Bab 47
Tak Seindah Malam Pertama
(Adilkah?)
Bab 48 Tak Seindah Malam Pertama(Permintaan Maya) Bu Marni menangkap gelagat Maya yang terlihat keberatan, tapi tak kuasa menyampaikan. Bu Marni memancing Maya untuk menjawab. “Bagaimana dengan kamu, May?” tanya Bu Marni. Maya mengangkat wajahnya, ia menatap Ibnu sebelum akhirnya menjawab. ****************************** “Jujur saya tidak tahu mesti menjawab apa, Bu. Tapi …." Maya menghentikan bicaranya. Ragu. "Tapi kenapa, May?" tanya Bu Marni penasaran. "Tapi … Saya merasa kehilangan Mas Ibnu. Selama ini Mas Ibnu hanya mendatangi saya di siang hari saat makan siang, hanya sekedar mengingatkan untuk makan dan minum obat. Maaf, Mas.” Maya berucap sembari menunduk, tak kuasa menatap Ibnu. Satu sisi, Maya takut suaminya itu tersinggung, tapi disisi lain, ia berharap Bu Marni dapat menjadi penengah dan mengingatkan sikap Ibnu yang lalai. “Kamu dengar, Le? Artinya, apa yang kamu lakukan itu belum ad
Bab 49 Tak Seindah Malam Pertama (Rumah Baru)
Bab 50Tak Seindah Malam Pertama(Bertiga, lebih bahagia)
Bab 51 Tak Seindah Malam Pertama (Membuka Aib)
Dokter menatap Ibnu dan Dini bergantian. Setelahnya, ia menghembuskan nafas panjang. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" Ibnu mengulangi pertanyaannya karena tak kunjung mendapat jawaban dari dokter. Dokter justru tersenyum, kemudian berkata, "Alhamdulillah, kondisi bu Dini dan kandungannya sehat, dari hasil pemeriksaan dapat disimpulkan jika semua normal." "Alhamdulillah," Ibnu dan Dini mengucap syukur bersamaan. Mereka saling menoleh, kemudian tersenyum, terlihat sangat lega. "Tapi, Dok, perdarahan yang kemarin saya alami, apa tidak bahaya, Dok?" Rupanya Dini masih belum puas mendengar penjelasan dokter. "Tidak apa-apa, Bu Dini. Flek-flek yang Ibu alami kemarin adalah hal yang wajar untuk seorang ibu hamil. Meskipun tidak semua ibu hamil mengalami flek-flek seperti yang Ibu alami, tetapi tidak apa-apa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Dokter berusaha menjelaskan dengan bahasa paling mudah. "Maksudnya normal gimana ya, Dok?" Tanya Dini lagi, masih belum puas. "Flek-flek y
Akhirnya Ibnu dan Dini kembali sampai di rumah baru mereka. Ibnu mematikan mesin mobil dan dengan hati-hati sekali memapah Dini untuk turun dari mobil, seolah Dini adalah benda rapuh yang harus dilindungi sedemikian rupa. “Hati-hati, Dek, jalannya pelan-pelan saja!” Pesan Ibnu saat melihat Dini berjalan dengan cepat. “Iya, suamiku yang bawel,” jawab Dini. Ia bahagia Ibnu mengkhawatirkannya. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang istri selain mendapat ribuan perhatian juga kasih sayang dari suami. “Dibilangin suami kok malah begitu to, Dek?!” Ucap Ibnu. Ia sungguh khawatir dan tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada istri keduanya itu. “Iya, Mas,” jawab Dini pada akhirnya. Ia menghentikan langkah agar sejajar dengan Ibnu, setelah Ibnu berada di sampingnya, ia melingkarkan tangannya di tangan kokoh Ibnu, bergelayut manja di sana. “Aku seneng, Mas perhatian sama aku.” Dini berucap manja, membuat Ibnu menyunggingkan senyum. Ia lupa dengan perasaan bersalahnya pada Maya.
Ibnu melangkah gontai menuju kamar mandi. Ia kalap, emosi merajai hati juga pikirannya. Tepat saat ia sampai di depan pintu kamar mandi, ketika hendak mendobrak pintu, terdengar suara adzan ashar."Allahu akbar allahu akbar."Seketika hati Ibnu terasa sejuk, laksana seorang pengembara yang berada di gurun pasir, kemudian menemukan sebuah oase. Sejuk, terasa adem di hatinya."Astaghfirullah hal 'adzim." Ibnu mengucap istighfar berulang kali, hampir saja ia menuruti hawa nafsunya untuk marah.Ibnu berbalik arah, diraihnya sebuah handuk yang tergantung di sebelah pintu kamar mandi, kemudian dipakainya handuk tersebut. Ibnu ingin segera mandi besar agar dapat melaksanakan sholat ashar tepat waktu. Akhirnya ia memilih keluar kamar dan mandi di kamar mandi luar.Setelah selesai mandi dan mengenakan baju, Ibnu kembali ke kamar, berniat mengajak Maya untuk sholat berjamaah."Dek, kamu dimana?" Ibnu mencari Maya ke seluruh kamar, tapi nihil, Maya tak ada di sana.Akhirnya Ibnu mencari Maya di l
Maya membolak-balik remot yang ada di tangannya, berganti dengan gerakan menekan tombol channel berulang kali. Matanya menatap layar televisi, tapi otaknya memikirkan hal lain."Dek, sepertinya mas harus keluar sebentar. Dini baru pingin sate. Mas tinggal nggak apa-apa 'kan? Janji deh, sebelum jam sembilan, mas sudah pulang kesini,"Perkataan Ibnu beberapa jam yang lalu kembali terngiang. Sekali lagi, Ibnu mengingkari janji.Maya menoleh, melihat jam yang menempel di dinding. Jarum panjang menunjuk angka dua belas, sementara jarum pendek menunjuk angka sebelas. Tepat pukul sebelas malam, dua jam lebih dari janji yang diucap Ibnu, dia belum juga pulang.Maya menghela nafas panjang. Semakin yakin jika Ibnu tak akan pulang malam ini. Keyakinan yang sedari tadi terus disangkalnya karena merasa percaya diri, bahwa hari ini jatah Ibnu pulang ke rumahnya. Ternyata hal itu bukan jaminan.Setelah mematikan televisi, Maya menuju pintu depan, menguncinya dan bersiap untuk tidur. Saat melewati me