Bab 5 - Hilangnya Senja

“Aku hamil, Mas.” Suara Nina terdengar sumbang di seberang . Hening sejenak.

Danang berdiri di balkon asrama dinas, memandangi matahari yang tenggelam, tangannya bergetar saat menggenggam gawai di telinganya.

Danang terdiam. Dunia seolah berhenti bergerak.

“Aku periksa dua kali. Hasilnya sama. Aku baru dari dokter juga tadi sore.”

Senyum kecil mengembang di wajah Danang. Tapi senyum itu segera tenggelam dalam kabut perasaan yang lebih rumit dari sekadar bahagia.

“Mas?” tanya Nina pelan.

“Selamat ya, Nin…” jawabnya akhirnya. “Kamu hebat. Kamu kuat.”

“Kamu… senang?”

“Tentu,” bohong Danang, separuh dari hatinya berkata sebaliknya. "Kita akan jadi orang tua."

Nina menangis pelan di ujung telepon. “Kapan kamu pulang? Kita perlu bicara. Tentang semuanya.”

...

Dua bulan telah berlalu sejak malam di mana semua batas dilanggar. Hujan kini turun dengan cara yang sama seperti malam itu—diam-diam tapi dalam. Kota kecil tempat Rama dan Rani tinggal perlahan kembali tenang, namun di hati masing-masing tokohnya, badai belum benar-benar reda.

Surat keputusan pindah dinas Danang keluar pagi itu. Ia akan dipindahkan ke kota tetangga, sekitar tiga jam perjalanan darat. Sebuah langkah besar yang tidak hanya memengaruhi kariernya, tapi juga hidup dan emosinya.

Beberapa minggu setelah pengumuman kehamilan itu, Danang melamar Nina secara resmi di hadapan keluarganya. Tidak mewah, hanya makan malam sederhana di rumah orang tua Nina. Ia membawa cincin emas putih sederhana yang bahkan tidak sempat dipilihnya dengan benar. Tapi wajah Nina bersinar. Ia mencintai Danang. Seluruh hatinya.

Danang mencoba tersenyum. Tapi malam itu saat ia sendirian di kamar kontrakan barunya, ia membuka dompet, dan menatap sebuah foto kecil yang terselip di sela identitas dinasnya: foto USG bayi Dira. Bayi itu pertama kali menangis dalam pelukannya, bukan Rama.

“Apa kabar kalian berdua?” bisiknya lirih.

Sementara itu, di rumah Rama dan Rani, segalanya tak lagi sama.

Sejak Danang pindah, suasana rumah terasa dingin. Bukan karena udara, melainkan karena perubahan sikap Rama yang semakin tak bisa dikenali oleh Rani.

Rama kini mudah marah, cepat tersinggung, dan terlalu curiga. Bahkan ketika Rani hanya menerima pesan dari grup ibu-ibu komplek, Rama akan mengecek ponselnya tanpa izin.

“Ini siapa?” tanyanya tajam suatu malam.

“Itu Mbak Ita, tetangga depan. Kami bahas arisan,” jawab Rani sabar.

Rama hanya mendengus dan melempar ponsel itu ke meja. “Jangan terlalu sibuk dengan hal-hal begitu. Fokus saja sama anak dan rumah.”

Rani memandangi suaminya, mencoba mengenali laki-laki yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati. Tapi wajah itu kini kaku, sinis, dan penuh luka.

Dan luka itu, Rani tahu, berasal dari malam kelahiran Dira. Malam di mana ia seharusnya ditolong Rama, tapi malah Danang yang menyaksikan segalanya. Tak peduli betapa kerasnya Rani mencoba menjelaskan bahwa Danang tak berniat apa pun, Rama tetap tenggelam dalam cemburu yang buta.

Sore itu hujan turun lagi. Rani duduk di teras rumahnya dengan Dira di pangkuan, mengenakan sweater rajut biru tua yang sudah mulai usang. Tatapannya jauh.

Di tangannya ada ponsel dengan layar menyala. Ia membuka media sosial, dan melihat sebuah unggahan dari akun Nina.

Foto pasangan suami istri sedang berjalan di taman. Nina tersenyum manis, tangannya menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Di caption tertulis: “Bersyukur atas titipan kecil ini. Mas Danang, kamu akan jadi ayah yang luar biasa.”

Rani menahan napas. Ada sesak yang tiba-tiba merayap ke dadanya.

Tak ada lagi Danang yang datang ke rumah sambil membawa martabak hangat.

Tak ada lagi suara pintu pagar diketuk sore-sore sambil berkata, “Rani, Mas Rama masih di lapangan, tolong bikinin kopi ya…”

Rani memejamkan mata. Ada ruang kosong yang tak bisa ia jelaskan. Dira merengek kecil di pelukannya, dan Rani mengusap lembut kepala anak itu.

“Maafkan Mama, Nak… Mama juga bingung sama perasaan ini…”

Di kota barunya, Danang duduk termenung di dalam mobil dinas. Ia baru saja selesai menindak laporan warga soal perkelahian remaja.

Di dashboard, tergeletak satu foto kecil: foto aqiqah Dira, dikirim diam-diam oleh seorang rekan dari kota lama. Wajah kecil dengan mata bulat yang mirip Rani.

Ia tahu ia harus melanjutkan hidup. Ia tahu Nina dan calon bayinya membutuhkan seluruh perhatiannya. Tapi yang tak bisa ia pungkiri—jiwanya belum sepenuhnya utuh. Sebagian tertinggal di malam kelahiran itu, tertinggal pada seorang perempuan yang kini tak bisa lagi ia sebut miliknya, dan pada seorang bayi mungil yang pertama kali memanggilnya… dengan tatapan.

Danang menahan napas. “Apa kabar kamu, Dira…” bisiknya.