BAB 4 - Garis Dua

Garis merah kedua perlahan menebal.

Nina berdiri di depan cermin kamar mandi. Tangannya gemetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan.

Air matanya jatuh tanpa suara.

“Mas Danang…” bisiknya. “Apa secepat itu kamu benar-benar bisa berpaling ke Rani?”

Ia menatap bayangan dirinya sendiri. Seorang wanita yang seharusnya menjadi istri, yang seharusnya menjadi ibu dari anak yang dinanti-nanti. Tapi kini hatinya penuh keraguan—tentang cinta, tentang masa depan.

Danang tak tahu kabar itu. Ia sedang dalam dinas luar kota. Tapi Nina memutuskan untuk menyimpan rahasia itu dulu… hingga waktunya tepat.

Atau hingga ia kuat.

flashback sebulan sebelumnya..

Senja turun perlahan di balik jendela apartemen bergaya minimalis yang ditinggali Nina. Suasana tenang, nyaris sempurna seperti hidup Nina saat itu—calon istri dari seorang perwira polisi muda yang cerdas, tenang, dan mapan: Danang.

Nina sedang menata album foto di meja ruang tamu. Foto-foto prewedding, undangan cetakan pertama, dan gambar-gambar saat ia dan Danang liburan ke Ubud tahun lalu. Semua tampak seperti potongan kisah cinta yang tak mungkin retak.

Ponselnya berdering. Nama "Mas Danang" muncul di layar. Ia langsung tersenyum dan mengangkatnya.

“Halo, Mas. Sudah selesai dinasnya?”

“Halo, Sayang. Belum. Ini masih di lapangan. Ada kejadian mendadak… bawahanku, Rama, istrinya mau melahirkan.”

“Oh ya? Wah, semoga semuanya lancar, ya. Kamu di rumah sakit?”

Danang terdiam sejenak. “Iya. Rani… istrinya Rama… dia harus melahirkan di rumah. Enggak sempat dibawa ke RS.”

Nina menatap kosong ke arah jendela. “Oh… jadi kamu bantu?”

“Terpaksa, Nin. Enggak ada orang lain… dan aku yang paling dekat lokasi.”

“Hmm,” Nina mencoba tetap tenang. Tapi sesuatu di nada suara Danang membuatnya mengernyit.

"Nina.. Mas kangen.."

Malam itu, selepas semua reda, Danang pulang ke kontrakannya. Tubuhnya letih. Jiwanya lebih letih lagi.

Namun bukan kelelahan yang paling ia rasakan—melainkan gejolak yang tak bisa ia jinakkan. Danang memutuskan menemui Nina di kontrakannya. Dia hanya berdiri diambang pintu.

“Mas... kamu kenapa?” tanya Nina, mendekat, memeluknya erat.

Danang diam. Kepalanya berat. Tapi tubuhnya menegang.

Bayangan Rani saat mengejan masih membekas di matanya. Keringat yang menetes dari pelipis Rani, erangan yang tertahan, napas yang tercekat, tubuhnya yang hamil besar dan berjuang antara hidup dan mati. Suara lirih yang memanggil namanya, tangannya yang mencengkeram lengannya. Semua itu kembali berulang—seperti film yang tak mau usai.

Danang tak bersuara. Tapi tubuhnya berbicara. Hasrat yang ditahan meledak begitu saja.

Ia memeluk Nina, mencium keningnya, lehernya, memeluk tubuhnya erat-erat. Seakan ingin melupakan semua yang terjadi. Seakan ingin menebus rasa bersalahnya dengan cinta yang tergesa. Nafasnya cepat, tangannya gemetar. Tapi pelukannya bukan tentang cinta—lebih mirip pelarian. Dan Nina, dengan polosnya, menyambut.

Malam itu mereka bercinta—dalam senyap, dalam remang. Tak ada gairah yang jujur. Hanya hasrat yang salah arah.

Danang tak sepenuhnya sadar apa yang ia cari. Ia hanya ingin berhenti memikirkan perempuan yang bukan miliknya. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin Rani hadir dalam benaknya—dalam cara tubuh perempuan mengerang, dalam lengkungan punggung yang berusaha bertahan menahan sakit, dalam bisikan lelah yang nyaris suci.

Dan Nina, tak pernah tahu… bahwa malam itu, bukan dirinya yang sepenuhnya hadir dalam hati Danang.

Beberapa hari berlalu.

Nina menemani Danang makan malam di kafe kecil favorit mereka. Danang tampak sedikit berbeda. Lebih pendiam. Lebih banyak menatap kosong ke cangkir kopinya ketimbang bicara tentang rencana pernikahan mereka.

“Ada yang salah, Mas?” tanya Nina lembut.

Danang menoleh cepat, tersentak seolah kembali dari dunia lain. “Hah? Nggak… kenapa nanya begitu?”

“Kamu berubah. Sejak hari kamu bantu istri bawahanmu itu… Rani, ya?”

Danang terdiam.

“Kamu masih memikirkan hari itu?”

“…iya.”

Nina menarik napas. Ia menautkan jari-jarinya dan mencoba menahan gejolak di dalam hatinya.

“Kamu menyukai perempuan itu, ya?”

Danang mendongak. Matanya jernih, jujur, tapi terluka.

"Saya tahu.. sejak awal kita memang dijodohkan, dan kamu sama sekali tidak pernah mencintaiku kan, Mas?" suara Nina begetar.

Danang tertunduk, merasa bersalah , ia tak tega menatap langsung mata Nina. Ia menghela nafas.

"Aku hanya butuh kejujuranmu, Mas.." Nina menggengam tangan Danang di meja.

“Bukan begitu.. kita memang dijodohkan, tapi kamu wanita yang baik, Nin. Aku nyaman bersamamu.. mengenai Rani..

Awalnya… karena dia mirip mantanku dulu. Yang ninggalin aku demi orang lain. Tapi Rani… dia berbeda. Dia kuat, hangat, sederhana… dan aku…” Suara Danang tercekat.

Nina menggigit bibir. “Tapi dia istri orang, Mas…”

“Aku tahu.” Danang menunduk. “Itu yang membuat semuanya salah.”

“Kalau kamu mencintai orang lain… kenapa kamu masih di sini sama aku?” suara Nina bergetar.

Danang tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Nina lama. “Karena kamu adalah perempuan baik, Nin. Karena kamu wanita yang bisa membuatku pulang. Aku tidak berniat menyakitimu. Tapi… entah kenapa, setelah malam itu, aku merasa aku tersesat.”

Nina hanya terdiam dan tak mampu berkata-kata, menahan sesak di dadanya.

"Nina.. tolong aku.." ucap Danang lirih.