Langit di luar masih gelap. Kota Doha belum bangun. Suara detik jam terdengar jelas di kamar tidur mereka yang hening. Jam menunjukkan pukul 03.12 dini hari.
Shaz terbangun dengan gelisah. Tubuhnya meraba ke sisi ranjang. Kosong. Tidak ada Alysaa. Ia duduk perlahan, mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat. Ingatan tentang malam sebelumnya muncul kembali tatapan Alysaa yang dingin, pelukan yang ditolak halus, dan kalimatnya yang terus terngiang. "Aku cuma... mulai nggak tahu bagaimana cara merasakan kamu lagi." Shaz menghela napas. Rasanya dada ini sesak. Sejak mereka menikah, Alysaa selalu menjadi tempatnya pulang. Entah mengapa, tiap pelukannya mampu meredam ribuan pikiran yang tak pernah ia bagi pada siapa pun. Tapi tadi malam... untuk pertama kalinya, tubuh mereka tidak menyatu sebelum tidur. Dan itu mengganggunya lebih dari yang ia kira. Ia berdiri pelan, berjalan menuju kamar mandi. Tidak ada. Ia keluar, dan mengira istrinya di dapur. Namun, ia melihat cahaya kecil menembus dari bawah pintu ruang shalat kecil yang disediakan di pojok apartemen. Ia membuka pintu itu dengan hati-hati. Dan di sana… Alysaa sedang sujud. Matanya terpejam. Bibirnya bergerak pelan, lirih, nyaris tak terdengar. Namun Shaz tahu, istrinya sedang berdoa. Bukan hanya shalat... tapi memohon. Meminta. Mungkin juga mengadu. Ia tidak tahu kata-kata apa yang diucapkan, karena semuanya dalam Bahasa Indonesia. Tapi dari wajah Alysaa, dari aliran air mata yang jatuh satu-satu ke sajadah... itu bukan doa yang ringan. Shaz berdiri mematung. Matanya tak berkedip menatap wanita yang sejak awal tampak begitu lembut, kuat, dan kini... sedang pecah dalam diam di hadapan Tuhan. Ia bahkan lupa bernapas. Ini bukan pertama kalinya ia melihat istrinya menangis dalam sujud. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya adalah alasan di balik air mata itu. Saat Alysaa selesai dan mengusap wajah dengan tangan basah, Shaz masuk perlahan. Ia mendekat, lalu berlutut di sebelahnya. Tangannya menyentuh bahu Alysaa, tapi perempuan itu hanya menunduk dalam diam. “Sayang...” suara Shaz pelan. “I couldn’t sleep.” Alysaa mengangguk pelan, lalu menjawab tanpa menatapnya, “Aku juga.” Shaz menggenggam jemari istrinya. “Can I hold you... just for a moment?” Alysaa diam. Lalu mengangguk pelan. Mereka duduk bersisian di lantai, hanya terdengar detak jam dan sisa isakan yang tertahan. “Aku melihatmu tadi,” bisik Shaz. “Kamu... menangis.” Alysaa menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan. “Kamu nggak tahu apa yang aku minta, kan?” Shaz menggeleng. “No. Tapi I can feel it. Dan aku tahu, itu... tentang aku.” Suasana kembali sunyi. Tapi dalam sunyi itu, ada jarak yang perlahan tumbuh. Jarak yang tidak kasat mata, tapi bisa dirasakan. “Aku ngerasa seperti kamu jauh sekali,” ucap Alysaa pelan, memeluk lututnya. “Bahkan saat kamu di sebelahku.” Shaz menunduk. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud seperti itu sayang.” “Tapi kenapa aku selalu merasa sendirian?” Alysaa menatap suaminya dalam. Shaz ingin menjawab, tapi bibirnya kelu. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa rasa takut kehilangan kadang lebih besar dari keberaniannya mencintai? Alysaa menarik napas, lalu berdiri perlahan. “Aku ke dapur. Mau buat teh.” Shaz ikut berdiri, menahan tangan istrinya. “Stay here. Please.” Alysaa menatap matanya, untuk pertama kalinya malam itu. Tapi yang terlihat hanyalah kejenuhan yang diam-diam menumpuk selama ini. “Aku cuma butuh... ruang. Sedikit saja.” Lalu ia pergi meninggalkan ruangan. Membiarkan Shaz berdiri sendiri di ruang shalat itu, di bawah lampu temaram, dengan hati yang mulai dicekam rasa takut. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Shaz benar-benar merasa kehilangan... padahal wanita itu masih tinggal bersamanya. Alysaa berdiri di dapur yang tenang, hanya suara ketel air yang pelan mulai mendidih. Ia menuang teh ke dalam dua gelas, uap hangatnya membelai wajahnya yang masih tampak segar meski malam belum benar-benar usai. Langkah kaki Shaz mendekat dari belakang. Ia bersandar di ambang pintu, diam-diam mengamati punggung istrinya. Alysaa dalam balutan lingerie satin abu muda dan rambut yang sedikit berantakan tetap terlihat begitu memesona di matanya. Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat seseksi itu di jam segelap ini?, batin Shaz. Alysaa menoleh, sedikit terkejut melihat Shaz berdiri tak jauh darinya. “Sayang, juga mau tehnya?” tanyanya pelan, suaranya tenang nyaris datar. Shaz hanya mengangguk dan mendekat. Tapi alih-alih mengambil gelasnya sendiri, ia meraih gelas yang lebih dulu disentuh Alysaa dan meminum dari sisa bibir istrinya. Tatapannya menempel pada mata Alysaa, seolah ingin mencari makna di balik kilau bening di sana. Namun Alysaa sedikit memalingkan wajah. Gerakan kecil itu membuat dada Shaz bergetar. Ada sesuatu yang berubah. Dan ia semakin yakin bukan hanya karena insiden tadi malam. Ia meletakkan gelas itu perlahan di meja. Tanpa bicara, ia mendekat, lalu tiba-tiba meraih tubuh Alysaa dan mengangkatnya ke pelukannya. “Hei, sayang !” Alysaa terkesiap. Tapi Shaz tak menjawab, hanya tersenyum kecil sambil membawa istrinya ke ruang TV. Ia menjatuhkan tubuh Alysaa dengan lembut ke sofa, menunduk, lalu mengecup bibirnya dengan penuh rasa lapar yang tertahan. Ciuman mereka panas dan dalam. Jemari Shaz meraba tengkuk Alysaa, lalu turun ke punggung dan mengunci tubuh molek itu di pelukannya. Nafas mereka bertaut. Alysaa sempat menggeliat kecil, setengah ragu, tapi tak juga menolak. Tubuhnya bereaksi. Tapi hatinya... masih diam. Shaz menyadari itu. Dan mungkin karena itu, ia makin gila. “Aku belum selesai mencintaimu tadi malam,” bisiknya di antara ciuman yang berpindah ke leher istrinya. Ia kembali mengangkat tubuh Alysaa, membaliknya pelan dan memposisikannya dalam bentuk lengkungan yang ia dambakan. Dalam sorot matanya, Alysaa adalah definisi dari segala yang menggoda dan ia tak lagi bisa menahan diri. Tubuh mereka menyatu dalam irama yang liar namun penuh gairah. Hentakan demi hentakan mengguncang ruang itu. Alysaa tak bisa menahan suara yang keluar dari bibirnya di antara kenikmatan dan rasa yang menekan. “Sayang…” ia mengerang, antara pasrah dan bingung dengan gelombang yang menyeretnya semakin dalam. Shaz mencengkeram pinggangnya erat, memacu dirinya lebih cepat, lebih dalam, hingga tubuh istrinya gemetar dan lemas di pelukannya. Ia lalu membalik tubuh Alysaa kembali, duduk dan memangku tubuh sintal itu. Mereka kembali menyatu, kali ini dengan ritme yang lebih lambat namun menggoda. Tangan Shaz membelai punggung Alysaa yang sudah dipenuhi jejak merah gairahnya. Tubuh mereka basah oleh keringat, tapi mata Shaz menatap penuh rasa. “Lihat aku,” bisik Shaz. Alysaa membuka mata. Tatapan mereka bertemu. Tapi tetap saja ada jarak di sana yang tidak bisa dijembatani dengan pelukan atau desahan. Dan itu, menghantui Shaz. Beberapa menit kemudian, puncak itu tiba. Tubuh mereka menegang, menyatu dalam satu hentakan terakhir yang mengguncang mereka berdua hingga ke dasar jiwa. Shaz merebahkan tubuhnya di atas Alysaa, dada mereka saling menempel, napasnya berat dan dalam. Tapi tubuh Alysaa… terasa lebih dingin dari biasanya. Ia memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. Tapi saat ia menoleh ke arah wajah istrinya, Alysaa hanya memejamkan mata. Bibirnya tidak tersenyum. Matanya tidak menangis. Ia hanya diam. “Sayang…my wife..” bisik Shaz, menempelkan keningnya pada pipi Alysaa. “Kamu masih di sini, kan?” Alysaa tidak menjawab. Dan dalam keheningan yang menyelimuti mereka, Shaz mulai merasakan ketakutan lain yang jauh lebih mengerikan dari kehilangan gairah. Dia masih di pelukanku… tapi jiwanya seperti sudah pergi lebih dulu.Hari-hari berjalan pelan, seperti jarum jam yang enggan bergerak. Shaz duduk di kursi rodanya, menatap layar ponsel dengan mata sayu. Pesan yang ia kirim ke Alysaa beberapa hari lalu masih tetap sama—seen, tapi tak berbalas. Sesekali ia membuka ulang, berharap ada notifikasi baru, berharap ada titik-titik tanda balasan yang muncul. Namun hening.Nomornya masih diblokir. Jalan menuju Alysaa seakan tertutup rapat.Shaz menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. Ia ingat betul—di kehidupan sebelumnya, ia memang pernah berselingkuh di belakang Alysaa. Ia tahu dosanya, ia tahu betapa kejamnya kesalahan itu. Namun Alysaa tidak pernah mengetahui saat itu.“Lalu… kenapa di kehidupan ini, kau mengetahuinya, Al?” suaranya pecah, lirih, seakan bertanya pada dinding putih kamarnya. “Apakah aku ditakdirkan hanya untuk terus kehilanganmu, di kehidupan manapun aku berada?”Air matanya jatuh, menodai kain selimut rumah sakit yang kini sudah diganti dengan kasur apartemen tempat ia tinggal.
Beberapa hari kemudian, cahaya matahari Doha menembus kaca rumah sakit Rumailah General Hospital . Di koridor, kursi roda Shaz berderit pelan, didorong perlahan oleh Baba. Garis kerut di kening Baba semakin dalam, tapi genggaman tangannya di pegangan kursi roda terasa kokoh, penuh cinta dan kekuatan seorang ayah.Shaz hanya menunduk. Tubuhnya lemah, tapi yang jauh lebih berat adalah hatinya. Ada ruang kosong yang terus menganga—nama itu, wajah itu, Alysaa. Ia merogoh kantong bajunya, mencoba memastikan ponselnya ada, seakan berharap pesan itu tiba-tiba masuk. Tapi tetap kosong, hampa.Di lobi rumah sakit, Mami sudah menunggu bersama Sharah, Faheem, dan Fateema yang berlari menghampiri. “Paman, paman sudah boleh pulang!” serunya riang, pelukannya melingkari kaki Shaz yang masih lemah.Shaz berusaha tersenyum, meski suaranya serak. “Iya… paman pulang sekarang.”Sharah mendekat, menunduk meraih tangan adiknya, lalu mengecup keningnya. “Kamu bikin semua orang panik, Shaz. Jangan pernah be
Suara tangisan tertahan memenuhi ruang perawatan. Shaz masih terbaring lemah, napasnya tersengal, matanya terus mencari sesuatu yang tak ada di sana. “Alysaa… Alysaa…” panggilnya, berulang-ulang.Mami yang berdiri paling dekat, menggenggam tangan putranya erat-erat. “Shaz, Nak… tenanglah. Siapa itu Alysaa?” suaranya bergetar, penuh cemas.Baba melangkah mendekat, menepuk bahu istrinya seakan ingin menenangkan. Tapi wajahnya pun sama bingungnya. Sharah menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca, sementara Fateema justru menatap paman kesayangannya dengan polos, tak mengerti.Seorang dokter berjas putih memeriksa denyut nadi Shaz, lalu menatap keluarga dengan nada profesional namun lembut. “Tidak perlu panik. Dalam kondisi trauma, wajar jika pasien menyebut nama seseorang yang sangat berarti baginya. Ini biasanya respon bawah sadar—sebuah memori emosional yang kuat.”Semua terdiam, saling pandang, menyerap kata-kata itu. Nama Alysaa kini bukan sekadar bunyi asing; ia menjadi misteri yang
Gelap itu belum sepenuhnya hilang. Shaz merasa seolah dirinya masih terperangkap di antara batas hidup dan mati. Namun samar-samar, suara-suara mulai menembus ruang hampa itu, seperti gema jauh yang perlahan mendekat.“Dokter… bagaimana keadaan putra saya?” suara seorang perempuan paruh baya bergetar, terdengar begitu familiar. Mami. Nada khawatirnya menusuk telinga Shaz, seakan mencoba menariknya kembali dari kehampaan.“Keadaannya masih kritis, madam,” jawab seorang perawat dengan suara formal, sedikit tertahan. “Kami sudah berusaha menjaga stabilitasnya, tapi kami butuh waktu untuk melihat respon berikutnya.”“Dia anak lelaki kami satu-satunya,tolong selamatkan dia,” suara Baba kini terdengar, tegas namun penuh luka. “Apapun yang terjadi… tolong selamatkan dia. Saya mohon.”Langkah-langkah tergesa. Hembusan napas tertahan. Lalu suara tangis tertahan yang sangat dikenalnya. Kakak-kakaknya.“Shaz… adikku… kenapa sampai seperti ini?” suara sang kakak perempuan terisak, suaranya pecah.
Ruang gawat darurat dipenuhi kepanikan. Dentuman suara monitor jantung, teriakan instruksi dokter, dan langkah tergesa para perawat bercampur menjadi satu. Tandu yang membawa Shaz didorong cepat masuk, tubuhnya lemah, pucat, dan hampir tak bergerak.“Pressure’s dropping fast! 60 over 40!” seru seorang perawat sambil menatap layar monitor.“Get me two liters of normal saline, now! Cepat!” dokter jaga memberi instruksi, tangannya cekatan memasang infus di lengan Shaz yang penuh darah. Jarum masuk, cairan mulai mengalir deras.“Respirasi makin lemah, Dok!” seru perawat lain yang menempelkan stetoskop ke dada Shaz.“Ambu bag, cepat! Kita bantu ventilasi!” seorang perawat segera memasang masker oksigen dan memompa udara ke paru-paru Shaz. Dadanya naik turun pelan, tapi sangat lemah.Raheem berdiri terpaku di balik kaca ruang IGD, wajahnya pucat, tangannya mengepal. Ia melihat tubuh Shaz yang semakin tak berdaya, hanya bergantung pada alat medis dan tangan-tangan sibuk para dokter.“Pulse i
Hari-hari berlalu, tapi bagi Shaz, waktu terasa seperti berhenti. Ia mencoba beraktivitas seperti biasa—makan, bekerja, berbicara dengan orang—namun semua dilakukan setengah hati. Senyumnya hilang entah kemana, tatapannya dingin seperti langit mendung yang tak pernah memberi sinar.Malam itu, ia pulang ke rumah dengan langkah berat. Raheem yang sedang duduk di ruang tamu langsung bangkit.“Shaz, kau pulang…!” ucapnya.Shaz hanya menoleh sekilas, tidak menjawab. Wajahnya tak menunjukkan rasa ingin tahu atau kelelahan—hanya datar.Raheem menghela napas, lalu menyodorkan ponselnya. “Kau harus lihat ini.”Shaz menerima ponsel itu. Satu ketukan layar, dan ia melihat sebuah postingan Facebook pada akun Alysaa. Di sana tertulis: Resmi menjadi istri dari Damar Indra Prasetya.Ada foto mereka berdiri di pelaminan, senyum bahagia terpancar. Bahkan ada video singkat saat akad nikah berlangsung—suara ijab kabul Damar terdengar jelas.Shaz terdiam.Memori itu langsung menghantamnya—mengingat hari