Home / Romansa / Takdir Cinta Perempuan Pengganti / Bab 2 - Keputusan Perihal Hati

Share

Bab 2 - Keputusan Perihal Hati

last update Last Updated: 2023-11-14 09:39:47

Memang benar jika ada yang mengatakan wajah bayi akan terus berubah-ubah sampai ia menemukan parasnya sendiri. Saat pertama kali aku bertemu dengan mahluk mungil ini, aku bahkan tidak yakin ia adalah buah cinta Dipta dan Livia. Tak sedikit pun susunan di wajahnya yang tembam menjiplak hidung tinggi Dipta atau pun mata indah Livia. Namun, kemarin pagi saat memandikannya, aku terpana melihat betapa garis hidung dan dahinya sangat mirip Dipta. Dan pagi ini, usai memakaikan kain bedungnya, Muffin sempat membuka matanya sedikit. Saat kami bertatapan, aku seperti sedang menatap Livia yang sedang tersenyum kepadaku.

Ya, aku memanggilnya Muffin, kuambil dari nama kue buatan Ibu yang menjadi kesukaanku dan Livia. Hingga hari ini, belum ada satu orang pun berniat memberikannya sebuah nama. Semua orang masih terlalu larut dalam kesedihan masing-masing. Ayahnya hanya datang di sore hari selepas pulang dari kantor. Melihat sebentar, lalu kembali ke rumahnya sendiri. Aku pernah meminta Dipta mencoba menggendong Muffin, tetapi lelaki itu langsung menolak. Dipta bilang ia belum terbiasa memegang bayi kecil.

Dulunya aku mengira Dipta akan menjadi seorang ayah yang berjiwa kebapakan. Ternyata tidak demikian. Meskipun sebenarnya aku berharap semoga dugaanku salah. Mungkin rasa sedih masih menguasai hati Dipta. Mungkin juga lelaki itu malah menyimpan dendam pada buah hatinya yang telah menjadi penyebab kematian sang istri tercinta. Aku memilih tidak memedulikan. Dipta sudah dewasa. Tanpa istri pun ia bisa mengurus dirinya sendiri. Yang aku khawatirkan justru Muffin. Jika cutiku habis, siapa yang nanti akan merawatnya? Bunda mungkin sudah tidak mungkin untuk dititipi menjaga bayi.

Dua minggu tidur bersebelahan dengan makhluk kecil ini, membuatku mulai menikmati semua aroma unik yang dihasilkan tubuhnya. Aku paling suka mencium sudut bibirnya yang bercampur saliva, juga lipatan lehernya yang sangat memancing candu untuk dihidu. Sepertinya aku jatuh cinta pada Muffin, seperti cintaku pada ayahnya. Padahal, ketika patah hati dulu, pernah terbersit niat di hatiku untuk tidak pernah menikah, apalagi punya anak. Aku merasa tidak akan pernah bisa jatuh cinta pada lelaki lain selain Dipta. Dan benar saja, dua tahun menjauh ternyata tidak mengurangi porsi hatiku yang mencintainya. Meskipun sekarang terbagi sedikit untuk mahluk mungil darah dagingnya ini.

Tak apa. Jika nanti tidak ada yang mau mengurusi Muffin, aku akan membawanya ke Palembang untuk tinggal bersamaku. 

***

Empat belas hari hanya ditugasi mengurus bayi kecil, sedikit memancing rasa bosan dan membuat jiwa aktifku meronta. Buku-buku koleksi lama yang tidak ikut dibawa pindah, kulahap habis berjam-jam. Juga beragam serial drama dari aplikasi film berlangganan, kutonton hingga larut malam saat menemani Muffin terjaga. Kami berdua lalu tidur nyenyak setelah subuh dan baru terbangun menjelang pukul sepuluh.

Hari ini aku tergoda untuk melihat kembali tumpukan album lusuh koleksi Ibu yang sudah lama tak terbuka. Dulu, Ibu selalu mengajakku dan Livia untuk melihat-lihat kembali foto-foto kami semasa kecil. Sembari melihat, Ibu biasanya akan bercerita tentang kejadian yang mendasari foto tersebut. 

Sebagian besar adalah foto kami semasa bayi. Karena setelah Lian lahir, Ibu lebih sering memotret si bungsu itu dibandingkan aku dan Livia. Selain itu menurut Ibu, umur kami yang mulai beranjak remaja membuatku dan Livia sedikit enggan untuk diajak berfoto. Saat itu diriku memang terlalu malas untuk diminta berpose, dan Ibu pun terlalu malas untuk terus membujuk. Satunya-satunya foto kami saat remaja adalah saat  lingkungan perumahan mengadakan acara buka puasa bersama di taman komplek. Waktu itu Ibu memotret kami beserta anak-anak tetangga lainnya. 

Aku ingat, foto itu dibuat seminggu setelah Mahesa Dipta menjadi penghuni baru di lingkungan perumahan kami. Kabar itu sudah beberapa hari sebelumnya aku dengar dari Ibu bahwa kami akan kedatangan tetangga baru. Livia sangat antusias, sementara aku menanggapinya terlalu biasa. Buatku satu atau dua teman sudah lebih dari cukup. Tidak seperti Livia yang hampir separuh warga komplek pasti mengenal namanya, dan tentu saja sering salah memanggilku dengan namanya. Aku tidak akan memenuhi memori otakku hanya untuk menghapal nama-nama tetangga beserta anak-anak mereka. Aku lebih suka mengisinya dengan rumus matematika, atau mungkin kosa kata Bahasa Inggris yang lebih menantang. 

Sampai di hari itu, saat pertama kali aku mengenal Mahesa Dipta, aku bersumpah akan mengeluarkan hafalan rumus konversi satuan volume dari otakku agar muat untuk memasukkan perihal mahluk tampan itu di dalamnya. Mahesa Dipta menghipnotisku di umurku yang baru mencapai tiga belas tahun empat bulan. Bertahun-tahun hingga akhirnya aku sadar bahwa mustahil untuk bisa mengalihkannya dari Livia.

***

Sore ini Dipta datang lebih awal dari biasanya. Lelaki itu duduk berbincang dengan Ayah di taman belakang. Mungkin membahas perihal cutiku yang dua hari lagi akan habis. Ayah memang menanyakan hal itu padaku malam tadi. Ayah juga meminta pendapatku mengenai pemakaian jasa pengasuh bayi untuk merawat Muffin.

Muffin masih nyaman dengan lelapnya, padahal sudah kuusik berulang kali agar bayi kecil itu terbangun dan mengurangi porsi tidurnya. Dua minggu terjaga sampai menjelang pagi membuat tubuhku terasa kurang sehat hari ini. Seketika aku merindukan kamar indekosku yang nyaman di Palembang sana.

“Dia masih sering tidur larut malam?” 

Kudengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Dipta sudah berdiri di sisi ranjang bayi saat aku menengadah. Wajahnya tidak tersenyum. Ia menatap Muffin dengan sorot mata datar.

“Tadi malam kami menonton serial Flash hingga menjelang subuh,” kelakarku. Dipta tertawa. Suara tawanya pun sedatar wajahnya. 

“Nanti kita bisa bergantian menjaganya setelah kamu ikut ke rumahku,” ujar Dipta sambil terus memandangi Muffin yang kini sedang menggeliat.

“Aku nggak bisa bekerja menjaga Muffin untuk Kak Dipta,” tolakku bingung. “Lusa sudah harus kembali masuk kantor.”

“Muffin?” 

Kuabaikan dahi Dipta yang berkerut. “Atau bila tidak ada yang menjaga, bagaimana kalau kubawa saja dia ke Palembang?” putusku dengan solusi terakhir.

Entah apa yang terdengar lucu, tetapi Dipta tertawa lepas kali ini. Ia memandangku sejenak sambil melesakkan kedua tangan di saku celana katunnya. 

“Tidak ada yang akan kemana-mana, Lira,” ucapnya dengan tenang. “Kalian berdua akan ikut denganku.”

“Tolong jangan bercanda, Kak,” protesku tegas. “Hidup Muffin bukan untuk dijadikan kelakar.”

“Aku memang tidak sedang bercanda,” sahutnya. “Atau Ayah belum mengatakannya padamu?”

Aku bangkit dari duduk agar seluruh tubuhku bisa menghadap Dipta. “Ayah bilang apa sama Kak Dipta?”

Lelaki itu memejam sejenak. Dan saat matanya terbuka, apa yang terucap dari bibirnya membuat pijakan kakiku melemah saat itu juga.

“Ayah memintaku melamarmu, Lira. Aku ingin kita menikah secepatnya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 29 - Tamu Tak Terduga

    “Livia?” Suara pria itu terdengar ragu sekaligus penuh rasa ingin tahu. Penampilannya yang serba rapi tidak dapat menyamarkan raut wajahnya yang kusut. Jemarinya memegang jeruji pagar, seperti memohon untuk diizinkan masuk. “Saya Lira, kembaran Livia,” jawabku hati-hati. “Anda temannya?”“Saya ….” Pria muda itu menyugar rambutnya serba salah. “Benar, saya Reno teman Livia. Boleh saya mampir sebentar?”Aku tahu Dipta tidak akan suka jika memberikan waktu untuk Reno masuk ke rumahnya. Pun tidak sesuai etika jika menerima tamu lawan jenis saat Dipta tidak ada. Membiarkannya berdiri di luar pagar seperti ini juga tidak terlihat sopan. Selain itu aku juga perlu berbicara dengan pria ini perihal Muffin. Tidak ada salahnya mungkin jika kami berbincang sebentar. Akhirnya kuputuskan untuk mempersilahkannya duduk di kursi teras.“Saya tidak tahu bahwa Livia punya kembaran,” gumamnya saat kuhidangkan secangkir teh hangat seperti yang ia sebutkan. “Livia tidak pernah menceritakan soal itu.”“Du

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 28 - Hati Mulai Melunak

    Tidak ada lagi agenda tidur jika percakapan menjurus telah dimulai. Aku mengakui sangat menikmatinya. Seolah-olah semua tekanan di kepalaku lenyap dalam sekejap saat kubiarkan Dipta menuntunku ke puncak tertinggi yang kami capai bersama. Kupeluk tubuhnya erat-erat sampai lelaki itu mungkin bertanya-tanya. Namun, bukan Mahesa Dipta namanya jika ia tidak bisa menggodaku setelahnya.“Kamu berbeda malam ini,” ucapnya memancing. “Aku tidak keberatan jika setiap malam seperti ini.”Mungkin ada benarnya yang dikatakan Dipta. Setelah perbincangan dengan Ayah siang tadi, aku merasa beban di pundakku separuhnya terangkat. Tidak seberat sebelumnya, meskipun masih ada soalan Muffin yang harus diselesaikan. “Terima kasih sudah begitu baik pada Livia selama ia hidup,” ungkapku tulus. “Mungkin Ayah benar telah memilihkan Mas Dipta untuknya.”Sepasang mata Dipta berkedip samar, tetapi masih bisa kulihat ia tersenyum dengan sedikit terpaksa. “Terima kasih juga untukmu, Lira. Kamu telah bersedia mener

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 27 - Alasan Terlanjur Rumit

    Ayah mulai kembali tenang setelah tangisnya mereda. Seperti ada sebuah ganjalan yang terlepas seiring dengan meluncurnya air mata. Wajah Ayah terlihat tidak sekaku sebelumnya. Bunda sempat pergi ke dapur sebentar, kemudian kembali dengan dua cangkir teh di tangan beliau. Satu untukku, dan satunya lagi beliau serahkan pada Ayah.“Entah dulu ibumu pernah bercerita tentang hal ini, tapi Ayah akan mengulang kembali kisah kalian saat dilahirkan.” Ayah mulai berbicara. “Livia dan kamu lahir dalam usia kandungan yang belum cukup dua puluh delapan minggu.”Seingatku dulu memang pernah sekilas mendengar Ibu bercerita pada salah satu kerabat di saat Lian lahir, tapi itu sudah lama sekali dan aku juga lupa-lupa ingat. Apa mungkin karena itu alasan kesehatan Livia terganggu?“Saat itu kalian berdua harus ditempatkan di dalam NICU karena berat badan yang kurang dan kondisi paru-paru yang masih lemah,” lanjut Ayah dengan nada sedih. “Beruntung keadaan tubuh kamu jauh lebih baik. Livia harus memakai

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 26 - Pengorbanan Beralas Cinta

    Rasanya aku tidak ingin percaya pada apa yang baru saja diucapkan Dipta. Bagaimana mungkin Ayah yang memintanya. Tega sekali beliau melakukan itu, menganaktirikan aku dan memprioritaskan Livia bahkan sampai pada perihal memilihkan jodoh untuk kami berdua. Aku perlu tahu alasannya kali ini.“Livia menderita sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan,” ucap Dipta masih dengan raut wajah tersiksa. “Ayah bilang hanya aku lelaki yang bisa ia percaya untuk menitipkan Livia.”“Penyakit apa?” desakku tidak sabar. Aku tidak yakin hanya karena alasan itu. Aku tahu sejak dulu hanya ada Livia di hati Ayah.“Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Ayah,” lanjut Dipta. “Aku tidak berhak menjelaskannya, lebih tepatnya tidak ingin mendahului Ayah.”“I can’t believe this,” bisikku kalut. “Apakah Mas Dipta tidak mencoba membantah Ayah saat itu?”Dipta menggeleng lemah. “Ayah menangis panik. Aku tidak punya pilihan.”“Bahkan untuk mengatakan siapa yang sebenarnya Mas Dipta cintai?” tanyaku tak percaya

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 25 - Pengakuan dari Hati

    Dipta benar-benar tidak menyia-nyiakan perbincangan masa subur yang ia tanyakan sore tadi. Di balik sikapnya yang manis dan lembut, selalu tersimpan tanya di hatiku, bagaimana lelaki ini bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Apakah semua lelaki dikarunia cinta yang begitu besar sehingga cukup untuk dibagi.“Benar begitu?” Tanpa kusadari apa yang terpikir, ternyata terucap di bibir.“Apanya yang benar, Sayang?” Dipta merenggangkan peluknya agar bisa memandang wajahku. “Bahwa aku mencintaimu, itu benar.”“Dan tetap bisa mencintai yang lain di saat yang sama?” lanjutku dengan kelancangan yang kusengaja.“Aku tidak pernah mencintaimu dan Livia di saat yang sama jika itu yang kamu maksud,” jawabnya lugas. “Kalian berada di tempat yang sama, di waktu yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.” Dipta meraih jemariku untuk ia letakkan di dadanya.“Maaf jika aku harus mengungkit ini kembali, Mas,” bisikku sedih. “Pikiran itu selalu datang dan pergi berulang-ulang sesuka hatinya.”“Pikiran yang

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 24 - Cinta Beralih Panah

    Sudah berkali aku mencari, tetapi memang tidak ada identitas apa pun yang ditinggalkan si pengirim di dalam kotak tersebut selain tulisan yang memuat tanda tangannya pada kartu ucapan. Harusnya tadi aku menahan sebentar si kurir pengantar. Aku baru sadar setelah ia terlanjur beranjak, bahwa kurir tersebut bukanlah seperti petugas ekspedisi yang selama ini sering datang. Sepertinya ia memang ditugasi hanya untuk mengantar kotak itu.Aku tidak mengira Livia bisa senekat itu, pergi sendiri tanpa ditemani untuk menemui laki-laki lain. Dipta pasti sudah lebih dulu mencium gelagat perselingkuhan ini. Menyedihkan kalau itu yang benar terjadi. Entah apakah aku harus memberi tahu Dipta mengenai foto-foto ini.Sedikit ragu merasuki hatiku saat melihat Dipta pulang dengan wajah letih, meskipun begitu ia masih sempat menggodaku dengan kecanggunganku menyebutnya dengan panggilan baru kami. Panggilan baru untuknya sebenarnya.“Tadi kebetulan lewat,” jelasnya saat kutanyakan di mana ia membeli singk

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 23 - Sebuah Rahasia Baru

    Harusnya bisa jika aku lanjut bertanya, seperti sejak kapan Dipta mencintai Livia, alasan apa yang membuatnya bisa mencintai kami berdua sekaligus, atau mungkin siapa yang lebih ia cintai, aku atau Livia. Namun, entah mengapa timbul rasa tidak tega saat raut wajah lelaki yang sebelah lengannya masih memelukku itu seperti sedang mengemban beban yang sangat berat. Dahinya berkerut hebat, menandakan ia tidak bahagia saat menyatakan kejujuran-kejujuran lain yang kupaksa terlontar.“Aku tidak mampu menceritakan secara lengkap, tetapi jika kamu ingin bertanya, tanyalah satu per satu,” lanjutnya perlahan. “Sebisa mungkin aku jelaskan.”Menanyakan satu per satu dan harus merangkai benang merahnya sendiri pasti akan semakin memancing kecewa. Bagaimana jika nanti ia mengakui lebih mencintai Livia ketimbang aku? Hatiku bisa berdarah-darah mendengarnya.“Mungkin tidak sekarang,” putusku akhirnya. “Tapi pasti suatu saat aku akan bertanya tentang hal itu.”“Anytime, Dear.” Dipta mengurai anak rambu

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 22 - Prasangka Tajam Menghunjam

    Rasa lega yang awalnya menyelimuti hatiku mendadak berubah kecewa saat kudapati aplikasi percakapan dan sosial media pada ponsel Livia ternyata tetap dilindungi oleh sederetan kata kunci. Bersamaan dengan itu, kecurigaan yang kerap diutarakan Mahesa Dipta mengenai isu perselingkuhan Livia perlahan merebak di pikiranku. Jarang sekali pengguna ponsel mengunci aplikasinya apabila telah memasang kunci layar. Dan, menemukan kombinasi angka itu bukanlah hal yang mudah untuk ditelusuri dalam waktu singkat. Aku terpaksa menyelamatkan ponsel ini sementara waktu.Lian memahami saat kuberitahu banyak akun yang harus dilakukan pelaporan terkait wafatnya Livia. Si bungsu itu tertawa semringah saat kuizinkan memilih ponsel baru yang ia sukai pada aplikasi toko online. Satu hal yang aku kagumi dari Lian. Meskipun ia anak lelaki bungsu, tetapi sikapnya tidak manja dan selalu menghormati aku dan Livia sejak dulu. Mungkin karena sedari kecil ia sudah merasakan bagaimana sedihnya ditinggal Ibu.Jemariku

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 21 - Mengurai Jejak Tersimpan

    Semua opsi yang ditawarkan Mahesa Dipta ternyata hanya berakhir di tempat yang sama hingga hampir tengah hari. Meskipun sedikit berbeda dengan semalam yang lebih banyak menguras aktivitas, sepanjang pagi ini hingga menjelang siang kami lebih sering berpelukan dan bercerita. Seolah tiada habis lembar demi lembar yang selama ini tersimpan, satu per satu terlontar untuk disampaikan.Aku yang lebih banyak berbicara, menanyakan apa-apa yang selama ini tertahan. Dipta lebih banyak tersenyum dan tertawa, menjawab dengan sabar hampir semua yang kuminta penjelasan. Termasuk saat kutanyakan mengapa ia pernah mengatakan akan secepatnya mencari perempuan lain andai waktu itu aku menolak menikah dengannya.“It was just a trick, actually,” ujarnya santai. “Aku sudah kehabisan cara untuk mengirim sinyal ke hatimu.”“Cerdas sekali.” Aku pura-pura merengut kesal. “Termasuk semua sikap dingin Kak Dipta padaku di awal kita menikah?” tanyaku.“Termasuk itu.” Ia membenarkan sambil tersenyum tipis. “Entah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status