“Assalamualaikum…”Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Suara lembut menyusul, namun jelas berwibawa.Senja turun perlahan, menyelimuti kota dengan cahaya jingga yang redup. Di ruang tamu rumah sederhana itu, Rani duduk dengan wajah pucat. Tubuhnya tampak kurus, rambutnya sedikit kusut. Dira tertidur di pangkuannya setelah lelah bermain, napas bayi kecil itu teratur, seakan tak terpengaruh badai yang tengah mengguncang rumah tangga orang tuanya. Rani menoleh. Di ambang pintu berdiri seorang perempuan berseragam polisi lengkap. Wajahnya teduh, rambutnya diikat rapi ke belakang. Sorot matanya tegas, namun di dalamnya terselip kelembutan.“Waalaikumsalam…” Rani menjawab ragu. Pandangannya mengamati sosok itu lebih dalam. Lalu seakan tersadar, ia bergumam pelan, “Mia?”Mia mengangguk sambil tersenyum tipis. “Ya. Aku Mia… rekan kerja Rama. Dulu kita sempat bertemu sebentar, kau mungkin sudah lupa. Boleh aku masuk?”Rani sedikit kikuk. Ia membuka pintu lebih lebar. “Silakan…”Mia duduk pe
"Mas, aku mohon... biarkan aku bebas. Bebas dari bayang-bayang cinta yang bukan untukku." Di ujung ranjang rumah sakit, Danang duduk mematung. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Jemarinya menggigil menahan rasa sesak yang tak bisa dia tumpahkan. Ia telah memohon. Ribuan kali. Dengan suara serak, dada terhempas, air mata yang habis-habisan—tapi keputusan Nina tetap bulat. Nina berkata itu dengan suara paling tenang yang pernah Danang dengar, namun hatinya seperti dihantam gelombang yang tak ada jeda. Di balik ketenangan Nina, Danang tahu: ada luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan oleh waktu. "Aku tahu… setiap kau menatap langit, bukan aku yang kau pikirkan. Tapi dia—Rani—yang raganya jauh, tapi jiwanya kau peluk dalam diam." Danang hanya bisa tertunduk. Tak sanggup menjawab. Tak sanggup membantah, sebab Nina benar. Dan akhirnya, berkas perceraian itu pun ditandatangani. Dengan pena yang menggigil dan hati yang retak-retak. Bukan karena tak ada cinta, tapi karena cinta
'Plakkk!!!' tangan Rama melayang cepat dan mendarat ke pipi Rani hingga membuat Rani tersungkur ke lantai. "Jangan ikut campur urusanku. Urus saja urusanmu dan Danang sialan itu!!" teriak Rama yang saat itu emosi karena terus di interogasi Rani saat ia pulang karaoke sampai larut malam, lagi. Hujan belum juga reda, seolah langit pun ikut menangis atas luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Rani berdiri di jendela kamarnya, tubuhnya tampak lelah—bukan karena letih biasa, melainkan karena hati yang terus-menerus tersayat. Di bawah cahaya remang lampu kamar, tampak jelas bekas merah di sudut bibirnya, memudar namun tak bisa dibohongi. Luka itu nyata. Luka yang ditorehkan oleh tangan yang pernah ia percaya untuk menggenggam hidupnya: Rama. Semua berawal dari cemburu yang membutakan hati. Sejak malam itu—malam kelahiran Dira yang disertai badai dan bisikan—Rama berubah. Ia menjadi lelaki yang tak lagi mengenal cinta, melainkan hanya cemburu dan amarah. Dan malam kemarin, untuk pert
“Kau yakin hanya persalinan yang terjadi malam itu? Aku sempat dengar dari dokter, hubungan suami istri dapat memicu kontraksi di kehamilan tua.” tanya Rama dengan nada dingin suatu malam, ketika mereka duduk di ruang tamu setelah Dira tidur. Rani menoleh padanya, terluka. “Kau berpikir kotor seperti itu, kau sendiri yang meminta dia menolongku malam itu. Harusnya kau yang ada di sana.” “Dan aku bodoh telah mempercayai Danang!” Rama menggebrak meja. “Dia bukan hanya menolong mu… dia menikmati kesempatan itu! Dia menyentuhmu saat aku tak ada!” Rani berdiri. “Cukup, Rama. Aku sudah capek. Berapa kali harus ku jelaskan? Aku nyaris melahirkan tanpa siapa pun di sampingku. Apa kau lebih memilih aku mati malam itu?” Rama tak menjawab. Ia menunduk, rahangnya mengeras. Tapi cemburunya membutakan logika. Dalam pikirannya, bayangan Danang dan Rani di kamar itu selalu muncul. Rasa bersalah karena tak ada di sana bercampur dendam. Maka ia mencari pelarian.Sudah beberapa bulan sejak Dan
“Aku hamil, Mas.” Suara Nina terdengar sumbang di seberang . Hening sejenak. Danang berdiri di balkon asrama dinas, memandangi matahari yang tenggelam, tangannya bergetar saat menggenggam gawai di telinganya. Danang terdiam. Dunia seolah berhenti bergerak. “Aku periksa dua kali. Hasilnya sama. Aku baru dari dokter juga tadi sore.” Senyum kecil mengembang di wajah Danang. Tapi senyum itu segera tenggelam dalam kabut perasaan yang lebih rumit dari sekadar bahagia. “Mas?” tanya Nina pelan. “Selamat ya, Nin…” jawabnya akhirnya. “Kamu hebat. Kamu kuat.” “Kamu… senang?” “Tentu,” bohong Danang, separuh dari hatinya berkata sebaliknya. "Kita akan jadi orang tua." Nina menangis pelan di ujung telepon. “Kapan kamu pulang? Kita perlu bicara. Tentang semuanya.”...Dua bulan telah berlalu sejak malam di mana semua batas dilanggar. Hujan kini turun dengan cara yang sama seperti malam itu—diam-diam tapi dalam. Kota kecil tempat Rama dan Rani tinggal perlahan kembali tenang, namun
Garis merah kedua perlahan menebal. Nina berdiri di depan cermin kamar mandi. Tangannya gemetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya jatuh tanpa suara. “Mas Danang…” bisiknya. “Apa secepat itu kamu benar-benar bisa berpaling ke Rani?” Ia menatap bayangan dirinya sendiri. Seorang wanita yang seharusnya menjadi istri, yang seharusnya menjadi ibu dari anak yang dinanti-nanti. Tapi kini hatinya penuh keraguan—tentang cinta, tentang masa depan. Danang tak tahu kabar itu. Ia sedang dalam dinas luar kota. Tapi Nina memutuskan untuk menyimpan rahasia itu dulu… hingga waktunya tepat. Atau hingga ia kuat. flashback sebulan sebelumnya.. Senja turun perlahan di balik jendela apartemen bergaya minimalis yang ditinggali Nina. Suasana tenang, nyaris sempurna seperti hidup Nina saat itu—calon istri dari seorang perwira polisi muda yang cerdas, tenang, dan mapan: Danang. Nina sedang menata album foto di meja ruang tamu. Foto-foto prewedding,