Share

Permintaan Ayah Dira

Seharian ini Dira terus menunjukkan wajah penuh kekesalan. Bibir cemberut dengan kaki yang menendang-nendang kasar ke arah benda yang ada di hadapannya.

“Kok bisa anak itu kabur? Pintu terkunci, terus pun jendela dilapisi besi dalamnya kan?” gerutu Dira yang masih tidak terima akan hilangnya jejak sang penguntit.

“Punya CCTV tapi kok belum dinyalakan. Percuma aja dipasang! Argh ... nyesal kali enggak aku hajar habis-habisan anak itu. Kalau aja yang punya kafe enggak datang, udah babak belur dia kubuat!” 

Dira masih saja tidak terima akan apa yang terjadi. Selain tidak mendapatkan informasi penting dari si penguntit, Dira juga harus menanggung malu kepada dua orang polisi yang diminta datang menangani masalah ini.

Duduk di sudut meja sambil terus menatap cemberut, Dira mengepal erat kedua tangannya. Jika bukan karena harus kembali menjaga Daffin, Dira sudah pergi mencari si penguntit itu.

“Awas aja kalau ketemu lagi! Habis kau kubogem,” gerutu Dira dengan tatapan penuh dendam.

Leo tengah asik menghubungi seseorang di ruang yang berbeda. Wajahnya terlihat senang sambil menunjukkan senyuman licik. Entah apa yang ia bicarakan, namun pembicaraan itu terlihat seru dengan sesekali menunjukkan tawa yang renyah. Sedangkan Daffin sedang asik berbincang dengan pemilik kafe. Ia meminta izin pamit setelah melihat keadaan Dira yang masih terlarut dalam kekesalan. Menggenggam segelas lemon tea hangat, Daffin berniat membuat Dira tenang dengan teh buatannya.

“Aduh!” teriak Daffin dengan tangan yang ditangkis kuat oleh Dira.

Sontak saja Dira kaget dan segera melirik ke arah belakang. Minuman yang dibawa Daffin tumpah sebahagian dengan tangan terlihat merah akibat pukulan Dira.

“Kau pun entah ngapain dari belakang datangnya,” ucap Dira dengan wajah semakin kesal. Gigi merapat dengan kedua tangan yang masih mengepal. Semakin kesal dan benci saja Dira jadinya.

“Anu, saya hanya ingin berikan ini. Mungkin kamu bisa lebih tenang setelah meminumnya,” ungkap Daffin sambil menunjukkan wajah kesakitan, bibirnya meringis dan terus mengelus tangan yang menjadi korban serangan Dira.

“Minuman apa ini?” tanya Dira yang kemudian mendekatkan bibir gelas pada lubang hidungnya. “Enggak ada yang aneh-aneh kan di dalamnya?” tanyanya dengan wajah penuh curiga.

Daffin hanya menggeleng dan berlalu pergi meninggalkan Dira. Ternyata tidak hanya sakit akibat pukulan yang harus ia rasa, melainkan rasa terbakar akibat ketumpahan minuman panas yang mengenai tangannya.

Dira terus saja memandangi teh yang tinggal setengah gelas, wajahnya terlihat ragu, namun juga berhasrat ingin mencoba. Terlebih setelah ia mencium wangi lemon dari dalam tehnya. Tetapi gengsinya begitu besar, hingga ia memutuskan untuk membiarkan minuman itu sambil menahan rasa haus.

Langit mulai gelap, Daffin dan Leo akhirnya keluar dari ruang pertemuan. Keduanya berjalan mendekati meja tempat Dira duduk menunggu. Daffin melirik ke arah meja Dira dan melihat teh pemberiannya belum tersentuh. Setelah memastikan Daffin menjauh, Dira segera meneguk habis lemon tehnya, lalu berjalan cepat mengikuti Daffin dan Leo yang sedang menuju mobil.

“Segernya ... setidaknya dia enggak tau, kalau tehnya udah aku habiskan,” gumam Dira dengan tatapan penuh kemenangan.

***

Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, terjadi suara riuh dari kamar hotel milik Daffin. Ternyata mereka tengah bersiap untuk pulang ke Jakarta. Daffin dan Leo berkemas sembari mempersiapkan seluruh barang miliknya. Berbeda sekali dengan Dira yang hanya bisa menatap cuek sambil menahan kantuknya. Tubuhnya terasa sangat lelah dua hari ini, meskipun tidak banyak mengeluarkan tenaga.

Menggunakan mobil yang tersedia mereka bertiga bersiap menuju Bandar Udara Kuala Namu. Daffin dan Leo duduk di kursi belakang dengan pakaian yang rapi dan wajah terlihat segar. Berbeda sekali dengan Dira yang berwajah kusut dengan baju yang sudah seharian ia pakai.

Langit masih gelap dengan jalanan yang terlihat sepi. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Ternyata Leo sengaja memesan tiket pesawat pagi agar keberadaan mereka tidak terdeteksi para penggemar. Kejadian yang menggemparkan kemarin ternyata masih membekas dalam ingatan Daffin. Ia kerap berdiam diri dengan tatapan kosong. Meskipun begitu, ia terus melakukan semua jadwalnya dengan wajah senang dan senyum terkembang.

Dira dan Daffin diminta menunggu di salah satu kafe yang ada, sedangkan Leo harus mengurus tiket pesawat mereka.

Berjalan beriringan dengan Daffin menggenggam koper di tangan membuat banyak mata melirik ke arah mereka. Gaya pakaian Daffin yang begitu mempesona membalut tubuh atletisnya sangat bertabrakan dengan gaya Dira yang masih mengenakan gaun panjang berbalut jaket dan topi hitam.

“Mata kelenlah! Macam lihat orang gila aja,” gerutu Dira diikuti bunyi gigi yang saling beradu.

Daffin masih saja termenung, meski kakinya terus melangkah menuju kafe, namun tatapannya terlihat tidak sedang berada di sana. Pikirannya jauh melayang merisaukan Bibi yang menjadi satu-satunya keluarga, ia miliki.

Seketika terdengar suara langkah kaki berlari mendekat ke arah mereka. Dira dengan sikap waspadanya menarik tubuh Daffin hingga ia terelak dari serangan seorang pria. Tak ingin kembali kehilangan incarannya, Dira berlari dan menendang kuat punggung pria yang menyerang mereka. Sedangkan Daffin masih terlihat shok dan hanya bisa menatap bingung dengan aksi Dira yang kini mengunci erat tangan pria berhoodie.

“Akhirnya ... tiba juga waktunya,” ungkap Dira yang kini dengan sengaja menyikut bokong si penyerang dengan lutut kanannya.

Menjerit, pria itu hanya bisa meringis. Tangannya dipegang terlalu kuat, hingga membuat ia kesulitan untuk berlari. Penjaga datang dan meminta Dira menyerahkan pria itu. Namun, Dira keberatan. Dengan lantang ia berucap, “Aku juga dari kepolisian. Aku harus ikut!”

Tanpa memperdulikan Daffin yang masih terpelanga, Dira pergi menuju ruang keamanan bandara. Ia terus mengawal ketat pria penguntit Daffin.

Leo datang dan menepuk pundak Daffin guna menyadarkan dirinya akan lamunan. Tak bisa berkata banyak, Daffin hanya menjelaskan kejadian sesuai dengan apa yang ia ketahui. Tanpa sempat berpamitan, Daffin dan Leo memasuki area penumpang. Ada banyak orang di sana yang merekam kejadian yang terjadi. Semuanya menunjukkan ekspresi beragam. Ada yang tersenyum riang karena mengetahui kalau Daffin seorang model terkenal, namun ada pula yang melihat dengan tatapan merendahkan dipenuhi rasa jijik.

***

Dira termenung sambil tersenyum di kamarnya. Hari ini ia bebas tugas dan berniat tidur seharian untuk mengumpulkan energi. Namun, semua tak berjalan dengan semestinya. Kedua adik perempuan Dira memasuki kamar dan mengganggu kedamaiannya.

“Kak, bener kau yang kemarin kawal Daffin selama di Medan?” tanya Alia dengan wajah penasaran.

“Is, kok enggak bilang kau Kak? Kami nge-fans kali loh. Maunya ... kau mintakan tanda tangan sama fotonya. Is, kaulah, Kak! Enggak bagus kali kau jadi Kakak!” ucap Arini dengan wajah sewot sembari memonyongkan bibirnya.

“Bising kali kelen pun! Balek kelen! Mau tidor aku. Kutendang juga kelen,” ucapnya bersungut.

Baru saja kedua adiknya pergi dari kamarnya, pintu kembali diketuk. Dengan wajah geram, Dira membuka pintu dan berucap, “Mau apa lagi kelen?”

“Ayak mau bicara!” ucap ayahnya sambil terbatuk-batuk.

Dira menjadi malu sendiri. Dengan sangat terpaksa ia mengizinkan ayahnya masuk dan duduk di atas ranjang kecilnya.

“Dir, kau tengoklah, Ayak udah tua, udah sakit-sakitan. Ayak pengen kali liat kau menikah. Kau kan anak pertamanya Ayak,” ucapnya yang kemudian terhenti karena batuk.

Dira hanya bisa menghembuskan napas berat dari mulutnya. Hatinya sangat kesal jika harus membahas tentang pria ataupun pernikahan. Jauh dilubuk hatinya, ia sama sekali enggan untuk menikah. Baginya, jika bisa bahagia tanpa menikah, kenapa harus menikah?

“Nanti sore ada yang mau datang. Kau tunjukkanlah sikap baikmu. Jangan buat malu Ayak!”

“Yak! Kenapalah sibuk kali nyuruh aku kawin? Rupanya kalau aku kawin, jamin panjang umur Ayak?” tanyanya berang sambil berdiri dengan tatapan kesal. Jika bukan sedang berbicara dengan ayahnya, mungkin meja kecil yang ada di sana sudah mendarat ke lawan bicaranya.

“Ya, panjang umur Ayak, tenang hati Ayak! Kau tau kenapa? karena tingkah kau ini. Ayak takut ... enggak ada cowok yang mau kawin sama perempuan macam kau!” ucap Ayahnya kasar yang kemudian pergi meninggalkan Dira seorang diri di kamar.

Terduduk lemas di bibir ranjang, hati Dira merasa sangat bersedih. Dari begitu banyak pertengkaran yang terjadi, baru kali ini ia merasa hatinya tertusuk dalam oleh ucapan ayahnya.

Sesaat kemudian matanya melirik tajam pada selembar kertas yang ada di atas meja. Sambil menunjukkan senyuman dan tatapan kepedihan Dira menganggukkan kepala. Tangan yang mengepal terlihat bergetar dengan napas yang berderu kencang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status