Beranda / Romansa / Takdir Cinta Perempuan Pengganti / Bab 1 - Sebuah Ruang untuk Duka

Share

Takdir Cinta Perempuan Pengganti
Takdir Cinta Perempuan Pengganti
Penulis: Rima Hutabarat

Bab 1 - Sebuah Ruang untuk Duka

Penulis: Rima Hutabarat
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-14 09:30:07

Ruangan ini satu jam yang lalu masih terlihat ramai. Orang-orang datang bergantian dengan mayoritas berpakaian hitam. Ada yang menangis, ada yang berempati seperlunya, ada pula yang berbincang dan tertawa di kursi-kursi di bawah tenda. Sebagian malah memanfaatkan suasana untuk bertemu kerabat lama.

Hari ini adalah hari penguburan Livia, perempuan yang lahir ke dunia sepuluh menit lebih cepat dariku. Livia wafat seminggu setelah proses persalinan bayinya, meninggalkan seorang makhluk mungil yang baru saja tertidur setelah berjam-jam kugendong dengan kain batik milik Ibu. 

Pandanganku berkeliling setelah kuletakkan bayi yang belum bernama itu di tempat tidur kecilnya. Di luar sana, Ayah sedang menegur beberapa orang anak lelaki yang mencoba mencabuti bunga-bunga plastik dari deretan papan ucapan duka di depan rumah. Bunda tengah mengutipi sisa gelas plastik yang berserakan di halaman. Lian, si bujang bungsu, kelihatan mengobrol dengan raut wajah terpaksa menanggapi ocehan salah seorang kerabat Ayah yang sudah lanjut usia. 

Semua orang berusaha mengatasi kesedihan masing-masing atas kepergian mendadak ini. Termasuk aku, juga lelaki muda yang duduk sendiri di sofa memandangi ponsel dalam genggamannya. 

Dia Mahesa Dipta teman masa remaja kami, cinta pertamaku, suami Livia. Satu-satunya yang aku tertawakan dari jalan hidupku selama dua puluh lima tahun terakhir. Dari sekian banyak kesempatan bagiku dan Livia untuk berebut hal yang sama, mengapa harus Dipta yang menjadi objeknya.

Untuk ukuran seorang lelaki yang baru saja kehilangan istri yang dicintai, raut wajah Dipta terlampau datar. Meskipun sejak tadi kerutan di dahinya tidak kunjung hilang, tapi tak sekali pun aku melihat dia menangis. Tidak seperti Ayah, yang aku masih ingat jelas bagaimana beliau tersedu-sedu, menjelang pemakaman ibu kandung kami belasan tahun lalu. Namun, bukankah lelaki paling pintar menyembunyikan isi hati? Mungkin saja saat ini Dipta sedang berusaha keras menyimpan luka yang berdarah-darah jauh di dalam sana.

“Aku belum melihat Kak Dipta makan apa pun sejak pagi.” Lelaki itu menengadah lalu mematikan layar ponselnya saat kuhampiri dengan sepiring kecil kue bolu di tangan. “Jangan sampai asam lambungnya naik.”

“Thanks, Lira.” Ia mengambil sepotong dan mulai mengunyah pelan. “Selera makanku hilang.”

“Aku seduhkan teh panas, ya,” tawarku tulus, masih tetap berdiri di sisi sofa menunggu persetujuannya. 

“Boleh,” jawabnya. “Tanpa gula, please.”

Masih sempat kulihat Dipta merebahkan kepalanya pada sandaran sofa sebelum kutinggalkan ke dapur. Ponselnya tak lagi dipegang. Ia hanya menatap ke atas ke arah langit-langit ruang tamu. Pasti ia lelah. Kami semua lelah satu minggu ini, sejak Livia dinyatakan koma sampai pihak rumah sakit mencatat waktu kematiannya. 

Aku tidak dapat dengan cepat menemukan letak teh celup di tempat biasa. Dapur ini sudah banyak berubah sejak aku memilih pindah ke Palembang. Mungkin setelah aku dan Livia tidak lagi menetap di sini, Bunda lebih bebas untuk menata rumah sesuai keinginannya. Lian pun mulai indekos di Bandung sejak masuk kuliah.

Dua tahun lalu saat Livia resmi menikah dengan Dipta, aku tanpa berpikir panjang memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan kontraktor di sana. Tetap berada di Jakarta akan semakin mengoyak sayatan di hatiku setelah gagal memenangkan Dipta dari Livia. Tidak, bukan memenangkan, karena kami tidak pernah bersaing untuk mendapatkan Dipta. Aku cukup tahu diri bahwa aku bukan pesaing yang pantas jika lawannya adalah Livia kembaranku. Sejak kepindahanku, baru kali ini aku kembali setelah Ayah mengabarkan kondisi Livia yang semakin memburuk. 

Mahesa Dipta hanya lebih tua tiga tahun dariku dan Livia. Aku mengenalnya sejak ia dan keluarganya menjadi penghuni baru di kawasan perumahan kami. Umurku masih tiga belas waktu itu. Belum cukup dewasa, tapi mata dan hatiku sudah cukup cerdas untuk mengerti bahwa yang aku rasakan pada Dipta adalah cinta pada pandangan pertama. Cinta yang juga berbalas, sayangnya panah itu mengarah pada seorang perempuan berwajah sama, yang menjiplak semua yang diriku punya.

“Kak Dipta, tehnya sudah siap.” Dipta membenahi posisi duduknya saat menyadari kehadiranku.

“Thank you, Lira.” Suara itu terdengar parau.

Sudah kata terima kasih yang entah ke berapa kali ia ucapkan untukku hari ini. Terima kasih telah mengambil cuti panjang untuk pulang ke Jakarta, terima kasih telah menjaga bayinya yang masih merah, terima kasih telah terus berada di sisi Livia hingga akhir hayatnya.

“Pegang di sisi ini, cangkirnya panas sekali,” ujarku mengingatkan.

Sengaja kuputar badan cangkir agar Dipta dapat meraih sisi pegangannya. Ia menyeruput perlahan, mengulangi dua kali, lalu meletakkan cangkir teh di atas meja di depan sofa. Aku merasa sangat bodoh mengapa masih berdiri, menunggui, dan memandangi lelaki itu seperti ada sebuah kewajiban yang mengharuskan. 

“Istirahatlah dulu, Kak,” saranku karena terlalu iba melihat kondisi Dipta saat ini. “Kak Dipta juga butuh tidur.”

Lingkaran hitam di bawah matanya cukup menjelaskan kualitas tidur Dipta yang kurang seminggu ini. Kelopak matanya juga menebal, pasti karena menahan kantuk berhari-hari. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, lalu tersenyum getir saat sepasang matanya mengarah padaku. 

“Aku akan pulang.” Dipta memandangku dengan tatapan sangat letih. 

“Kenapa harus pulang?” cegahku. “Kak Dipta bisa istirahat di sini, di kamar Lian.”

“Rumahku dan Livia tidak terlalu jauh dari sini,” jelasnya dengan sopan. “Aku istirahat di rumah saja, di sini terlalu ramai. Mudah-mudahan Ayah mengizinkan.”

Memang Ayah yang meminta agar jenazah Livia di bawa ke sini sebagai rumah duka. Bukan tanpa pertimbangan. Melihat kondisi Dipta yang begitu terpuruk, rasanya tak mungkin lelaki itu sanggup mengurus semua keperluan penguburan. Dipta anak tunggal, orang tuanya pun sudah tidak ada. Keluarga besarnya juga tidak berdomisili di Jakarta. Rumah yang mereka tempati saat baru pindah ke lingkungan ini, sudah lama dijual sejak papanya meninggal

“Aku titip bayi itu, Lira.” Dipta mengangguk padaku saat ia bangkit dan berpamitan. “Besok pagi aku datang lagi.”

Kupandangi punggung Dipta yang berjalan lunglai sampai ia berhenti saat berpapasan dengan Ayah. Beliau menepuk-nepuk bahu Dipta dan memeluknya, Entah apa yang keduanya bicarakan. Dua lelaki yang sama-sama pernah kehilangan istri tercinta. Butuh bertahun-tahun bagi Ayah sampai beliau mau membuka hatinya lagi pada wanita lain, hingga akhirnya Bunda hadir di keluarga kami.

Aku sempat punya pikiran ini dulu ketika aku tahu bahwa Dipta melamar Livia. Apakah jika Livia tidak ada, apakah jika aku tidak terlahir kembar, maka Dipta akan jatuh cinta padaku? Pikiran yang sempat menghantuiku selama setahun sejak pernikahan mereka itu, kini terpampang di depan mata. Namun, andai takdir dapat diubah, aku ingin Livia tetap hidup untuk mengurusi Dipta dan bayi mereka.

Jangan kuatirkan aku, karena aku bisa bertahan dengan lukaku. Raut terpuruk di wajah Dipta lebih terasa perih dibandingkan goresan di hatiku yang entah sampai kapan akan sembuh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 29 - Tamu Tak Terduga

    “Livia?” Suara pria itu terdengar ragu sekaligus penuh rasa ingin tahu. Penampilannya yang serba rapi tidak dapat menyamarkan raut wajahnya yang kusut. Jemarinya memegang jeruji pagar, seperti memohon untuk diizinkan masuk. “Saya Lira, kembaran Livia,” jawabku hati-hati. “Anda temannya?”“Saya ….” Pria muda itu menyugar rambutnya serba salah. “Benar, saya Reno teman Livia. Boleh saya mampir sebentar?”Aku tahu Dipta tidak akan suka jika memberikan waktu untuk Reno masuk ke rumahnya. Pun tidak sesuai etika jika menerima tamu lawan jenis saat Dipta tidak ada. Membiarkannya berdiri di luar pagar seperti ini juga tidak terlihat sopan. Selain itu aku juga perlu berbicara dengan pria ini perihal Muffin. Tidak ada salahnya mungkin jika kami berbincang sebentar. Akhirnya kuputuskan untuk mempersilahkannya duduk di kursi teras.“Saya tidak tahu bahwa Livia punya kembaran,” gumamnya saat kuhidangkan secangkir teh hangat seperti yang ia sebutkan. “Livia tidak pernah menceritakan soal itu.”“Du

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 28 - Hati Mulai Melunak

    Tidak ada lagi agenda tidur jika percakapan menjurus telah dimulai. Aku mengakui sangat menikmatinya. Seolah-olah semua tekanan di kepalaku lenyap dalam sekejap saat kubiarkan Dipta menuntunku ke puncak tertinggi yang kami capai bersama. Kupeluk tubuhnya erat-erat sampai lelaki itu mungkin bertanya-tanya. Namun, bukan Mahesa Dipta namanya jika ia tidak bisa menggodaku setelahnya.“Kamu berbeda malam ini,” ucapnya memancing. “Aku tidak keberatan jika setiap malam seperti ini.”Mungkin ada benarnya yang dikatakan Dipta. Setelah perbincangan dengan Ayah siang tadi, aku merasa beban di pundakku separuhnya terangkat. Tidak seberat sebelumnya, meskipun masih ada soalan Muffin yang harus diselesaikan. “Terima kasih sudah begitu baik pada Livia selama ia hidup,” ungkapku tulus. “Mungkin Ayah benar telah memilihkan Mas Dipta untuknya.”Sepasang mata Dipta berkedip samar, tetapi masih bisa kulihat ia tersenyum dengan sedikit terpaksa. “Terima kasih juga untukmu, Lira. Kamu telah bersedia mener

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 27 - Alasan Terlanjur Rumit

    Ayah mulai kembali tenang setelah tangisnya mereda. Seperti ada sebuah ganjalan yang terlepas seiring dengan meluncurnya air mata. Wajah Ayah terlihat tidak sekaku sebelumnya. Bunda sempat pergi ke dapur sebentar, kemudian kembali dengan dua cangkir teh di tangan beliau. Satu untukku, dan satunya lagi beliau serahkan pada Ayah.“Entah dulu ibumu pernah bercerita tentang hal ini, tapi Ayah akan mengulang kembali kisah kalian saat dilahirkan.” Ayah mulai berbicara. “Livia dan kamu lahir dalam usia kandungan yang belum cukup dua puluh delapan minggu.”Seingatku dulu memang pernah sekilas mendengar Ibu bercerita pada salah satu kerabat di saat Lian lahir, tapi itu sudah lama sekali dan aku juga lupa-lupa ingat. Apa mungkin karena itu alasan kesehatan Livia terganggu?“Saat itu kalian berdua harus ditempatkan di dalam NICU karena berat badan yang kurang dan kondisi paru-paru yang masih lemah,” lanjut Ayah dengan nada sedih. “Beruntung keadaan tubuh kamu jauh lebih baik. Livia harus memakai

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 26 - Pengorbanan Beralas Cinta

    Rasanya aku tidak ingin percaya pada apa yang baru saja diucapkan Dipta. Bagaimana mungkin Ayah yang memintanya. Tega sekali beliau melakukan itu, menganaktirikan aku dan memprioritaskan Livia bahkan sampai pada perihal memilihkan jodoh untuk kami berdua. Aku perlu tahu alasannya kali ini.“Livia menderita sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan,” ucap Dipta masih dengan raut wajah tersiksa. “Ayah bilang hanya aku lelaki yang bisa ia percaya untuk menitipkan Livia.”“Penyakit apa?” desakku tidak sabar. Aku tidak yakin hanya karena alasan itu. Aku tahu sejak dulu hanya ada Livia di hati Ayah.“Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Ayah,” lanjut Dipta. “Aku tidak berhak menjelaskannya, lebih tepatnya tidak ingin mendahului Ayah.”“I can’t believe this,” bisikku kalut. “Apakah Mas Dipta tidak mencoba membantah Ayah saat itu?”Dipta menggeleng lemah. “Ayah menangis panik. Aku tidak punya pilihan.”“Bahkan untuk mengatakan siapa yang sebenarnya Mas Dipta cintai?” tanyaku tak percaya

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 25 - Pengakuan dari Hati

    Dipta benar-benar tidak menyia-nyiakan perbincangan masa subur yang ia tanyakan sore tadi. Di balik sikapnya yang manis dan lembut, selalu tersimpan tanya di hatiku, bagaimana lelaki ini bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Apakah semua lelaki dikarunia cinta yang begitu besar sehingga cukup untuk dibagi.“Benar begitu?” Tanpa kusadari apa yang terpikir, ternyata terucap di bibir.“Apanya yang benar, Sayang?” Dipta merenggangkan peluknya agar bisa memandang wajahku. “Bahwa aku mencintaimu, itu benar.”“Dan tetap bisa mencintai yang lain di saat yang sama?” lanjutku dengan kelancangan yang kusengaja.“Aku tidak pernah mencintaimu dan Livia di saat yang sama jika itu yang kamu maksud,” jawabnya lugas. “Kalian berada di tempat yang sama, di waktu yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.” Dipta meraih jemariku untuk ia letakkan di dadanya.“Maaf jika aku harus mengungkit ini kembali, Mas,” bisikku sedih. “Pikiran itu selalu datang dan pergi berulang-ulang sesuka hatinya.”“Pikiran yang

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 24 - Cinta Beralih Panah

    Sudah berkali aku mencari, tetapi memang tidak ada identitas apa pun yang ditinggalkan si pengirim di dalam kotak tersebut selain tulisan yang memuat tanda tangannya pada kartu ucapan. Harusnya tadi aku menahan sebentar si kurir pengantar. Aku baru sadar setelah ia terlanjur beranjak, bahwa kurir tersebut bukanlah seperti petugas ekspedisi yang selama ini sering datang. Sepertinya ia memang ditugasi hanya untuk mengantar kotak itu.Aku tidak mengira Livia bisa senekat itu, pergi sendiri tanpa ditemani untuk menemui laki-laki lain. Dipta pasti sudah lebih dulu mencium gelagat perselingkuhan ini. Menyedihkan kalau itu yang benar terjadi. Entah apakah aku harus memberi tahu Dipta mengenai foto-foto ini.Sedikit ragu merasuki hatiku saat melihat Dipta pulang dengan wajah letih, meskipun begitu ia masih sempat menggodaku dengan kecanggunganku menyebutnya dengan panggilan baru kami. Panggilan baru untuknya sebenarnya.“Tadi kebetulan lewat,” jelasnya saat kutanyakan di mana ia membeli singk

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 23 - Sebuah Rahasia Baru

    Harusnya bisa jika aku lanjut bertanya, seperti sejak kapan Dipta mencintai Livia, alasan apa yang membuatnya bisa mencintai kami berdua sekaligus, atau mungkin siapa yang lebih ia cintai, aku atau Livia. Namun, entah mengapa timbul rasa tidak tega saat raut wajah lelaki yang sebelah lengannya masih memelukku itu seperti sedang mengemban beban yang sangat berat. Dahinya berkerut hebat, menandakan ia tidak bahagia saat menyatakan kejujuran-kejujuran lain yang kupaksa terlontar.“Aku tidak mampu menceritakan secara lengkap, tetapi jika kamu ingin bertanya, tanyalah satu per satu,” lanjutnya perlahan. “Sebisa mungkin aku jelaskan.”Menanyakan satu per satu dan harus merangkai benang merahnya sendiri pasti akan semakin memancing kecewa. Bagaimana jika nanti ia mengakui lebih mencintai Livia ketimbang aku? Hatiku bisa berdarah-darah mendengarnya.“Mungkin tidak sekarang,” putusku akhirnya. “Tapi pasti suatu saat aku akan bertanya tentang hal itu.”“Anytime, Dear.” Dipta mengurai anak rambu

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 22 - Prasangka Tajam Menghunjam

    Rasa lega yang awalnya menyelimuti hatiku mendadak berubah kecewa saat kudapati aplikasi percakapan dan sosial media pada ponsel Livia ternyata tetap dilindungi oleh sederetan kata kunci. Bersamaan dengan itu, kecurigaan yang kerap diutarakan Mahesa Dipta mengenai isu perselingkuhan Livia perlahan merebak di pikiranku. Jarang sekali pengguna ponsel mengunci aplikasinya apabila telah memasang kunci layar. Dan, menemukan kombinasi angka itu bukanlah hal yang mudah untuk ditelusuri dalam waktu singkat. Aku terpaksa menyelamatkan ponsel ini sementara waktu.Lian memahami saat kuberitahu banyak akun yang harus dilakukan pelaporan terkait wafatnya Livia. Si bungsu itu tertawa semringah saat kuizinkan memilih ponsel baru yang ia sukai pada aplikasi toko online. Satu hal yang aku kagumi dari Lian. Meskipun ia anak lelaki bungsu, tetapi sikapnya tidak manja dan selalu menghormati aku dan Livia sejak dulu. Mungkin karena sedari kecil ia sudah merasakan bagaimana sedihnya ditinggal Ibu.Jemariku

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 21 - Mengurai Jejak Tersimpan

    Semua opsi yang ditawarkan Mahesa Dipta ternyata hanya berakhir di tempat yang sama hingga hampir tengah hari. Meskipun sedikit berbeda dengan semalam yang lebih banyak menguras aktivitas, sepanjang pagi ini hingga menjelang siang kami lebih sering berpelukan dan bercerita. Seolah tiada habis lembar demi lembar yang selama ini tersimpan, satu per satu terlontar untuk disampaikan.Aku yang lebih banyak berbicara, menanyakan apa-apa yang selama ini tertahan. Dipta lebih banyak tersenyum dan tertawa, menjawab dengan sabar hampir semua yang kuminta penjelasan. Termasuk saat kutanyakan mengapa ia pernah mengatakan akan secepatnya mencari perempuan lain andai waktu itu aku menolak menikah dengannya.“It was just a trick, actually,” ujarnya santai. “Aku sudah kehabisan cara untuk mengirim sinyal ke hatimu.”“Cerdas sekali.” Aku pura-pura merengut kesal. “Termasuk semua sikap dingin Kak Dipta padaku di awal kita menikah?” tanyaku.“Termasuk itu.” Ia membenarkan sambil tersenyum tipis. “Entah

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status