya karena insiden tadi malam.

Ia meletakkan gelas itu perlahan di meja. Tanpa bicara, ia mendekat, lalu tiba-tiba meraih tubuh Alysaa dan mengangkatnya ke pelukannya.

“Hei, sayang !” Alysaa terkesiap.

Tapi Shaz tak menjawab, hanya tersenyum kecil sambil membawa istrinya ke ruang TV.

Ia menjatuhkan tubuh Alysaa dengan lembut ke sofa, menunduk, lalu mengecup bibirnya dengan penuh rasa lapar yang tertahan.

Ciuman mereka panas dan dalam. Jemari Shaz meraba tengkuk Alysaa, lalu turun ke punggung dan mengunci tubuh molek itu di pelukannya.

Nafas mereka bertaut. Alysaa sempat menggeliat kecil, setengah ragu, tapi tak juga menolak.

Tubuhnya bereaksi. Tapi hatinya... masih diam. Shaz menyadari itu. Dan mungkin karena itu, ia makin gila.

“Aku belum selesai mencintaimu tadi malam,” bisiknya di antara ciuman yang berpindah ke leher istrinya.

Ia kembali mengangkat tubuh Alysaa, membaliknya pelan dan memposisikannya dalam bentuk lengkungan yang ia dambakan.

Dalam sorot matanya, Alysaa adalah definisi dari segala yang menggoda dan ia tak lagi bisa menahan diri.

Tubuh mereka menyatu dalam irama yang liar namun penuh gairah. Hentakan demi hentakan mengguncang ruang itu.

Alysaa tak bisa menahan suara yang keluar dari bibirnya di antara kenikmatan dan rasa yang menekan.

“Sayang…” ia mengerang, antara pasrah dan bingung dengan gelombang yang menyeretnya semakin dalam.

Shaz mencengkeram pinggangnya erat, memacu dirinya lebih cepat, lebih dalam, hingga tubuh istrinya gemetar dan lemas di pelukannya.

Ia lalu membalik tubuh Alysaa kembali, duduk dan memangku tubuh sintal itu.

Mereka kembali menyatu, kali ini dengan ritme yang lebih lambat namun menggoda. Tangan Shaz membelai punggung Alysaa yang sudah dipenuhi jejak merah gairahnya.

Tubuh mereka basah oleh keringat, tapi mata Shaz menatap penuh rasa.

“Lihat aku,” bisik Shaz.

Alysaa membuka mata. Tatapan mereka bertemu. Tapi tetap saja ada jarak di sana yang tidak bisa dijembatani dengan pelukan atau desahan. Dan itu, menghantui Shaz.

Beberapa menit kemudian, puncak itu tiba. Tubuh mereka menegang, menyatu dalam satu hentakan terakhir yang mengguncang mereka berdua hingga ke dasar jiwa.

Shaz merebahkan tubuhnya di atas Alysaa, dada mereka saling menempel, napasnya berat dan dalam. Tapi tubuh Alysaa… terasa lebih dingin dari biasanya.

Ia memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. Tapi saat ia menoleh ke arah wajah istrinya, Alysaa hanya memejamkan mata.

Bibirnya tidak tersenyum. Matanya tidak menangis. Ia hanya diam.

“Sayang…my wife..” bisik Shaz, menempelkan keningnya pada pipi Alysaa. “Kamu masih di sini, kan?” Alysaa tidak menjawab.

Dan dalam keheningan yang menyelimuti mereka, Shaz mulai merasakan ketakutan lain yang jauh lebih mengerikan dari kehilangan gairah.

Dia masih di pelukanku… tapi jiwanya seperti sudah pergi lebih dulu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 46 - Bunga Lili yang Berguguran

    Langkah Raheem tergesa, mengikuti Shaz yang terus melangkah menjauh dari rumah besar itu. Napasnya masih belum teratur, pikirannya belum pulih dari ketegangan barusan.“Raheem!”Sebuah suara memanggilnya dari belakang.Ia menoleh cepat.Seorang perempuan berdiri di antara para tamu. Kebaya warna lilac yang ia kenakan terlihat kontras dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Mata bulatnya memandang penuh harap, dan seulas senyum lembut tersungging di bibirnya.“Raheem, ini aku. Kau masih ingat?”Raheem mengernyit. Matanya menyipit, mencoba mengingat. “Kau… temannya Alysaa?”Perempuan itu terkekeh. “Iya. Aku Maya. Kita pernah bertemu di Malaysia. Kau dan Shaz mengantar kami kebandara, kau ingat?”“Oh, ya! Aku ingat sekarang,” Raheem mengangguk pelan, nada suaranya mulai hangat. “Yang satu lagi, ke mana?”“Radya? Dia masih di dalam, bersama tamu-tamu yang lainnya.” Maya melirik ke arah rumah.Ada jeda hening sejenak. Keduanya saling menatap, seperti mencoba menyesuaikan diri dal

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 45 - Pergilah !

    Langkah kaki Shaz terdengar pelan di sepanjang sisi rumah besar itu. Jalan setapak kecil yang sempit dan ditumbuhi kembang sepatu mengantarnya ke area belakang—halaman terbuka dengan pohon mangga besar di sudutnya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sebagian acara di dalam. Hiasan pita dan bunga-bunga melambai ditiup angin, tamu-tamu bersorak kecil saat hidangan mulai disajikan. Tapi telinganya hanya menangkap satu pertanyaan yang berdengung keras dalam benaknya:“Apakah aku sudah terlambat?”Ia menepis keraguan, memantapkan langkah secepat mungkin—seperti pria yang mengejar takdirnya yang hendak direbut dunia.“Shaz, tunggu!” seru Raheem dari belakang, menarik lengannya. “Apa kau yakin ini cara yang tepat?”Shaz menatapnya dengan mata yang berapi. “Kalau aku pergi sekarang, aku akan menyesal seumur hidup.”Beberapa tamu menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar dari berbagai sudut.“Siapa itu?”“Tampaknya bukan dari pihak keluarga…”“Tapi… tampan sekali, ya?”Seorang pria paruh baya b

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 44 - Lamaran

    Shaz menarik napas lega... tapi hanya sedetik. Hinggga tiba seseorang lewat—seorang tetangga wanita berusia sekitar empat puluhan, membawa tas plastik berisi sayuran. Ia menatap mobil-mobil itu dan berseru dengan suara cukup keras.“Wah, udah dateng ya? Banyak banget mobilnya. Lamaran besar, ya, Bu Sari?”Ibu warung—Bu Sari—menoleh cepat.“Lamaran?”“Iya, katanya calon mantu Pak Ardan datang hari ini. Dari Kota Bandung, atau mana, saya lupa.”Shaz tak mengerti semua kata itu, hanya frasa: “lamaran”.Tapi cukup. Itu kata yang menghantam kepalanya seperti batu.Ia langsung membuka G****e Translate dan mengetik dengan cepat.“Maaf, ini hari lamaran? Lamaran siapa?”Ibu Sari membaca, ragu sejenak… lalu menatap Shaz lebih lama. Kerutan di wajahnya tampak berubah jadi empati yang dalam.“Kata tetangga barusan sih… anak Pak Ardan yang mau dilamar. Cantik sekali lho. Rombongan mobil mewah itu ternyata rombongan calon pengantin pria"Shaz menunduk. Udara terasa tipis. Botol air mineral dalam ta

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 43 - Kenangan Masa Depan

    Mobil berwarna hitam metalik melaju pelan melewati jalanan yang meliuk di kaki pegunungan. Aroma khas daun teh yang lembap memenuhi udara, sementara hamparan kebun menghijau di kedua sisi, seolah ikut menyambut dua pria asing yang tengah membawa misi dari masa lalu.Di balik kemudi, Shaz menggenggam setir dengan kedua tangan. Tatapannya fokus, namun hati dan pikirannya masih jauh, tertinggal di tempat bernama ketakutan. Ia hampir tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari hotel pagi itu. Hanya suara GPS dan hembusan napas panjang yang memenuhi kabin.Raheem, duduk di kursi penumpang dengan pandangan tak kalah tegang, sesekali melirik ke arah luar jendela. “Tempat ini… terasa seperti perhentian terakhir, ya?”Shaz mengangguk sekali. “Kalau kita salah alamat, aku nggak tahu lagi harus kemana.”Angin tipis pegunungan berembus lewat celah kaca, namun suasana di dalam mobil tetap terasa pengap. Shaz memegang setir erat-erat, seolah jalan yang ia tempuh kali ini adalah jalan satu-sa

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 42 - Menuju Rumah Mertua

    Kafe itu masih sama.Aroma kopi hangat masih menguar dari mesin espresso di balik meja kasir. Tapi bagi Shaz, tempat itu seperti lukisan lama yang warnanya memudar—masih familiar, tapi tak lagi menyimpan kehangatan.Ia berdiri di depan meja pemesanan. Matanya menelusuri wajah-wajah barista yang sibuk. Tak satu pun yang ia kenali.“Bahkan semesta seperti menutup semuanya dariku,” gumamnya lirih. “Karyawan yang dulu memberi tahu tempat tinggal Alysaa… tidak ada.”Shaz melangkah pelan ke arah kursi pojok yang pernah ia duduki saat pertama kali datang ke Bandung bersama Raheem. Kursi itu masih di sana. Sunyi. Seolah menunggu luka lama untuk duduk kembali.Raheem mendekat, membawakan dua gelas kopi dan sepiring kue kecil.“Sudah, duduklah. Kita pikirkan lagi. Mungkin ada petunjuk lain,” ujarnya sambil menyodorkan gelas kopi ke Shaz.Shaz mengambilnya tanpa banyak bicara. Cairan hangat itu menyentuh bibirnya, tapi tak menyentuh hatinya.“Kau tahu kontaknya Maya atau Radya?” tanyanya pelan,

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 41 - Terlambat

    Bandara Kuala Lumpur dipenuhi suara langkah tergesa, pengumuman keberangkatan, dan aroma kopi dari kios di sepanjang terminal. Tapi tak satu pun dari itu menyentuh kesadaran Shaz. Ia duduk di kursi tunggu dengan punggung membungkuk, tangan terkepal, dan mata tak lepas dari layar ponsel yang kosong dari notifikasi.Raheem duduk di sebelahnya, menatap sahabatnya dengan raut prihatin. Bahkan ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa Shaz sedang mencoba menahan napas yang sejak lama terasa menggantung.“Raheem,” gumam Shaz pelan, “nomormu masih diblokir?”Raheem menggeleng pelan. “Iya, Shaz. Dia benar-benar... menghilang.”Shaz memejamkan mata. Wajah Alysaa—matanya yang jernih, bibir ranumnya—terus muncul di bayangannya. Tapi kali ini, senyumnya menjauh. Buram. Terhapus perlahan.“Bagaimana kalau… dia sedang hamil?” suaranya terdengar rapuh.Raheem menghela napas. “Kalau dia yakin hamil, mungkin dia nggak akan segan buat cari kamu. Tapi kalau dia yakin tidak…” Ia menatap Shaz dengan sorot la

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status