공유

Part 4

last update 최신 업데이트: 2025-11-03 15:24:16

Vanka mengemudi dengan perasaan tidak menentu. Jalanan ibukota hari itu tampak padat. Suara klakson bersahutan, lampu merah berganti hijau dengan tanpa henti. Tapi Vanka tidak benar-benar fokus pada semua itu. Pikirannya terlalu penuh oleh wajah Lengkara yang pucat dan suara lirihnya yang terus terngiang di telinga.

'Sakit semua, Ma. Kayak ditusuk-tusuk.'

Ia menggenggam setir erat-erat, menahan sesak di dada. Hanya satu harapannya, yaitu Shankara.

Jika Shankara masih di kota ini, kalau ia masih hidup dan masih di bengkel itu, maka mungkin Tuhan memang belum menutup jalan untuk Lengkara.

Mobil berhenti di depan sebuah area industri modern. Gedung-gedung besar berdinding kaca dan baja berdiri dengan sejajar. Di ujung jalan, ada plang besar bertuliskan 'Shankara Motorworks' berdiri mencolok dengan huruf metalik berkilau.

Vanka turun dari mobilnya. Ia menatap bangunan bengkel itu dengan begitu lama. Bangunan berlantai dua itu tinggi, besar, luas, modern, dan jauh dari kesan bengkel kecil sederhana seperti saat Shankara memulai usahanya belasan tahun yang lalu.

Tangannya gemetar saat menyentuh pintu. Tapi pintu itu terkunci. Di sisi kiri, ada papan kecil tergantung dengan tulisan, 'Closed for Private Event.'

"Private event? Ada acara pribadi apa?" Vanka menggumam penuh tanda tanya.

Ia memindai sekitar, mencari siapa pun yang bisa ditanya. Di seberang jalan ada seorang pria tua berseragam keamanan yang sedang duduk di pos jaga. Vanka segera menghampirinya.

"Permisi, Pak, mau tanya, bengkel itu tutup ya?"

Satpam tersebut menatap Vanka lalu menjawab dengan ramah. "Iya, Bu. Tutup dulu hari ini. Bosnya lagi ada acara penting di luar. Semua karyawan juga ke sana.”

"Acara penting?" tanya Vanka cepat. "Acara apa ya, Pak?"

Pria itu tersenyum tipis. "Katanya sih acara tunangan, Bu."

Tunangan.

Kata itu langsung menampar Vanka dengan begitu keras sehingga napasnya tercekat. Ia sempat membeku, berdiri di bawah terik matahari yang mulai condong ke barat.

"Tunangan?" ulangnya hampir tidak terdengar.

"Iya," sahut satpam itu lagi. "Kalau Ibu mau cari orangnya, acaranya diadakan di Cendana Hall, Bu. Sekitar tujuh kilometer dari sini. Gedungnya besar, ada tulisan Cendana Hall & Ballroom di depannya. Pasti ketemu."

"Terima kasih, Pak," ujar Vanka gemetar, suaranya tiba-tiba parau.

Ia kembali ke mobil. Tangannya semakin gemetar saat menyalakan mesin. Dadanya terasa sesak. Ia merasa cemas, bingung, dan entah kenapa. Ada rasa yang tidak mau diakui.

Rasa sakit.

Namun, di sisi lain pikirannya segera tertarik kembali ke Lengkara.

Jika Shankara bertunangan hari ini, berarti ia hidup, sehat, dan masih di kota ini. Dan itu berarti masih ada harapan untuk putri mereka.

*

Cendana Hall & Ballroom berdiri megah di kawasan elit. Deretan mobil mewah berjejer di parkiran. Beberapa tamu berpakaian elegan berjalan masuk dengan senyum dan tawa. Mereka membawa kado atau bunga.

Vanka menelan saliva. Ia memandangi bayangan dirinya di kaca mobil. Wajah lelah, rambut diikat seadanya, tanpa riasan, hanya mengenakan blus putih dan celana panjang hitam. Ia terlihat seperti orang asing di antara para tamu berpakaian mahal itu.

Namun, ia tidak peduli. Ia keluar dari mobil lalu melangkah pelan ke arah pintu utama. Suara musik lembut berupa iringan piano dan biola terdengar dari dalam gedung, menandakan acara resmi sedang berlangsung.

Di depan pintu, dua petugas keamanan berdiri. Salah satunya menatap Vanka dengan ragu.

"Maaf, Ibu tamu undangan?"

"Eh … iya," jawab Vanka cepat, meski jantungnya berdetak tidak karuan. "Saya … teman lamanya."

Satpam itu saling pandang dengan rekannya, lalu mengangguk. "Silakan, Bu. Acara di ballroom utama, lantai satu."

Vanka menarik napas dalam-dalam. Ia agak kesulitan menahan rasa gemetar di kakinya. Ia lalu berjalan melewati koridor panjang yang berhiaskan bunga putih. Udara di dalam ruangan terasa dingin, tapi bulir-bulir keringat justru membasahi tengkuknya.

Vanka berhenti di ambang pintu. Matanya menelusuri kerumunan tamu bergaun-gaun cantik dan jas-jas rapi.

Di depan sana, dengan dekorasi bunga mawar di sekitarnya, berdiri seseorang yang wajahnya menghantam seluruh isi hati Vanka dengan kenangan masa lalu.

Pria itu adalah Shankara!

***

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 109

    Ucapan putrinya tentu saja membuat Shankara tercengang. "Tante Anin?" Shankara mengulangi seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar."Iya, Pa. Di depan." Lengkara menunjuk ke arah pintu dengan wajah sedikit tegang, berbeda dari ekspresi cerianya sejak tadi.Tidak ada dalam pikiran Shankara bahwa Anindia akan datang ke rumahnya setelah kejadian kemarin. Pagi-pagi pula. Bayangan kejadian malam itu berkelebat cepat di kepalanya. Teriakan, tangisan, darah, dan kegigihan Anindia yang membuatnya tidak nyaman. “Lengkara masuk ke kamar dulu ya,” katanya setenang mungkin sambil berjongkok di hadapan putrinya. “Papa mau bicara sebentar.”Lengkara mengangguk patuh tanpa banyak bertanya lalu berjalan perlahan menuju kamarnya. Shankara memastikan pintu kamar tertutup sebelum melangkah ke arah depan.Anindia sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Perempuan itu tampak kacau. Wajahnya pucat, rambutnya tidak disisir. Dan yang paling jelas adalah matanya yang merah dan bengkak pertanda

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 108

    Hari masih pagi ketika Lengkara terjaga dari tidurnya. Matanya yang masih setengah mengantuk bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya membulat penuh kegembiraan. Di sebelahnya, Mama dan papanya ada di sana. Berdekatan dan saling memeluk satu sama lain."Wah, Papa meluk Mama!" serunya ceria. Ini adalah untuk pertama kalinya anak itu melihat orang tuanya tidur bersama.Lengkara memerhatikan keduanya dengan mata berbinar, seolah menemukan pemandangan paling indah pagi itu. Bibir mungilnya tersenyum lebar, lalu ia duduk sambil menepuk-nepuk kasur.“Papa sama Mama tidur bareng.” Anak itu menggumam takjub dengan mata tidak lepas dari keduanya.Tak lama kemudian Vanka terbangun. Ketika kelopak matanya terbuka, ia bertemu dengan wajah penuh binar anaknya. Pipinya seketika memanas. Ia hendak bergerak menjauh, tapi lengan Shankara justru mengerat di perutnya.“Bang, lepasin. Lengkara udah bangun,” bisiknya malu.Shankara membuka mata dengan santai, lalu tersenyum ketika menyadari siapa yang

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 107

    Vanka sudah berkali-kali memandang jam dinding sejak sore menjadi malam. Tangannya juga tidak berhenti meremas ponsel, membuka, menutup layar, berharap ada pesan masuk atau apa pun dari Shankara. Tapi tidak ada. Lengkara juga sudah berkali-kali menanyakan kenapa papanya masih belum pulang. Tadi Vanka mengatakan padanya bahwa Shankara pergi ke bengkel. Lengkara terus menunggu sampai akhirnya tertidur sendiri. Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai sedikit, lalu kembali duduk. Lalu berdiri lagi. Jantungnya tidak tenang sejak Shankara pergi bertemu Anindia. Vanka tahu pertemuan itu tidak akan sederhana. Ia mencoba menenangkan diri dengan membuat teh, tapi cangkir itu hanya disentuhnya sekali sebelum diletakkan kembali. Pikirannya terus berkelana pada kemungkinan paling terburuk. Ketika akhirnya suara pintu dibuka terdengar, Vanka hampir berlari. "Abang." Kata itu terhenti di bibirnya. Shankara berdiri di ambang pintu dengan wajah letih. Vanka melangkah mendekat, hendak memeluk

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 106

    Shankara membeku hanya sepersekian detik. Lalu nalurinya mengambil alih segalanya.“Anindia!”Ia menerjang ke depan, menangkap pergelangan tangan Anindia sebelum sayatan itu menjadi lebih dalam. Pecahan vas terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring. Darah tetap keluar, tapi tidak seperti yang Anindia niatkan. Shankara menggenggam tangannya kuat-kuat, menekan pergelangan itu ke dadanya sendiri, menahan dengan telapak dan lengan bajunya.“Gila kamu! Kamu mau bunuh diri cuma buat maksa aku?!”Anindia memberontak, menangis, menjerit, memukul dada Shankara dengan tangan satunya yang bebas. “Lepasin! Lepasin aku! Aku lebih baik mati daripada kamu tinggalin!”“Diam!” Shankara membentaknya dengan keras, penuh amarah dan panik. “Diam, Nin! Dengar aku!” Ia menyeret Anindia ke sofa, memaksanya duduk. Anindia terisak keras, tubuhnya gemetar hebat. “Kamu nggak peduli aku mati atau hidup, kan?” suaranya serak, penuh kekecewaan dan luka. “Kamu cuma peduli sama dia.”“Aku peduli sama kamu. M

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 105

    Sedikit pun tidak ada dalam prediksi Shankara mengenai hal yang diinginkan Anindia. Tadi dirinya pikir perempuan itu akan langsung menyerah setelah mengetahui kondisinya. Tapi dugaannya salah."Ayo! Kenapa diam? Kamu takut?" Anindia tersenyum mengejek melihat bungkamnya pria itu."Takut apa?""Takut ketahuan bohong." Anindia mendesis. “Takut ketahuan kamu sebenarnya masih bisa. Takut ketahuan semua omongan kamu cuma alasan murahan biar bisa balik ke dia.”“Aku nggak bohong, Nin. Itu memang kondisiku,” jawab Shankara tanpa nada emosi. “Dan aku nggak akan membuktikan apa pun dengan cara itu.”Anindia mendengkus. Tangannya tiba-tiba mencekal lengan Shankara, menariknya masuk ke dalam rumah. “Ke kamar. Sekarang!”Shankara menghentikan langkahnya. Seketika cengkeraman itu terlepas bukan karena Anindia melepaskan, melainkan karena Shankara mengunci pergelangan tangannya. Cekalannya tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Anindia terdiam.“Lepasin aku!” Anindia memberontak.“Nin.” Shankar

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 104

    Shankara menutup pintu kamar mandi dengan kakinya. Vanka masih berada dalam gendongannya saat pria itu menurunkannya perlahan. Kala tangan besar itu melucuti pakaian wanitanya, tatapan mereka bertemu, penuh dengan rasa yang tidak perlu diucapkan. Tetes-tetes air yang berjatuhan dari shower membasahi tubuh mereka berdua. Kali ini mereka tidak banyak bicara. Hanya tubuh mereka yang berbahasa. Vanka diam membisu ketika Shankara menyabuni punggungnya, turun dan semakin turun ke bawah sampai tangan lelaki itu berada di kakinya. Shankara kembali berdiri. Tangannya mencengkeram pinggul Vanka untuk kemudian memasukinya dari belakang. Vanka memejamkan mata, menikmati sensasi itu. Sekujur tubuhnya melemah. Sendi-sendi penyanggahnya seakan goyah mendapat manuver yang sebegitu hebatnya. Shankara menahan tubuh Vanka agar tidak jatuh, dadanya menempel di punggung wanita itu. Napas mereka berbaur di bawah titik-titik air. Air mengalir di bahu Vanka, menyusuri lekuk tubuhnya, seolah i

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status