Sudah enam bulan berlalu sejak malam itu. Enam bulan di mana tubuh mereka masih saling bersentuhan. Bibir mereka masih bertemu.
Malam demi malam diisi dengan desahan yang terdengar menggoda… tapi kosong. Hampa. Dan itu, mulai menggerogoti Shaz perlahan-lahan. Alysaa tetap melayaninya dengan lembut. Ia menyajikan teh hangat di pagi hari, menyiapkan makan malam, mencuci pakaiannya, bahkan masih membalas setiap ciuman dan pelukan di ranjang. Tapi semuanya terasa… seperti formalitas. Seperti tugas. Bukan cinta. Pagi itu, sinar matahari baru menyelinap dari celah tirai. Kamar mereka dipenuhi aroma tubuh yang belum sempat dibasuh, dan napas yang masih mengembus pelan setelah satu sesi cinta yang mengguncang. Biasanya di hari libur seperti ini mereka melakukannya sepanjang hari, sesuai keinginan Shaz. Alysaa berbaring di sisi ranjang, rambutnya berantakan, tubuhnya hanya tertutup selimut tipis. Shaz memandangi wajah istrinya. Cantik. Sempurna. Tapi dingin. Ia mengusap pipinya dengan punggung tangan, lalu berkata, “Sayang…” “Hm?” gumam Alysaa, masih menatap langit-langit. “Aku ingin nanya sesuatu.” Alysaa menoleh. Tatapannya tidak tajam, tapi tidak juga hangat. Shaz menarik napas. “Apakah kamu... mencintai pria lain?” Pertanyaan itu menghantam seperti palu. Sunyi menyelimuti kamar, bahkan suara AC terasa lebih bising dari biasanya. Wajah Alysaa berubah seketika. Ia menegakkan tubuhnya, selimut masih menutupi dada hingga pahanya. Matanya menatap Shaz tajam, seperti baru saja ditusuk oleh kata-kata yang tak ia sangka keluar dari mulut suaminya sendiri. “Apa maksudmu?” suaranya rendah, nyaris tak terdengar. Shaz merasa keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Tapi ia tetap menatap Alysaa. “Kamu dingin... tiap malam. Kamu nggak benar-benar memelukku. Nggak menciumku dengan cinta. Aku... aku merasa kamu ada untukku, tapi bukan dengan hatimu.” Alysaa terdiam beberapa detik. Lalu ia tersenyum miring, senyum yang penuh luka. Ia melemparkan selimut, bangkit dari ranjang, dan berdiri menghadap jendela. Cahaya matahari mengenai punggungnya, membuat kulit kuning langsatnya tampak bercahaya. “Kamu pikir aku mencintai pria lain?” tanyanya, suaranya bergetar. “Shaz... kamu pikir aku begitu murah?” Shaz bangkit, duduk di ranjang, menatap punggung Alysaa yang kini sedikit gemetar. “Aku hanya ingin tahu… karena aku nggak ngerti lagi bagaimana cara menyentuhmu. Kamu makin jauh.” Alysaa membalikkan tubuhnya perlahan. Matanya berkaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Ia berjalan pelan ke sisi tempat tidur dan menatap suaminya dalam diam selama beberapa detik. “Kamu tahu apa yang menyakitkan?” bisiknya akhirnya. “Bukan karena aku mencintai pria lain. Tapi karena... aku mencintai kamu.” Shaz menelan ludah. Alysaa melanjutkan, suaranya mulai retak. “Tapi aku nggak pernah merasa kamu mencintaiku. Sejak awal.” Shaz ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu. Alysaa tertawa hambar. “Dan kamu nanya apakah aku mencintai pria lain... padahal kamu sendiri bahkan belum selesai mencintai masa lalumu.” Shaz mengernyit. “Apa maksudmu?” Alysaa mundur satu langkah. Matanya tak lepas dari wajah suaminya. “Aku menemukan kotak kayu itu.” Wajah Shaz seketika berubah. “Foto-foto itu, Shaz. Kamu dan Jazzlyne. Senyummu di sana... lebih jujur dari semua yang pernah kamu tunjukkan ke aku.” Shaz terdiam. Napasnya tercekat. Matanya membulat, menatap Alysaa yang kini berdiri seperti bayangan luka yang ia coba lupakan. “Kamu bahkan masih like fotonya di I*******m, tahun lalu... saat kita udah jadian.” “Alysaa, aku..” “Kamu nggak pernah like satu pun fotoku, Shaz,” potong Alysaa tajam. “Kita liburan bareng, kamu lamar aku, kita nikah... dan kamu nggak pernah sekali pun memamerkan aku.” Shaz terdiam. Wajahnya menegang. Alysaa tersenyum miris. “Jadi sebelum kamu tanya apakah aku mencintai pria lain... tanya dulu ke diri kamu sendiri apakah kamu benar-benar mencintaiku? Atau hanya menggantikan dia?” Hening. Lalu hening yang lebih berat. Shaz tak bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu, dadanya sesak. Dan saat ia hendak melangkah mendekat, Alysaa mundur satu langkah. “Aku akan mandi,” katanya dingin. “Hari ini aku mau pergi sendiri.” “Pergi ke mana?” Alysaa menoleh, wajahnya datar. “Keluar dari rumah ini... sebentar. Sebelum aku benar-benar hilang di dalamnya.” Lalu ia berjalan ke kamar mandi. Menutup pintu perlahan. Dan Shaz, yang masih duduk di ranjang dalam keadaan telanjang, hanya bisa menatap pintu tertutup itu seperti baru saja kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat benar-benar ia miliki. Bunyi pintu kamar mandi terbuka pelan, uap panas keluar menyertai aroma sabun yang samar. Alysaa melangkah keluar dengan tubuh dibalut kimono mandi berwarna biru muda. Rambutnya masih basah, pipinya kemerahan karena air hangat. Namun sorot matanya... tetap dingin. Shaz berdiri di sisi ranjang, kini telah mengenakan kaus putih tipis dan celana pendek. Ia menatap istrinya, canggung. Lalu akhirnya bersuara pelan, “Sayang... bisa aku tahu, kamu nemuin kotak itu di mana?” Alysaa menoleh cepat. “Kenapa?” “Karena... aku yakin, semua tentang dia udah aku buang. Semua.” Alysaa menatapnya dengan tatapan yang menusuk. “Masa kamu bisa lupa punya satu kotak berisi foto-foto cewek yang pernah kamu panggil my love?” Shaz menghela napas, mencoba tenang. “Aku bersumpah, aku sendiri nggak tahu kotak itu masih ada. Aku udah buang semuanya.” “Berarti kamu nggak sengaja bohong. Atau... kamu sengaja simpan tapi pura-pura lupa,” balas Alysaa tajam. Shaz menggeleng cepat. “No, sayang. Listen to me, aku nggak bohong. Aku bahkan nggak pernah buka kotak itu sejak... sejak kami selesai. Aku pikir aku udah buang itu tahun lalu.” “Jangan panggil aku ‘sayang’ kalau isi pikiranmu masih tentang dia,” balas Alysaa, kini nadanya mulai naik. Shaz melangkah maju, mencoba menyentuh lengannya, tapi Alysaa mundur. “Baik, kamu mau bukti?” katanya tegas. “Ayo, ikut aku.” Ia melangkah cepat ke ruang kerja. Shaz mengejar. Alysaa menarik satu buku besar dari rak dan di baliknya, kotak kayu itu muncul diam, penuh rahasia, seolah mengejek keutuhan pernikahan mereka. Alysaa membuka tutupnya, mengeluarkan satu foto, lalu menyorongkannya ke wajah Shaz. Shaz mematung. Wajahnya berubah. Tangannya gemetar saat mengambil foto itu. “Aku... aku nggak tahu ini masih ada…” gumamnya nyaris tak terdengar. “Aku beneran udah... buang semuanya.” Alysaa tertawa pelan tawa getir. “Tapi kamu lupa satu.” Shaz mengangkat wajah, matanya mulai memerah. “Aku nggak pernah mencintainya lagi, sayang. Yang kupikirkan sekarang, yang kupilih, yang kucintai itu hanya kamu! Kamu masa kini dan masa depanku, kamu ibu dari anak-anakku” “Tapi kamu nggak pernah tersenyum seperti ini ke aku!” bentak Alysaa, menunjuk foto itu. “Lihat dirimu! Kamu bahagia. Kamu hidup. Dan aku? Bahkan saat tidur bersamaku pun, kamu kosong.” Shaz mendekat. “Sayang, please...” “Seandainya aku bisa memutar kembali waktu dan aku tahu kamu belum selesai dengan masa lalumu,” bisik Alysaa, air matanya jatuh perlahan, “aku nggak akan pernah mau menikah denganmu.” Kata-kata itu menampar Shaz seperti badai. Tubuhnya goyah. Ia mundur beberapa langkah, seperti seseorang yang baru saja kehilangan napas. Alysaa menatapnya sejenak lalu berbalik, berjalan ke kamar dan mengunci pintu dari dalam tanpa sepatah kata lagi. Shaz terduduk di sofa. Wajahnya tertunduk, napas berat keluar satu-satu. Ia terluka. Lebih dari yang ia sangka. Karena kini ia sadar semua ini hanya kesalahpahaman. Tapi kesalahpahaman yang... mematikan. “Bagaimana caranya... aku bisa membuat dia percaya bahwa hatiku dan cintaku hanya untuknya?” Ia berbaring menatap langit-langit dengan mata lelah. Jiwanya remuk. Hatinya sibuk berpikir, tapi tubuhnya mulai menyerah. Tanpa sadar... matanya menutup. Gelap. Sunyi. Dan beberapa saat ia membuka mata, terbangun dari tidurnya… Namun, terasa cahaya menyilaukan masuk dari jendela besar yang bukan miliknya. Suara klakson bersahutan. Aroma asing. Udara berbeda. Shaz terduduk cepat. Ini bukan apartemen mereka. Dindingnya krem dengan bingkai foto hitam putih yang asing. Tirai jendela berenda. Suara burung terdengar dari luar. Bukan Doha. Bukan Aynora Residence. Ia berdiri perlahan, tubuhnya masih berat. Langkah kakinya terasa canggung di lantai kayu dingin. Ia membuka pintu ruangan itu... Dan dadanya langsung bergemuruh. "Ini seperti di......" Shaz membeku. Tangannya gemetar. Matanya nyaris tak percaya. “Apa... ini?” Tubuhnya seakan kehilangan gravitasi. Dunia tampak seperti berputar. Ia memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun ia tetap berada di tempat ini… “Shaz!. ” Panggil seseorang yang tak asing di telinganya.Langkah Raheem tergesa, mengikuti Shaz yang terus melangkah menjauh dari rumah besar itu. Napasnya masih belum teratur, pikirannya belum pulih dari ketegangan barusan.“Raheem!”Sebuah suara memanggilnya dari belakang.Ia menoleh cepat.Seorang perempuan berdiri di antara para tamu. Kebaya warna lilac yang ia kenakan terlihat kontras dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Mata bulatnya memandang penuh harap, dan seulas senyum lembut tersungging di bibirnya.“Raheem, ini aku. Kau masih ingat?”Raheem mengernyit. Matanya menyipit, mencoba mengingat. “Kau… temannya Alysaa?”Perempuan itu terkekeh. “Iya. Aku Maya. Kita pernah bertemu di Malaysia. Kau dan Shaz mengantar kami kebandara, kau ingat?”“Oh, ya! Aku ingat sekarang,” Raheem mengangguk pelan, nada suaranya mulai hangat. “Yang satu lagi, ke mana?”“Radya? Dia masih di dalam, bersama tamu-tamu yang lainnya.” Maya melirik ke arah rumah.Ada jeda hening sejenak. Keduanya saling menatap, seperti mencoba menyesuaikan diri dal
Langkah kaki Shaz terdengar pelan di sepanjang sisi rumah besar itu. Jalan setapak kecil yang sempit dan ditumbuhi kembang sepatu mengantarnya ke area belakang—halaman terbuka dengan pohon mangga besar di sudutnya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sebagian acara di dalam. Hiasan pita dan bunga-bunga melambai ditiup angin, tamu-tamu bersorak kecil saat hidangan mulai disajikan. Tapi telinganya hanya menangkap satu pertanyaan yang berdengung keras dalam benaknya:“Apakah aku sudah terlambat?”Ia menepis keraguan, memantapkan langkah secepat mungkin—seperti pria yang mengejar takdirnya yang hendak direbut dunia.“Shaz, tunggu!” seru Raheem dari belakang, menarik lengannya. “Apa kau yakin ini cara yang tepat?”Shaz menatapnya dengan mata yang berapi. “Kalau aku pergi sekarang, aku akan menyesal seumur hidup.”Beberapa tamu menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar dari berbagai sudut.“Siapa itu?”“Tampaknya bukan dari pihak keluarga…”“Tapi… tampan sekali, ya?”Seorang pria paruh baya b
Shaz menarik napas lega... tapi hanya sedetik. Hinggga tiba seseorang lewat—seorang tetangga wanita berusia sekitar empat puluhan, membawa tas plastik berisi sayuran. Ia menatap mobil-mobil itu dan berseru dengan suara cukup keras.“Wah, udah dateng ya? Banyak banget mobilnya. Lamaran besar, ya, Bu Sari?”Ibu warung—Bu Sari—menoleh cepat.“Lamaran?”“Iya, katanya calon mantu Pak Ardan datang hari ini. Dari Kota Bandung, atau mana, saya lupa.”Shaz tak mengerti semua kata itu, hanya frasa: “lamaran”.Tapi cukup. Itu kata yang menghantam kepalanya seperti batu.Ia langsung membuka G****e Translate dan mengetik dengan cepat.“Maaf, ini hari lamaran? Lamaran siapa?”Ibu Sari membaca, ragu sejenak… lalu menatap Shaz lebih lama. Kerutan di wajahnya tampak berubah jadi empati yang dalam.“Kata tetangga barusan sih… anak Pak Ardan yang mau dilamar. Cantik sekali lho. Rombongan mobil mewah itu ternyata rombongan calon pengantin pria"Shaz menunduk. Udara terasa tipis. Botol air mineral dalam ta
Mobil berwarna hitam metalik melaju pelan melewati jalanan yang meliuk di kaki pegunungan. Aroma khas daun teh yang lembap memenuhi udara, sementara hamparan kebun menghijau di kedua sisi, seolah ikut menyambut dua pria asing yang tengah membawa misi dari masa lalu.Di balik kemudi, Shaz menggenggam setir dengan kedua tangan. Tatapannya fokus, namun hati dan pikirannya masih jauh, tertinggal di tempat bernama ketakutan. Ia hampir tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari hotel pagi itu. Hanya suara GPS dan hembusan napas panjang yang memenuhi kabin.Raheem, duduk di kursi penumpang dengan pandangan tak kalah tegang, sesekali melirik ke arah luar jendela. “Tempat ini… terasa seperti perhentian terakhir, ya?”Shaz mengangguk sekali. “Kalau kita salah alamat, aku nggak tahu lagi harus kemana.”Angin tipis pegunungan berembus lewat celah kaca, namun suasana di dalam mobil tetap terasa pengap. Shaz memegang setir erat-erat, seolah jalan yang ia tempuh kali ini adalah jalan satu-sa
Kafe itu masih sama.Aroma kopi hangat masih menguar dari mesin espresso di balik meja kasir. Tapi bagi Shaz, tempat itu seperti lukisan lama yang warnanya memudar—masih familiar, tapi tak lagi menyimpan kehangatan.Ia berdiri di depan meja pemesanan. Matanya menelusuri wajah-wajah barista yang sibuk. Tak satu pun yang ia kenali.“Bahkan semesta seperti menutup semuanya dariku,” gumamnya lirih. “Karyawan yang dulu memberi tahu tempat tinggal Alysaa… tidak ada.”Shaz melangkah pelan ke arah kursi pojok yang pernah ia duduki saat pertama kali datang ke Bandung bersama Raheem. Kursi itu masih di sana. Sunyi. Seolah menunggu luka lama untuk duduk kembali.Raheem mendekat, membawakan dua gelas kopi dan sepiring kue kecil.“Sudah, duduklah. Kita pikirkan lagi. Mungkin ada petunjuk lain,” ujarnya sambil menyodorkan gelas kopi ke Shaz.Shaz mengambilnya tanpa banyak bicara. Cairan hangat itu menyentuh bibirnya, tapi tak menyentuh hatinya.“Kau tahu kontaknya Maya atau Radya?” tanyanya pelan,
Bandara Kuala Lumpur dipenuhi suara langkah tergesa, pengumuman keberangkatan, dan aroma kopi dari kios di sepanjang terminal. Tapi tak satu pun dari itu menyentuh kesadaran Shaz. Ia duduk di kursi tunggu dengan punggung membungkuk, tangan terkepal, dan mata tak lepas dari layar ponsel yang kosong dari notifikasi.Raheem duduk di sebelahnya, menatap sahabatnya dengan raut prihatin. Bahkan ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa Shaz sedang mencoba menahan napas yang sejak lama terasa menggantung.“Raheem,” gumam Shaz pelan, “nomormu masih diblokir?”Raheem menggeleng pelan. “Iya, Shaz. Dia benar-benar... menghilang.”Shaz memejamkan mata. Wajah Alysaa—matanya yang jernih, bibir ranumnya—terus muncul di bayangannya. Tapi kali ini, senyumnya menjauh. Buram. Terhapus perlahan.“Bagaimana kalau… dia sedang hamil?” suaranya terdengar rapuh.Raheem menghela napas. “Kalau dia yakin hamil, mungkin dia nggak akan segan buat cari kamu. Tapi kalau dia yakin tidak…” Ia menatap Shaz dengan sorot la