Share

3. POV M : penolakan

POV Miranda.

"Jangan menangis, ayo tersenyum," ujarnya saat aku tenggelam dalam kesedihan dan semua penolakan kekasihku secara halus. Kalau dia memang tahu kami tidak bisa bersama mengapa dia terus mempertahankan hubungan ini.

Dulu aku adalah konsultan desainer untuk kantornya, aku bekerja di sebuah perusahaan penyedia jasa arsitek dan layanan interior. Aku berkenalan dengannya saat mendesain langsung kantor untuk direktur utama dan ruang kerjanya. Kami akrab karena sering bertemu lalu pada akhirnya lelaki itu mengutarakan cintanya padaku.

Dia bilang dia kagum padaku yang meski seorang anak yatim piatu, tapi aku bangkit dan mampu mandiri, aku tumbuh dengan cerdas dan bisa berkarir layaknya wanita sukses yang datang dari keluarga harmonis dan kaya. Dia bilang, Aku adalah wanita edisi terbatas yang diinginkan semua pria di dunia ini.

Soalnya Aku sama sekali tidak tahu kalau dia punya istri, pikir dia lajang Karena Dia menghabiskan banyak waktu untuk mengurusi karir dan bisnis. Hampir sepanjang hari dan malam dia di kantor menghabiskan waktu, bergelut dengan kertas-kertas dan asistennya, juga laptopnya. Pelan-pelan aku juga mengagumi kinerja dan betapa seriusnya lelaki ini dengan komitmen karirnya. Kupikir kalau aku dan dia menikah kamu akan jadi pasangan yang hebat karena sangat berdedikasi dengan pekerjaan dan bisa menghasilkan uang yang banyak.

Harapan tinggal harapan, semuanya pupus di malam aku bercinta dengannya dan dia mengatakan yang sebenarnya, dia bilang dia sangat jatuh cinta padaku tapi dia tidak bisa menikahiku karena ternyata dia adalah milik orang lain.

Hari itu aku benar-benar sangat terluka dan minta putus dengannya, tapi entah kenapa dia langsung membenturkan dirinya ke dinding dan berusaha pergi ke balkon untuk menjatuhkan diri dari lantai 4 hotel tempat kami berkencan. Tentu saja aku panik dengan sikap dramatisas Alfian, dia menangis, dia terduduk di lantai sambil tergugu dan bilang lebih baik mati saja daripada putus denganku.

Ironisnya, dia bilang tidak bisa hidup tanpaku, tapi ketika aku mengajaknya menikah, dia bilang dia sangat mencintai keluarganya. Sungguh, kejomplangan hubungan yang tak bisa dimengerti. Dia mencintaiku tapi tidak bisa meninggalkan istrinya.

Ada rasa penasaran di bulan benakku untuk mengetahui siapa wanita yang beruntung itu. Kutahan diriku karena kalau aku tahu, aku pasti akan mencari tahu sampai tidak bisa berhenti melakukan itu. Aku akan akan terobsesi lalu kehilangan esensi kenyamanan hidupku. Tidak, aku tak mau.

*

"Sayang, kau harus menjaga kelenturan tubuh dan fisikmu, karenanya aku memberimu sebuah hadiah," ucapnya sambil mengangsurkan kontak berwarna coklat.

"Kenapa kau selalu memberiku hadiah Mas, ini bukan lebaran atau ulang tahunku?"

"Tidak masalah, bagiku setiap hari adalah lebaran, kau hadiah dalam hidupku," ujarnya sambil mengecup mesra, kubuka kotak itu dan mendapatkan kartu keanggotaan game gimana aku bisa berolahraga di tempat mewah dengan tarif yang sangat mahal. Aku terkesima melihat kartu keanggotaan berwarna merah marun dengan tulisan namaku di sana.

Miranda Aryadi.

"Sejak kapan kau menyiapkan ini?"

"Aku bukan cuma memperhatikan kesehatan dan dirimu, bahkan aku menyiapkan semuanya untuk kita termasuk detail-detailnya. Kita akan bangun rumah musim dingin di tepi danau, lalu ada kebun di bagian belakangnya sehingga kalau kau ingin buah atau sayur kau bisa langsung memetiknya. Kita akan duduk sambil menikmati roti buatanmu, minum Wine dan cahaya bulan. Aku juga ingin kita menabung untuk kendaraan di masa depan dan investasi di hari tua."

Aku langsung meneteskan air mata begitu mendengar rencana masa depan tentang kehidupan kami. Ucapannya seakan-akan aku adalah istrinya, aku adalah calon ibu anak-anaknya dan aku pula yang akan menghabiskan hari tua dengannya. Aku tak mampu membendung keharuan sekaligus sedih pada kenyataan kalau semua itu hanya mimpi yang dibangun di atas permukaan kaca yang seketika bisa saja pecah berkeping-keping. Jika istrinya tahu, maka hidup dan hubungan kami akan hancur,impian dan semua kata-kata manis yang diucapkan Mas Alfian hanya seperti debu di atas batu yang kemudian disapu oleh air hujan, lalu semuanya hilang tak berbekas.

Ingin kuakhiri hubungan ini tapi aku terlanjur mencintainya, aku terlanjur memberikan tubuh di mana aku menerima dia sebagai suamiku sehingga ia bisa menjamahku, aku juga terlalu memberikan 3/4 hatiku untuk dirinya, sisanya, Jika dia meninggalkanku, maka mungkin aku bisa gila.

"Aku mengerti perasaanmu kalau kau pesimis dengan hubungan kita. Tidak banyak hal yang bisa kujanjikan padamu kecuali aku akan selalu berusaha ada di sisimu dan mendatangimu setiap malam."

"Tapi sampai kapan aku jadi simpanan!"

"Siapa bilang kau simpanan, kau memiliki seluruh hatiku meski wanita itu memiliki tubuh dan statusku," ucapnya sambil mengecup ujung jariku dengan penuh perasaan, ia memejam dan air mata perlahan menetes dari netranya. Kalau sudah begitu Aku kehilangan kata-kata untuk mendebatnya karena egoku dikalahkan oleh rasa iba dan cinta.

Sungguh, aku tidak nyaman dengan hubungan ini. Aku tahu Mas Alfian begitu mencintaiku karena meski dia sudah berada bersama istrinya, kalau aku meneleponnya, maka dia akan datang. Dia selalu ada begitu aku memanggilnya jadi di bagian mana aku harus melakukan lelaki baik itu.

Malam ini dia datang, aku telah mengenakan pakaian tidur saat yang berwarna marun. Saat bel pintu berbunyi aku langsung membukanya begitu daun pintu terbuka pria itu langsung memeluk dan menyergap bibirku dengan mesra.

"Aku rindu, sepanjang hari di kantor Aku memikirkan dirimu," bisiknya sambil menjelajahi pipi dan leherku.

"Benarkah?" tanyaku sambil mendorong dadanya.

"Sungguh, aku sangat rindu padamu." Dia menggendongku, mendudukkan diriku di atas meja mini bar, membelai tubuhku lalu kami memadu asmara di sana, dengan penuh gairah.

Entah kenapa aku begitu menikmati percintaanku dengan Mas Alfian, meski aku tahu di seberang sana--istrinya yang entah siapa dia--pasti sedang gelisah memikirkan suaminya di mana dan sedang apa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status