Share

Takdir bukan Milik Kita
Takdir bukan Milik Kita
Penulis: Aprillia Sukma

PROLOG

Suara alat-alat rumah sakit menggema ditelinga anak perempuan itu, dia sedang menangisi ibunya yang telah lama tidak mau membuka mata lagi. Di umur yang masih sangat kecil, gadis itu harus mengenal rasa sakit hati, kesepian, sendirian. Ya, gadis kecil itu menunggu Ibu nya setiap hari agar terbangun dari tidur panjangnya.

Suara tangisannya semakin keras, disusul dengan suara mendengung dari layar pendeteksi detak jantung yang menunjukkan gelombang dan kini berubah menjadi garis lurus. Para perawat datang ke ruangan itu, tubuh gadis kecil itu digendong oleh salah satu perawat wanita dan membawanya menjauh dari ibunya yang dia ketahui sudah meniggal dunia.

Disaat anak seusianya bermain-main hingga tak ingat waktu, memainkan banyak permainan bersama teman-temannya seperti main bola bekel, congklak, gobak sodor, engklek, ular tangga, boneka kertas, yoyo, petak umpet, atau main petasan dari tumbuhan. Terpikirkan saja tidak olehAlsava Grizelle, anak 6 tahun itu. Hidupnya bak ratu yang terkurung di istana mewah dengan banyak pengawal yang menjaganya, bergelimang harta dan tak pernah kekurangan namun tidak mengenal kata bahagia.

Hari terburuk dimulai sewaktu Alsava sedang tertidur lelap di malam hari dan tidak sengaja terbangun karena merasa haus. Saat sampai di dapur, Alsava mendengar suara benda terjatuh dengan keras, membuatnya tersentak. Niat untuk mengambil minum dia urungkan, rasa penasarannya sangat besar dibandingkan rasa hausnya.

Saat itu juga, diruangan tengah, Alsava melihatnya. Dia melihat ayahnya menampar, menjambak dan membenturkan kepala ibunya ke tembok. Alsava berteriak, berusaha menghentikan aksi gila ayah terhadap ibunya.

Ayah Alsava akhirnya berhenti, keduanya terkejut melihat sosok gadis kecil berdiri di dekat tangga dengan air mata yang sudah berlinang. Ayahnya hendak menghampiri Alsava namun gadis kecil itu lebih dulu berlari menaiki tangga untuk sampai ke atas menuju kamarnya lagi. Dia menutup pintu dan menguncinya. Suara Ayah Alsava terdengar ada di balik pintu Alsava, memanggilnya dengan lembut. Tapi bujuk rayu  apapun tidak akan bisa membuat Alsava membuka pintunya, bahkan dia lebih baik tertidur dan menahan hausnya hingga besok pagi. Alsava rela melakukan itu dibandingkan harus membuka pintu dan melihat wajah ayahnya.

Alsava masih mengingatnya dengan jelas kondisi Ibunya waktu itu, sudut bibir Ibu Alsava sudah berdarah, matanya bengkak dan merah. Semenjak kejadian itu, Ayah telah meninggalkan sebuah luka besar di hati Alsava kecil. Ayah yang biasanya menjadi cinta pertama anak gadisnya, kali itu dia menjadi patah hati pertama Alsava Grizelle.

****

kehidupan di rumah berubah drastis.

Rumah bagi Alsava seperti neraka, kalau dulu kepulangan Ayahnya selalu membuat Alsava senang, kini justru anomali. Kepulangan Ayah Alsava jadi sesuatu yang ditakuti, karena dia akan marah ke Ibu Alsava atau mencari-cari kesalahan, seperti  gosokan baju tidak terlalu rapi, susunan berantakan di lemari, masakan yang terlalu asin, atau Ibunya lupa menggosok sepatu kerja Ayah Alsava yang akan dipakai di pagi hari. Kekerasan jadi makanan sehari-hari. Ayah Alsava jadi ringan tangan dan tidak merasa kalau dia melakukan kesalahan.

Kalau seandainya Ibu Alsava dipukuli, Alsava hanya bisa berharap, Panji Manusia Millenium, Gerhana, si Toloy, dan berbagai pahlawan yang sering Alsava tonton di TV bisa datang membantu.

Bahkan Alsava sempat berpikir untuk ingin menjadi dewasa, agar bisa membantu Ibunya untuk membalas perbuata ayahnya.

****

Hujan sore itu tidak begitu deras, namun rintikannya terasa menyakitkan bagi Alsava yang baru saja beberapa jam ditinggal pergi oleh orang yang sangat dirinya cintai, sayangi dan miliki.

Kini yang dia rasakan hanyalah kesepian, dia sendirian disini. Semua orang yang mengantar satu per satu telah pergi untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Lambat laun orang yang disayanginya akan dilupakan seiring berjalannya waktu. Didepan pusara Ibunya, tangisan Alsava akhirnya pecah, air matanya luruh begitu saja menetes bersamaan dengan ar hujan yang menemaninya runtuh. Alsava kecil menangis di makam ibunya sendirian. Ayahnya menunggu diparkiran terlebih dahulu karena Alsava tidak ingin ikut bersamannya.

Tangan kecilnya bergerak kearah patok kayu yang bertuliskan nama ibunya. Alsava memeluknya dengan erat, masih teringat pelukan hangat yang dulu sempat tercipta diantara keduanya, seakan semua tidak mungkin secepat ini menghilang. Dan yang tersisa hanya kenangan yang sang Mama tinggalkan, tidak ada lagi waktu untuk mereka bersama.

“Kenapa Mama pergi sendirian? Kenapa nggak ajak Cava, Ma?” ucapnya begitu lirih dengan tangisan yang luruh. Perkataan Alsava juga masih cadel.

Hari itu, Alsava merasa dirinya paling menderita di dunia. Seakan tadir begitu jahat padanya. Dengan segala luka yang dia sudah rasakan di umur yang terlalu dini, memunculkan sebuah pertanyaan yang tertahan dibenaknya:

Kalau memang Alsava tidak disayang, untuk apa Alsava lahir di dunia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status